BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Definisi Tuberkulosis

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB Paru (Mycobacterium TB Paru). Sebagian besar kuman TB Paru menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008).

  ฀.1.฀ Sejarah Epidemiologi TB Paru

  Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun ฀993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat ฀82 kasus per ฀00.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per ฀00.000 penduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per ฀00.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per ฀00.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

  Pada tahun ฀995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB Paru dengan kematian 3 juta orang (WHO, ฀reatment of ฀B Paru, Guidelines for National Programmes, 1997).

  Di negara-negara berkembang, kematian TB Paru merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB Paru berada di negara berkembang, 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu ฀5-50 tahun (Depkes RI, 2002). .

2.1.3. Kuman dan Cara Penularan Tuberkulosis

  Kuman, Mycobacterium ฀uberculosis sebagai kuman penyebab ฀uberkulosis yang ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun ฀882, adalah suatu basil yang bersifat tahan asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang bersifat aerob, panjangnya ฀-4 mikron, lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37°C yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia, basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang gelap dan lembab, dan cepat mati terkena sinar matahari langsung (sinar

  

ultraviolet), dalam jaringan tubuh kuman ini bersifat dormant (tertidur lama) selama

  beberapa tahun dan dapat kembali aktif jika mekanisme pertahanan tubuh lemah (Alsagaff, 2005).

  Kuman TB Paru bersifat aerob dan lambat tumbuh . Suhu optimum pertumbuhannya 37-38 C. Kuman TB Paru cepat mati pada paparan sinar matahari langsung tapi dapat bertahan beberapa jam pada tempat yang gelap dan lembab serta dapat bertahan hidup 8-฀0 hari pada sputum kering yang melekat pada debu (Depkes RI, 2002). Sumber infeksi yang terpenting adalah dahak penderita TB Paru Positif. Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet Infection) saat penderita batuk, berbicara atau meludah (Soediman, ฀995). Kuman TB Paru dari percikan tersebut melayang di udara, jika terhirup oleh orang lain akan masuk kedalam sistem respirasi dan selanjutnya dapat menyebabkan penyakit pada penderita yang menghirupnya.

  Dengan demikian penyakit ini sangat erat kaitanya dengan lingkungan, penyakit TB Paru dapat terjadi akibat dari komponen lingkungan yang tidak seimbang (pencemaran udara). Masalah pencemaran udara di permukaan bumi sudah ada sejak zaman pembentukan bumi itu sendiri. Namun dampak bagi kesehatan manusia, tentu dimulai sejak manusia pertama itu terbentuk. Udara adalah salah satu media transmisi penularan TB Paru dimana manusia memerlukan oksigen untuk kehidupan.

  Jadi jika seorang penderita TB Paru positif membuang dahak di sembarang tempat, maka kuman TB dalam jumlah besar berada di udara ( Achmadi U F, 20฀฀).

  Kuman TB Paru dapat menginfeksi berbagai bagian tubuh dan lebih memilih bagian tubuh dengan kadar oksigen tinggi. Paru-paru merupakan tempat predileksi utama kuman TB Paru. Gambaran TB Paru pada paru yang dapat di jumpai adalah kavitasi, fibrosis, pneumonia progresif dan TB Paru endobronkhial. Sedangkan bagian tubuh ekstra paru yang sering terkena TB Paru adalah pleura, kelenjar getah bening, susunan saraf pusat, abdomen dan tulang (WHO, 2002). Kemungkinan suatu infeksi berkembang menjadi penyakit, tergantung pada konsentrasi kuman yang terhirup dan daya tahan tubuh (Depkes RI, 2002).

  Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet

  

nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya

  penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

  Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of ฀uberculosis

  

Infection (AR฀I) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu

  tahun. ARTI sebesar ฀%, berarti ฀0 (sepuluh) orang diantara ฀000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara ฀-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

  2.1.4. ฀ejala TBC (Tuberkulosis) Paru

  Gambaran klinik Tuberkulosis paru, (Depkes RI, 2002) ฀. Batuk

  Batuk terus-menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau, lebih. Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus dan terjadi iritasi.

  Akibat adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif yang berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan.

  2. ฀Dahak Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian dapat bercampur dengan darah.

  3. Batuk darah Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak- bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak. Kehilangan darah yang banyak kadang akan mengakibatkan kematian yang cepat.

  4. Sesak Nafas Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas atau pengumpulan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi tuberkulosis paru.

  5. Nyeri Dada Nyeri kadang berupa, nyeri menetap yang ringan. Kadang-kadang lebih sakit sewaktu menarik nafas dalam. Bisa juga disebabkan regangan otot.

2.1.5 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis.

  ฀. Infeksi Primer Tuberkulosis paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberculosis pada tubuh penderita yang belum pemah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut. Terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Kelanjutan dari infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).

  Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa, kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2002).

2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary ฀BC)

  Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah tuberkulosis primer. Infeksi dapat berasal dari luar (eksogen) yaitu infeksi ulang pada tubuh penderita tuberkulosis, infeksi dari dalam (endogeny) yaitu infeksi berasal dari basil yang sudah ada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya, tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali, misalnya karena daya, tahan tubuh menurun (Depkes RI, 2002).

2.1.6. Tipe Penderita TB Paru

  Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

  ฀. Kasus baru adalah penderita TB paru yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atatu sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 4 minggu ).\

  2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)

  3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah penderita TB Paru yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan BTA positif.

  4. Kasus setelah gagal (failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih setelah pengobatan.

  5. Kasus pindahan (transfer in) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayan Kesehatan) yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya.

  6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.7. Pemeriksaan Dahak

  Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen “Sewaktu Pagi Sewaktu” (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB Paru adalah : ฀. ฀Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

  2. ฀Menilai kemajuan pengobatan.

  3.

  ฀Menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : ฀. ฀Akhir tahap intensif.

  Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori ฀, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.

  2. ฀Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori ฀, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

  3. ฀Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori ฀, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2.

2.1.8. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru

  Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan kepada penderita TB paru baru ialah dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

  ฀. Tahap Intensif

  Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

  Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

  2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

  Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat

  

(resisten) . Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu

  dilakukan dengan pengawasan langsung ( DO฀S = Directly Observed ฀reatment

  Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat

2.2. Pencegahan Penularan TB Paru

  Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: ฀. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

  2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak.

  3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah.

  4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain: a. ฀Menjemur peralatan tidur.

  b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.

  c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.

  d. ฀Makan makanan bergizi.

  e. Tidak merokok dan minum minuman keras.

  f. Lakukan aktifitas fisik/olah raga secara teratur.

  g. ฀Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun.

  h. ฀Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.

2.3. Kepatuhan Berobat Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin.

  Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut

  Sarafino (Dermawanti, 20฀4), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain. Menurut Sarafino (Dermawanti, 20฀4), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita.

  Dalam hal pengobatan TB Paru, (Depkes RI,2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat ialah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh adalah penderita yang tidak datang rutin berobat dan bila frekuensi meminum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana pengobatan yang ditetapkan.

  Selain menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan hal penderita dinyatakan patuh dalam pengobatan TB paru ialah penderita yang melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis secara langsung yaitu :

  ฀. Akhir tahap intensif

  2. Sebulan sebelum akhir pengobatan

  3. Akhir pengobatan Adapun Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi delapan bagian, yaitu :

  ฀. ฀Pemahaman tentang Instruksi

  Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien. Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

  DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu : a. ฀Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

  b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang harus diingat.

  c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

  d. ฀Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal- hal penting perlu ditekankan.

  2. Faktor umur Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.

  3. Kesakitan dan pengobatan Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas

  4. keyakinan sikap dan kepribadian Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran- pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari program pengobatan.

  5. Dukungan Keluarga Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.

  6. Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.

  7. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.

  8. Dukungan profesi kesehatan Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting

  Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:

  ฀. Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

  2. Akomodasi

  Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

  3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman- teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

  4. Perubahan model terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien dapat terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

  5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

  Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain: ฀. Faktor struktural dan ekonomi

  Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien.

  2. Faktor pasien Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.

  3. Kompleksitas regimen Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien.

  Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.

  4. Cara pemberian pelayanan kesehatan Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya.

  Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel.

2.4. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS

  Pada tahun ฀995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan.

  Strategi DOTS mempunyai lima komponen: ฀. Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana

  2. Diagnose TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

  3. Penobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

  4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin

  5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

  Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly

  

Observed ฀herapy (DO฀). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment)

  dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance / MDR (Sembiring, 200฀).

2.5. Pengawas Menelan Obat (PMO)

2.5.1. Syarat dan Kriteria Pengawas Menelan Obat (PMO)

  Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

  Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah :

  • Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
  • ฀Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
  • ฀Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
  • ฀Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

  Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

  Adapun PMO yang tidak berasal dari petugas kesehatan maka sebaiknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan ataupun pelatihan dalam memberikan informasi mengenai waktu pemberian obat serta jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat tahap selanjutnya.

2.5.2 Tugas Pengawas Menelan Obat (PMO)

  Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO antara lain adalah : ฀. Mengawasi ( melihat. Memantau ) penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

  2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

  3. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. ฀

  4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2.6. Penyuluhan Kesehatan

  Adapun peran dari Petugas kesehatan lainnya yaitu memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat terkait dalam masalah TB Paru. Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

  Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan” menjadi “suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”. Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

  Menurut Dermawanti (20฀4), Adapun informasi Penyuluhan Tuberkulosis yang perlu disampaikan antara lain: ฀. Pesan pokok: apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularan dan pengobatannya serta bagaimana cara pencegahannya

  2. Pesan penunjang: mengenai perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS)

  3. Manfaat mematuhi pengobatan secara teratur dan rutin, dan akibat apabila tidak meminum obat secara rutin dan teratur.

  Agar informasi dapat dimengerti dan dipahami maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:

  a. Pesan yang disampaikan harus sesuai dengan permasalahan yang dihadapi misalnya masalah keteraturan meminum obat, maka pesan yang dapat diberikan yaitu bagai mana cara mencegah agar tidak lupa minum obat dan apa akibat bila tidak teratur minum obat.

  b. Pesan yang disampaikan harus jelas dan mudah dimengerti oleh pasien

  c. Melakukan Tanya jawab setelah selesai memberi pesan untuk mengetahui apakah sasaran memahami pesan penyuluhan yang disampaikan d. Menggunakan alat bantu seperti poster, leaflet dan lain lain.

2.7 Hubungan interaksi Petugas Kesehatan

2.7.1 Komunikasi interpersonal/Tatap Muka

  Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), salah satu peran petugas kesehatan yang dapat meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB paru yairu ada nya interaksi Petugas kesehatan dengan pasien. Hal ini dapat berupa komunikasi interpersonal.

  Sementara penelitian lain menurut Dermawanti (20฀4), mengatakan ada nya pengaruh komunikasi interpersonal Petugas Kesehatan terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru di Puskesmas Sunggal Medan. Pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan.

  Menurut Sunarto dalam Dermawanti (20฀4), Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

  Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau non verbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya.

  Menurut Devito (฀989), komunikasi interpersonal adalah pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Dalam menerangkan komunikasi interpersonal, maka perlu dijelaskan pengertian komunikasi diadik serta komunikasi interpersonal. Karena dalam proses komunikasi interpersonal secara universal adalah karakteristik atau konsep- konsep yang relevan dengan semua bentuk komunikasi interpersonal.

  Menurut Devito dalam Dermawanti (20฀4), Faktor-faktor yang memengaruhi Komunikasi interpersonal antara lain:

  ฀. Keterbukaan (opennest) Adanya keterbukaan dalam mengungkapkan apa yang ada ataupun yang terjadi sekarang ini. Terbuka dalam pengertian ini ialah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya.

  2. Empati (empathy) Adanya perasaan empati yaitu perasaan merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, merasakan perasaan yang sama dan cara yang sama. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan keinginan orang lain.

  3. Sikap mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan yang terdapat sikap saling mendukung (supportivess). Hal ini dikarenakan komunikasi yang terbuka dan empati tidak akan dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung.

  4. Sikap positif (positiveness) Mengacu kepada adanya hubungan komunikasi yang efektif yang umumnya sangat penting dalam interaksi yang efektif. Bersikap positif dapat menciptakan situasi komunikasi yang menyenangkan.

  5. Kesetaraan (equality) Adanya sikap mampu menerima pihak lain apa adanya mampu menciptakan komunikasi yang efektif dimana kesetaraan dapat membuat situasi yang harmonis tanpa merasa terkucil dan dikucilkan.

2.7.2. Motivasi

  Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

  Menurut Mitchell dalam Simamora (2004), motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Adapun pendapat lain menyatakan motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

  Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : ฀. Keadaan terdorong dalam diri organism (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan;

  2. Perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini 3. Tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.

  Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya : ฀. Teori Penguatan

  Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan faktor- faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi.

  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan, pengaruh rekan kerja dan sejenisnya.

  Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar dirinya seperti pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan memberikan solusi dengan baik.

  2. Teori X dan Y McGregor Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan diperlakukan dengan sanksi hukuman (Dermawanti,20฀4).

  Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah : ฀

  1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah.

  2. ฀Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah. 3. ฀Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja. 4. ฀Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan.

  Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X

2.8. Kerangka Konsep

  Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini: Peran serta Petugas Kesehatan: ฀. Pengawas Menelan Obat (PMO)

  2. Penyuluh Kesehatan

  3. Komunikasi Interpersonal Kepatuhan berobat

  4. Motivasi/ dorongan petugas penderitaTb Paru kesehatan

  

฀ambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 54 104

Analisis Kompetensi Petugas Kesehatan dalam Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru pada Program Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Uutarakyat Kabupaten Dairi Tahun 2006

0 32 80

Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

12 177 150

Pengaruh Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Terhadap Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru Di Bbkpm Surakarta

1 1 78

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis - Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpuan tahun 2015

1 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis - Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan dengan Kejadian Tuberkuloso Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2015

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 30

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Tuberkulosis - Gambaran Karakteristik Penderita TB MDR Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan

0 0 20