Tugas Makalah hukum adat tanah

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Membicarakan tentang hukum tanah adat, di dalam hukum adat,

tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara
manusia dengan tanah sangat erat, tanah sebagai tempat manusia
untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Dalam bahasan makalah ini kami akan menitik beratkan kepada
masalah hokum tanah adat, tanah mempunyai makna yang sangat
penting yaitu Sebagai tempat tinggal dan mempertahankan kehidupan,
Alat pengikat masyarakat dalam suatu persekutuan (masyarakat),
Sebagai modal (aset produksi) utama dalam suatu persekutuan
(masyarakat). Tanah adat merupakan milik dari

masyarakat hukum

adat yang telah dikuasai sejak dulu.
Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan

benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan
manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri,
namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam
jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos),
dankecil (micro cosmos).Tanah dipahami secara luas meliputi semua
unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat,
maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh
dan utuh.1
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis
adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas
sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah, yang dapat diberikan dan dapat pula dimiliki oleh orang-

1Herman Soesangobeng, Kedudukan Hakim dalam HukumPertanahan
Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003,hlm. 12-14.


dan

1

orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.2

B.

Rumusan Masalah
Adapun

dalam

penulisan

makalah

ini,


penulis

akan

membahas mengenai beberapa hal berikut;
1. Apa Pengertian Hukum Tanah dan Macam-Macam Tanah Menurut
Hukum Adat?
2. Kenapa pentingnya tanah bagi manusia dan persekutuannya?
3. Bagaimana hak persekutuan hukum atas tanah?
4. Bagaimana hak perseorangan atas tanah ?
5. Bagaimana transaksi atas tanah?
6. Transaksi apa saja yang ada hubungan dengan tanah ?

2 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak – hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2007), hlm 10.
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN


HUKUM

TANAH

DAN

MACAM-MACAM

TANAH
1. Pengertian Hukum Tanah
Hukum tanah (groundrecht) ialah semua norma yang tertulis
maupun tidak tertulis mengenai tanah, yang antara lain mengatur
tentang : Hak dan kewajiban subyek hukum atas tanah, Cara-cara
memperoleh tanah, Peralihan hak atas tanah dan Semua perjanjian
yang berhubungan dengan tanah.
Menurut Mr.B.Ter Haar Bzn membedakan dua macam pengertian
mengenai hukum tanah, yaitu
a. Hukum tanah dalam keadaan diam (groundrecht in rust)
Mengatur tentang hak-hak atas tanah, baik hak masyarakat

hukum atas tanah, maupun mengenai hak perseorangan atas tanah,
seperti hak membuka tanah, hak milik, hak memungut hasil, hak
wenang pilih/hak wenang beli, hak keuntungan jabatan atas tanah dan
sebagainya.
b. Hukum tanah dalam keadaan bergerak (grondrecht in bewoging)
Mengatur tentang hak untuk memperoleh dan memindahkan
hak atas tanah, seperti hak menjual tanah, menghadiahkan tanah,
menghibahkan tanah, menyediakan tanah untuk badan hukum adat
(wakaf, yayasan) dan sebagainya.3
2. Macam-Macam Tanah Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat, terdapat berbagai jenis tanah, yang diberi
nama

menurut

cara

memperolehnya

atau


menurut

tujuan

penggunaanya.
a. Berdasarkan cara memperolehnya,
1. Tanah yasan/ tanah trukah/ tanah truko, ialah tanah yang
diperoleh seseorang dengan cara membuka tanah sendiri (membuka
hutan).
2. Tanah pusaka/ tanah tilaran, ialah tanah yang diperoleh
seseorang dari pemberian (hibah) atau warisan orang tuanya.
3 H.A.M Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang : Duta Grafika, 1990, hlm, 3.
3

3. Tanah pekulen/ tanah gogolan, ialah tanah yang diperoleh
seseorang dari pemberian desanya.

b. berdasarkan tujuan penggunaanya
1. Tanah bengkok/tanah pituwas/tanah lungguh, ialah tanah milik

desa (persekutuan hukum) yang diserahkan kepada seseorang yang
memegang jabatan pemerintah di desa itu untuk diambil hasilnya
sebagai upah jabatannya.
2. Tanah suksara/tanah kemakmuran, ialah tanah milik desa
(persekutuan hukum) yang diusahakan/digarap untuk kepentingan
desa atau untuk kesejahteraan masyarakat desanya (jawa,bondo
deso,sunda,titisara).

B. PENTINGNYA TANAH BAGI MANUSIA DAN PERSEKUTUAN
Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air,
udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh
di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.
Pentingnya

arti

tanah

bagi


kehidupan

manusia

adalah

karena

kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.
Mereka hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan
cara mendaya gunakan tanah. Masalah tanah dapat menimbulkan
persengketaan

dan

peperangan

yang

dahsyat


karena

manusia-

manusia yang ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena
sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya.
Manusia akan hidup senang dan serba berkecukupan kalau
mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai/dimilikinya sesuai
dengan hukum alam yang berlaku. Manusia akan dapat hidup tenteram
dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibankewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang
berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang
memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan
dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya. Atas
4

ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah
diberikan wewenang untuk mempergunakan yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya sekedar

diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan

tanah

itu

dalam

batas-batas

menurut

UUPA

dan

peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hubungan


hukum

antara

seseorang

dengan

tanah

dapat

dimungkinkan dengan beberapa hal misalnya karena hibah, warisan,
dan sebagainya. Hak – hak atas tanah mempunyai peranan penting
dalam kehidupan manusia, makin maju masyarakat maka akan makin
padat penduduknya, sehingga menambah pentingnya kedudukan hak –
hak atas tanah. Dalam melaksanakan perbuatan hukum pemindahan
hak atas tanah harus dilakukan dan dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh dan dihadapan PPAT.
Terdapat dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam hal hukum adat, yaitu ;
1.

Karena sifatnya

Yakni merupakan satu satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap
dalam keadaanya, bahkan bisa menjadi lebih menguntungkan.
Contohnya : sebidang tanah jika diatasnya dibakar maka setelah api itu
padam tanah tersebut tidak akan lenyap. Serta saat dilanda banjir,
setelah airnya surut humus yang terbawa bisa mendatangkan
kesuburan bagi tanah itu.
2.

Karena fakta

Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu ;
a.

Merupakan tempat tinggal persekutuan.

b.

Memberikan penghidupan kepada persekutuan.

c.

Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang
meninggal dikebumikan.

d.

Juga tempat tinggal kepada dayang dayang pelindung

persekutuan
dan roh para leluhur persekutuan.

5

C. HAK PERSEKUTUAN / ULAYAT HUKUM ATAS TANAH
Menurut hukum adat yang dapat mempunyai hak atas tanah
bukan hanya orang perseorangan, melainkan juga persekutuan hukum.
Hak persekutuan hukum atas tanah ini biasanya disebut hak pertuanan
atau hak ulayat.4
Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi
dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat
lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut
oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut
Hak Pertuanan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan,
dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.
Menurut Purnadi Purbacaraka5, hak ulayat adalah hak atas tanah
yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara
bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum
adat

yang

bersangkutan

menguasai

tanah

tersebut

secara

menyeluruh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak ulayat
adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya
berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang
berhubungan

dengan

tanah

lingkungan

wilayahnya

di

bawah

kepemimpinan kepala adat.
Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di
dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula Ketua
dan para Tetua Adat.Para anggota masyarakat hukum adat secara
bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah
adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa anggota masyarakat
hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti
memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak
mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi
cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual.
Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat.
Kewenangan

untuk

mempergunakan

oleh

para

anggota

masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai
4Ibid, hlm,4.
5 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983,hlm. 25-26.

6

‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam
arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah
ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di
depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk
memungut hasil hutan bersifat terbatas.6[5]
Undang-Undang Pokok Agaria (UUPA) terhadap hak ulayat, yaitu
UU no 5 tahun 1960 (LN 1960 no 104) mengakui berlakunya hukum
adat mengenai tanah, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 UUPA
yang berbunyi: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentinagn nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa,

dengan

sosialisme

Indonesia

serta

dengan

peraturan-

peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama”
Dengan demikian adanya hak ulayat dalam hukum Agraria yang
berdasarkan hukum adat juga diakui oleh UUPA, meskipun tidak
dengan kebebasan yang sepenuhnya karena harus memperhatikan
kepentingan yang lebih tinggi, yaitu kepentingan bangsa dan negara. 7
D. HAK PERSEORANGAN ATAS TANAH
Hak perseorangan atas tanah merupakan hak yang diberikan
kepada

warga

sebidang

tanah

negara
yang

persekutuan/warga
berada

di

wilayah

desa/orang
hak

luar

pertuanan

atas
pada

persekutuan hukum yang bersangkutan. Hak-hak perseorangan atas
tanah menurut hukum adat antara lain8 :
1.Hak milik/ hak yasan
ialah hak seseorang yang memberikan kekuasaan penuh atas
sebidang tanah kepada pemiliknya, dalam batas-batas hak ulayat.
( misalnya hak menjual, menjadikan jaminan hutang, mewariskan dan
sebagainya). Ada 3 macam hak milik atas tanah, yaitu:
a. Hak milik perseorangan
6 Seorojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung
Agung, 1984, hlm. 19.
7 Opcit, H.A.M Effendy, hlm,11.
8 Ibid,H.A.M Effendy,hlm, 20.
7

Hak ini terbagi atas dua macam, yaitu;
1.Hak milik perseorangan yang bebas, dalam arti bebas
dari pengaruh hak ulayat, seperti yang melekat pada tanah
yasan di jawa tengah/ tanah-tanah milik tuan tanah di daerah
jawa barat yang benar-benar dapat bertindak sebagai yang
diperuntukan atas tanah miliknya.
2.Hak milik perseorangan yang terkekang, yaitu terkekang
oleh hak ulayat, seperti yang terjadi atas tanah sawah/pekulen
di jawa tengah atau tanah kasikepan di daerah cirebon.
b. Hak milik persekutuan
hak ini yakninya tanah milik persekutuan yang mungkin berasal
dari membuka hutan atau membeli dari perseorangan yang dikerjakan
untuk kepentingan persekutuan itu sendiri, misalnya tanah suksara di
jawa tengah/ drue desa di bali, tanah ulayat di minangkabau
c. Hak milik keluarga, yaitu tanah milik bersama para anggota
keluarga tertentu, seperti tanah tilaran di jawa tengah, tanah pusaka di
minangkabau, tanah dati di ambon, tanah pesini di minahasa dan
sebagainya.
Hak milik atas tanah ini dapat diperoleh dengan berbagai
macam cara, antara lain : dengan membuka tanah/hutan pertuanan,
mendapatkan
perbuatan

warisan

tanah,

hukum/transaksi

mendapat

tanah,

tanah

seperti

sebagai

karena

akibat

pembelian,

penukaran hadiah dan sebagainya, karena daluwarsa/lampau waktu.
2.Hak membuka tanah
ialah hak warga persekutuan untuk membuka tanah hutan atau
berlukar

yang

termasuk

lingkungan

pada

pertuanan

dengan

persetujuan kepala persekutuan.
Hak ini dapat merupakan hak untuk mengolah tanah hutan
belukar untuk dijadikan lahan pertanian, daerah pemukiman dan
sebagainya. Hak membuka hutan ini dalam prakteknya dapat pula ia
dimiliki oleh orang luar (bukan warga persekutuan) yang telah
mendapat izin dari kepala persekutuan hukum adat setempat, kalau
terjadi demikian maka hak mereka ini bukan berdasarkan hak
pertuanan, melainkan berdasarkan perjanjian yang harus disertai

8

dengan pembayaran uang pengakuan atau uang persembahan/upeti
(mesi di jawa).
Bagi warga persekutuan sendiri pada umumnya tidak diperlukan
izin dari kepala persekutuan dan pembayaran upeti, melainkan cukup
dengan sepengetahuan saja.
3.Hak

memungut

hasil/hak

menikmati

hasil/hak

anggaduh
Maksutnya

ialah

hak

seseorang

yang

diberikan

oleh

persekutuan untuk memungut hasil atau mengerjakan tanah tertentu
milik persekutuan dalam waktu yang terbatas.
Pada dasarnya hak ini hanya diberikan kepada orang yang bukan
warga persekutuan untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau
beberapa kali masa tertentu saja, dan kalau ada yang mendapatkan
lebih dari satu masa panen, sebenarnya hanya merupakan satu
rangkaian saja. Hak ini diberikan paling lama seumur hidup sehingga
tidak dapat diwariskan.
Hak anggaduh ini dapat dipindahkan/dihibahkan oleh pemegang
haknya kepada orang lain selama masih hidup, karena hak ini berakhir
Dengan meninggalnya si pemegang hak (jurisprudensi MA tgl 19
Nopember 1958 no 340 k/sip/58).9
4.Hak pakai/ hak anggarap
Hak ini ialah hak anggota keluarga untuk mengerjakan tanah
milik bersama dari anggota keluarga (misalnya hak atas tanah pusaka
di daerah minangkabau yang disebut ganggam bauntuik.
Hak pakai ini merupakan hak sesama warga persekutuan atau
sesama anggota keluarga, dan berlangsung untuk waktu yang lama.
Jadi dalam hak ini pemilikan atas tanah pusaka itu ada di tangan
persekutuan,

tetapi

pemanfaatannya

dibagi-bagi

diantara

para

keluarga yang menguasai tanah tersebut.
5.Hak wenang pilh/ hak kinacek
Ialah hak warga persekutuan untuk memakai, mengolah atau
mendapatkan tanah lebih dahulu dari orang lain.
6.Hak wenang beli

9 Ibid, H.A.M Effendy, hlm,26.
9

Ini adalah hak seseorang yang karena sesuatu hal berhak
membeli sebidang tanah terlebih dahulu dari orang lain, dengan harga
yang sama kalau tanah tersebut dibeli oleh orang lain. Hak ini meliputi
tanah pertanian, tanah pekarangan, kolam ikan dan sebagainya.
7.Hak keuntungan jabatan
Merupakan hak pejabat desa/pamong desa/prabot desa untuk
mengerjakan tanah milik desa atau persekutuan hukum adat dan
mengambil hasilnya sebagai upah jabatannya. 10

E. TRANSAKSI-TRANSAKSI ATAS TANAH
Dalam hal ini terdapat dua macam jenis transaksi atas tanah,
yaitu transaksi yang bersifat sepihak dan bersifat dua belah pihak.
Masing-masing transaksi ini memiliki perbedaan yang mendasar yakni
dari para peakunya sendiri.
1. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak
Sebagai contoh dari transaksi tanah semacam ini,dapat disebut:
a. Pendirian suatu desa, sekelompok orang-orang mendiami
suatu tempat tertentu dan membuat perkampungan diatas tanah
itu,membuka tanah pertanian,mengubur orang-orang yang meninggal
dunia di tempat itu dan lain sebagainya, sehingga lambat laun tempat
itu menjadi desa, lambat laun timbul hubungan religio magis antara
desa dengan tanah tersebut, tumbuh suatu hubungan hukum antara
desa dan tanah dimaksud, tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi
persekutuan yang bersangkutan, yakni hak ulayat.
b. Pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan, kalau
seorang

individu,

warga

persekutuan

dengan

izin

kepala

desa

membuka tanah wilayah persekutuan, maka dengan menggarap tanah
itu terjadi suatu hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religio
magis antara warga yang bersangkutan, dengan tanah dimaksud.
2. Transaksi/perjanjian jual beli tanah yang bersifat perbuatan
hukum dua fihak.
Dalam hukum tanah perbuatan hukum ini disebut transaksi jual
(jawa disebut adol atau sade. Transaksi jual ini menurut isinya dapat
dibedakan dalam tiga macam:
10 Ibid, H.A.M Effendy, hlm,30.
10

a. Penyerahan

tanah

dengan

pembayaran

kontan

disertai

ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah, dapat memiliki kembali
tanah tersebut, dengan pembayaran sejumlah uang (sesuai perjanjian)
b. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat,
jadi untuk seterusnya/selamanya disebut adol plas, run tumurun
(jawa), menjual gada (kalimantan), menjual lepas (riau dan jambi)
c. Penyerahan

tanah

dengan

pembayaran

kontan

disertai

perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain,
sesudah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali
lagi kepada pemilik tanah semula disebut menjual tahunan, adol
oyodan (jawa).
Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini dibuatkan suatu
akta yang ditanda tangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta
dibubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi. Akta
ini adalah merupakan suatu bukti. Tentang penyerahan tanahnya
sendiri dalam kenyataanya dapat juga ditunda untuk beberapa waktu
lamanya, tetapi hak si penerima atas tanah itu mulai berlaku sejak saat
persetujuan terjadi.11
Masalah jual beli tanah:
1. perkaranya : jaksa agung pada tanggal 1 oktober 1958 mengajukan
kasasi

atas

putusan

pengadilan

negeri

semarang,

dengan

mengajukan keberatan-keberatan sebagai berikut, jual beli tanah
adat antara penjual orang eropa dan pembeli bangsa indonesia asli
supaya dinyatakan tidak sah, karena dilakukan tanpa ikut sertanya
lurah dari daerah dimana tanah tersebut terletak.
2. keputusan MA tanggal 13 Desember 1958 no. 4 k/Rup/1958 : MA
berpendapat bahwa bagi tanah milik menurut hukum adat tetap
berlaku hukum adat, meskipun itu dijual belikan oleh orang Eropa,
sehingga tidak mungkin dibalik nama. Namun mengenai sahnya jual
beli MA berpendapat bahwa ikut sertanya kepala desa belum
ternyata sebagai syarat mutlak untuk sahnya jual beli tanah dalam
hukum adat, campur tangan kepala desa hanyalah merupakan

11 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita,1983, hlm
116-117.

11

faktor yang lebih menyakinkan akan sahnya jual beli tanah
tersebut.
3. suatu permohonan kasasi oleh Jaksa Agung untuk kepentingan
hukum tidak boleh merugikan fihak-fihak yang berkepentingan dan
hanya dimaksudkan untuk memperoleh suatu pendapat dari MA
mengenai suatu persoalan hukum, agar untuk perkara yang serupa
dimasa yang akan datang dianut oleh hakim BAWAHAN. 12

F. TRANSAKSI YANG ADA HUBUNGAN DENGAN TANAH
Dalam transaksi-transaksi ini objeknya bukan tanah, tetapi
hanya

mempunyai

hubungan

dengan

tanah.

Adapun

transaksi-

transaksi yang berhubungan dengan tanah yaitu sebagai berikut;
1. Perjanjian paruh hasil tanam
Ini merupakan suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam
segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasar perjanjian paruh hasil
tanam ini ialah saja ada sebidang tanah tapi tak ada kesempatan atau
kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya, tapi walaupun
begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat
persetujuan

dengan

orang

lain

supaya

ia

mengerjakannya,

menanaminya, dan memberikan kepada saya sebagian hasil panennya,
padahal dasar daripada perjanjian jual ialah saya ada sebidang tanah
yang saya pergunakan untuk mencukupi kebutuhan saya akan uang
yang mendadak ( atau saya lebih suka (buat sementara) mempunyai
uang dari pada tanah).13
2. Perjanjian Sewa tanah
Merupakan suatu transaksi yang mengizinkan orang lain untuk
mengerjakan tanahnya atau untuk tinggal di tanahnya dengan
membayar uang sewa yang tetap sesudah tiap panen atau sesudah
tiap bulan atau tiap tahun. Di beberapa daerah untuk transaksi
demikian ini, dipergunakan istilah khusus seperti mengasidi (Tapanuli
Selatan), sewa bumi (Sumatra Selatan), cukai (Kalimantan), ngeputenin
(Bali).14
12 H.A.M Effendy, Capita Selecta Hukum Adat, Jakarta : Duta Grafika, 1996, hlm,47-48.
13 B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta Pusat: Pradnya
Paramita, 1980, hlm,125.
14 Opcit, Bushar Muhammad, hlm,123.

12

3. Perjanjian bagi hasil/sewa bersama dengan jual gadai
tanah
Maksutnya ialah perjanjian dimana seseorang yang membeli
gadai sebidang tanah mengizinkan si penjual/pemilik tanah tersebut
untuk mengerjakan tanahnya atas dasar perjanjian bagi hasil atau
sewa.
4. Perjanjian tanggungan tanah
Disini memiliki arti sebagai suatu perjanjian dimana seseorang
meminjam uang dari orang lain dengan ketentuan bahwa apabila perlu
si peminjam akan menjual tanah miliknya kepada orang yang
meminjami uang lebih dahulu daripada orang lain, untuk keperluan
melunasi hutangnya.
5. Perjanjian menumpang rumah atau pekarangan
Ini adalah suatu perjanjian dimana seseorang pemilik tanah
mengizinkan orang lain (numpang,magersari) untuk mendirikan rumah
atau mendiami tanah pekaranganya.15

15 Opcit, H.A.M Effendy,Pokok-Pokok Hukum Adat,hlm,48-50.
13

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berdasarkan hasil menulisan makalah mengenai hukum tanah
adat ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakninya;
1. Berdasarkan cara memperolehnya, antara lain : tanah yasan, tanah
pusaka dan tanah pekulen. Dan berdasarkan tujuan penggunaanya,
antar lain: tanah bengkok, dan tanah suksara.
2. Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari
segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan
tempat

bagi

manusia

untuk

menjalani

dan

kelanjutan

kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap
anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara
sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Di dalam Hukum
Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hak
persekutuan hukum atas tanah, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang
hidup

dalam

masyarakat

suatu

hukum

wilayah

tertentu

(persekutuan

yang

hukum).

disebut

Lebih

dengan

lanjut,

hak

persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan,
hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
3. Hak Perseorangan atas tanah, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari
persekutuan tertentu.
4. Transaksi/perjanjian

jual

beli

tanah,

Ada

dua

macam

transaksi/perjanjian jual beli tanah yaitu: pertama yang merupakan
perbuatan hukum sefihak, dan kedua yang merupakan perbuatan
hukum dua fihak.
5. Transaksi/perjanjian jual beli yang ada hubungannya dengan tanah,
antara lain: perjanjian paruh/bagi hasil, perjanjian sewa tanah,
perjanjian bagi hasil/sewa bersama dengan jual gadai tanah,
perjanjian tanggungan tanah, dan perjanjian menumpang rumah
atau pekarangan.

14

B.KRITIK DAN SARAN
Adapun dalam pelaksanaanya, pada saat ini masih banyak
masayarakat yang belum memahami betul akan apa saja hak
dan kewajibannya atas tanah yang ada di sekitarnya. Hal ini akan
sangat merugikan bagi mereka, karna situasi yang seperti ini
dapat

dimanfaatkan

oleh

orang

lain

untuk

mengambil

keuntungan secara sepihak.
Dengan
pergerakan
mengenai

ini,

dalam

diharapkan

pemerintah

mensosialisasikan

pertanahan.

Sehingga

akan

mempercepat
hal-hal

masyarakat

dapat

penting
hidup

tentram dan dapat menikmati pertanahannya sesuai dengan hak
dan kewajibannya.

15

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Effendy,

H.A.M, Capita Selecta Hukum Adat, Jakarta : Duta Grafika,

1996.
Effendy, H.A.M, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang : Duta Grafika,
1990.
Haar Bzn, B. Ter, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta Pusat:
Pradnya Paramita,1980.
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta :Pradnya
Paramita,1983.
Purbacaraka, Purnadi dan Halim, A. Ridwan, Sendi-Sendi Hukum
Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Soesangobeng, Herman, Kedudukan Hakim dalam HukumPertanahan
dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah
Agung, 2003.
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak – hak atas Tanah, Jakarta : Kencana
Prenada MediaGroup, 2007.
Wignjodipoero, Seorojo ,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:
Gunung Agung, 1984.

16