II. TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Penentuan Komoditi Perkebunan Basis di Wilayah Masing-masing Kecamatan Kabupaten Simalungun

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Sub Sektor Perkebunan Kabupaten Simalungun

  39

  84 788

  14 632 304

  8

  11.263 509.145

  10.650 1.986 5.581

  204 213 674

  36 598 302

  9 166

  540.827 11.434

  516.136 11.731

  1.945 5.535

  71 672

  9.436 1.855 5.509

  17 599 301

  9 246

  548.735 11.161,6

  506.218,0 10.050,4

  1.895,8 4.502,6

  68,2 106,4

  74,2 18,8

  616,8 301,4

  8,4 82,4

  535.772,8 Sumber : BPS, Sumatera Utara (diolah).

  Tabel 2. Menunjukkan produksi komoditas perkebunan di Kabupaten Simalungun bervariasi. Produksi paling tinggi yaitu komoditi kelapa sawit dengan rata-rata 506.218 ton per tahun. Sedangkan produksi komoditi yang paling rendah adalah komoditi vanili dengan rata-rata 8,4 ton per tahun.

  35

  11.073 507.949

  Sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Simalungun yaitu perkebunan besar/negara dan perkebunan rakyat. Hasil perkebunan rakyat di Kabupaten Simalungun terdiri dari karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau (BPS, Sumatera Utara 2012).

  11

  Table 2. Produksi Perkebunan di Kabupaten Simalungun (Ton) No Komoditi Tahun Rata- rata 2009 2010 2011 2012 2013

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10

  12

  8

  13 Karet Kelapa sawit Kopi Kelapa Cokelat Cengkeh Kulit manis Kemiri Lada Aren Pinang Vanili Tembakau Jumlah

  11.027 493.315

  8.830 1.838 4.845

  28

  83 788

  14 627 300

  8

  11.010 504.544

  9.604 1.855 1.045

  35

  83 788

  14 627 300

  • 521.700
  • 529.911
  • 537.688

2.2 Penelitian Terdahulu

  Ropingi dan Agustono (2007) dalam penelitiannya mengenai “Pembangunan Wilayah Kecamatan Berbasis Komoditi Pertanian di Kabupaten Boyolali (Pendekatan Shift-Share Analisis)”, berdasarkan analisis LQ komoditi sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi di Kabupaten Boyolali tahun 2005 di tiap-tiap kecamatan beragam jenis komoditinya. Kecamatan yang paling banyak jumlah komoditi sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi adalah Kecamatan Mojosongo (25 jenis komoditi) sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Ampel (8 jenis komoditi).

  Berdasarkan analisis Shift Share tahun 2004-2005 diketahui bahwa komoditi pertanian yang tumbuh cepat diantaranya komoditi bahan pangan penyedia karbohidrat adalah jagung, bahan pangan penyedia protein adalah kacang tanah, kedelai, komoditi peternakan adalah sapi potong, kambing, domba; komoditi sayur-sayuran adalah wortel, sawi, cabe, bawang merah, mentimun; komoditi buah-buahan adalah durian, pisang, jambu air, jeruk nesar, jeruk siam, dan komoditi perkebunan adalah jahe, kencur, teh, kopi arabika. Komoditi pertanian basis yang tergolong berdaya saing baik diantaranya komoditi bahan pangan adalah padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, ubi jalar; komoditi hortikultura adalah bawang merah, bawang daun, sawi, tomat, kubis, durian, pepaya, mangga, pisang; komoditi perkebunan adalah asem, kelapa, teh, kencur; komoditi peternakan adalah sapi perah, sapi potong, domba, kambing, ayam buras.

  Jenis komoditi pertanian basis dan wilayah pengembangannya di komoditi padi di Kecamatan Teras, Sawit, Banyudono, Nogosari, dan Andong; Sapi potong di Kecamatan Ampel, Klego, Andong dan Juwangi; komoditi pepaya di Kecamatan Mojosongo, kopi robusta di Kecamatan Ampel, komoditi sayur- sayuran (wortel, kubis, bawang merah, bawang daun) di Kecamatan Selo; komoditi kencur di Kecamatan Simo, Klego dan Nogosari; komoditi kacang tanah di Kecamatam Sambi, Nogosari, Andong dan Juwangi.

  Prihkhananto (2006) dalam penelitiannya mengenai “Penentuan Wilayah Basis Komoditi Pertanian Unggulan dalam Menghadapi Otonomi Daerah di Kabupaten Temanggung” menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan shift

share dalam penentuan komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Temanggung.

  Berdasarkan analisis LQ, komoditi pertanian yang menjadi komoditi pertanian basis adalah jagung, bawang putih, lombok, kelengkeng, kopi arabika, kopi robusta, jahe, kunyit, tembakau, aren, domba, dan ayam buras. Untuk mengetahui kemampuan bersaing suatu komoditi perlu diketahui komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Berdasarkan analisis shift share, komoditi pertanian yang mampu bersaing dengan komoditi dari daerah lain adalah padi, kacang panjang, kubis, lombok, kelengkeng, pisang, kopi arabika, cengkeh, aren, dan sapi potong. Berdasarkan analisis gabungan LQ dan shift share diketahui bahwa komoditi lombok, kelengkeng, kopi arabika, dan aren merupakan komoditi pertanian unggulan untuk Kabupaten Temanggung karena komoditi tersebut mampu memenuhi kebutuhan kabupaten dan mengekspor ke daerah lain serta mempunyai kemampuan bersaing dengan komoditi pertanian lain.

  Rachmat Hendayana (2003) meneliti tentang “Aplikasi metode Location penelitian membahas penerapan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas pertanian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series tahun 1997–2001. Data yang dimaksud meliputi data areal panen tanaman pangan, holtikultura (sayuran dan buah–buahan), perkebunan dan populasi ternak. Dari hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi komoditas pertanian.

  Dalam hal ini komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dianggap memiliki keunggulan komparatif karena basis. Komoditas pertanian yang tergolong basis dan memiliki sebaran wilayah paling luas menjadi salah satu indikator komoditas unggulan dan mengingat perhitungan LQ baru didasarkan aspek luas areal panen maka keuggulan yang diperoleh baru mencerminkan keunggulan dari sisi penawaran, belum dari sisi permintaan.

  Hasil dari penelitian Wibowo (2008), yang berjudul Analisis Ekonomi Basis dan Komponen Pertumbuhan Sektor Pertanian di Kabupaten Pekalongan menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Pekalongan merupakan sektor basis. Selain sektor pertanian terdapat lima sektor lain yang merupakan sektor basis di Kabupaten Pekalongan, yaitu sektor jasa-jasa; sektor listrik, gas dan air minum; sektor bank dan lembaga keuangan; sektor konstruksi/bangunan; dan sektor pertambangan dan penggalian. Sub sektor pertanian yang menjadi sektor basis di Kabupaten Pekalongan adalah sub sektor peternakan dan sub sektor tanaman perkebunan.

  Beberapa penelitian tersebut digunakan sebagai referensi dalam penelitian yang dilakukan, karena topik yang dikaji sama yaitu peranan sektor pertanian pada penelitian tersebut sebagian sama dengan metode analisis yang digunakan pada penelitian yang dilakukan, yaitu Analisis Location Quotient (LQ) dan Analisis Shift Share.

  Penelitian Ropingi dan Listiarini (2003) mengenai “Penentuan Sektor Unggulan di Kabupaten Pati Berdasar Analisis LQ dan Shift Share”, menggunakan analisis gabungan LQ dan Shift Share untuk menentukan sektor- sektor yang benar-benar merupakan sektor unggulan di Kabupaten Pati yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Sektor-sektor tersebut dinilai dari sisi basis atau nonbasis, keunggulan komparatif, dan laju pertumbuhannya.

  Hasil dari gabungan kedua analisis tersebut memberikan usulan alternatif program pengembangan regional Kabupaten Pati sebagai berikut:

  1. Pengembangan sektor prioritas pertama adalah sektor listrik, gas, dan air bersih.

  2. Pengembangan sektor prioritas kedua, tidak ada sektor yang memenuhi.

  3. Pengembangan sektor prioritas ketiga meliputi sektor industri dan jasa.

  4. Pengembangan sektor prioritas keempat meliputi sektor pertambangan dan penggalian, bangunan, perdagangan, dan sektor pengangkutan dan komunikasi.

  5. Pengembangan sektor prioritas pertama adalah sektor listrik, gas, dan air bersih.

  6. Pengembangan sektor prioritas kelima, tidak ada sektor yang memenuhi.

  7. Pengembangan sektor prioritas alternatif meliputi sektor pertanian dan keuangan.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Pembangunan Ekonomi Regional

  Menurut Suryana (2000), keberhasilan suatu usaha pembangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari pengalaman pembangunan negara-negara yang sekarang sudah maju, keberhasilan pembangunan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua unsur pokok yaitu unsure ekonomi (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, pembentukan modal dan teknologi) dan unsur non ekonomik (politik, sosial, budaya dan kebiasaan).

  Pada umumnya pembangunan itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan merata, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan dengan kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan yang relatif kecil. Akan tetapi kenyataannya berbicara lain dimana pemerataan dan kesenjangan tersebut berbeda-beda (Ropingi, 2002).

  Tiga tujuan pembangunan yang secara universal diterima sebagai prioritas dan mutlak untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia di negara- negara sedang berkembang khususnya yaitu ketahanan pangan (food security), penghapusan kemiskinan/peningkatan kualitas hidup manusia (poverty

  

eradication/people livelihood improvement ), dan pembangunan desa

  berkelanjutan (sustainable rural development). Ketiga prioritas tujuan pembangunan tersebut saling berkaitan. Ketahanan pangan saling pengaruh mempengaruhi dengan kemiskinan maupun dengan pembangunan desa (Simatupang, 2004).

  Ilmu ekonomi regional atau ilmu ekonomi wilayah adalah suatu cabang dari ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Ilmu ekonomi regional tidak membahas kegiatan individual melainkan menganalisis suatu wilayah (bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2003).

  Perekonomian regional menggeser fokus analisis dari pilihan lokasi dalam teori lokasi keproses yang terlibat dalam pengembangan ekonomi daerah subnasional. Berusaha untuk menjelaskan, mengingat distribusi kuantitatif dan kualitatif tertentu dalam ruang sumber daya dan kapasitas kegiatan sistem lokal suatu daerah, kota, provinsi, atau wilayah geografis dengan fitur ekonomi khusus untuk mengembangkan kegiatan ekonomi atau untuk menarik yang baru dari luar dan untuk menghasilkan kesejahteraan, kekayaan dan pertumbuhan (Capello, 2006).

  Menurut Adisasmita (2008), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas.

  Perhatian terhadap pertumbuhna ekonomi daerah semakin meningkat dalam era otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi daerah daerahnya, guna meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang struktur dan faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Sjafrizal, 2008).

2.3.2 Teori Ekonomi Basis

  Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negara itu maupun ke luar negeri, tenaga kerja yang berdomisili di wilayah, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegitan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendapatkan uang dari luar wilayah karena kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan) (Tarigan, 2003).

  Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk kedalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti service disebut saja sektor nonbasis, Sektor nonbasis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat.

  Teori ekonomi basis menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari suatu daerah. Proses produksi di sektor industri suatu daerah yang menggunakan sumber daya produksi lokal, termasuk tenaga ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita, dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut (Tambunan, 2001).

  Inti dari model basis ekonomi (economic base model) adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja, akan tetapi juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang- barang tidak bergerak (immobile), seperti yang berhubungan dengan aspek geografi, iklim, peninggalan sejarah, atau daerah pariwisata. Sektor industri yang bersifat seperti ini disebut sektor basis. Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau nonbasis dapat digunakan beberapa metode, yaitu (1) metode pengukuran langsung dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung dapat dengan survei langsung untuk mengidentifikasi sektor mana yang merupakan sektor basis. Metode ini dapat menentukan sektor basis dengan tepat. Akan tetapi metode ini dapat memerlukan biaya, waktu dan tenaga kerja yang banyak. Mengingat hal tersebut di atas, maka sebagian besar pakar ekonomi wilayah menggunakan metode pengukuran tidak langsung. Beberapa metode pengukuran tidak langsung yaitu: (1) metode melalui pendekatan asumsi (2) metode Location Quotient; (3) metode kombinasi (1) dan (2); dan (4) metode kebutuhan minimum (Budiharsono,2005).

  Lebih lanjut Budiharsono (2005), mengatakan bahwa metode pendekatan asumsi yaitu bahwa semua sektor industri primer dan manufaktur adalah sektor basis, sedangkan sektor jasa adalah sektor nonbasis. Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional. Metode kombinasi merupakan antara pendekatan asumsi dengan metode Location Quotient. Metode kebutuhan minimum melibatkan penyeleksian sejumlah wilayah yang sama dengan wilayah yang diteliti dengan menggunakan distribusi minimum dari tenaga kerja regional dan bukan distribusi rata-rata. Setiap wilayah pertama-tama dihitung persentase angkatan kerja yang dipekerjakan dalam setiap industri kemudian persentase itu dibandingkan dengan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kelainan, dan persentase terkecil dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi industri tertentu. Persentase minimum ini digunakan sebagai batas dan semua tenaga kerja di wilayah lain yang lebih tinggi dari persentase ini dianggap sebagai tenaga kerja basis.

  Apabila LQ suatu sektor (industri) ≥ 1 maka sektor (industri) tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila nilai LQ suatu sektor (industri) < 1 maka sektor (industri tersebut) merupakan sektor nonbasis. Asumsi model LQ ini adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola permintaan wilayah yang sama dengan pola permintaan nasional. Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan sesuatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari wilayah lain (Budiharsono, 2005).

  Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi

  (industri). Dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan pendapatan.

  Dalam prakteknya penggunaan pendekatan LQ meluas tidak terbatas pada bahasan ekonomi saja akan tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya. Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relavan digunakan sebagai metoda dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi dan populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungan didasarkan pada lahan pertanian (areal tanam atau areal panen), produksi atau produktivitas. Sedangkan untuk komoditas pertanian yang tidak berbasis lahan seperti usaha ternak, dasar perhitungannya digunakan dalam populasi (ekor) (Hendayana, 2003).

2.3.3 Analisis Shift – Share

  Analisis shift-share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor (industri) di daerah kita dengan wilayah nasional. Akan tetapi, metode ini lebih tajam dibandingkan dengan metode LQ, Metode LQ tidak memberikan penjelasan atas faktor penyebab perubahan sedangkan metode shift-

  

share memperinci penyebab perubahan atas beberapa variable. Analisis ini

  menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur industri suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan

  

industrial mix analysis , karena komposisi industri yang ada sangat mempengaruhi

  laju pertumbuhan wilayah tersebut. Artinya, apakah industri yang berlokasi di wilayah tersebut termasuk ke dalam kelompok industri yang secara nasional memang berkembang pesat dan bahwa industri tersebut cocok berlokasi di wilayah itu atau tidak (Tarigan, 2003).

  Menurut Firdaus (2007), analisis shift share adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menganalisis data statistik regional, baik berupa pendapatan per kapita, output, tenaga kerja maupun data lainnya. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengamati struktur perekonomian daerah dan perubahannya secara deskriptif, dengan cara menekankan bagian-bagian dari pertumbuhan sektor atau industri di daerah, dan memproyeksikan kegiatan ekonomi di daerah tersebut dengan data yang terbatas.

  Analisis shift share diartikan sebagai salah satu teknik kuantitatif yang biasa digunakan untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah relatif terhadap struktur ekonomi wilayah administratif yang lebih tinggi sebagai pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini menggunakan tiga informasi dasar yang berhubungan satu sama lain yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi referensi propinsi atau nasional (nasional growth effect) yang menunjukkan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional terhadap perekonomian daerah. Kedua, pergeseran proporsional (proporsional shift), yang menunjukkan perubahan relatif kinerja suatu sektor di daerah tertentu terhadap sektor yang sama di referensi propinsi atau nasional. Ketiga, pergeseran deferensial (diferential shift) yang memberikan informasi dalam menentukan dijadikan referensi. Jika pergeseran suatu industri adalah positif, maka industri tersebut relatif lebih tinggi daya saingnya dibandingkan industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan referensi. Pergeseran deferensial ini disebut juga pengaruh keunggulan kompetitif (Widodo, 2006).

2.3.4 Daya saing

  Sebagian pakar mengemukakan bahwa konsep daya saing (ompetitivness) berpijak dari konsep keunggulan komparatif dari Ricardo yang merupakan konsep ekonomi. Namun, sebagian pakar lain mengemukakan bahwa konsep daya saing atau keunggulan komparatif bukan merupakan konsep ekonomi, melainkan konsep politik atau konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi banyak anlisis strategis untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

  Sudaryanto et al, (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif (revealed competitive adventage/RCA) merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sumber distorsi yang dapat menggunakan tingkat daya saing yaitu kebijakan pemerintah langsung (seperti regulasi); dan distorsi pasar, karena adanya ketidak sempurnaan pasar (market imperfetion).

  Sudaryanto et al, (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok disebut revealed competitive advantage yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selanjutnya dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan komparatif atau kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang bersangkutan.

  Untuk mengukur daya saing komoditi unggulan sektor pertanian maka digunakan alat Analisis Shift Share. Analisis shift share pada hakekatnya merupakan teknik yang sederhana untuk menganalisis perubahan struktur perekonomian suatu wilayah dan pergeseran struktur suatu wilayah.

2.4 Kerangka Penelitian

  Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan meransang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad,1999).

  Pembangunan daerah dilaksanakan untuk dapat membangun daerah dengan baik, khususnya pada era otonomi daerah, maka pemerintah daerah perlu mengetahui sektor-sektor apa saja yang dapat dijadikan sektor basis baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Pemerintah daerah sebaiknya memperhatikan potensi daerah apa yang dimiliki dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang ada. Potensi daerah ini bisa dilihat dengan mengidentifikasi sektor perekonomian mana yang produktif atau potensial untuk dikembangkan, dan mempunyai daya saing. Identifikasi ini penting dalam

  Kesempatan untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan baru melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya sebagai upaya untuk dapat memajukan sub sektor perkebunan dalam pembangunan daerahnya dan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

  Sub sektor perkebunan di Kabupaten Simalungun memiliki berbagai jenis komoditi yang dapat dikembangkan sehingga dapat mendukung kemajuan sektor tersebut. Komoditi perkebunan yang dapat mendukung pembangunan pertanian adalah komoditi basis yang mempunyai prioritas pengembangan. Dengan mengetahui prioritas pengembangan komoditi basis di Kabupaten Simalungun akan memudahkan pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan pembangunan wilayah berbasis komoditi perkebunan.

  Salah satu cara untuk mengidentifikasi prioritas pengembangan komoditi perkebunan adalah dengan menggunakan gabungan teori ekonomi basis dan analisis shift share. Pengidentifikasian komoditi perkebunan basis di Kabupaten Simalungun digunakan pendekatan Location Quotient (LQ), yaitu menghitung nilai LQ dari setiap komoditi perkebunan yang dihasilkan di Kabupaten Simalungun. Kriteria komoditi perkebunan yang menjadi basis adalah komoditi yang mempunyai nilai LQ > 1, artinya produksi komoditi perkebunan tersebut mampu memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan dapat diekspor ke wilayah lain. Komoditi perkebunan dengan nilai LQ = 1 menunjukkan komoditi tersebut komoditi nonbasis, artinya produksi komoditi perkebunan tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak dapat diekspor ke wilayah lain. tersebut termasuk komoditi nonbasis, artinya produksi komoditi perkebunan tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan kekurangannya dipenuhi dengan mengimpor dari luar wilayah.

  Komoditi perkebunan yang menjadi basis (LQ > 1) di Kabupaten Simalungun dianalisis menggunakan Shift Share Analysis (SSA) untuk menentukan komponen pertumbuhannya. Komoditi perkebunan yang dianalisis komponen pertumbuhannya hanya komoditi perkebunan basis karena dalam penelitian ini untuk menentukan pertumbuhan didasarkan pada komoditi perkebunan basis, sehingga untuk komoditi perkebunan nonbasis tidak dianalisis pertumbuhannya. Analisis komponen pertumbuhan komoditi perkebunan basis di Kabupaten Simalungun dalam penelitian ini difokuskan pada komponen PP dan PPW.

  Berdasarkan gabungan pendekatan Location Quotient (LQ), komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) dapat diketahui prioritas pengembangan komoditi perkebunan basis di Kabupaten Simalungun. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas utama untuk dikembangkan adalah komoditi perkebunan dengan nilai LQ > 1, PP positif, dan PPW positif. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas kedua untuk dikembangkan adalah komoditi perkebunan dengan nilai LQ > 1, PP negatif, dan PPW positif atau komoditi dengan nilai LQ > 1, PP positif, dan PPW negatif. Sedangkan komoditi perkebunan basis dengan nilai LQ > 1, PP negatif, dan PPW negatif menjadi alternatif pengembangan. Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam skema pada Gambar 1 berikut di bawah ini.

  Kabupaten Simalungun Sektor Perekonomian

  Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian Produksi

  Komoditi Perkebunan Teori Ekonomi Basis

  Metode Tidak Langsung Location Quotient

  LQ > 1 Komoditi

  Perkebunan Basis

  LQ = 1 Komoditi

  Perkebunan Non Basis

  LQ < 1 Komoditi

  Perkebunan Non Basis

  Prioritas Utama : LQ > 1, PP positif, PPW positif Prioritas Kedua : LQ > 1, PP negatif, PPW positif atau LQ > 1, PP positif, PPW negatif Prioritas Ketiga : LQ > 1, PP negatif, PPW negatif

  Prioritas Pengembangan Komoditi Perkebunan Basis di Kabupaten Simalungun

  Analisa Shift Share PP PPW

  PP Positif Pertumbuhan Cepat PP Negatif Pertumbuhan Lambat

  PP W Positif Berdaya Saing PPW Negatif Tidak Berdaya Saing

2.5 Hipotesis

  Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka penelitian maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Komoditi perkebunan yang menjadi basis di wilayah masing-masing kecamatan Kabupaten Simalungun yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau.

2. Komoditi perkebunan basis di wilayah masing-masing kecamatan di

  Kabupaten Simalungun yang mempunyai pertumbuhan cepat dan mempunyai daya saing yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau.

  3. Komoditi perkebunan basis yang menjadi prioritas utama pengembangan di wilayah masing-masing kecamatan Kabupaten Simalungun yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, coklat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau.