BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Perhitutungan Biaya Sumberdaya Domestik Komoditi Padi Sawah di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

  Padi merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai sekarang menjadi tanaman utama dunia. Bukti sejarah di Provinsi Zeijing, Cina Selatan, menunjukkan bahwa padi di Asia sudah ada 7000 tahun yang lalu. Diduga tanaman padi berasal dari bagian utara Benggala India kemudian meluas ke Tiongkok, Jepang, Birma, Thailand, Laos hingga Persia dan Mesopotamia. Sedangkan di Jawa tanaman padi telah dipertanam orang jauh sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia

  (Soemartono, dkk., 1997).

  Padi merupakan bahan makan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun sebagai bahan makanan pokok padi dapat digantikan/disubsitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (AAK, 1990).

  Hingga saat ini dan puluhan tahun ke depan, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Pada tahun 2004 rata-rata kebutuhan beras per kapita sebesar 141 kg/tahun, yang terdiri dari konsumsi langsung rumah tangga 120 kg dan penggunaan industri pengolahan pangan 21 kg. Selama periode 2005-2010, permintaan beras diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 52,3 juta ton menjadi 55,8 juta ton setara gabah (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

  Tabel 2. Perkiraan neraca ketersediaan padi berdasarkan trend 2000-2010, (GKG)

Tahun Luas Produktivitas Produksi Permintaan Neraca

panen (ton/ha) (000 ton) (000 ton) (000 ton)

  (000 ha)

  2004 11.875 4.58 54.430 52.258 +2.172 2005 11.768 4.63 54.480 52.836 +1.643 2006 11.662 4.68 54.529 53.421 +1.108 2007 11.557 4.72 54.579 54.021 +567 2008 11.453 4.77 54.629 54.61 +19 2009 11.350 4.82 54.678 55.214 -536 2010 11.248 4.87 54.728 55.825 -1.097

  Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005 Produksi beras mendapat prioritas dibandingkan produk pangan bukan beras, karena potensi produksinya yang besar dalam perekonomian Indonesia. Apabila kemantapan produksi dapat dicapai dan laju kenaikan konsumsi dapat ditekan, pada masa yang akan datang kemungkinan Indonesia berpotensi tinggi menjadi pengekspor beras. Namun masalahnya ialah pasaran beras dunia yang relatif terbatas (Haryadi, 2008).

  Surplus beras di Indonesia dicapai pada tahun 1985, namun pada tahun berikutnya pertumbuhan produksi hanya mencapai 0,9%. Pertumbuhan produksi pada dua tahun sebelumnya sebenarnya juga cukup rendah,yaitu 2% dan 1%. Pertumbuhan produksi ini ternyata lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah penduduk, yaitu sekitar 2,15% per tahun pada kurun waktu 1980 -1985. Dengan demikian, mudah dimengerti apabila pada tahun-tahun berikutnya kecukupan beras merupakan masalah yang berat (Haryadi, 2008). Tingkat konsumsi beras di Indonesia paling besar dibandingkan komoditi pangan lainnya seperti gandum, beras, jagung, sorgum dan millet. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara dengan urutan kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras terbesar. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3 berikut ini.

  Tabel 3. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun) Wilayah Gandum Beras Jagung Sorgum Millet

  Amerika Tengah dan Utara

  70,90 10,80 40,10 1,20 0,00 Amerika Serikat 86,80 8,60 13,80 1,10 0,00 Amerika Tengah 37,10 9,40 112,10 1,80 0,00 Amerika Selatan 55,50 31,80 21,80 0,00 0,00 Brazil 47,40 39,50 18,00 0,00 0,00 Eropa Barat 97,60 4,80 5,80 0,00 0,00 Rusia 131,70 4,90 0,30 0,00 2,90 Afrika 46,30 17,80 41,40 19,50 12,90 Sekitar sahara 15,90 17,50 38,90 24,90 16,90 Asia 69,90 86,40 13,90 2,80 3,00 Cina 82,60 91,60 19,70 1,10 0,80 India 57,30 75,80 8,80 8,00 9,10

  

Indonesia 16,30 151,00 34,40 0,00 0,00

  Bangladesh 19,00 161,00 0,30 0,00 0,40 Pasifik 66,90 15,20 3,40 0,60 0,00

  

Rata-rata Dunia 70,80 57,80 19,00 4,30 3,50

Sumber: Data FAO, 2001 (Childs, 2004)

  Luasan panen, produksi dan produktivitas padi di Sumatera Utara berfluktuasi dari setiap tahun. Namun tetap dalam kondisi tinggi, hal ini terbukti dari terus meningkatnya produktivitas padi di Sumatera Utara.

  Tabel 4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011-2013 Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas TM (Ha) (Ton) (Ton/Ha)

  2011 757547 3607403

  47.62 2012 765099 3715514 48.56 2013 742968 3727249

  50.17 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2014

2.2 Penelitian Terdahulu

  Menurut penelitian Hakim (2014) tentang daya saing usahatani padi sawah dengan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di provinsi Lampung.

  Berdasarkan analisis policy analysis matrix usahatani padi sawah SLPTT di Provinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam produksi padi sehingga usahatani padi layak untuk terus dikembangkan, hal ini dilihat dari nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,3734 dan DRCR (Domestic

  Resource Cost Ratio ) sebesar 0,2747. Analisis sensitivitas terhadap keunggulan

  kompetitif pada usahatani padi sawah dengan sistem PTT menunjukkan bahwa kenaikan harga benih, harga pupuk urea, pupuk NPK, pupuk TSP, pupuk organik, pupuk KCL dan pupuk kandang sebesar seratus persen bersifat inelastis. Adapun penurunan harga output padi sebesar sepuluh persen bersifat elastis terhadap keunggulan kompetitif. Penelitian Dewi (2011) tentang dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan ushatani padi di Kabupaten Tabanan. Hasil analisis menunjukkan besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing- masing adalah 0,70 dan 0,69. Dengan demikian usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan biaya domestik yang lebih kecil dari satu unit. Dampak kebijakan subsidi pupuk pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan antara lain (1) terjadi kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada musim kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable sebesar Rp 167.907,63, (2) petani membayar komponen input

  tradable usahatani padi sawah pada musim kemarau lebih mahal dari harga

  sosialnya sebesar 15 %, sebaliknya pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya, serta (3) usahatani padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan sama-sama menerima insentif positif dari pemerintah, dimana besarnya insentif positif (nilai tambah) dari usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar 125 %.

  Penelitian Daryanto (2009), tentang posisi daya saing pertanian Indonesia dan upaya peningkatannya. Hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif untuk komoditi padi dengan menggunakan ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic

  Resource Cost Ratio ) dan PRC (Private Cost Ratio). Hasil penelitian

  menunjukkan (1) Nilai koefisien DRCR padi daerah Sentara produksi di Pulau Jawa dengan mengambil kasus di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0.78

  • – 0.99. Sedangkan di Klaten, Jawa Tengah berkisar antara 0.74
  • – 0.96. Sementara itu di Kediri dan Ngawi, Jawa Timur berkisar antara >– 1.00. (2) koefisien PRC padi daerah Sentra produksi di Pulau Jawa dengan mengambil kasus di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Jawa Barat diperoleh nilai kisaran antara 0.70 - 0.88. Sedangkan di Klaten, Jawa Tengah berkisar antara 0.76
  • – 0.94. Sementara itu di Kediri dan Ngawi, Jawa Timur berkisar antara 0.69 - 94. (3) Nilai koefisien DRCR beberapa wilayah Sentara produksi di luar Pulau Jawa, untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar antara >– 0.88; sedangkan di Kabupaten Agam Sumatera Barat berkisar antara 0.70
  • – 0.98; dan (4) Nilai koefisien PRC padi beberapa wialyah sentra produksi luar Jawa, untuk Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan berkisar
antara 0.55

  • – 0.87; sedangkan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat berkisar antara 0.68
  • – 0.79. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa subsidi input maupun kebijakan tarif impor beras.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Konsep Usahatani Pengertian Usahatani

  Usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya (Suratiyah, 2009).

  Sarana Produksi dalam Usahatani Padi Sawah

  Sarana produksi yang diperlukan dalam usahatani padi sawah selain lahan, dan tenaga kerja umumnya adalah bibit, pupuk, dan obat-obatan agar produksi padi baik sehingga keuntungan yang maksimum dapat tercapai perlu dilakukan pemberian input yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, cara pemberian, waktu pemberian dan dosis juga harus tepat. Semuanya itu juga ditambahkan dengan pemilihan bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Semua hal tersebut diatas lazimnya disebut dengan teknologi. Penggunaan input produksi dengan teknologi yang ada dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan produksi yang diinginkan. Tujuan produksi tersebut adalah tingkat keuntungan yang maksimum. Proses produksi usahatani padi diperlukan beberapa macam masukan yang biasa disebut sarana produksi (Daniel, 2002).

  Sarana produksi yang digunakan dalam usahatani padi sawah adalah sebagai berikut : Lahan

  • Menurut Hanafie (2010), penggunaan lahan/tanah dalam usahatani tanaman padi adalah berupa lahan sawah. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak- petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air yang biasanya ditanami padi sawah. Lahan sawah dibedakan menjadi :

  a) Lahan sawah irigasi (berpengairan), yaitu lahan sawah yang mendapatkan air dari sistem irigasi, baik bangunan penyadap dan jaringannya yang dikelola oleh instansi pemerintah seperti Dinas Pengairan maupun oleh masyarakat.

  b) Lahan sawah tanpa irigasi (tak berpengairan) yang meliputi sawah tadah hujan

  (sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan), sawah pasang-surut (sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut), dan sawah lainnya (misalnya, lebak, polder, lahan rawa yang ditanami padi, dan lain-lain).

  Luas lahan sawah di Sumatera Utara setiap tahunnya cenderung menurun. Hal ini terbukti pada data tabel 5 perkembangan luas lahan sawah di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013. Semakin menurunnya luas lahan sawah di Sumatera Utara mempengaruhi produktivitas padi sawah di Sumatera Utara.

  Tabel 5. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Sumatera Utara Tahun 2008- 2012 Tahun Luas Lahan Sawah (Ha)

  2008 478.521 2009 464.256 2010 468.724 2011 468.442 2012 423.19

  Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekertariat Jenderal Kementerian Pertanian, 2013

  • Pupuk merupakan kunci dari kesuburan tanah karena berisi satu Pemberian pupuk dengan komposisi yang tepat dapat menghasilkan produk kualitas. Pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik (Firdauzi, 2013). Dewasa ini perkembangan produksi dan produktivitas padi di Sumatera Utara cukup memprihatinkan. Menurut data BPS (2007) produksi padi Sumatera Utara selama periode 1998-2006 mengalami penurunan rata-rata sebesar 23% per tahun. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya produksi padi sawah (rata-rata 1,13% per tahun), sedangkan produksi padi ladang menurun rata-rata sebesar 3,14% per tahun. Rendahnya produksi padi di Provinsi Sumatera Utara antara lain disebabkan oleh kelangkaan faktor produksi, di antaranya adalah pupuk. Masalah yang sering terjadi menjelang musim tanam adalah langkanya pupuk tunggal dan penggunaan pupuk yang tidak berimbang (Ramija, dkk., 2010). Sejak empat tahun terakhir, penggunaan pupuk bersubsidi di Sumatera Utara juga terus meningkat, yaitu 200.000 ton pada tahun 2007, menjadi 298.299 ton pada tahun 2008, lalu 300.000 ton pada tahun 2009 dan kemudian sebanyak 300.000 ton, dan kemudian 498.399 ton pada tahun 2010 (DISTAN Sumut, 2009).

  Pupuk Berbagai pihak sering menyatakan bahwa ada keterkaitan yang erat antara permasalahan produksi padi dengan kebijakan subsidi pupuk, baik yang terkait dengan harga, distribusi maupun dosis penggunaan. Dosis penggunaan pupuk, terutama Urea untuk tanaman padi, telah banyak rekomendasi, namun banyak petani di beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti kabupaten Karo, Simalungun, Langkat dan Deli Serdang, yang menggunakan dosis pupuk melebihi anjuran yaitu sekitar 400-500 kglha, padahal yang direkomendasikan adalah sekitar 250-300 kg/ha (DISTAN Sumut, 2009). Kelebihan dosis penggunaan pupuk dapat menimbulkan rendahnya efektifitas dan efisiensi biaya input produksi, sehingga pendapatan petani dalam usahatani padi kurang maksimal (Ramija, 2010).

  • Menurut Hakim (2004), benih padi adalah gabah yang di hasilkan dengan cara dan tujuan khusus untuk disemaikan menjadi pertanaman. Kualitas benih itu sendiri akan ditentukan dalam proses perkembangan dan kemasakan benih. Berdasarkan mutu benih padi dibagi dua antara lain benih bersertifikasi (yang dibeli) yaitu sistem perbenihan yang mendapatkan pemeriksaan lapangan dan pengujian laboratoris dari instansi yang berwenang memenuhi standar yang telah ditentukan dan benih tak bersertifikasi (bibit yang dibuat sendiri) yaitu bibit yang dikelola petani yang biasanya petani menyisihkan hasil panen yang lalu untuk bibit tanaman berikutnya. Kalau tidak petani membeli gabah dari petani yang lain untuk bibit. Bibit yang dibuat petani kurang berkualitas dan kadang hasil produksinya kurang standar (jika dilihat dari luas lahan).

  Benih

  • Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah penyakit pada tanaman dan hasil pertanian (Hakim, 2014).

  Pestisida

  Air - Air merupakan faktor lain yang juga penting dalam usaha peningkatan produksi.

  Air dapat berasal dari air hujan atau irigasi (pengairan yang diatur oleh manusia). Bila masalah irigasi ini dapat diatasi dengan baik, misalnya dengan pembuatan waduk beserta saluran-salurannya maka ada kemungkinan frekuensi penanaman dapat ditingkatkan, yang semula hanya dapat ditanami sekali setahun, akhirnya dapat ditanami dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. Dengan kemajuan teknologi, masalah air pada lahan-lahan pasang-surut, rawa, serta lahan tadah hujan dapat diatasi. Dengan jaringan irigasi yang sesuai, tanah rawa yang semula hanya dapat ditanami pada musim kemarau kini dapat ditanami sepanjang tahun. Ini akan memperluas area persawahan secara keseluruhan yang dapat meningkatkan produksi pangan dan menyukseskan pembangunan pertanian.

  Usaha ini memerlukan biaya, waktu, tenaga dan keterampilan yang tinggi (Hanafie, 2010).

  Ketersediaan air irigasi untuk pengairan pada usahatani padi sawah akan mempengaruhi penggunaan masukan-masukan produksi, seperti penggunaan benih, pupuk, obat-obat kimia pengendali hama, penyakit dan gulma, tenaga kerja dan biaya usahatani lainnya. Secara agronomis benih padi varietas unggul sangat responsif terhadap pemupukan, dengan syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal ini berarti, tersedianya air irigasi yang cukup akan mampu meningkatkan produktivitas padi (Puspito, 2011).

  Ketersediaan air sangat berpangaruh dalam biaya operasional pengairan. Lahan sawah dimana air irigasi dapat diperoleh dari jaringan irigasi, seperti di bagian hulu jaringan irigasi, petani cukup membayar iuran irigasi sedangkan jika air irigasi sulit atau tidak dapat diperoleh dari jaringan irigasi maka petani harus menggunakan pompa air untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan iuran irigasi (Puspito, 2011).

  • Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, ketrampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP (Hermanto, 1989).

  Tenaga Kerja

  Biaya Produksi dalam Usahatani

  Biaya produksi dapatlah didefinisikan sebagai semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut (Sukirno, 2013).

  Menurut Sukirno (2013), biaya produksi di bagi 2 yaitu : Biaya tetap dan biaya variabel

  • Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang dapat diubah jumlahnya.
  • Biaya produksi rata-rata meliputi biaya produksi total rata-rata, biaya produksi tetap rata-rata, dan biaya produksi berupa rata-rata. Biaya rata-rata dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :

  Biaya rata-rata dan biaya marginal

  TC

  AC =

  Q

  Dimana : AC : Biaya rata-rata TC : Total biaya Q : Jumlah output Sedangkan biaya produksi marginal yaitu tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menambah satu unit produksi. Biaya marginal dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :

  ∆TC

  MC =

  ∆Q

  Dimana : MC : Biaya marginal ∆TC : Perubahan total biaya

  : Perubahan jumlah output ∆Q

  Penerimaan

  Penerimaan adalah semua penerimaan produsen dari hasil penjualan barang atau outputnya. Penerimaan dalam rumus dapat ditulis sebagai berikut : TR = P.Q

  Dimana : TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp) P = Harga beras di pasar lokal (Price) (Rp/Kg) Q = Jumlah beras yang dihasilkan (Quantity) (Kg)

  Pendapatan Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya usahatani.

  Pendapatan dapat ditulis dalam rumus sebagai berikut :  = TR

  • – TC Dimana :  = pendapatan/keuntungan petani padi sawah (RP) TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp) TC = Total biaya usahatani padi sawah (Rp)

2.3.2 Konsep Daya Saing

  Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah. Sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh harga laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992).

  Keunggulan daya saing suatu negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara-negara yang mempengaruhi daya saing ditingkat internasional. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan (Porter, 1998).

  Keunggulan Kompetitif

  Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Michael E. Porter pada tahun 1980, bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain didalam perdagangan internasional secara spresifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu subsektor tertentu di suatu negara, dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Waar, 1994 dalam Suryana, 1995).

  Menurut Porter (1990) dalam Halwani (2002), suatu negara secara nasional dapat meraih keunggulan kompetitif apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana 2.

  Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu

  3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional

  4. Strategi perusahaan itu sendiri dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan Selain keempat faktor penentu dalam tingkat persaingan internasional (international competitiveness) tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan (penemuan baru, melonjaknya harga, perubahan kurs dan konflik keamanan antar negara) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Dimana semakin tinggi tingkat persaingan perusahaan di suatu negara maka semakin tinggi tingkat daya saing internasionalnya. Semakin kaya atau banyak sumber daya alam sebuah negara, semakin besar permintaan domestik serta semakin banyak industri pendukung atau pelengkap di suatu negara, maka semakin kuat daya saing negara tersebut di tingkat internasional (Porter, 1990).

  Konsep keunggulan kompetitif yang ditawarkan dapat diciptakan, antara lain melalui akumulasi pekerja berketerampilan dan industri tertentu yang bernilai tambah tinggi. Karena itu pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi menjadi faktor utama dalam menerapkan konsep keunggulan kompetitif

  (Halwani, 2002). Keuggulan Komparatif

  Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law

  of Comparative Advantage) . Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara

  kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi ke-dua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Analisis keunggulan komparatif adalah analisis ekonomi (sosial). Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif berarti pula efisien secara ekonomi, dimana perhitungan dengan nilai ekonomi selalu memakai harga bayangan (shodow price) yang menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya dari unsur biaya atau hasil. Salah satu alat ukur keunggulan komparatif / komoditas adalah Domestic Recource Cost (DCR) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) merupakan ukuran biaya alternatif sosial (Social Opportunity Cost) dari penerimaan satu unit marginal devisa bersih suatu aktivitas ekonomi dimana pengukurannya dilakukan didalam bentuk input domestik langsung dan tidak langsung digunakan. Rumusan BSD merupakan penurunan dari Keuntungan Sosial Bersih (KSB). KSB yaitu keuntungan bersih dari suatu aktivitas dinilai berdasarkan harga bayangannya sehingga efek distorsi pasar dan eksternalitas lainnya dapat diminimumkan pengaruhnya. Dalam hal ini seluruh output dan input dinilai berdasarkan harga bayangannya (Rustam 2009).

  Keunggulan komparatif suatu negara akan bergeser apabila jumlah, macam dan kualitas sumber daya ekonominya berubah. Keunggulan komparatif juga dapat berubah sebagai akibat “kebijaksanaan pemerintah” dan juga dapat berubah jika keunggulan produksi dan daya saing negara patner dagangnya berubah. Biasanya keunggulan komparatif suatu negara bergeser atau berubah sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan negara tersebut (Halwani, 2002).

  Daya Saing Usahatani Padi

  Keunggulan komparatif akan dapat dicapai suatu produk dari komoditas yang sama mampu dihasilkan dengan nilai input yang lebih rendah, sedangkan keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi, yang perlu dipertimbangkan disini fokusnya tidak hanya pada aspek produktifitas saja melainkan juga aspek kualitas, agar nilai jualnya relatif tinggi. Faktor harga input dan harga output menjadi kunci dalam keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif ini (Hendayana, 2003).

  Pada hakekatnya, keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor teknis, ekonomis dan sosial- kelembagaan. Beberapa faktor teknis yang mempengaruhi diantaranya : (a) iklim, yang sangat mempengaruhi ketersediaan dan akses petani ke sumberdaya air, (b) infrastruktur irigasi, yang mempengaruhi ketersediaan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya air, (c) aksesibilitas lokasi terhadap sarana dan prasarana ekonomi, dan (d) tingkat adopsi teknologi, seperti penggunaan pupuk berimbang, pestisida dan benih berlabel, yang akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hasil. Beberapa Faktor ekonomi yang sangat berpengaruh adalah harga input dan output, nilai tukar rupiah, tingkat upah dan tingkat suku bunga, di mana faktor- faktor tersebut sangat terkait dengan mekanisme pasar input, tenaga kerja dan pasar modal di pedesaan (Rachman dkk., 2001).

  Tingkat daya saing usahatani padi sangat sensitif terhadap penurunan produktivitas, tingkat harga di pasar dunia, dan perubahan nilai tukar rupiah.

  Ketiga faktor ini merupakan kendala yang sulit ditangani dalam mempertahankan keunggulan komparatif usahatani padi. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah perbaikan efisiensi usahatani melalui: (a) penerapan teknologi spesifik lokasi, (b) rasionalisasi penggunaan sarana produksi, (c) perbaikan kelembagaan pasar input dan output, dan (d) perbaikan manajemen usahatani (Rachman, 2001).

  Untuk komoditas padi, meskipun hingga saat ini tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan eksternal. Sebagai ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio) untuk komoditas padi pada berbagai tipe irigasi dibeberapa wilayah memberikan gambaran bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa subsidi input maupun melalui kebijakan tarif impor beras (Daryanto, 20009; Rachman, dkk., 2004

  dalam Susilowati, dkk., 2010).

2.3.3 Kebijakan Pemerintah Definisi Kebijakan Pemerintah

  Kebijakan pemerintah adalah pemilihan sebuah alternatif terbaik dari sekian banyak alternatif yang bersaing satu sama lain untuk mendominasi yang lainnya, kegiatan ini berlangsung terus menerus. Hal ini sangat penting untuk mengatasi keadaan pemerintah, pembangunan dan kemasyrakatan (Gunawan, 2011).

  Menurut Bakti (2011), sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik Indonesia kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu :

  • mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri.

  Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan

  • umum. Sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis

  Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat

  Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh PemerintahDaerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain (Bakti, 2011).

  Konsep Kebijakan Pemerintah

  Menurut Pearson, dkk (2005), terdapat empat komponen utama kerangka kebijakan (Policy Framework) yaitu pertama tujuan (objectives), tujuan yang diharapkan bisa dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Kedua kendala (constrains), suatu kedaan (ekonomi) yang - membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Ketiga kebijakan (policies), sebuah kebijakan yang efektif akan mengubah perilaku produsen, pedagang dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Keempat strategi (strategies), seperangkat instrument kebijakan yang yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Keempat kerangka kebijakan tersebut disajikan pada Gambar 1. di bawah ini.

  Terdiri atas Strategi

  Kebijakan Dilaksanakan

  Evaluasi Melalui

  Tujuan Kendala

  Mendukung atau menghambat

  Gambar 1. Grafik Alur Kerangka Kerja (Framework) Kebijakan

  Sumber : Pearson et al, 2005

  Tujuan Kebijakan Pemerintah

  Tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam tiga tujuan utama yaitu, efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuatan kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui dirtribusi pendapatan yang lebiha baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan merupakan aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijkanlah (secara tidak langsung juga pemilih (voters) dalam sebuah system demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen meminimumkan biaya penyesuaian (adjustment costs) (Pearson, dkk., 2005).

  Konsep Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanian

  Pemerintah perlu campur tangan untuk mempengaruhi keputusan produsen, konsumen dan para pelaku pemasaran agar terlaksana pembangunan pertanian sesuai dengan yang direncanakan. Campur tangan pemerintah inilah yang kemudian disebut sebagai “politik pertanian” (agriculture policy) atau “kebijakan pertanian” (Hanafie, 2010). Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi dan kesejahteraan menjadi lebih merata (Hanafie, 2010). Tujuan umum politik pertanian di Indonesia meliputi peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian, peningkatan produksi pertanian dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani serta pemerataan tingkat pendapatan. Ruang lingkup politik pertanian meliputi kebijakan produksi (production policy), kebijakan subsidi (subsidy policy), kebijakan investasi (investment policy), kebijakan harga (price policy), kebijakan pemasaran (marketing policy) dan kebijakan konsumsi (consumption policy) (Hanafie, 2010).

  Kebijakan Pertanian di Sektor Pangan

  Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan sangat diperlukan, khususnya kebijakan dalam ketersediaan beras. Menurut Badan Penelitian dan

  Pengembangan Pertanian (2006), beras merupakan tumpuan utama ketahanan

  pangan nasional yang sebagian besar (>90%) dipasok dari lahan sawah di 18 provinsi penghasil utama padi. Setelah tahun 1984, Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2004 dan diharapkan dapat terus dipertahankan.

  Meskipun demikian, produksi padi nasional berfluktuasi akibat berbagai hal, terutama anomali iklim, gangguan hama penyakit, inovasi teknologi, ketersediaan sarana produksi. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006), salah satu sarana produksi yang sangat vital peranannya dalam mendukung upaya peningkatan produksi padi nasional adalah pupuk, terutama N, P dan K. Varietas unggul (modern) yang kini mendominasi areal pertanaman padi nasional umumnya responsif terhadap ketiga pupuk makro tersebut. Namun efisiensi dan efektivitasnya tergantung pada lokasi setempat. Hingga saat ini rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah masih bersifat umum, sehingga pemupukan belum rasional dan efisien. Sebagian petani menggunakan pupuk dengan takaran yang berlebihan, dan sebagian lainnya dengan takaran yang lebih redah sehigga produksi padi tidak optimal.

  Permasalahan pangan di Indonesia muncul karena adanya ciri-ciri di bidang produksi dan konsumsi. Ciri produksi pangan Indonesia antara lain adanya ketimpangan antara tempat yang berkaitan dengan kerumitan dalam pemasaran dan distribusinya. Selain produksi pangan tidak merata menurut tempat, juga tidak merata menurut waktu, yang pada akhirnya akan menimbulkan kendala tambahan dalam struktur distribusi, serta secara langsung akan berpengaruh terhadap harga yang akan diterima petani dan yang harus dibayarkan oleh konsumen. Produksi pertanian, khususnya produksi padi-padian setiap tahun selalu berfluktuasi, dipengaruhi oleh kondisi cuaca, serangan hama dan penyakit, banjir, bencana alam, dan lain-lain. Produksi berada di tangan jutaan petani kecil yang tersebar tidak merata dan umumnya mereka hanya mengusahakan lahan relative sempit yaitu kurang dari 0,5 Ha, sehingga menyulitkan dalam pengumpulan untuk didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan (Hanafie, 2010). Sementara itu, konsumsi pangan di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu adanya perbedaan dalam pola konsumsi antar tempat. Secara umum pola konsumsi pangan di Indonesia digolongkan menjadi 2, yaitu daerah yang masyarakatnya merupakan konsumen beras utama atau mengarah ke beras dan daerah yang masyarakatnya disamping mengkonsumsi beras juga mengkonsumsi bahan bukan beras sebagai bahan pokoknya. Tingkat konsumsi yang berbeda antar tempat lebih mempersulit keadaan dalam alokasi dan distribusi pangan. Konsumsi pangan meningkat terus, khususnya beras. Jumlah penduduk yang cukup besar dan meningkat terus membawa konsekuensi untuk terus meningkatkan penyediaan kebutuhan pangan. Tidak meratanya penyebaran penduduk antar daerah membawa dampak terhadap masalah distribusi pangan (Hanafie, 2010). Untuk menunjang keberhasilan program peningkatan produksi pangan guna mencapai swasembada pangan, pemerintah telah mengantisipasinya dengan serangkaian kebijakan-kebijakan yaitu kebijakan bidang pembenihan, sarana produksi, pupuk dan pestisida, kebijakan bidang perkreditan, kebijakan bidang pengairan, kebijakan diversifikasi usahatani, kebijakan bidang penyuluhan, kebijakan harga input dan output, dan kebijakan penanganan pasca panen

  (Hanafie, 2010).

  Kendala-Kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian

  Menurut Pearson, dkk (2005), cakupan kebijakan pertanian dibatasi oleh tiga kendala utama yaitu pertama penawaran, produksi nasional, dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Kedua permintaan, konsumsi nasional, dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera dan harga output. Ketiga harga dunia, harga dunia untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan suplai domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik.

  Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian

  Menurut Pearson, dkk (2005), kebijkan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga katagori yaitu : a)

  Kebijakan harga komoditas pertanian Setiap instrument kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen komoditas bersangkutan maupun anggaran pemerintah, atau sebaliknya. Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah, sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi langsung (direct production subsidy ) merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen.

  Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasai impor atau ekspor. Hambatan impor menaikkan harga dalam negeri di atas rata-rata harga dunia, sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia.

  b) Kebijakan makroekonomi

  Ada tiga katagori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian yaitu kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam, dan tataguna lahan. Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter kebijakan pemerintah dalam mengendalikan pasokan (suplai) uang yang kemudian mempengaruhi permintaan agregrat. Bila suplai uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregrat barang dan jasa, maka timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah konversi mata uang domestik terhadap terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional. Hampir semua negara melakukan impor atau ekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan menentukan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan.

  Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing). Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang bisa mempengaruhi niali sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku di seluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor domestik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, akan lebih berpengaruh terhadap satu sektor dibandingkan sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengatur penggunaan lahan atau mengendalikan eksploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral.

  c) Kebijakan investasi publik Invesatasi publik yang didanai dari anggaran pemerintah yaitu infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan pengembangan teknologi. Infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi yang amat sulit dibangun oleh sektor swasta. Investasi publik dalam bentuk infarstruktur bisa meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi.

  Investasi publik dalam sumberdaya manusia antara lain berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keahlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah- sekolah formal, pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan masyarakat, pendidikan gizi masyarakat, klinik, dan rumah sakit. Investasi publik dalam bentuk penelitian dan pengembangan teknologi untuk negara-negara yang mengalami pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi, biasanya melakukan investasi seperti penggunaan penggunaan bibit unggul, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan.

  Kebijakan Perberasan Indonesia Masa Lalu

  Aplikasi kerangka kebijakan meliputi strategi perberasan (“strategy”), instrument kebijakan perberasan (“kebijakan”), peubah-peubah ekonomi utama (“kendala”), dan tujuan utama kebijakan pangan (“tujuan”). Kerangka kebijakan tersebut dapat disajikan pada Gambar 2.

  STARTEGI DAN TARGET

  INSTRUMENT 4 % pertumbuhan KEBIJAKAN

  • reguler exports 1 % pertumbuhan Tingkat harga
  • regular imports 2.5% pertumbuhan-swasembada on trend Stabilitas harga

  Investasi publik Kebijakan Ekonomi Makro Regulasi pedesaan

  TUJUAN DASAR KEBIJAKAN PEUBAH EKONOMI UTAMA PANGAN Output (beras)

  • Ketahanan pangan dan stabilitas Pendapatan pedesaan hubungan
  • harga dengan beras
  • Pertumbuhan ekonomi yang Kesempatan kerja pedesaaan cepat hubungan dengan beras
  • merata

  Distribusi pendapatan yang lebih

  Gambar 2. Kerangka Kebijakan Perberasan Masa Lalu Sumber : Pearson et al, 2005

  Sasaran kegiatan perberasan Indonesia, seperti tertera pada gambar di atas, terdiri atas tiga alternatif. Pertama, berupaya menjadi pengekspor beras melalui tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4% per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1% per tahun.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Saham - Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penjualan, Ukuran Perusahaan, Earning per Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), dan Economic Value Added (EVA) Terhadap Harga Saham pada Perusahaan Consumer Goods

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penjualan, Ukuran Perusahaan, Earning per Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), dan Economic Value Added (EVA) Terhadap Harga Saham pada Perusahaan Consumer Goods yang Terdaftar di Bu

0 0 10

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penjualan, Ukuran Perusahaan, Earning per Share (EPS), Debt to Equity Ratio (DER), dan Economic Value Added (EVA) Terhadap Harga Saham pada Perusahaan Consumer Goods yang Terdaftar di Bursa Effek Indonesia (Periode 2011-2013)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi - Faktor Risiko Yang Dapat Diubah Dan Tidak Dapat Diubah Pada Pasien Penderita Penyakit Jantung Koroner Di Rsup Ham Medan

0 0 27

HALAMAN PERSETUJUAN Karya Tulis Ilmiah dengan Judul: Faktor Risiko yang Dapat Diubah dan Tidak Dapat Diubah pada Pasien Penderita Penyakit Jantung Koroner di RSUP HAM Yang dipersiapkan oleh: NANDA LADITA

0 0 16

Efek Aktivitas Masyarakat Terhadap Kelimpahan Ikan Torsp di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara

0 0 14

Efek Aktivitas Masyarakat Terhadap Kelimpahan Ikan Torsp di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara

0 0 14

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi Dengan Menerapkan Travel Chart, Algoritma BLOCPLAN dan CORELAP di PT. Cahaya Bintang Medan

1 1 30

Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi Dengan Menerapkan Travel Chart, Algoritma BLOCPLAN dan CORELAP di PT. Cahaya Bintang Medan

1 1 21

Sumber : Laporan Intensifikasi Pertanian Kecamatan Perbaungan Tahun 2010

0 0 105