BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cedera Kepala - Peran Melatonin pada ekspresi Malondialdehyde (MDA) dan Myeloperoksidase (MPO) Sel Mikroglia serta Aquaporin-4 (AQP4) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Sawar Darah Otak Tikus pascacedera Kepala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

  Cedera kepala adalah jejas atau perlukaan jaringan otak bukan karena proses degeneratif atau bawaan lahir, melainkan akibat dorongan dari luar yang dapat mengakibatkan penurunan ataupun perubahan status kesadaran (National Head Injury Foundation, 1985). Berdasarkan patofisiologi ini, cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi

  1. Komosio serebri Komosio serebri adalah kehilangan fungsi otak sesaat tanpa adanya kerusakan jaringan otak, seperti pingsan kurang dari 10 menit atau amnesia pascacedera kepala.

  2. Kontusio serebri Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologik yang timbul setara dengan kerusakan otak tersebut, seperti pingsan lebih atau sama dengan 10 menit atau ada lesi neurologis yang jelas.

  3. Laserasi otak Laserasi otak adalah kerusakan jaringan otak yang luas disertai dengan robekan jaringan otak dan umumnya disertai fraktur terbuka kranium.

  Cedera kepala menyebabkan kematian neuron secara langsung melalui mekanisme disrupsi jaringan otak (cedera primer) atau secara tidak langsung melalui mekanisme sekunder (Maas et al., 2000). Mekanisme ini secara konseptual terbagi menjadi dua, yaitu secondary

  brain insult dan secondary brain damage. Secondary brain insult timbul

  akibat dari perburukan sistemik dan intrakranial yang memperberat keadaan ini adalah systemic secondary insult dan intrakranial secondary

  insult (Teasdale, 1998; Maas et al., 2000). Secondary brain damage

  adalah cedera kepala sekunder yang terjadi setelah aktivasi langsung proses imunologi dan biokimia yang merusak dan menyebar secara ritmik.

  Mediator biokima dan inflamasi pada cedera ini terdiri atas asidosis laktat, kalsium, asam amino eksitatorik, asam arakhidonat, nitric oxide (NO), radikal bebas, peroksidasi lipid, aktivasi kaskade komplemen, sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema serebri (Hsu et al., 1995; Kossman, 2002; Lezlinger et al., 2001; McIntosh et al., 1999; Maas et al., 2000; Teasdale, 1998).

2.1.1 Edema serebri

  Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio primer jaringan otak. Iskemia dapat berlanjut menjadi edema vasogenik karena terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang karena adanya pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari sekuel cedera kepala ini biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri. Lebih dari itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi merupakan penentu utama keadaan klinis individu (Ghajar, 2000).

  Cedera kepala dapat memicu terjadinya berbagai mekanisme sehingga menyebabkan perlukaan sekunder yaitu edema serebri (Cooper, 1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraselular dan atau ekstraselular (Klatzo, 1967). Keadaan ini ditandai progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et

  al., 2006), trauma (Zador et al., 2007), tumor (Saadoun et al., 2002), dan

  inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005). Terbatasnya rongga kranium dan pembengkakan progresif jaringan otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran darah ke otak, herniasi serebri, dan bahkan kematian. Berdasarkan mekanismenya, Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular.

  Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui pencitraan

  Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema sitotoksik dan edema vasogenik (Klatzo, 1967).

  Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di kompartemen intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit (Unterberg et al., 2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K

  ATP-dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan

  energi jaringan otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja pompa Na/K ATP-dependent. Keadaan ini berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel. Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan tertentu, bila dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular (Marmarou et al., 2000). Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema sitotoksik tidak menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010).

  (A) (B) (C)

Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B),

  Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010) Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi, perdarahan intraserebri, dan inflamasi. Oleh karena itu, edema vasogenik sangat berhubungan dengan peningkatan kadar cairan otak, pembengkakan jaringan otak, dan peningkatan TIK.

  Pada keadaan tertentu dapat terjadi edema serebri yang didasari oleh kedua mekanisme di atas, misalnya edema transependimal. Edema karena kerusakan lapisan ependimal dinding ventrikular. Hal ini biasanya terjadi pada hidrosefalus. Edema hidrostatik adalah bagian dari edema vasogenik yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral meningkat. Keadaan ini biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya, baik edema sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas plasma menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian, keduanya dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa keadaan klinik berkembang menjadi edema serebri berdasarkan kombinasi mekanisme edema yang berbeda. Ini bergantung pada gangguan yang timbul akibat penyakit dan waktu perjalanan penyakit (Nag et al., 2009).

  Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya edema serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik mengakibatkan peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi serebral (TPS), dan pada akhirnya menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia berperan pada terjadinya vasodilasi melalui mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi perfusi serebral. Vasodilasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah serebral, dan pada akhirnya juga meningkatkan TIK, menurunkan TPS, serta memicu berlanjutnya iskemia (Rosner dan Rosner, 1995). Beberapa studi eksperimental menyatakan bahwa beberapa neurotransmitter, seperti glutamat, asetilkolin, dan senyawa vasoaktif, seperti serotonin, histamin, prostaglandin, asam propagasi edema otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa di atas yang akan memproduksi neurotransmitter ketika melekat di pembuluh darah kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991; Hayes et al., 1991). Prostaglandin berperan pada terjadinya edema serebri melalui mekanisme (1) peningkatan permeabilitas kapiler serebral, (2) vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia (Yamamoto et al., 1972), dan (3) potensiasi dari senyawa lain seperti serotonin dan katekolamin.

Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO (sawar darah otak) (Ke Ding., et al., 2014).

  Proses terjadinya edema serebri diantarai oleh beberapa mediator di antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci utama terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2008; Taya et al., 2008). Beberapa studi mendapatkan kejadian edema serebri (Manley et al., 2000) sehingga penggunaan agen penghambat AQP diduga berperan dalam pengendalian edema serebri (Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain mendapatkan bahwa perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema (Ghabriel et

  al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian pada

  hewan coba dengan iskemia serebral mendapatkan, bahwa hambatan ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas area infark, serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada edema sitotoksik. Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik, yang luasnya edema meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini menunjukkan bahwa AQP bermanfaat dalam menekan terjadinya edema vasogenik (Papadopoulos et al., 2004). Studi eksperimental mendapatkan adanya peningkatan kadar AQP4 pada sel glia dan penurunan kadar AQP4 perivaskular terhadap terjadinya edema vasogenik (Ghabriel et al., 2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4 ke dalam keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah penatalaksanaan mengindikasikan adanya modifikasi posttranslational yang berperan pada sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak ditunjukkan oleh komponen vaskular sebagai tempat pergeseran kompartemen sitotoksik. Hambatan AQP channel berperan pada keadaan edema sitotoksik, tetapi tidak pada edema

  Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP) yang berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase adalah enzim endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam perbaikan jaringan pada berbagai keadaan patologis. Regulasi MMP sangat kompleks dan terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi sangat berperan dalam patofisiologi kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala,

  stroke, dan neurodegenerasi (Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil et al., 2009; Ding et al., 2009; Rosenberg, 2009). Peran MMP dalam

  edema serebri adalah kemampuannya dalam memecah berbagai jenis protein matriks ekstraselular termasuk protein lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO (Grossetete et al., 2009; Hayashi et al., 2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2, MMP3, dan MMP9 meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006; Vilalta et al., 2008; Hayashi et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan akut SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9 yang terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran SDO dan terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001).

  Sejalan dengan ini, defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan efek protektif pada cedera kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang

  et al., 2000; Asahi et al., 2001; Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9

  ini menurunkan kebocoran SDO dan pembentukan edema, menurunkan respons inflamasi, serta meningkatkan integritas membran sel dan status Tejima et al., 2009).

  Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif dapat meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan edema serebri (Abbott, 2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif yang berperan tidak hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator inflamasi neurogenik. Salah satu contoh zat inflamasi klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin yang berperan penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001). Bradikinin dibentuk dari pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan enzim peptida, bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe reseptor bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal pada dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat signifikan pada 24 jam pertama pascatrauma. Meskipun kedua reseptor ini meningkat, hanya supresi reseptor B2 saja yang secara bermakna mengurangi edema dan meningkatkan status fungsional pascaedema (Trabold et al., 2010). Pemberian antagonis reseptor B2 berperan dalam menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al., 2003; Zweckberger dan Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada inflamasi neurogenik.

  Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi, penglepasan neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al., 1995).

  Neuropeptida yang telah teridentifikasi berperan pada inflamasi neurogenik adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP), CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya meningkatkan ekstravasasi protein plasma (Nimmo et al., 2004).

  Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan metabolisme tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan glikolisis anaerob. Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui berbagai mekanisme yang diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan produksi Vascular endothelial

  growth factor (VEGF) yang berakibat pada peningkatan permeabilitas

  vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui berikatan dengan reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan pada gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).

  Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekul-

  molekul lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi NO yang berlebih dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas SDO (Shukla et al., 1996; Thiel dan Audus, 2001). Keadaan iskemia- hipoksia meningkatkan produksi prostaglandin dan kinin. Kedua mediator ini selanjutnya menginisiasi respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al., 1997; Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh sel glia dan endotel pada saat permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et al., 1998; Weiss

  et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat

  mengaktivasi caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat menginisiasi perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif.

  Hipoksia juga menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter, seperti glutamat dan aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi reseptor ionotropik dan metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion kalsium (Ca) dan ion natrium (Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion Ca menimbulkan proses katabolisme intraselular, aktivasi enzim lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan radikal bebas. Untuk glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi adenosin trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak. Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema serebri.

  Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran darah otak (ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak dan mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri.

2.1.2 Sel Mikroglia

  Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat, yang berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada jaringan soma (Gonzales-Scarano dan Baltuch, 1999), yakni immun infeksi. Namun demikian, jika mikroglia teraktivasi sebagai respon terjadinya proses inflamasi, mikroglia aktif akan mengalami berbagai proses diferensiasi, proliferasi, dan menghasilkan berbagai faktor proinflamasi.

  Mikroglia yang aktif akan mensekresi berbagai faktor proinflamasi dan neuroinflamasi yang bersifat neurotoksik. Faktor-faktor ini bila tidak dikendalikan maka akan menimbulkan kerusakan yang luas (Liu dan Hong, 2002). Proses aktivasi mikroglia diawali oleh inflamasi sel dan jaringan akibat adanya lesi dan/atau iskemia. Mikroglia aktif akan melepaskan glial derived neurotrophic factor, TNF

  α, IL-1β, IL-6, NO,

  superoxide, eikosanoid, asam kuinolat, plasminogen, dan nuclear factor

  (NF)κB (Shigemoto-Mogami et al., 2001; Suzuki et al., 2004). Nuclear

  factor

  (NF)κB adalah suatu faktor transkripsi yang bila teraktivasi akan mengaktifkan TNF α. TNFα aktif akan meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi lain, seperti IL-

  1β, IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat dipahami jika aktivasi mikroglia tidak terkendali, dapat menimbulkan kerusakan jaringan otak yang luas. Ada berbagai metode dalam mengendalikan aktivasi mikroglia seperti mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron (McMillian

  et al., 1994), penggunaan reseptor antagonis opioid dan golongan steroid

  (Kong et al.,1997), mekanisme vasoactive intestinal peptide (VIP), dan β dan IL-10 melalui mekanisme mikroglia-deactivating factor (Delgado dan Ganea, 2003).

2.1.3 Malondialdehyde

  Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus

  CH (CHO) . Struktur senyawa ini lebih kompleks dan sangat reaktif, terjadi

  2

  2

  secara alami, dan merupakan penanda stres oksidatif (Romieu et al., 2008).

  Malondialdehyde utama terdapat dalam bentuk enol dengan rumus

  kimianya : CH (CHO) Hoch = CH-CHO

  2

2 Malondialdehyde merupakan senyawa golongan sebagai hasil produksi proses lipid peroksida, yang bersifat toksik pada sel.

  Malondialdehyde dapat diukur degan metode Thibarbituric Acid Reactive Substance (TBARS). Nilai stres oksidatif berdasarkan reaksi asam thibarbiturat pada suhu 100 C akan menghasilkan krofor berwarna merah

  muda yang dapat dibaca pada panjang gelombang 532 m (Halliwell and Gutterge, 1999).

  Malondialdehyde merupakan senyawa yang sangat reaktif yang tidak

  biasa diamati dalam bentuk murni. Di Laboratorium dapat dihasilkan hidrolis dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane, yang tersedia secara komersial. Hal ini memudahkan hilangnya proton dalam memberikan garam sodium dari enolat (mp 245

  C). Spesies oksigen reaktif menurunkan lipid

  polyunsaturated, dan membentuk Malondialdehyde. Senyawa ini

  memiliki banyak elektrofil reaktif. Akibatnya dapat menimbulkan stres toksid dalam sel, dan membentuk protein kovalen adduct yang disebut akhir lipoxidation sebagai lanjutan produk Advance Lipoxidation End-

  product (ALE), dan mengakhiri glikasi maju-produk Advance Glicostatin End-product (AGE). Produksi aldehida ini digunakan sebagai biomarker

  untuk mengukur tingkat stres oksidatif dalam organisme. Malondialdehyde bereaksi dengan deoxyadenosine dan deoxyguanosine dalam DNA, serta membentuk DNA M1G yang mutagenik (Hall, 1995).

  Malondialdehyde (MDA) adalah suatu senyawa yang berasal dari

  peroksidasi lipid dan biosintesis eicosanoid. Keduanya terdapat dalam matriks biologis dalam bentuk bebas dan terikat kepada SH atau kelompok NH dari berbagai biomolekul. Meskipun senyawa lain

  2 (isoprostance) telah diusulkan sebagai indikator yang lebih dapat

  diandalkan untuk menganalisis kerusakan oksidatif, MDA masih banyak digunakan di laboratorium kimia klinis untuk memantau stres oksidatif.

  Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengevaluasi MDA dalam sampel biologis, tetapi kondisi analitis yang berbeda yang digunakan dan belum ada standar internal yang sesuai telah menyebabkan perbedaan besar dalam pengukuran, bahkan pada konsentrasi fisiologis MDA plasma manusia (Cighetti et al., 2002).

2.1.3.1 Malondialdehyde (MDA) sebagai produk hasil Stres Oksidatif

  Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal. Namun pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi, dan penyakit neuro-degeneratif. Sumber-sumber endogen pembentukan radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif, enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber oksigennya adalah radiasiionisasi, merokok, alkohol, paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasiterionisasi (Droge, 2002).

  Pada proses inflamasi terdapat peranan neutrophil yang dapat memproduksi oksigen radikal dengan peningkatan enzim NADPH oksidase dan mieloperoksidase. Peningkatan produksi radikal beriringan dengan peningkatan enzim NADPH oksiadase dan mieloperoksidase.

  Peningkatan produksi radikal bebas pada kondisi febris, asma, rheumatoid arthritis, SLE, psoriasis berhubungan dengan adanya proses inflamasi.

  Pada penderita DM peningkatan produksi radikal bebas disebabkan oleh beberapa mekanisme. Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan produksi superoksid pada mitokondria II yang kompleks, autooksidasi glukosa juga menghasilkan superoksid dan kemudian terjadi peningkatan LDL yang teroksidasi dalam sel endotel. Stres mekanik pada hipertensi akan menginduksi translokasi p47 phox dan kemudian terjadi aktivasi NADPH oksidase. Aktivasi reseptor AT1 oleh angiotensis II juga mengakibatkan teraktivasinya NADPH oksidase dan superoksid diproduksi akibat aktivasi oleh 12-LO (lipooksigenase) dalam vasculer smooth muscle cell

  (VSMCs). Pada hiperkolesterolemia produksi ROS dan LDL teroksidasi (Ox-LDL) berhubungan dengan NaDPH oksidase pada subunit p22 phox.

  bermakna dan secara progresif mencapai kadar puncak saat terjadi dekompensasi kordis (Ardhibatla et al., 2003).

  Penelitian yang dilakukan oleh Walter et al., didapatkan adanya peningkatan kadar MDA dengan metode TBARS pada perokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes melilitus. (Walter et al., 2004). Kadar MDA juga meningkat pada penyakit asma, rheumatoid arthritis dan preeklamsia. (Ladecola and Zhang, 1995).

  Endogenous sources Environmental sources Mitochondrial leak Free radical production cigarette smoke Respiratory burst pollutants Enzyme reactions UV light

  • Autooxidation reactions O

  

2 , H

  2 O 2 ionising radiation

  xenobiotics Transition Metals

  2+ +

  Fe , Cu OH

  Lipid peroxidation Modified DNA bases Protein damage Tissue damage

Gambar 2.3 Sumber Eksogen dan Endogen Radikal Bebas (Young and

  Woodside) Stres oksidatif merupakan keadaan yang tidak seimbang antara prooksidan dan antioksidan. Produksi radikal bebas dapat melebihi kemampuan penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih). Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri atas oksidan dismutase (SOD), Glutathion peroksidase (GPx) dan katalase. Anti oksidan eksogen terdiri atas vitamin E, betakaroten dan vitamin C. (Cherubini et al., 1995).

  Stres oksidatif pada susunan saraf pusat sangat mematikan sebab otak manusia utamanya memakai metabolisme oksidatif. Meskipun berat otak hanya 2 % dari berat tubuh, otak menggunakan sekitar 50% dari seluruh oksigen tubuh. Faktor lain yang sangat berbahaya adalah stres oksidatif pada otak dengan kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang tinggi, yaitu hampir 50 % dari struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorabat 100 kali lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, yang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya stres oksidatif. Radikal bebas merusak sel dan bereaksi dengan makro molekuler sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA, dan protein (Gusev and Skvortsova, 2003).

  Peroksidasi lipid mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permiabilitas membran, kerusakan membran sel dan organel, kerusakan sitoskeleton, hambatan pada metabolisme sel dan gangguan transpor ion. Kerusakan mitokondria juga dapat menyebabkan produksi ROS bertambah. Produk-produk peroksidasi lipid MDA, HNE, dan acrolein juga dapat bereaksi dengan protein dan mengakibatkan perubahan fungsi protein (Weigan et al., 1999).

  Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal maupun perosinitrit mengaktivasi poli-ADP ribose polymerase (PARP). Aktivasi PARP mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan menghambat fungsi mitokondria sehingga terjadi penurunan ATP sel dan kematian sel.

  PARP juga dapat menaktivasi apoptoticinducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan berkurangnya infark otak tikus didapat dengan PARP inhibitor (Lipton, 1999).

  Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk kelompok karbonil atau disfid, dan juga sebagai reduktan, yang menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-s. Kerusakan pada protein, terutama bentuk enzim, akan mengganggu fungsinya (Cherubini et al., 1999).

2.1.4 Reactive Oxygen Species dan Respon Inflamasi

  Reactive oxygen species (ROS) adalah molekul oksigen tunggal

  yang diproduksi secara berkesinambungan pada keadaan aerobik dan terlibat pada berbagai proses di dalam tubuh seperti transformasi, regulasi, dan atau degradasi (Gardes-Albert et al., 2003; Favier, 2003). Meskipun demikian kadar ROS dikontrol ketat oleh antioksidan endogen dalam rangka melindungi tubuh dari efek negatif ROS. ROS mencakup

  • radikal anion superoxide (O

  2 ) terutama yang diproduksi di sitosol, mitokondria, dan retikulum endoplasma; hidrogen peroksida (H

  2 O 2 ) yang

  1 diproduksi peroksisom; radikal hidroksil reaktif (OH); oksigen singlet ( O ).

  2 Ketidakseimbangan oksidatif seperti gangguan keseimbangan produksi

  ROS atau radikal bebas atau prooksidan dengan antioksidan dikenal kerusakan sel yang pada akhirnya berakibat pada hilangnya fungsi dan integritas sel (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Molekul ROS secara fisiologis berperan sebagai second messenger dalam regulasi proses apoptosis (Curtin et al., 2002) dalam mengaktivasi faktor transkripsi, seperti NFκB dan p38-MAPkinase yang berperan pada aktivasi gen respon imun (Owuor dan Kong, 2002) dan gen yang mengkoding enzim- enzim antioksidan (Holgrem, 2003). Peran stres oksidatif sangat krusial pada modulasi fungsi selular, terutama pada apoptosis dan excitotoxicity astrosit dan mikroglia. Apoptosis dan produksi ROS berlebih pada akhirnya akan menimbulkan disfungsi mitokondria (Yun et al., 1996). Stres oksidatif erat kaitannya dengan respon inflamasi. Sehingga secara teori respon inflamasi akan meningkatkan produksi ROS.

  Cedera kepala akan menimbulkan respon inflamasi yang mencakup serangkaian respon neurohormonal dan pengeluaran sejumlah mediator biokimia. Respon neurohormonal yang terjadi di antaranya adalah stimulasi poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) (Amaral, 2006).

  Stimulasi hipotalamus di antaranya dapat meningkatkan sekresi AQP4. Selain itu, melalui poros HPA, hipotalamus akan menstimulasi kelenjar pituitari atau hipofisis. Stimulasi kelenjar pituitari meningkatkan sekresi adrenocoticotropin hormone (ACTH) dan stimulasi kelenjar adrenal.

  Kelenjar adrenal yang terstimulasi akan mengeluarkan katekolamin dan menstimulasi sel makrofag dan limfosit. Stimulasi makrofag dan limfosit yang berperan besar pada respon inflamasi seperti edema serebri (Visser dan Labadarios, 2002).

  Sitokin adalah glikoprotein yang disintesis oleh mikroglia, astrosit, dan beberapa sel tubuh lainnya, seperti makrofag, limfosit, sel Kupffer, dan lain- lain. Sitokin berperan dalam menghantarkan sinyal antar sel- sel sistem imun dan memodifikasi metabolisme (Lin et al., 2001; Visser dan Labadarios, 2002). Sitokin memiliki ukuran molekul relatif besar (8-65 kDa) dan bersifat hidrofilik. Oleh karena itu, secara fisiologis tidak dapat melewati SDO. Protein ini dapat berhubungan dengan sel otak melalui empat mekanisme, yaitu (1) transpor pasif sitokin ke dalam otak pada daerah ventrikel yang tidak melewati SDO, seperti antero-ventral ventrikel

  III, eminensia mediana, area postrema, hipofisis posterior, sub komisura, dan glandula pineal, (2) ikatan sitokin pada endotel pembuluh darah otak sehingga memicu pembentukan second messenger seperti prostaglandin dan nitic oxide. (3) transpor yang diantarai oleh pembawa sitokin ke otak sehingga dapat melewati SDO, dan (4) aktivasi sitokin pada terminal saraf aferen perifer pada tempat penlepasan sitokin (McKeating dan Andrew, 1998; Turnbull dan Rivier, 1999)

  Sitokin diregulasi secara bertahap dengan cara induksi dari sitokin sebelumnya yang akan memicu produksi sitokin berikutnya. Respon spesifik terhadap sitokin dihasilkan oleh reseptor sitokin yang sangat unik sehingga sel yang mengekspresikan reseptor fungsional terhadap satu beraneka ragam, tetapi seluruhnya berfungsi terutama sebagai mediator inflamasi (Hirano et al., 1990; McKeating dan Andrew, 1998; Baratawidjaja, 2002). Sitokin pada dasarnya terdiri atas dua jenis yaitu sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi (Tabel 2.1), pembedaan ini berdasarkan kemampuan mereka dalam memengaruhi proses inflamasi dan respon imun (Lin et al., 2001). Sitokin proinflamasi secara langsung ataupun tidak memengaruhi timbulnya berbagai keadaan pascacedera kepala. Sebaiknya sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-12 berperan dalam menekan proses inflamasi dengan cara menurunkan fungsi sel, menurunkan sintesis sitokin lain, dan sebagai penghambat reaksi imunitas tubuh (Tabel 2.1) (Maas, 2000; Dokka, 2001). Pengaruh langsung sitokin adalah secara lokal dan sistemik sesuai dengan beratnya proses inflamasi. Sitokin berperan dalam proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan karena dapat menyebabkan: (1) vasodilatasi sehingga aliran darah meningkat, (2) peningkatan ambilan neutrofil, monosit, dan elemen darah lain untuk mencegah infeksi, (3) bertahannya hemostasis melalui peningkatan koagulasi darah, (4) induksi angiogenesis dan proliferasi sel, serta (5) induksi respon fase akut (RFA). Respon fase akut

  • McIntosh et al.,

  1999; Lezlinger

  Aktivasi sel T, B, dan endotel pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis

  Interleukin (IL)1α

  Stimulasi pertumbuhan granulosit + ? McKeating dan Andrew, 1998

  Granulo-sit colony stimula-ting factor

  Dearden, 2000

  Kossman, 2002 Eritropoietin Stimulasi pertumbuhan sel eritroid

  (TNF)β Sitotoksis, aktivasi sel T, antitumor, renjatan septik

  Tumor necrosis factor

  Kossman, 2002

  (TNF)α Sitotoksis, aktivasi sel T, pirogenik, antitumor, renjatan septik

  et al., 2001 Tumor necrosis factor

  Antivirus, aktivasi makrofag, meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor, memicu protein fase akut

  IFN- γ

  et al., 2001

  ? + McIntosh et al., 1999; Lezlinger

  Antivirus, antiproliferatif, meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor

  IFN- β

  et al., 2001

  1999; Lezlinger

  Antivirus, antiproliferatif, meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor

  Rujukan Interferon (IFN)- α

  Sitokin Aktivitas biologis Sekresi di otak Reseptor di otak

Tabel 2.1. Jenis Sitokin berdasarkan aktivitas Biologis

  adalah serangkaian proses fisiologis sistemik yang terjadi segera setelah terjadinya infeksi, trauma, dan beberapa jenis keganasan sehingga terjadi berbagai perubahan patologis dan metabolik seperti demam, peningkatan permeabilitas vaskular, dan yang paling mencolok adalah peningkatan

  • McIntosh et al.,
  • Teasdale, 1998;
  • Teasdale, 1998;
  • Maas dan
  • Kronfol dan

  Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002

  • Kronfol dan
  • Eduardo dan
  • Arand, 2001

  • ? Young et al.,
  • ? Turnbull dan
  • Hirano et al.,
  • Kishimoto et al.,
  • Morganti-
  • ? Morganti-

  Sumber: Cytokines and The Brain, Am J Psychiatry, 2000 Inflamasi berperan saat terjadinya gangguan neurologis pascatrauma (Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et al., 2002;

  Kossman dan Rancan, 2002

  IL-12 Stimulasi pertumbuhan sel NK, penurunan produksi IgE

  Kossman dan Rancan, 2002

  IL-10 Inhibisi sintesis sitokin, proliferasi sel T, inhibisi renjatan septik

  1995

  IL-8 Kemotaksis neutrofil dan sel T, pengeluaran netrofil

  al., 2004

  1990; Dimopoulou et

  Rivier, 1999

  IL-6 Produksi IgG, aktivasi sel T, pemicu protein fase akut, pirogenik, hematopoiesis

  IL-5 Proliferasi dan diferensiasi eosinofil, produksi IgA, eosinofilia

  1981

  IL-4 Aktivasi sel T, B, dan NK IgG dan IgE, supresi monosit, antitumor

  IL-3 Pertumbuhan dan diferensiasiasi sel hematopoietik, hematopoiesis

  Arantxa, 2003

  IL-2 Aktivasi sel T, B, dan NK antitumor

  Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002

  Aktivasi sel T, B, dan endotel pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis

  IL- 1β

  Hutchinson et al., 2007; Laird et al., 2008). Peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada cairan serebrospinal secara klinis berhubungan dengan peningkatan TIK dan kerusakan neurologis pascacedera kepala (Hayakata et al., 2004; Hutchinson et al., 2007). Konsisten dengan hubungan kausatif antara IL- 1β dan edema serebri, penelitian pada hewan coba dengan defisiensi reseptor IL-1 tipe 1 (IL-1R) menunjukkan penurunan intensitas edema vasogenik dan sitotoksik pascaiskemia- hipoksia (Lazovic et al., 2005). Pemberian IL- 1β diketahui dapat meningkatkan ekspresi AQP4 melalui aktivasi faktor transkripsi proinflamasi, yaitu NFκB. Data ini menunjukkan peran IL-1β dalam terjadinya edema serebri melalui regulasi AQP4 (Ito et al., 2006).

2.1.5 Sawar Darah Otak

  Sawar darah otak (SDO) atau blood brain barrier adalah struktur penting untuk menjaga homeostatik lingkungan internal otak. Struktur SDO memisahkan jaringan otak dengan aliran darah secara selektif. Struktur terpenting dari SDO adalah sel endotel kapiler yang satu dan lainnya dihubungkan satu sama lain oleh tight junction. Berbeda dengan kapiler ekstraserebral, sel endotel serebral bersifat nonfenestrated, minim celah intraselular, mengandung sedikit vesikel pinositik, memiliki banyak mitokondria, dan tertutup oleh astrosit. Terbukanya tight junction merupakan kunci utama terjadinya edema vasogenik. Akumulasi cairan pada keadaan edema mencapai 14 –78 mL/hari (Reulen et al., 1990). Kebocoran protein plasma SDO adalah penentu utama terjadinya akumulasi cairan dalam ruang ekstraselular (Abbott et al., 2010). Berbagai mekanisme dapat berperan dalam terjadinya disintegrasi SDO, yang salah satu di antaranya adalah inflamasi jaringan otak (Sandoval dan Witt, 2008).

  Mekanisme absorpsi membantu menjaga keseimbangan antara terbentuknya edema dan absorbsi edema. Sebelum masuk ke dalam pembuluh darah mikro, cairan edema masuk ke dalam ventrikel otak melalui aliran transependimal. Protein ekstraselular seperti okludin, klaudin, dan molekul adesi junctional adalah komposisi molekular tight

  junction. Bila protein ekstraselular ini berlebih, akan dikeluarkan melalui

  mekanisme fagositosis oleh astrosit dan mikroglia (Furuse et al., 1993; Papadopoulos et al., 2001; Davies, 2002). Protein ekstraselular ini disebut juga protein transmembran yang pada kenyataannya berikatan dengan protein intraselular, seperti ZO-1 dan ZO-2. Ikatan ini bertautan membentuk perlekatan antara tight junction dan sitoskeleton sel endotel.

  Penurunan ekspresi dan/atau fungsi dari protein tight junction ini akan menyebabkan terbukanya tight junction dan terbentuknya edema.

  Ternyata mediator utama dari mekanisme ini adalah VEGF (Liebner et al., 2000; Papadopoulos 2001).

2.1.6 Vascular Endothelial Growth Factor.

  Vascular endothelial growth factor (VEGF) atau disebut juga dengan vascular permeability factor (VPF) adalah suatu polipeptida pleotropik

  yang disekresi berbagai sel jaringan pada manusia dimana dapat memediasi sel endotel untuk menginduksi angiogenesis dan vaskulogenesis. Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang sudah ada sedangkan vaskulogenesis adalah pembentukan pembuluh darah yang berasal dari jaringan avaskular sebelumnya. Proses angiogenesis terdiri dari 4 tahap yaitu: Digesti (pencernaan) membran basemen disekeliling pembuluh darah oleh sekresi protease sel endothel. 2. Migrasi sel endothelial ketempat pembentukan pembuluh darah dimana sel akan berproliferasi membentuk cikal bakal pembuluh darah baru. 3. Selanjutnya terjadi proliferasi dan diferensiasi membentuk lumen pada pembuluh darah baru. menarik sel pendukung seperti perisit dan sel otot polos serta membentuk membran besemen. Sel pendukung dan membran besemen penting sebagai fungsi dan stabilitas pembuluh darah baru. Pada tahap akhir ini, pembuluh juga berkembang secara khusus sesuai dengan jaringan atau organ yang disuplai (Jain, 2003). Kontribusi VEGF terhadap angiogenesis dapat terjadi secara normal maupun patologis. VEGF dan platelet-derived growth factor (PDGF) merupakan faktor angiogenik poten yang mempunyai aktivitas sebagai sitokin proinflamasi dengan meningkatkan permebialitas sel endotel dan menaikkan regulasi molekul adhesi sel endotel (Ferrara, Geber, LeCouter, 2004: Matsune et al., 2008). Faktor utama yang menstimulasi terjadinya angiogenesis adalah kekurangan oksigen (hipoksia), disamping itu endotoksin bakteri dan sitokin inflamatori. Tekanan oksigen yang rendah memicu sekresi faktor proangiogenik terutama VEGF menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru untuk mensuplai kebutuhan. Bila tekanan oksigen telah normal, produksi faktor proangiogenik dihambat, pembuluh darah matur akan bertahan dan beberapa sisa pembuluh darah immatur akan mengalami regresi. VEGF adalah glikoprotein hemodimerik

  34-46kDa yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel dalam merespon berbagai rangsangan. VEGF bekerja pada sel endothel vaskuler dengan mengikat rangsangan transmembran yang spesifik. Pengikatan pada

  signaling pathway menghasilkan proliferasi dan migrasi sel endotel permebilitas vaskular (Ferrara, Gerber, LeCouter, 20004).

  Vascular endothelial growth factor adalah faktor permeabilitas

  vaskular yang berfungsi sebagai regulator angiogenesis dan permeabilitas vaskular (Senger et al., 1983). Molekul ini berikatan dengan sel endotel melalui interaksi dengan high-affinity tyrosine kinase receptor. Reseptor ini diproduksi predominan di sel endotel SDO (de Vries et al., 1992; Millauer

  et al., 1993). Vascular endothelial growth factor memiliki aktivitas

  permeabilitas vaskular yang sangat kuat (beberapa ribu kali lebih kuat dari histamin) dan memiliki efek langsung pada tight junction endotel SDO (Connolly, 1991; Criscuolo, 1993). Selain itu, VEGF memicu terjadinya edema serebri melalui sintesis dan pelepasan NO, yaitu suatu aktivator

  cyclic GMP- dependent (Mayhan, 1999). Salah satu metabolit VEGF, yaitu

  VEGF phosphorylates occludin dapat mengganggu fungsi okludin dan

  mengakibatkan terbukanya tight junction serta terbentuknya edema (Papadopoulos, 2001).

Gambar 2.4 Hif1 adalah regulator utama homeostasis oksigen.

  Sedangkan normoxia menginduksi Hif1α degradasi proteosomal, di bawah hipoksia stabil dan translokasi ke inti di mana ia membentuk kompleks dengan phospho-STAT3 dan CBP / p300 untuk meningkatkan ekspresi VEGF, dan dengan demikian hipoksia menginduksi angiogenesis (Tocharus, et al., 2014).

  Studi lain mendapatkan VEGF dapat menginduksi fenestrasi endotel dan meningkatkan permeabilitas kapiler melalui mekanisme ini (Roberts dan Palade, 1997). Peran VEGF dalam memediasi edema vasogenik tampak pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Mekanisme VEGF dalam memediasi Edema Vasogenik

  (Kaal dan Vecht, 2004) Selain seluruh faktor di atas, SDO atau tepatnya endothelial

  astrocytic foot process juga memproduksi AQP yang berperan pada

  pembentukan edema serebri. Belum diketahui pasti, apakah peningkatan regulasi AQP dapat meningkatkan kejadian edema atau justru sebaliknya (Kaal dan Vecht, 2004).

2.1.7 Aquaporin-4

  Aquaporin (AQP) adalah protein membran integral kecil dengan

  berat molekul kurang dari 30.000 kDa, memiliki permeabilitas tinggi, berperan dalam transportasi cairan di membran plasma sel, dan ditemukan secara luas di berbagai jaringan tubuh yang berbeda (Verkman, 2005). Sebuah molekul AQP terdiri atas enam protein helix transmembran yang membentuk satu bagian selektif terhadap cairan berupa tetramer pada bagian tengah molekul. Secara keseluruhan terdapat 11 anggota keluarga AQP, dua jenis AQP yaitu AQP1 dan AQP4 adalah jenis terutama yang terdapat di ventrikel serebral dan ruang subarachnoid. Kedua AQP ini terutama berperan dalam homeostasis cairan di susunan saraf pusat (SSP) (Rash et al., 1998). Namun, pada tulisan ini akan lebih ditekankan pada pembahasan AQP4.

  Secara struktural bagian terpenting dan unik dari AQP4 adalah

  orthogonal array particle (OAP) dan tampak oleh mikroskop elektron

  (Rash et al., 1998). Aquaporin-4 (AQP4) berperan dalam transportasi cairan di berbagai kompartemen jaringan otak yaitu ruang cairan cerebrospinal atau ventrikel serebral dengan ruang subarachnoid, parenkim otak yang terdiri atas ruang intrasellular dan ekstrasellular, serta kompartemen intravaskular (Zador et al., 2007). Aquaporin AQP4 tersebar secara luas di berbagai kompartemen dan berpartisipasi pada regulasi homeostasis cairan otak di sistem saraf pusat. Ekspresi AQP terbatas pada astrosit yang tersebar luas di jaringan otak dan sumsum tulang belakang, serta sel ependimal yang membatasi ventrikel serebral.

Gambar 2.6 Struktur organisasi dari AQP4 dalam membran astrosit. (A)

  Skema gambar dari AQP4 homo-tetramer (B) Dalam otak normal, hubungan antara isoform AQP4-m1 (lingkaran merah) dan AQP4-m23 (lingkaran biru) berkontribusi untuk membentuk susunan orthogonal partikel (OAPs). (C) Dalam cedera kepala, peningkatan AQP4-m1 memberikan kontribusi pada gangguan OAPs dengan terjadinya perubahan dalam ukuran OAP dapat menurunkan jumlah pori sentral dan mungkin tidak hanya mempengaruhi pergerakan air, tetapi juga gerakan ion dan gas (Pallab, et al., 2014).