BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perbedaan Regulasi Emosi Pada Siswa yang Beragama Islam di SMP Negeri 6 Binjai Ditinjau dari Keikutsertaan dalam Mentoring Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ki Hajar Dewantoro mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk

  memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupakan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (dalam Munawar & Mujiono, 2012).

  • – Definisi lebih spesifik dalam arti pendidikan dirumuskan dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No.20 tahun 2003).

  Secara umum tujuan pendidikan di Indonesia sudah mencakup tiga ranah perkembangan manusia, yaitu perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotor.

  Tiga ranah ini harus dikembangkan secara seimbang, optimal, dan integratif. Seimbang artinya dikembangkan dengan intensitas yang sama, proporsional dan tidak berat sebelah. Optimal maksudnya dikembangkan secara maksimal sesuai dengan potensinya. Integratif artinya dilakukan secara terpadu (Munawar & Mujiono, 2012).

  Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa yang sejalan dengan visi pendidikan nasional, KEMENDIKNAS mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis (dalam Munawar & Mujiono, 2012).

  Untuk mewujudkan visi KEMENDIKNAS menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif maka dibuatlah pendidikan berjenjang untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Siswa sekolah menengah pertama adalah salah jenjang pendidikan dapat mendukung terwujudnya visi kemendiknas tersebut (dalam Munawar & Mujiono, 2012).

  Siswa sekolah menengah umumnya berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun atau berada pada masa remaja awal (Monks, 1999) dimana pada masa ini siswa mengalami berbagai kesulitan dan masalah dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya dikarenakan mengalami perubahan-perubahan dalam hidupnya (Papalia, 2007).

  Perubahan-perubahan selama awal masa remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Stanley Hall (dalam Santrock, 2004) mengatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada storm and stress yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru.

  Goleman (dalam Ali dan Asrori, 2004) mengatakan emosi adalah kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

  Definisi lain menyebutkan bahwa emosi adalah perasaan yang meliputi gabungan dari dorongan fisiologis (seperti detak jantung) dan perilaku yang tampak seperti senyuman. Emosi dapat diklasifikasikan menjadi 2, emosi positif yaitu emosi yang menyenangkan yang dapat memperkaya dan mengisi arti kehidupan bagi seseorang seperti tenang, diam, dan bahagia dan emosi negatif yaitu emosi yang dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan seperti cemas, marah, rasa bersalah, dan sedih (Santrock, 2002).

  Pada remaja sering timbul emosi dasar negatif, hal ini senada dengan pernyataan Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa keadaan emosi pada masa remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, dan remaja awal seringkali mudah marah, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan perasaannya.

  Bukti emosi remaja cenderung meledak-meledak adalah meningkatnya kasus kenakalan remaja. Lembaga Pengawas Kepolisian Indonesia, Indonesian

  Police Watch mencatat di Bogor selama 4 tahun terakhir menunjukkan bahwa ada

  88 kasus tawuran pelajar yang menewaskan 10 pelajar dari 93 korban. 70 % pelajar di 12 kota besar pernah mendapatkan tawaran narkoba dari temannya sendiri. 20% dari 4 juta pengguna narkoba di seluruh Indonesia adalah pemuda. Survei tahun 2005 dari Sabang hingga Merauke, 40

  • – 45% remaja antara 14–24
tahun menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah berhubungan seks pranikah. Pada tahun 2006, tercatat 37,3% anak-anak sejak usia 13 tahun di Indonesia sudah merokok. Bahkan 3 dari 10 pelajar SMP di Indonesia (30,9%) mulai merokok sebelum umur 10 tahun (Hafidz, 2012). Menurut Data Biro Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, 5 provinsi di Indonesia yang memiliki angka kenakalan remaja yang tinggi adalah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (http://www.pmi.or.id).

  Bila pada masa ini remaja tidak mampu untuk mengontrol diri sendiri maka remaja akan terjerumus ke dalam hal-hal negatif yang akan merugikan diri sendiri sehingga tujuan pendidikan untuk membentuk insan yang cerdas secara emosional tidak akan terjadi maka remaja hendaknya memiliki apa yang disebut dengan regulasi emosi (Gross, 2007).

  Menurut Gross (2007) regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk menilai, mengatasi, mengelola, dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002).

  Seseorang yang mampu meregulasi emosinya akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatan fisik, tingkah laku, dan hubungan sosial (Davidson, Putnam & Larson dalam Gross, 1999). Sementara itu, regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak. Tindakannya dapat diperhitungkan dengan baik sehingga tidak mendatangkan kerugian bagi individu itu sendiri dan dapat berdampak besar terhadap peningkatan kesehatan mental seseorang (Wismanto & Agustina, 2000). Dampak regulasi emosi bagi hubungan sosial adalah seseorang dapat memperbaiki hubungan interpersonal, menumbuhkan cinta antar manusia, meningkatkan rasa solidaritas, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka sehingga lebih mudah akrab maupun bersahabat dengan orang lain (Mischel & Shoda, 2004).

  Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Menurut Jalaluddin (1996), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso,2005) religiusitas adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati dimana di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari harinya dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari hari. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya religiusitas adalah suatu bentuk penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya yang dinternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

  Berbagai penelitian menunjukkan kaitan antara religiusitas dengan perilaku remaja. Nasikhah (2013) menyimpulkan bahwa semakin kuatnya religiusitas seseorang akan berhubungan dengan menurunnya tingkat kenakalan remaja. Blahe, Trinodi, dan Eshleman (dalam Mery,2007) juga mengatakan bahwa religiusitas berhubungan dengan aspek kesehatan mental yang positif, seperti berkurangnya kecemasan dan depresi, meningkatnya harga diri, toleransi, serta meningkatnya kontrol diri.

  Salah satu metode pendidikan Islam yang efektif dilaksanakan dalam upaya peningkatan religiusitas adalah mentoring agama Islam yaitu sebuah metode pengajaran yang diberikan secara berkelompok (Uhbiyati, 1997). Dalam penelitian ini, diambil batasan metode peningkatan religiusitas dalam agama Islam mengingat relevansinya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam sekitar 87,18% (Badan Pusat Statistik, 2010).

  Kata mentoring dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah Halaqah (lingkaran) atau usroh, sebuah istilah yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan atau pengajaran Islam (tarbiyah Islamiyah).

  Mentoring dilaksanakan pada kelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang menaungi kegiatan mentoring tersebut (Satria, 2010).

  Mentoring agama Islam adalah suatu kegiatan pembinaan pemuda yang berlangsung secara periodik dengan bimbingan seorang mentor yang ditunjuk oleh guru atau penanggungjawab kegiatan. Biasanya pembina atau mentor merupakan kakak kelas atau senior dari suatu tingkatan. Pembina bekerjasama dengan peserta halaqah untuk mencapai tujuan halaqah yaitu terbentuknya musl im yang Islami dan berkarakter Da’i (Takwinul Islamiyah wa Da’iyah) yang berorientasi pada pembentukan karakter dan kepribadian yang Islami. Pola pendekatan teman sebaya (friendship) yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik, efektif serta memiliki keunggulan tersendiri (Satria, 2010).

  Berdasarkan hasil penelitian Ridwansyah (2008) tentang pengaruh mentoring pada Siswa SMA Unggulan 57 Jakarta diketahui bahwa sebanyak 56% siswa menyatakan motivasi beribadah mereka meningkat setelah mengikuti program mentoring, 36% siswa menjawab sangat meningkat. Pada penelitian lain Romli (2007) menemukan bahwasanya mentoring selain membawa nilai plus bagi siswa dalam mempelajari Agama Islam, juga dapat digunakan sebagai modal untuk kesuksesan dalam belajar di kelas.

  Mentoring Agama Islam merupakan kegiatan pendampingan keagamaan yang sudah banyak diterapkan di tingkat perguruan tinggi dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) Mentoring Agama Islam belum begitu populer. SMP Negeri 6 Binjai adalah salah satu sekolah yang sudah menerapkan mentoring agama Islam yang merupakan bagian dari kegiatan ROHIS. Kegiatan mentoring ini dilaksanakan setiap hari Jum’at untuk peserta perempuan dan Sabtu untuk peserta laki-laki yang berlangsung selama 2-3 jam setiap pertemuannya dan dibina oleh seorang pementor yang telah ditunjuk sebelumnya oleh pembina ROHIS. Di setiap pertemuannya, siswa dibekali materi- materi yang bertujuan untuk menambah pemahaman mereka tentang Islam. Selain itu, diadakan juga sesi diskusi untuk sama-sama membahas permasalahan seperti masalah dalam pelajaran sampai ke masalah pribadi.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Eka, kepala sekolah SMP Negeri

  6 Binjai, mengatakan bahwa kegiatan ROHIS ini adalah kegiatan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2001 yang sifatnya tidak mewajibkan siswa untuk mengikutinya. Kegiatan ini dikhususkan bagi siswa beragama Islam dengan tujuan untuk menguatkan dasar keimanan siswa supaya terbentuk kepribadian yang islami. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari siswa.

  Siswa yang mengikuti mentoring agama Islam tentu mendapatkan hal yang berbeda dengan siswa yang tidak mengikuti mentoring agama Islam. Siswa yang mengikuti mentoring agama Islam mendapatkan panambahan pemahaman atau pembelajaran mengenai ajaran Islam dari pementornya yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan siswa yang tidak mengikuti mentoring hanya mendapatkan materi pembelajaran keislaman di bangku sekolah meskipun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa siswa yang mendapatkannya dari organisasi keagamaan seperti Remaja Mesjid atau bahkan mendapatkan pendidikan keagamaan dari keluarganya. Hal ini sangat kecil kemungkinan terjadinya mengingat usia remaja menurut Papalia (2007) adalah usia untuk bersenang-senang dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan peserta mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai, ia mengatakan bahwa selama mengikuti mentoring banyak manfaat yang diperolehnya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara berikut ini:

  “Aku gabung di ROHIS sejak kelas 2 semester satu bang, ya banyak lah manfaat dari ikut ROHIS. Nyambung silaruhmi,banyak kawan jadinya kan yang ikut dari kelas yang beda-beda. Selain itu, jadi lebih takut sama Allah, lebih rajin sholat, lebih sopan sama orang tua”

  (Komunikasi personal, 2014) “Kalo ada masalah aku masih bisa kontrollah bang,ya kadang cerita ke teman juga lah. Pernah punya masalah dengan teman karena salah paham,yaudah nyelesainnya dengan bicara langsung sama dia. Lagiankan secara agama gak baik kalo bermusuhan lebih dari 3 hari.

  ” (Komunikasi personal, 2014)

  Berdasarkan kutipan wawancara di atas ditemukan bahwa mentoring membawa dampak yang positif bagi diri siswa seperti menambah teman, lebih taat beragama, lebih sopan kepada orang tua, dan jika memiliki masalah siswa masih dapat mengendalikannya dan dapat mengatasinya dikarenakan siswa menyadari adanya larangan agama yang mengatakan bahwa bermusuhan lebih dari 3 hari adalah sesuatu yang tidak baik.

  Berdasarkan catatan kasus dari guru Bimbingan Konseling SMP Negeri 6 Binjai setiap harinya, kasus yang paling sering terjadi berkaitan dengan permasalahan emosi adalah perkelahian yang disebabkan hal sepele misalnya saling ejek nama orangtua, tawuran antar kelas yang juga disebabkan saling ejek. Selain itu, kasus yang juga sering terjadi adalah bolos, bermain ketika jam pelajaran, pencurian, perjudian, menonton video porno, dan merokok. Jika dilihat dari pelakunya, kasus-kasus yang terjadi sehari-harinya di sekolah kebanyakan adalah siswa yang tidak mengikuti mentoring.

  Kegiatan mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai tidak wajib untuk diikuti oleh seluruh siswa beragama Islam. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan dalam regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu apakah ada perbedaan regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam di SMP Negeri

  6 Binjai?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat sekaligus, baik secara teoritis maupun secara praktis.

  1. Manfaat Teoritis a.

  Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan kajian ilmu di bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan yang menyangkut permasalahan mengenai mentoring agama Islam dan regulasi emosi.

  b.

  Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan menambah daftar temuan penelitian yang berkaitan dengan regulasi emosi pada remaja. Selain itu, untuk berbagi dasar pengetahuan bagi peneliti- peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan dengan topik yang sama.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, gambaran, dan wacana mengenai regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam.

  b.

  Bagi Sekolah Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai perbedaan regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama

  Islam sehingga biasa menjadi pertimbangan dalam upaya pembinaan siswa.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Bab I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti, yaitu regulasi emosi dan mentoring agama Islam. Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian

  Bab IV Analisa Data dan Pembahasan Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek, hasil penelitian dan pembahasan mengenai data-data penelitian berdasarkan teori yang relevan.

  Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian atau peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.