Membentuk Manusia Berkarakter Dan Berada

MEMBENTUK MANUSIA BERKARAKTER DAN BERADAB MELALUI
DUNIA PENDIDIKAN MENUJU TATANAN MASYARAKAT YANG
BERPERADABAN FITRAH
H. Iwan Jazadi, S.Pd., M.Ed., Ph.D.
Diyakini bahwa pembentukan manusia berkarakter dan beradab melalui dunia pendidikan
menuju tatanan masyarakat yang berperadaban fitrah akan dapat dicapai di negeri ini. Negeri
ini masih muda dalam ukuran sebagai negara besar sehingga proses pertumbuhannya untuk
melahirkan peradaban besar membutuhkan energi ekstra. Dengan tren politik otonomi,
desentralisasi, demokrasi, serta kebijakan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat dan
tersedianya berbagai peluang melanjutkan studi setinggi-tingginya, diyakini bangsa ini akan
dapat mencapai tujuan sebagai bangsa besar yang berkarakter dan beradab. Yang diperlukan
adalah daya juang, kesabaran dan konsistensi serta pikiran positif bahwa cita-cita pasti akan
terwujud.
Secara ringkas, tulisan ini membahas definisi karakter dan adab, implementasi pendidikan
karakter dan beradab, dan peradaban fitrah.
Definisi Karakter
Character menurut Oxford Learner’s Dictionary berarti qualities that make someone,
a country, etc. different from others (kualitas yang membedakan seseorang, sebuah bangsa,
dan lain-lain berbeda dengan yang lain). Sinonim dari character adalah the traits of human
consciousness (kecenderungan kesadaran manusia), personality traits (kecenderungan
kepribadian), human values (nilai-nilai yang dianut manusia), atau prinsip-prinsip dasar

kehidupan. Namun, perlu dicatat bahwa:
Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some
axtent a gift. Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it pace
by pace – by thought, choice, courage and determination.
Karakter yang baik lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua
bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada
kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan,
keberanian, dan usaha keras) (John Luther, dikutip dalam Husaini, 2010: 23).
Sejatinya, menurut Jazadi (2008), karakter yang baik diperoleh melalui proses
kebudayaan dan pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Kebudayaan

mengacu pada proses kehidupan dan penataan sebagai masyarakat atau bangsa berdasarkan
prinsip-prinsip dasar kehidupan atau karakter tertentu yang dipraktikkan, dapat diamati dan
dirasakan. Proses kebudayaan bukanlah suatu proses alamiah, tetapi proses bentukan yang
disadari atau tidak disadari, disengaja maupun tidak disengaja, dimaksudkan atau tidak
dimaksudkan untuk terjadi, atau dapat berlangsung sebagai buah jangka panjang dari proses
kebijakan sebuah pemerintahan, lembaga atau masyarakat. Di sisi lain, pendidikan adalah
bagian integral dari kebudayaan; berbeda dengan kebudayaan, pendidikan adalah proses yang
disengaja, diinginkan untuk terjadi, disadari, dan umumnya memiliki lokus interaksi secara
formal di sekolah, nonformal di masyarakat, atau informal di rumah tangga.

Kata “berkarakter” dalam judul makalah ini bermakna karakter yang baik yang harus
dicapai seseorang dan suatu komunitas manusia, daerah atau bangsa. Sementara itu, kata
“beradab” dapat dipandang sebagai bagian dari konsep karakter yang baik, namun perlu
disebut dan dibahas secara khusus karena kandungan nilai dan historisitasnya mengacu pada
kekhasan suatu masyarakat, yaitu masyarakat Islam. Husaini (2010: 78) menjelaskan bahwa
adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat
mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga
menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil
tertinggi dari adab ialah mengenal Allah swt dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang
wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat
dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Husaini, 2010: 29). Menurut
Megawangi (2011), pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
manusia secara utuh (holistik) dengan cara mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial,
kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal, serta untuk membentuk manusia
yang lifelong learners (pembelajar sejati).
Jazadi (2008: 4-5) menjelaskan bahwa pembelajar sejati memiliki minat belajar dan

minat baca tinggi, khususnya pasca sekolah. Diuraikan bahwa pembelajar sejati dapat
merealisasikan minat baca terhadap buku-buku yang ada di rumah, perpustakaan, toko buku,
tempat display publik lainnya atau kantor pemerintah dengan intensitas yang ekuivalen
dengan yang dialami di sekolah. Pembelajar atau warga tersebut mampu menjadikan

membaca sebagai salah kebutuhan dasar (basic needs), yaitu sesuatu yang diperlukan dalam
setiap waktu, tanpanya hidup terasa hilang salah satu bagian vitalnya. Membaca setara
dengan kegiatan makan, minum, bernafas dan kebutuhan dasar lain yang diperlukan
sepanjang hayat.
Dalam implementasinya di sekolah, pendidikan karakter umumnya diasosikan dengan
pelajaran

tertentu, termasuk Pelajaran

Agama, Pendidikan Moral Pancasila dan

Kewarganegaraan, Pendidikan Budi Pekerti, atau Pendidikan Karakter sebagaimana
diagendakan Pemerintah secara nasional dalam tahun-tahun terakhir ini. Pelajaran-pelajaran
tersebut penting, namun tidak boleh dipahami dan dipraktekkan dengan salah kaprah.
Kesalahkaprahan tersebut umumnya terjadi melalui reduksi pelajaran-pelajaran tersebut

menjadi seperangkat pengetahuan untuk diuji secara kognitif melalui lembar-lembar soal
tertulis. Akibatnya, dalam tataran sikap dan perilaku, karaktek yang baik tidak mewajah
dalam keseharian peserta belajar dan warga negara berpendidikan.
Kondisi pendidikan yang lemah aspek sikap dan perilaku masih menjadi salah satu ciri
umum pendidikan di Indonesia dan berbagai berkembang dan terbelakang pada umumnya.
Hal ini diasumsikan memberi kontribusi pada terjadinya kesenjangan antara negara maju
dibandingkan dengan negara berkembang dan terbelakang. Menurut analisis Bonnell (dalam
Jazadi: 43-44), ditemukan bahwa mayoritas penduduk negara maju mematuhi prinsip-prinsip
dasar kehidupan sebagai berikut: (1) etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari,
(2) kejujuran dan integritas, (3) bertanggung jawab, (4) hormat pada aturan dan hukum, (5)
hormat pada hak warga/orang lain, (5) mencintai bekerja dan bekerja keras, (6) berusaha
keras untuk menabung dan berinvestasi, dan (7) tepat waktu. Sementara itu, di negara miskin
atau berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip kehidupan tersebut.
Dengan demikian, salah satu penyebab utama keterbelakangan di negara miskin adalah
proses pendidikan yang tidak efektif mengajarkan nilai-nilai dasar kehidupan yang akan
memungkinkan masyarakat tersebut untuk maju dan memiliki daya saing.
Penamaan pendidikan karakter dengan kata-kata yang mengasumsikan efektivitasnya
(Pendidikan Agama otomatis membuat siswa beragama; Pendidikan Moral Pancasila
otomatis membuat pembelajar bermoral luhur Pancasila; Pendidikan Karakter otomatis
membuat siswa memiliki karakter yang baik, dan seterusnya), oleh karena kesalahkaprahan

atau pembiaran yang terus berlanjut seperti disebut di atas, diperkirakan tidak akan mencapai
tujuan yang diharapkan (Husaini, 2010: 32). Untuk meminimalisir potensi ketidakefektifan
ini, menurut hemat penulis, yang harus diutamakan dalam implementasi pendidikan karakter

adalah pemuatan secara eksplisit berbagai karakter yang ingin dicapai pada seluruh pelajaran,
termasuk dan terutama pelajaran khusus yang disebutkan. Pemuatan tersebut kemudian
diikuti dengan strategi implementasi dalam pembelajaran dan evaluasinya secara terukur dan
konsisten.
Untuk lebih mendalami tentang karaktek yang menjadi muatan pendidikan karakter,
penulis mengutip kajian Roy Posner tentang berbagai karakter yang dimiliki umat manusia,
dikelompokkan dalam kategori-kategori: (1) sikap, (2) atribut/sifat, (3) lingkungan sosial, (4)
keterampilan (lihat Lampiran). Setiap karakter memiliki dua sisi, positif atau baik dan negatif
atau buruk. Berbagai karakter baik yang ingin dicapai tersebut diidentifikasi keberadaannya
pada semua pelajaran. Secara akumulatif, bagian kurikulum di sekolah atau pengembang
kurikulum di tingkat daerah atau nasional memetakan keberadaan berbagai karakter tersebut
sehingga menjadi jelas mana karakter yang bermasalah dan mana yang tercapai. Instrumen
penilaian oleh guru, oleh diri siswa atau sebaya yang bersifat formatif harus dikembangkan.
Bahwa ujian nasional yang dikendalikan oleh Pemerintah Pusat hanya mengukur kemampuan
kognitif tidak dapat disalahkan begitu saja karena mereka berkepentingan mengukur
efektifitas anggaran yang digunakan dalam bidang pendidikan. Namun, hal itu tidak cukup;

perlu ada penyiapan instrumen evaluasi berkelanjutan oleh guru terhadap penguasaan sikap
dan perilaku sebagai manifestasi dari karakter yang baik yang harus dicapai peserta belajar.
Nilai yang diperoleh dari aspek sikap dan perilaku atau karakter yang baik tersebut harus
mendapat penghargaan dan pengaruh yang setidak-tidaknya setara dengan nilai kognitif yang
selama ini menjadi orientasi. Untuk mencapai tahap ini, tingkat subyektifitas penilaian oleh
guru harus diminimalisir melalui pelaporan kualitatif yang berbasis data (portfolio siswa).
Peningkatan kemampuan dan komitmen pendidik menjadi kunci utama keberhasilan program
ini, di samping berbagai stakeholder yang lain.
Sejalan dengan pentingnya komitmen guru tersebut, Mohammad Natsir, salah satu
Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis:
”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka
berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa
adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan
mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru bukan sekedar terampil mengajar
bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh
bagi murid-muridnya (Husaini, 2010: 32). Kalau banyak bangsa-bangsa lain di dunia bisa
mewujudkan karakter yang baik bagi sebagian besar warga negaranya, maka kita pun yakin

akan dapat mewujudkan cita-cita tersebut dengan memulai dari diri sendiri di tingkat pribadi,
lembaga, atau daerah, jika bukan langsung di tingkat negara.

Pendidikan Adab
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Sebagaimana dibahas
oleh Husaini (2010: 11 & 37), para ulama telah banyak membahas makna adab dalam
pandangan Islam. Istilah adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw. Di antaranya
adalah:


Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimuu auladakum,
wa-ahsinuu adabahum.” Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka. (HR Ibn Majah).



Sejumlah ulama juga menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi (w. 450 H),
menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H)
menulis Adab al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H)
menulis al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi wa Adab as-Sami’.




Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim
wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu
pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Salah satu poinnya adalah bahwa syariat
mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya)
tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Dengan perkataan lain, pendidikan adab merupakan bagian dari pendidikan karakter, namun
sumber pembelajaran adalah nilai-nilai keislaman sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW, para sahabat, ulama, dan orang-orang shaleh. Pendidikan Agama Islam disertai dengan
pelajaran ekstrakurikuler agama maupun kegiatan tambahan anak secara nonformal, melalui
pendidikan penuh seperti di pesantren, harus memuat materi aplikasi yang dapat dicontoh
langsung oleh peserta belajar.
Di samping itu, upaya melakukan Islamisasi atau internalisasi nilai-nilai Islam dalam
ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan (yang diikuti oleh mayoritas umat Islam) adalah
langkah sangat strategis untuk mewujudkan masyarakat yang berkarakter dan beradab.
Artinya, karakter-karakter yang baik sebagai tujuan pendidikan karakter tidak identik hanya
dengan nilai-nilai sekuler yang tidak bersentuhan dengan adab atau nilai-nilai kehidupan
pancaran ilahiah. Upaya Islamisasi sains yang telah dimulai sejak awal dekade 1980an di

negeri ini harus terus dilakukan dan diperkuat sehingga manfaatnya dapat dirasakan pada

lembaga pendidikan manapun yang diikuti oleh mayoritas umat Islam (lihat Saefuddin,
2010). Khabar baik tentang pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, sebagaimana
dilaporkan dalam buku karya Asrori S. Karni “Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru
Pendidikan Islam” (2009), menambah keyakinan bahwa secara perlahan namun substansial
Indonesia akan dapat mewujudkan diri sebagai bangsa berkarakter dan beradab akan tercapai
pada saatnya. Sekali lagi, kuncinya adalah adanya individu, lembaga pendidikan atau daerah,
jika bukan negara, yang memulai dari saat ini, dari hal yang kecil, dengan mengambil contohcontoh sukses yang sudah ada.
Peradaban Fitrah
Peradaban fitrah adalah prestasi kemanusiaan yang dibangun atau dipandu oleh nilainilai rabbaniah. Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim dan aplikasi demokrasi yang
cukup dinamis berpeluang mewujudkan peradaban fitrah melalui perjuangan tokoh-tokoh dan
cendekiawan muslim. Pelabelan dengan nama Islam atau syariah akan menjadi tidak penting
ke depan, karena yang terpenting adalah pencapaian substansi (isi dalam) yang merupakan
desain atau cerminan nilai-nilai Islami. Dengan demikian, peradaban fitrah tidak hanya
mengayomi umat Islam, tetapi juga seluruh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, karena
Addienul Islam dihajatkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Tidak bisa terhindari percaturan dan perbenturan peradaban serta perang dingin
pemikiran akan terus terjadi di negeri ini dan sebagai pengaruh dari perkembangan global.
Namun, penulis meyakini kedewasaan negara ini yang ditandai dengan bertumbuhnya kaum
cerdik pandai berpendidikan tinggi yang nantinya akan cukup merata di seluruh negeri akan
membuat bangsa ini memiliki daya kritis dan analitis sehingga bangsa ini pada saatnya akan

muncul sebagai salah satu kekuatan besar dalam percaturan dunia. Pembiayaan pendidikan
(bersubsidi), penggratisan biaya pendidikan pada jenjang-jenjang tertentu, pemberian
beasiswa dalam jumlah yang jauh spektakuler dibanding masa-masa sebelumnya pada
sebanyak-banyaknya warga negara tanpa pandang bulu pada saatnya akan berbuah manis
substansial setidak-tidaknya sekitar 10 tahun lagi. Sekarang ini, sebagian orang Indonesia
masih berorientasi sekedar nama, gelar, atau materi. Melalui berbagai upaya negara maupun
lembaga-lembaga masyarakat, secara pertahan orientasi tersebut akan berubah menjadi isi
dalam, mutu dan spiritualitas.

Otonomi daerah dan desentralisasi kebijakan, walau di satu sisi memberi ruang
penyimpangan, menjadi kesempatan bagi pemimpin dan lembaga berkomitmen untuk
merintis dan menjadi model perwujudan peradaban fitrah. Kritik akan terus berdatangan,
maka perbaikan dan penyempurnaan pun perlu terus dilakukan. Saling percaya dan
mendukung walau dalam suasana kritis pada saatnya akan menjadi karakter sebagian besar
pemimpin di Indonesia. Kepercayaan rakyat kepada pemimpin akan terus meningkat dan
peran pemimpin sebagai pelayan dan pengayom akan semakin dirasakan. Kondisi ini akan
terwujud setelah sebagian besar rakyat terdidik telah mampu berperan menjadi elemen
masyarakat sipil kelas menengah. Tidak telat, kita semua adalah pelaku sejarah menuju
Indonesia yang maju di masa depan. Insya Allah.
Referensi

Megawangi, Ratna. Membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter. Available
online http://pondokibu.com/71/membentuk-manusia-secara-utuh-holistik-yangberkarakter/, diakses 3 Januari 2012.
Karni, Asrori S. (2009). Etos studi kaum santri: wajah baru pendidikan Islam. Bandung:
Mizan.
Saefuddin, AM. (2010) . Islamisasi sains dan kampus. Jakarta: PPA Consultants.
Jazadi, I. (2008). Masyarakat belajar dan berdaya saing: analisis kebijakan publik di
Kabupaten Sumbawa. Sumbawa Besar: Paracendekia NW Press.
Husaini, A. (2010). Pendidikan Islam: membentuk manusia berkarakter dan beradab.
Jakarta: Cakrawala Publishing.
Posner, R. Traits of human consciousness. Available online
http://www.gurusoftware.com/GuruNet/Personal/Factors.htm, diakses 3 Januari 2012.