BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

  sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

  Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut meliputi tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, dan tunanetra. Berdasarkan data hasil Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2011, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk 211.428.572. Jumlah tersebut 1.480.000 jiwa (21,42%) diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Data siswa penyandang cacat yang tersebar di Sekolah Luar Biasa (SLB) menurut Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2011 pada SLB tunarungu sebesar 5.610 orang (Kementrian kesehatan dalam Putra, 2013).

  Salah satu ketunaan yang masih memiliki potensi untuk dapat dikembangkan secara maksimal adalah tunarungu (Pernamari dalam Putra, 2013).

  Tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya (Somantri, 2007).

  Tunarungu sebagai istilah yang menunjukkan kesulitan mendengar diklasifikasikan dalam tuli (deaf) dan lemah pendengaran (hard of hearing).

  Orang yang deaf adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang hard of hearing adalah seseorang yang mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar sehingga tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami pembicaraan orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar (Hallahan dan Kaufman, 1991). Orang yang deaf dan hard of hearing harus menerima informasi dari mata mereka, yang memerlukan perhatian visual untuk semua komunikasi yang terjadi dan juga untuk kejadian yang terjadi di lingkungan mereka (National Association of the Deaf, 2000).

  Kecacatan yang diderita oleh seseorang dengan gangguan pendengaran menampakkan suatu karakteristik yang khas dan berbeda dari orang normal. Van Uden (dalam Heryati, 2010) mengemukakan pandangannya bahwa orang dengan gangguan pendengaran cenderung lebih egosentris, mempunyai perasaan takut hidup yang lebih luas, lebih dependen terhadap orang lain terutama orang sudah dikenalnya, memiliki perhatian yang sukar dialihkan, lebih terpusat pada hal yang lebih kongkrit, miskin dalam fantasi, umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah, mudah marah dan lekas tersinggung, serta kurang mempunyai konsep tentang hubungan, sehingga mereka memiliki karakter yang sulit dipahami.

  Hasil amatan terhadap situasi sehari-hari pada salah satu SLB B di Medan menunjukkan bahwa remaja tunarungu cenderung kaku ketika berkomunikasi dengan orang normal, mudah marah saat pembicaraannya sulit dipahami oleh orang lain, mudah tersinggung apabila ada orang di dekatnya sedang membicarakan sesuatu mereka merasa tersinggung karena mengira yang dibicarakan adalah dirinya (observasi personal, 2013) Anak penyandang tunarungu akan menanggung konsekuensi berupa kesulitan dalam menerima segala jenis rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya sehingga penyandang tunarungu akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa. Konsekuensi tersebut pada akhirnya berdampak pada proses komunikasi anak tunarungu dalam kehidupan sehari-hari (Efendi, 2006). Masalah umumnya akan menjadi lebih besar ketika anak tunarungu memasuki masa remaja karena pada masa ini remaja akan lebih banyak mengeksplorasi dunia luas dan berintegrasi dengan masyarakat dewasa sehingga mereka dituntut mampu berinteraksi dengan masyarakat (Hurlock, 1993).

  Remaja tunarungu sebagai makhluk sosial juga tidak banyak berbeda dengan remaja normal, dilihat dari hakikatnya sebagai seorang manusia. Seorang tunarungu mempunyai sejumlah potensi hidup dan kebutuhan jasmani yang pada gilirannya membutuhkan orang lain atau sesama manusia guna pemenuhan kebutuhannya. Demi pemenuhan kebutuhannya, remaja tunarungu akan melakukan interaksi dengan orang lain. Kegiatan interaksi tunarungu tidak lain merupakan suatu bentuk aktifitas yang lazim dilakukan oleh seorang manusia sebagai makhluk sosial (Hakim, 2012).

  Kaum remaja sebagai golongan yang sedang mencari jati diri, juga memandang pergaulan sebagai kebutuhan, karena dengan bergaul mereka dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial. Dalam pelaksanaannya, mereka memandang bahwa pergaulan adalah bagian dari HAM untuk tiap-tiap individu. Sama halnya dengan remaja normal, yang terjadi pada remaja tunarungu juga demikian adanya. Dengan bergaul mereka terfokus pada bagaimana aktualisasi diri mereka sebagai makhluk sosial yang bisa berbaur dengan sesamanya atau lintas kelompok (dengan remaja normal). Pola pergaulan remaja tunarungu terhadap kelompok pada faktanya juga sama dengan remaja normal yaitu pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok seperti kelompok kecil atau kelompok besar. Namun, masalah yang umum dihadapi oleh remaja tunarungu dan paling rumit adalah penyesuaian sosial terhadap lingkungannya (Hakim, 2012).

  Penyesuaian sosial menurut Hurlock (1997) dapat diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Sementara Schneiders (1964) mengemukakan penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik menurut Hurlock (1997) dapat dilihat dari penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial yang menunjukan sikap menyenangkan terhadap orang lain dan kepuasan pribadi.

  Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku dapat berupa aktualisasi diri yakni proses menjadi diri sendiri, mengembangkan sifat-sifat dan potensi diri, keterampilan menjalin hubungan antar manusia dan kesediaan untuk terbuka pada orang lain. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok berupa kerja sama dengan kelompok, memiliki tanggung jawab dan setia kawan. Sikap sosial berupa ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat, berempati, dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Kepuasan pribadi yakni merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial berupa kepercayaan diri, disiplin diri dan kehidupan yang bermakna dan terarah (Hurlock, 1997).

  Penyesuaian sosial yang baik dilakukan dengan mempelajari berbagai keterampilan-keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis, kemampuan berkomunikasi, serta kerjasama dengan orang lain, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan (Nurdin, 2009).

  Namun, dikarenakan keterbatasan remaja tunarungu dalam berkomunikasi mengakibatkan merasa sulit dalam mengadakan kontak sosial dan mengekspresikan emosinya. Keterbatasan tersebut bahkan dapat berdampak pada sikap menarik diri dari lingkungannya (terisolir) dikarenakan kurang berhasilnya menjalin interaksi dengan orang lain (Edja Sadjaah dalam Heryati, 2010).

  Remaja tunarungu membutuhkan usaha yang besar dalam melakukan penyesuaian sosial. Mereka akan berhadapan dengan permasalahan yang sulit dalam membangun hubungan sosial pada lingkungan sekitarnya karena masalah komunikasi terutama dengan orang yang memiliki pendengaran normal. Hal ini seringkali membuat remaja tunarungu mengalami kebingungan, tidak percaya diri yang pada akhirnya menyebabkan mereka menutup diri dan menarik diri dari lingkungannya (Effendi, 2006). Keadaan ini seringkali menjadi semakin sulit ketika adanya persepsi lingkungan yang memandang mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai individu yang kurang berkarya. Persepsi tersebut juga turut memberi dampak negatif bagi remaja tunarungu, dimana mereka menjadi semakin merasa tidak aman, bimbang, dan ragu-ragu terhadap keberadaan dirinya (Efendi, 2006). Namun, tidak semua remaja tunarungu mengalami hal tersebut, beberapa dari mereka ada yang berhasil mengatasi permasalahannya dikarenakan adanya konsep diri yang positif mengenai dirinya sehingga menampilkan kesan yang baik jika berhubungan dengan orang di sekitarnya (Alfi, 2005), serta penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial sehingga membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya (Wasito, 2010).

  Proses penyesuaian sosial memerlukan peran komunikasi dan hal ini tidak dapat dihindari oleh remaja tunarungu (Lukman, 2009). Sejalan dengan pendapat Shaliha (2007) bahwa penyesuaian sosial yang baik sangat tergantung pada efektivitas komunikasi yang dijalin individu dengan orang lain karena mereka akan bisa membina hubungan dengan lingkunganya sehingga lebih mudah untuk bisa menerima dan diterima oleh lingkungan. Komunikasi adalah proses interaksi di antara orang-orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal (Harnack dan Fest dalam Shoelhi, 2009). Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan (pengirim atau komunikator) kemudian pihak lain yang menerimanya (penerima atau komunikan) (Sarwono, 1997). Agar dapat berkomunikasi dengan baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yaitu kemampuan individu dalam mengolah kata-kata, berbicara secara baik dan dapat dipahami oleh lawan bicara, sedangkan pada tunarungu hal tersebut sulit dicapai karena keterbatasannya dalam mendengar yang mengkibatkan ketidakmampuan dalam berbicara secara baik.

  Peranan bicara, bahasa dan pendengaran merupakan tiga serangkai potensi manusia yang mampu menjembatani proses komunikasi sehingga dapat menjadi pengontrol efektif ada tidaknya sebuah komunikasi. Oleh karena itu, kepincangan salah satu komponen komunikasi tersebut berarti kehilangan kontributor besar yang dapat membantu manusia dalam proses interaksi sosial pada kehidupan sehari-hari (Efendi, 2006). Namun pada tunarungu ada beberapa metode komunikasi yang dapat membantu dalam melakukan proses komunikasi. Metode komunikasi yang dapat digunakan penyandang tunarungu tidak semata-mata berdasarkan pada status pendengarannya, sehingga dalam penggunaan metode komunikasi baik individu yang deaf atau hard of hearing, tidak berbeda secara signifikan. Dalam pemilihan penggunaan metode komunikasi umumnya lebih ditekankan peranan orangtua yang bekerjasama dengan para profesional seperti pihak sekolah untuk berdiskusi dan mempelajari mengenai metode komunikasi yang paling efektif untuk perkembangan bahasa anak mereka (Department of

  Health and Human Services , 2011).

  Secara umum ada dua metode komunikasi yang dapat digunakan oleh penyandang tunarungu, yakni metode manual dan metode oral (Sastrawinata, 1977). Dan pada perkembangan terakhir, sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan perpaduan antara metode manual dan metode oral yang disebut dengan metode total (Efendi, 2006).

  Metode komunikasi manual menurut Sastrawinta (1977) merupakan komunikasi yang kurang efisien dikarenakan banyaknya isyarat yang harus dipelajari, adanya keragaman isyarat sesuai dengan daerah, dan tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, sehingga dapat membatasi remaja tunarungu pada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Penggunaan metode komunikasi manual tidak disertakan dalam penelitian ini karena terbatasnya sampel penelitian yang menggunakan komunikasi manual sekarang ini. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada metode komunikasi oral dan total.

  Metode komunikasi oral yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan kepada pengucapan dalam penyampaian pesan (mengekspresikan gagasan/ pikiran/ perasaan) dan membaca ujaran (speechreading) dalam menerima pesan (Bunawan, 1997). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gestur secara natural (Gravel, 2003).

  Metode komunikasi ini dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya, sehingga dapat membawa remaja tunarungu kepada kehidupan yang mendekati kehidupan normal atau kehidupan seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Oleh karena itu, metode ini dianggap menguntungkan dalam memperluas komunikasi remaja dengan masyarakat sekitarnya (Gravel, 2003).

  Keuntungan metode oral yang telah dijabarkan di atas adalah mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi remaja tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial (Somad, 2010). Berangkat dari hal tesebut, remaja tunarungu dapat berinteraksi aktif dalam lingkungannya, baik lingkungan sesama, keluarga maupun masyarakat. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya (Faricha, 2008).

  Sejalan dengan survey awal peneliti terhadap salah satu guru di SLB B di Medan yang menerapkan komunikasi oral menyatakan bahwa metode oral merupakan metode yang dapat meningkatkan kemampuan bicara, meningkatkan kemampuan dalam membedakan berbagai vokal yang berbeda, melatih siswa cara menggunakan vokal dalam ucapan yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi tunarungu pada masyarakat sekitarnya. Pihak sekolah mengharapkan dengan penerapan metode komunikasi ini dapat menjadi individu yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat. Dengan demikian metode ini dianggap sebagai metode yang efektif bagi remaja tunarungu dalam berinteraksi sosial yang akhirnya akan berdampak pada proses penyesuaian remaja tersebut.

  Kenyataannya hanya dengan menggunakan metode oral saja dirasa masih banyak hambatan seperti lawan bicara yang seringkali meminta untuk mengulanginya berkali-kali sehingga diperlukan juga komunikasi isyarat untuk mempermudah komunikasi, serta dari beberapa hasil penelitian tentang penggunaan metode isyarat, maka metode komunikasi total mulai dikembangkan bagi remaja tunarungu (Suparno, 1997). Metode komunikasi total merupakan perpaduan antara metode komunikasi manual dan metode komunikasi oral (Efendi, 2006). Komunikasi total dapat berupa gabungan dari metode oral, isyarat, dan fingerspelling (abjad jari). Anak menerima input melalui membaca ujaran, isyarat, dan fingerspelling, kemudian mengekspresikannya melalui bicara, isyarat dan fingerspelling (Moores, 2001). Pada umumnya sasarannya adalah agar penyandang tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi penunjang visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini unsur bicara digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997).

  Metode ini dapat mempermudah remaja tunarungu dalam meningkatkan kemampuan komunikasinya. Remaja tunarungu tidak merasa kesulitan dalam menjalankan perannya dan dapat mempermudah aktivitas komunikasinya dengan orang lain, sehingga dengan metode komunikasi total remaja tunarungu dapat bersosialisasi secara lebih mudah dan lebih efektif dengan orang lain (Valintini, 2011). Kemampuan bersosialisasi yang efektif dengan orang lain akan berdampak pada penyesuaian yang baik secara sosial (Hurlock, 1997).

  Berdasarkan tinjauan awal pada salah satu guru SLB yang menerapkan penggunaan komunikasi total menyatakan bahwa dengan komunikasi ini dapat meningkatkan rasa percaya diri penyandang tunarungu dikarenakan tetap adanya penggunaan komunikasi manual yang sesuai dengan bahasa ibu penyandang tunarungu, dan dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, serta diharapkan lebih mudah bergaul karena mereka menguasai berbagai metode sehingga dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi oral dan total”.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi oral dan total?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi oral dan total.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

  D.1. Manfaat Teoritis

  Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang berarti terhadap kemajuan ilmu pengetahuan terutama yang termuat dalam ruang lingkup masalah, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan yang menyangkut perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi.

  D.2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa: a. Remaja tunarungu

  Informasi untuk mengetahui penggunaan metode komunikasi yang dapat membantu proses penyesuaian sosial yang lebih baik.

  b.

  Pihak SLB B Informasi untuk mengetahui penerapan metode komunikasi yang lebih efektif terhadap penyesuaian sosial tunarungu.

  c.

  Masyarakat Sebagai masukan bahwa begitu pentingnya penerimaan sosial bagi remaja tunarungu yang berdampak dalam penyesuaian sosial yang lebih baik.

  Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:

  Bab I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sitematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari penyesuaian sosial, metode komunikasi, dan remaja tunarungu.

  Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

  Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini.

  Bab V : Kesimpulan dan Saran Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh berdasarkan teori-teori penyesuaian sosial, maupun teori lain yang mendukung. Selain itu bagian ini juga memberikan saran- saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan interpretasi data penelitian, serta memberikan inspirasi pada peneliti-peneliti lain.