Rekognisi Frasa Adposisional Dalam Bahasa Indonesia
Telangkai Bahasa dan Sastra, April 2014, 9-20
Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266
Tahun ke-8, No 1
REKOGNISI FRASA ADPOSISIONAL DALAM BAHASA INDONESIA
Awaluddin Sitorus
Universitas Alwashliyah Medan
[email protected]
Abstract
Artikel ini meninjau kajian rekognisi f rasa adposisional dalam bahasa
Indonesia. Dengan menggunakan teori transformasi generatif,
penganalisasian bagaimana rekognisi frasa adposisional. Hasil analisis
dapat menguraikan bahwa terjadinya frasa adposisional melibatkan
adposisional dan objek-nya, adposisional berupa preposisi, posposisi dan
ambiposisi, adposisional bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua
adposisi, adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan,
adposisional sebagai atribut.
Kata kunci: frasa adposisional, preposisi, posposisi, dan ambiposisi.
This article reviews recognition adposisional phrases in Indonesian by using
the theory of generative transformation. The analysis results that the phrase
adposisional involves adposisional and its object, adposisional a
preposition, posposisi and ambiposisi, adposisional piled parent
constituency consisting of two adposisi, adposisional marking parent and
subordinate, adposisional as attributes.
Keyword: adposisional phrases, preposition, posposisi, and ambiposisi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pandangan deskriptif bahwa kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang
mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam bentuk
lisan, kalimat merupakan ujaran yang diucapkan dengan suara naik turun, dan keras
lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam bentuk tertulis,
kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?)
dan tanda seru (!). Kalimat dalam ragam resmi, harus memiliki sebuah subjek (S) dan
sebuah predikat (P), walaupun objek (O) dan keterangan (K) bersifat fakultatif (boleh ada
boleh tidak hadir pada kalimat. Kedua unsur utama subjek dan predikat tersebut adalah
inti untuk membedakannya dengan sebuah frasa. Frase menduduki satu fungsi sintaksis
dalam kalimat. Fungsi sintaksis itu berupa predikat, subjek, objek, pelengkap, dan
keterangan. Oleh karena itu, istilah deskriptif sengaja digunakan untuk menyatakan
bahwa sebuah rekognisi frasa adposisional dapat diperifrasekan menjadi beberapa fungsi
berdasarkan struktur batiniahnya yang dibicarakan pada uraian-uraian rekognisi frasa
adposisional. Di dalam pertuturan (lisan) atau karangan (tertulis), bahasa itu diwujudkan
dalam bentuk satuan-satuan bahasa yang disebut kalimat. Sedangkan kalimat itu sendiri
terbentuk dari satuan-satuan kata yang dirangkaikan ( Chaer, 2006: 300). Kalimat-kalimat
ini, secara teoretis, dibentuk oleh fungsi sintaksis subjek, predikat, objek, dan keterangan.
9
Awaluddin Sitorus
Unsur yang berfungsi sebagai Subjek dapat dikatakan sebagai agen (A). Dalam pola
kalimat bahasa Indonesia, subjek biasanya terletak sebelum predikat, kecuali jenis
kalimat inversi. Subjek umumnya berwujud nomina, tetapi pada kalimat-kalimat tertentu,
katagori lain bisa juga mengisi kedudukan subjek. Perhatikan contoh kalimat ini: (a)
Hafni duduk-duduk di ruang tamu, Dari contoh tersebut yang berfungsi sebagai subjek
adalah kata Hafni. Predikat dalam bahasa Indonesia bisa berwujud kata atau frasa verbal,
adjektival, nominal, numeral, dan preposisional. Kalimat di atas, berfungsi sebagai
predikat berkategori verbal dan dapat dikatakan kalimat verbal. Objek dalam kalimat
umumnya berkategori nomina atau kata benda dapat juga dikatakan sebagai paisen (P),
terletak setelah predikat yang berkategori verbal transitif. Objek pada kalimat aktif
berubah menjadi subjek jika kalimatnya dipasifkan. Demikian pula, objek pada kalimat
pasif menjadi subjek jika kalimatnya dijadikan kalimat aktif transitif. Contohnya yakni:
(a) Adik dibelikan ayah sebuah buku. (b) Kami telah memicarakan peristiwa itu. Katakata ayah, sebuah buku, dan peristiwa itu adalah contoh objek. Khusus pada kalimat a.
Terdapat dua objek yaitu ayah (objek 1) dan sebuah buku (objek 2) yang mempunyai
aspek benefaktif. Pelengkap atau komplemen mirip dengan objek, namun berbeda karena
pelengkap tidakmampu menjadi subjek jika kalimatnya yang semula aktif transitif
dijadikan bentuk kalimat pasif. Contohnya yakni: (a) Indonesia berdasarkan Pancasila. (b)
Kele ingin selalu berbuat kebaikan. (c) Kaki Raja tersandung kayu.
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan
gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif atau lazim juga disebut
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer,
1991:222). Hal tersebut senada juga yang disampaikan (Ramlan, 2001:139) bahwa frase
adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas
fungsi atau jabatan. Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya
sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut
frasa. Contoh: (1) Rumah bersalin itu(S) luas(P). (2) Beliau (S) yang akan datang (P)
besok(Ket). (3) Bapak(S) sedang memasak (P) nasi goreng (O). (4) Gadis itu(S) cantik
sekali(P). (5) Minggu depan (Ket) aku(S) kembali(P). (6) Bu Camat(S) berdiri (P) di
depan(Ket).
Dari uraian kalimat contoh di atas, yang menjadi bentuk frase adalah rumah
bersalin, yang akan datang, sedang memasak, nasi goring, gadis itu,cantik sekali, minggu
depan, Bu camat, di depan. Sintaksis frasa, disamping frasa nominal, juga meliputi frasa
adposisional, ajektival, adverbial. Sintaksis frasa dapat dipandang menurut struktur intra
frasalnya dan menurut struktur ekstraprasalnya. Misalnya, frasa preposisi dapat berfungsi
sebagai objek ekstrafrasal. Contoh: (a) Guru menguraikan tentang teori itu. (b) Olah tanah
dengan cangkul. Pada hal, sacara intrafrasal semua frasa yang dicetak tebal di atas adalah
sama dengan frasa adposisional.
Artikel ini menggunakan teori Transformasi Generatif (TG). Teori ini sangat tepat
dipergunakan untuk membahas rekognisi frasa adposisional dalam bahasa Indonesia
karena berdasarkan ancangan dapat menjelaskannya berdasarkan kontruksi pada struktur
penerapan frasa dalam kalimat. Ruang lingkup penelitian ini adalah membicarakan frasa
adposisional (FA). Hal ini penting dikaji karena masih ada frasa jenis lain dalam bahasa
Indonesia, seperti frasa verbal, nominal, adjektiva adverb. Namun karena rumitnya
persoalan tentang frasa, maka difokuskanlah hanya pada FA, munculnya hal ini,
muncullah nantinya penelitian-penelitian tentang FA bahasa daerah yang ada kaitannya
dengan bahasa Indonesia. Permasalahan yang menyangkut frasa adposisional dalam
bahasa Indonesia, yaitu: (a) Bagaimana adposisional dan objek-nya? (b) Bagaimana
adposisional berupa preposisi, posposisi dan ambiposisi? (c) Bagaimana adposisional
10
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua adposisi? (d) Bagaimana adposisional
bermarkah induk dan bermarkah bawahan? (e) Bagaimana adposisional sebagai atribut?
KAJIAN PUSTAKA
Frase merupakan satuan sintaksis yang tersusun dari dua buah kata atau lebih, yang
menempati tiap-tiap fungsi sintaksis. Frase, sebagai salah satu konstituen penting dalam
satuan bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis.
Frase merupakan konstruksi awal yang perlu dipahami terlebih dahulu untuk memahami
sintaksis secara keseluruhan. Dalam satuan bahasa, konstituen frasa terletak pada tataran
keempat setelah kata dan sebelum klausa, sehingga frase dapat menggantikan kata
sebagai unsur pembentuk kalimat. Kalimat adalah telaah mengenai pola-pola yang
dipergunakan sebagai sarana untuk menggabung-gabungkan kata menjadi frasa (Stryker,
1969:21). Ada pula yang mengatakan bahwa ―analisis mengenai konstruksi yang hanya
mengikutkan bentuk-bentuk bebas disebutkan sintaksis frasa‖ (Bloch and trager, 1942:7).
Frase tidak boleh dipisahkan dari kesatuan fungsinya. Bila urutan-urutan unsur
kalimat itu dipindahkan, maka frasa itu harus dipindahkan secara keseluruhan. Frase juga
memiliki bentuk yang fleksibel, artinya kata-kata itu dapat rapat dan renggang. Frasa itu
bisa disisipi dengan kata lain. Misalnya frasa di kamar, bisa menjadi frasa di suatu kamar
atau di kamar kakek. Ada lagi yang mengatakan bahwa ―sintaksis adalah bahagian dari
tatabahasa yang membicarakan struktur frasa dan kalimat‖ (Ramlan, 1976:57). Dari
keterangan-keterangan serta batasan-batasan di atas, maka terbentuklah batasan sebagai
berikut: sintaksis adalah cabang tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa,
dan frasa. Maka di dalam struktur tersebutlah dibicarakan rekognisi frasa adposisional
dalam bahasa Indonesia. Adapun jenis-jenis frasa terbagi atas dua, yakni berdasarkan
hubungan konstituen-konstituennya dan kategori gramatikalnya. Berdasakan hubungan
konstituen-konstituennya, frasa terbagi menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris.
Sedangkan berdasarkan kategori gramatikalnya, frasa terbagi menjadi frasa nominal (FN),
frasa pronominal (FPro), frasa verba (FV), frasa adjektiva (FA), frasa adverbial (FAdv),
dan frasa numeralia (FNum). Karena memperhatikan kondisi seperti ini, di dalam bahasa
Indonesia masih ada frase yang disebut frasa adposisional yang belum dibicarakan secara
tuntas oleh ahli linguistik.
Berdasarkan makna leksikal rekognisi menurut kamus adalah perkenalan atau
memperkenalkan. Dengan demikian, pengkolaborasian dengan frase adposisional
merupakan memperkenalkan struktur bentuk dalam kategori bahasa serapan ke dalam
kalimat bahasa Indonesia. Menurut Elson dan Picklett (1983), “A phrase is a unit
potentially composed of two or more word but which does not have the propositional
characteristic of a sentence” (sebuah frasa ialah satuan yang secara potensial terdiri atas
dua buah kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri proposisi sebuah kalimat).
Sedangkan menurut Kridalaksana (1984), frasa ialah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, juga dapat renggang (Dola, 2010:39).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), frasa adalah gabungan dua kata atau
lebih yang bersifat nonpredikatif. Satuan gramatikal sedang membuat dan patung
presiden Habibie dalam kalimat Ayah Adi sedang membuat patung presiden Habibie
merupakan frasa karena anggota pembentuk satuan bahasa itu tidak menjabat sebagai
subjek maupun predikat. Istilah lain yang sering digunakan dalam linguistik Indonesia
adalah kelompok kata. Frasa adposisional merupakan bagian dari frasa eksosentris. Jadi
frasa eksosentris adalah frasa yang tidak berhulu, tidak berpusat atau non-headed (Dik,
11
Awaluddin Sitorus
1979:9) ataupun noncentered (Dik, 1979:90). Beradsarkan struktur internalnya, frasa
adposisional yang terdapat pada frasa eksosentris disebut juga relater-axix phrase atau
frase relasional (Bloch, 1968:165). Mengenai konsep frase, frase tidak dibatasi oleh
jumlah kata atau panjang-pendeknya satuan. Frase bisa terdiri dua kata, tiga kata, empat
kata, lima kata, dan seterusnya. Jadi, ukurannya bukanlah ukuran kuantitatif kata,
melainkan ukuran rasional subjek dan predikat. Berapa pun panjang satuan atau jumlah
kata dalam satuan itu, jika dipecah tidak menghasilkan subjek maupun predikat, maka
satuan itu merupakan frase. Di dalam gramatika (grammar), frase merupakan salah satu
konstituen dari tataran (level) sintaksis, sehingga frase merupakan bagian dari konstruksi
sintaksis (Dola, 2010: 18).
Frase, dalam konstruksi sintaksis, terletak pada tataran awal -sebelum klausa dan
kalimat. Walaupun kata termasuk dalam tataran sintaksis, tetapi kata di sini hanya
sebagai pembentuk satuan yang lebih besar di atasnya erta hubungan kata dengan satuan
bahasa di atasnya. Berbicara mengenai frasa, kita akan diingatkan kembali pada satuansatuan bahasa yang telah kita ketahui sebelumnya. sekedar mengingatkan, satuan bahasa
(linguistic unit) merupakan bentuk lingual yang merupakan komponen pembentuk
bahasa.
Menurut Pike & Pike, satuan-satuan bahasa terdiri atas: morfem, gugus morfem,
kata, frasa, kalimat, paragraf, monolog, pertukaran, dan konversasi. Frasa terletak pada
konstituen ke-4. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982) membedakan satuan bahasa
menjadi morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, gugus kalimat, paragraf, dan wacana. Frasa
terletak pada konstituen ke-3. Frasa sebagai salah satu konstituen penting dalam satuan
bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis. Jadi,
untuk memahami sintaksis secara keseluruhan, terlebih dahulu kita perlu memahami
tentang apa dan bagaimana konstituen terkecilnya, yaitu frasa. Namun, dapat juga
berwujud dua buah kata atau lebih, yang merupakan satu kesatuan, sebagai contoh:
Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon.
S
P
O
Melihat konstruksi kalimat di atas, kita dapat mengidentifikasi subjeknya terdiri atas dua
buah kata, yaitu ayah dan Poltak; predikatnya terdiri atas dua buah kata, yaitu sedang dan
membuat; objeknya terdiri atas tiga buah kata, yaitu patung, marga, dan narasaon.
Gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu
unsur kalimat (S, P, O, atau K) biasa dikenal dengan istilah frasa. Jadi, dalam kalimat
Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon, yang menempati subjek adalah
frasa Poltak; yang menempati predikat adalah frasa sedang membuat; dan menempati
objek adalah frasa patung marga narasaon.
METODOLOGI
Dalam penyediaan data, metodologi yang dipakai adalah metode pustaka dengan
mengkobolarasikan metode teknik catat. Adapun sumber data dari bahan yang tertulis
adalah buku, majalah, jurnal ilmiah, dll. Data-data tersebut akan diuraikan berdasarkan
masalah yang akan dideskripsikan pada penelitian ini. Teknik yang digunakan pada
tahapan ini adalah teknik lesap, teknik ganti, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ganti
ujud dasar. Dengan demikian, data-data dianalisis dengan metode yang menggunakan alat
penentu unsur bahasa itu sendiri untuk mendeskripsikan ancangan rekognisi frasa
adposisional dalam bahasa Indonesia.
12
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Frase adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa nominal sebagai
konsisten bawahan. Konstituen tersebut dalam ilmu linguistic lazim disebut objek artinya
objek pada adposisi induk. Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk
membedakannya dari ―objek‖ (huruf besar) sebagai argument dalam klausa; artinya
Objek pada verba. Kebiasaan menyebut kokonstituen adposisi ―objek‖ pernah muncul
oleh karena dalam banyak bahasa adposisi berasal dari verba. Tumpang –tindihnya kedua
kelas kata itu, adposisi dan verba, masih terlihat dalam contoh (1) dan (2) bahasa Inggris
(partisipia presen), contoh (3) bahasa Indonesia (bentuk man-), dan contoh (4) bahasa
Tok Pisin (bentuk –im):
(1) considering
mempertimbangkan
‗karena hal ini‘
(2) exceeding
five
lebih: dari
lima
‗lebih dari lima kio
this
ini
kilos
kilo
(3) mengingat hal itu
mempertimbangkan hal itu;
(4) winim
hat
lebih: dari
panasnya
‗lebih panas adri air‘
menurut dia;
melebihi tuntutan
bilong
PRP:POS
wara
air
Banyak bahasa adposisi tidak berasal dari verba (atau asal yang demikian tidak dapat
dibuktian), namun istilah ―objek‖ untuk kokonstituen adposisi umum dipakai para ahli
linguistic. Selain dari itu, bahkan dalam hal adposisi berupa verbal, ―objek‖-nya belum
tentu diperlukan seperti objek pada verba predikatif. Misalnya, dalam bahasa Indonesia
bentuk verba dangan men- dapat menyufikskan objek pronominal (misalnya membacanya, mengingat-nya), tetapi bentuk serupa sebagai objek adposisi tidak gramatikal: frasa
adposisional mengingat hal itu tidak dapat diubah menjadi*mengingat-nya dalam arti
yang sama. Sebaliknya, banyak adposisi nonverbal dalam bahasa ini dapat menyufikskan
objeknya dalam bentuk pronominal. Adposisi yang dapat mendahului objeknya disebut
―preposisi‖, sedangkan adposisi yang dapat mengikuti objeknya lazim dinamai
―posposisi‖. Selain dari kedua jenis ini ada juga yang dapat kita sebut ―ambiposisi‖, yaitu
adposisi dengan dua bagian yang didepan dan dibelakang objeknya. Istilah ―ambiposisi‖,
seperti juga istilah ―ambifiks‘ dan ―sirkumfiks‖ tidak sangat umum dipakai dalam ilmu
linguistik.
Ada bahasa-bahasa yang memiliki adposisi yang preposisional saja dan bahasa
tersebut bersusun beruntun VO secara konsisten misalnya dalam bahasa Woleai
(Mikronesia, daerah Pasifik) sebagai berikut:
(5) woal
Mariiken
dala;nya
amerika
‗di Amerika‘
13
Awaluddin Sitorus
(6) faal
mai
we
di:bawah:nya pohon: sukun itu
‗di bawah pohon sukun itu‘
(7) ttir
tangi Bill
cepat dari Bill
‗lebih cepat dari Bill‘
Bahasa-bahasa yang bersusun beruntun OV secara konsisten biasanya memiliki adposisi
hanya dalam bentuk posposisi saja: contohnya dalam bahasa Jepang (contoh 8 dan 9),
bahasa Manam Papua Niugini (contoh 10 dan 11), dan bahasa Punjabi (contoh 12 dan
13):
Tookyoo ni
(atau:)
Tokio ke
‗ke Tokyo‘
(9) Yokohama made
Yokohama sampai
‗sampai Yokohama‘
(10) p‟atu bo?ana
batu seperti
‗seperti batu‘
(11) ?a‟i
o‟no
tongkat
dengan
‗dengan tongkat‘
(12) ker
yc
rumah di:dalam
‗di dalam rumah‘
(13) pwtrang
tong
anak:anak:putera
dari
‗dari anak-anak putera
tookyoo e
Tokio
(8)
ke
Adanya banyak bahasa yang tidak memiliki keselarasan infraklausal untuk susunan
beruntun, sehingga frasa adposisi meliputi baik preposisi maupun posposisi antara lain
dalam bahasa Jerman (contoh 14, 15 dan 16), bahasa Belanda (contoh 17 dan 18) dan
bahasa Inggeris (contoh 19 dan 20).
(14) mit
diese-n
denan ini
J:DAT
‗dengan buku-buku ini‘
(15) fur die
untuk ART:DEF:N:J:AK
‗untuk anak-anak itu‘
(16) ihm
zuwider
3:M:T:DAT
melawan
Buch-er-n
buku J DAT
kind-er
anak J:AK
14
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
‗melawan dia‘
(17) over
het
melintasi
ART:DEF:N:T
(18) het
erf
ART:DEF:N:T pekarangan
melintasi pekarangan‘
(19) notwithstanding
the
Walaupun:ada ART;DEF
erf
pekarangan
over
melintas
problem
masalah
‗walaupun ada masalah itu‘
problem notwithstanding
(20) the
ART:DEF
masalah walaupun:ada
‗walaupun ada masalah itu‘
Ambiposisi dapat diperiksa dalam bahasa Belanda dan Inggeris sebagai berikut:
(21) tegen
melawan
mijn
wens-en
POS;1:T
kehendak J
in
‗melawan kehendak saya‘
(22) door
de
melalui ART:DEF
kamer heen
ruang
‗melalui ruang itu‘
(23) for
demi
peter-„s sake
Peter
JEN
‗demi Peter‘
Dalam banyak bahasa, frasa adposisi membutuhkan adposisi mejemuk atau adposisi
frasal atau adposisi rangkap sebagai induk frasa adposisional. Adposisi itu seakan-akan
bertumpuk satu pada yang lain dan oleh sementara ahli disebut ―adposisi bertumpuk‖.
Apakah adposisi bertumpuk dipandang sebagai adposisi majemuk atau adposisi frasal
rupanya tidak begitu penting dan istilah ―adposisi bertumpuk‖ menghindari masalah
tersebut. Contoh berikut ini adalah contoh bahasa Inggris (adposisi bertumpuk dicetak
tebal):
(24) They took it from under
the
cabinet.
3:J
ambil 3:T dari di:bawah ART:DEF
lemari
‗Mereka mengambilnya dari tempat di bawah lemari‘.
(25) They dragged it to* (the space) under
the
cabinet
3:J
seret
3:T ke ART:DEF tempat di:bawah ART:DEF lemari
‗Mereka menyeretnya ke tempat di bawah lemari‘.
15
Awaluddin Sitorus
Dalam kasus (16), preposisi bertumpuk from under memang ―bertumpuk‖ secara
semantic pula, karena temapat barang yang diambil adalah di bawah (under) almari,
sedangkan barang tersebut lalu pindah dari (from) tempat tersebut. Padahal ada kendala
gramatikal pada alat semantic tersebut, seperti terlihat dalam (17): * to under tidak
gramatikal (frasa the space atau prasa serupa wajib dipakai), dan under the cabinet adalah
atribut pada nomina space.
Dalam bahasa Indonesia preposisi bertumpuk *dari di bawah tidak gramatikal,
bukan karena preposisi bertumpuk dalam bahasa ini tidak mungkin, melainkan karena
yang bertumpuk rangkap tiga tidak mungkin (di bawah sudah rangkap).
Dalam penelitian antarbahasa kita temukan berbagai sistem adposisi bertumpuk.
Periksalah system adposisi dalam bahasa Inggris. Bahasa ini memiliki system adposisi
(tunggal) yang cukup terperinci: ada of ‗dari‘, from ‗dari‘, ‗daripada‘, to ‗ke‘, ‗kepada‘,
above ‗di atas‘, below ‗di bawah‘, behind ‗di belakang‘, before ‗sebelum‘, ‗di depan‘
after ‗sesudah‘, between ‗di antara‘, dan sejumlah lain lagi. Menyangkut system adposisi
bertumpuk dalam bahasa ini, system tersebut tergantung dari kebutuhan semantic (dengan
kendala gramatikal tertentu), tetapi seluruh system adposisi adalah system yang terdiri
dari banyak adposisi tunggal. Sistem ini kiranya dapat kita sebut system ―tipe Inggris‖.
Sebaliknya, dalam bahasa tertentu yang lain ada sistem yang agak lain sifatsifatnya: jumlah adposisi tunggal hanya sedikit saja, sehingga kebutuhan semantis perlu
diungkapkan dengan sistem adposisi bertumpuk. Dalam bahasa Tok Pisin, misalnya, ada
hanya tiga adposisi tunggal (kebetulan preposisi semua), yaitu: long ‗di‘, ‗dari‘; bilong
‗dari‘, ‗PRP:POS‘; dan wantaim ‗dengan‘ )tidak terhitung bentuk verbal winim ). Semua
preposisi lainnya berupa preposisi bertumpuk (dengan long semua), sebagai contoh Tok
Pisin:
(26) aninit long antap long ausait long insait
bawa di
atas
di
‗di bawah‘ ‗di atas‘
(27) namel long
luar
di
‗di luar‘
paslain long
antara di
depan
di
‗di antara‘
‗di depan‘
dalam
di
‗di dalam‘
raun
keliling
long
long
di
‗di keliling‘
Konstituen di depan long (kecuali paslain dan raun)
, bila dipakai tanpa long,
dapat berfungsi sebagai nomina atau sebagai adverbial. Contohnya aninit ‗bagian bawah‘
(seperti dalam long aninit ‗di bagian bawah) atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di
bawah‘; contoh lain adalah antap ‗bagian atas‘ (seperti dalam long antap ‗di bagian
atas‘), atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di atas. Yang penting disadari adalah bahwa
konstruksi seperti long aninit dan long antap adalah frasa preposisional (dengan long
sebagai preposisi tunggal), sedangkan aninit long dan antap long adalah preposisi
bertumpuk dan baru dengan nomina berikut merupakan frasa preposisional, seperti dalam
bahasa Tok Pisin,
(28) antap
atas
long haus
aninit long haus
di
bawah di
rumah
‗di atas rumah‘
rumah
‗di bawah rumah‘
16
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
Hampir semua kebutuhan semantik terpenuhi dengan adposisi bertumpuk dan
sistem ini dapat kita juluki sistem ―tipe Tok Pisin‘. Dalam kontinuum di antara kedua
sistem ini, yaitu tipe Inggris dan tipe Tok Pisin itu, ada sistem yang berlaku untuk
banyak bahasa yang lain, bahasa Indonesia (―tipe Indonesia‖, katakanlah) di antaranya.
Artinya, jumlah adposisi tunggal (seperti: di, dari, ke, pada, dengan, tanpa, untuk, bagi)
tidak sangat besar tetapi juga tidak sangat kecil, sedangkan adposisi bertumpuk dalam
bahasa ini agak besar jumlahnya juga (contohnya: di bawah, di atas, di belakang, dan
seterusnya, dan adposisi serupa dengan dari dan pada sebagai adposisi pertama: dari
bawah, dari atas, dan seterusnya). Pendek kata, adposisi bertumpuk cukup besar
jumlahnya, dalam bahasa ini. Ada pula kendala gramatikal: ke + sufiks promominal tidak
mungkin tanpa pada (kepadanya-nya, bukan * ke-nya; daripada-ku, bukan * dari-ku, dan
seterusnya), sedangkan di antara adposisi tunggal ada yang dapat ditambahi sufiks
(dengan-nya, untuk-nya), dan ada yang tidak (*tanpa-nya). Bahkan adposisi yang
berprefiks men- tidak dapat ditambahi sufiks, sedangkan bentuk yang sama sebagai verba.
Contoh bahasa Indonesia
(29) Saya kirim pesan ke* (pada) kepala kantor itu.
(30) Saya kirim pesan ke (*pada) kantor itu.
(31) Kalau label untuk buku, tempelkan saja kepada-nya.
Ada dua tipologi morfologis, yaitu bahasa pemarkah induk dan bahasa pemarkah
bawahan. Kebetulan bahasa Indonesia (dan banyak bahasa Austronesia khususnya di
Indonesia) sebagian besar memarkahi induk dalam konstruksi yang bermarkah.
Contohnya: untuk-nya; bagi-nya; daripada-nya.
Frasa adposisional pemarkah induk ada dua jenis:
1. Pemarkahan adposisi secara pronominal sebagai pengganti nimona. Misalnya,
dalam bentuk Indonesia untuk-nya atau bagi-nya, sufiks-nya menggantikan
nomina; artinya, bila nomina hadir, tak ada pemarkahan – nya: tidak mungkin
konstruksi seperti *untuk-nya guru, haruslah untuk guru.
2. Pemarkahan adposisi induk adalah pemarkahan yang hanya menyertai, tidak
mengganti, nomina objek, jadi ada baik pemarkahan (tebal) maupun nomina
objek.
Contoh bahasa Abkhaz (Kaukasia)
(32) ajeyas
aq‟ne
ART sungai 3:T pada
‗pada sungai itu‘
Pemarkahan bawahan dalam frasa adposisional terjadi dalam bentuk kasus nominal.
Adposisi ―menguasai‖ (istilahnya) kasus tertentu dalam objek. Dalam bahasa yang
termasuk dalam tipologi ini, adposisi dengan bentuk yang sama dapat berbeda menurut
kasus-kasus yang ―dikuasainya‖ dalam objek, seperti dalam bahasa Latin: preposisi in
dalam bahasa Latin menguasai kasus ablative dalam objeknya, bila artinya lokatif,
sedangkan in menguasai akusatif bila sesuatu bergerak masuk tempat yang ditunjuk oleh
objek:
17
Awaluddin Sitorus
(33)
Est
Ada:3:T:KPR:IND
‗dia ada di rumah‘
PRP
in
domrumah T:ABL
o
(34) It
in dom- um
Gerak;KPR:IND:3:T PRP rumah Ak
‗dia masuk ke dalam rumah‘
Dalam bahasa Jerman, preposisi tertentu menguasai kasus datif dalam objeknya
(misalnya, mit ‗dengan‘ atau seit ‗sejak‘), sedangkan preposisi yang lain (misalnya
wegen ‗karena‘, atau wa'hrend ‗selama‘) menguasai kasus jenitif dalam objeknya;
preposisi lain lagi menguasai kasus akusatif (misalnya fu”r ‗untuk‘ atau durch
‗melalui‘).
(35) mit
den
Kind- er- n
dengan ART:DEF:N:J:DAT anak J
DAT
‗dengan anak-anak itu‘
(36) seit dem
Krieg
sejak ART:DEF:M:T:DAT perang
‗sejak perang itu‘
(37) wegen
des
schlechten
wetter-s
karena ART:DEF:N:T:JEN buruk:T:JEN cuaca EN
‗karena cuaca yang buruk‘
(38) durh
den
Saal
melalui ART:DEF:M:T:AK ruangan
‗melalui ruangan‘
Pembahasan ini hanya membahas dalam struktur intrafrasalnya. Namun
struktur tersebut kadang-kadang tergantung dari struktur ekstrafrasalnya. Dalam tradisi
pembahasan gramatikal baik untuk bahasa Inggris (contoh 39) maupun untuk bahasa
Indonesia (contoh 40) tidak terlihat adanya masalah. Misalnya frasa preposisional bahasa
Inggeris on the table dapat menjadi atribut pada the flowers, dan dalam frasa
preposisional dalam bahasa Indonesia di samping lemari dapat menjadi atribut pada kursi.
(39) the
flower
on
the
table
ART:DEF
bunga di:atas ART:DEF meja
‗bunga di atas meja‘
(40) kursi di samping lemari
Akan tetapi, dalam bahasa Tok Pisin tidak semua frasa preposisional dapat dipakai
sebagai atribut. Misalnya, frasa long ston dapat, tetapi konstruksi seperti itu agak jarang
dipakai, dan hanya bila long sebagai preposisi tunggal bermakna lokatif (tidak bila
bermakna ‗ke‘); dalam makna lokatif lebih ―normal‖-lah bentuk klausa relative.
(41) hul
long
ston
lobang di:dalam batu
‗lobang di dalam batu‘
18
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
(42) olgeta samting I
stap long graun
semua
benda PRK ada di bumi
‗semua benda yang ada di dalam bumi‘
(43) rot * (i)
raun
long maunten
jalan PRK keliling di bukit
‗jalan yang mengelilingi bukit‘
Dalam bahasa OV dengan keselarasan infraklausal yang konsisten yakni bahasa dengan
posisi pronominal yang wajib untuk semua atribut, ada kendala-kendala ketat untuk frasa
posposisional sebagai atribut. Misalnya, dalam bahasa Jepang hanya frasa dengan
posposisi no ‗dari‘, ‗POS‘, dapat berperan sebagai atribut, dan alasan semantik, posposisi
lain dibutuhkan, penambahan posposisi no di belakangnya perlu demi kegramatikalan
frasa posposisional sebagai atribut, seperti contoh berikut.
(44) Niho no fune
Jepang PSP kapal
‗kapal Jepang‘; atau: ‗kapal dari Jepang‘;atau:
‗kapal yang tujuannya Jepang‘; atau: ‗kapal milik Jepang‘
(45) Nihon kara no
fune
Jepang PSP PSP kapal
‗kapal yang dari Jepang (datangnya)‘
KESIMPULAN
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu
kesatuan. Frasa adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa
nominal sebagai konsisten bawahan. Selain itu juga adposisi dan objek-nya, preposisi,
posposisi, ambioposisi, adposisi bertumpuk.
Konstituen pada frasa adposisional itu disebut objek artinya objek pada adposisi induk.
Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk membedakannya dari ―objek‖ (huruf
besar) sebagai argument dalam klausa; artinya Objek pada verba.
DAFTAR PUSTAKA
Bloch and trager. 1942. Readings in Linguistics. New York: American Council.
Chaer. Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer. Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dik, Simion C. 1979. Functional Grammar. Amsterdam: Nort Holland.
Dola, Abdullah. 2010. Tataran Sintaksis dalam Gramatika Bahasa Indonesia. Makassar:
Badan Penerbit Univesitas Negeri Makassar.
19
Awaluddin Sitorus
Elson and Picklett. 1983. Language Teaching: A scientific Approach. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana .1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
P, Wardihan. 2010. Diktat Pengantar Linguistik. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
Pike, Kenneth L., and Evelyn G. Pike.1977. Grammatical Analysis, The Summer Institu
of Linguistics and The University of Texas at Arlington.
Ramlan, M. 1985. Tatabahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Ofset.
Samsuri. 1978. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto. 1991. Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Stryker. 1969. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik, Jilid I: Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Verhaar, J.W.M. 1994c. ―Language underived. “Notes on Linguistics, 67: 41-44.
Verhaar, J.W.M. 1995a. ―Endony and exonyms. “Notes on Linguistics, 70: 11-14.
20
Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266
Tahun ke-8, No 1
REKOGNISI FRASA ADPOSISIONAL DALAM BAHASA INDONESIA
Awaluddin Sitorus
Universitas Alwashliyah Medan
[email protected]
Abstract
Artikel ini meninjau kajian rekognisi f rasa adposisional dalam bahasa
Indonesia. Dengan menggunakan teori transformasi generatif,
penganalisasian bagaimana rekognisi frasa adposisional. Hasil analisis
dapat menguraikan bahwa terjadinya frasa adposisional melibatkan
adposisional dan objek-nya, adposisional berupa preposisi, posposisi dan
ambiposisi, adposisional bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua
adposisi, adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan,
adposisional sebagai atribut.
Kata kunci: frasa adposisional, preposisi, posposisi, dan ambiposisi.
This article reviews recognition adposisional phrases in Indonesian by using
the theory of generative transformation. The analysis results that the phrase
adposisional involves adposisional and its object, adposisional a
preposition, posposisi and ambiposisi, adposisional piled parent
constituency consisting of two adposisi, adposisional marking parent and
subordinate, adposisional as attributes.
Keyword: adposisional phrases, preposition, posposisi, and ambiposisi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pandangan deskriptif bahwa kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang
mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam bentuk
lisan, kalimat merupakan ujaran yang diucapkan dengan suara naik turun, dan keras
lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam bentuk tertulis,
kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?)
dan tanda seru (!). Kalimat dalam ragam resmi, harus memiliki sebuah subjek (S) dan
sebuah predikat (P), walaupun objek (O) dan keterangan (K) bersifat fakultatif (boleh ada
boleh tidak hadir pada kalimat. Kedua unsur utama subjek dan predikat tersebut adalah
inti untuk membedakannya dengan sebuah frasa. Frase menduduki satu fungsi sintaksis
dalam kalimat. Fungsi sintaksis itu berupa predikat, subjek, objek, pelengkap, dan
keterangan. Oleh karena itu, istilah deskriptif sengaja digunakan untuk menyatakan
bahwa sebuah rekognisi frasa adposisional dapat diperifrasekan menjadi beberapa fungsi
berdasarkan struktur batiniahnya yang dibicarakan pada uraian-uraian rekognisi frasa
adposisional. Di dalam pertuturan (lisan) atau karangan (tertulis), bahasa itu diwujudkan
dalam bentuk satuan-satuan bahasa yang disebut kalimat. Sedangkan kalimat itu sendiri
terbentuk dari satuan-satuan kata yang dirangkaikan ( Chaer, 2006: 300). Kalimat-kalimat
ini, secara teoretis, dibentuk oleh fungsi sintaksis subjek, predikat, objek, dan keterangan.
9
Awaluddin Sitorus
Unsur yang berfungsi sebagai Subjek dapat dikatakan sebagai agen (A). Dalam pola
kalimat bahasa Indonesia, subjek biasanya terletak sebelum predikat, kecuali jenis
kalimat inversi. Subjek umumnya berwujud nomina, tetapi pada kalimat-kalimat tertentu,
katagori lain bisa juga mengisi kedudukan subjek. Perhatikan contoh kalimat ini: (a)
Hafni duduk-duduk di ruang tamu, Dari contoh tersebut yang berfungsi sebagai subjek
adalah kata Hafni. Predikat dalam bahasa Indonesia bisa berwujud kata atau frasa verbal,
adjektival, nominal, numeral, dan preposisional. Kalimat di atas, berfungsi sebagai
predikat berkategori verbal dan dapat dikatakan kalimat verbal. Objek dalam kalimat
umumnya berkategori nomina atau kata benda dapat juga dikatakan sebagai paisen (P),
terletak setelah predikat yang berkategori verbal transitif. Objek pada kalimat aktif
berubah menjadi subjek jika kalimatnya dipasifkan. Demikian pula, objek pada kalimat
pasif menjadi subjek jika kalimatnya dijadikan kalimat aktif transitif. Contohnya yakni:
(a) Adik dibelikan ayah sebuah buku. (b) Kami telah memicarakan peristiwa itu. Katakata ayah, sebuah buku, dan peristiwa itu adalah contoh objek. Khusus pada kalimat a.
Terdapat dua objek yaitu ayah (objek 1) dan sebuah buku (objek 2) yang mempunyai
aspek benefaktif. Pelengkap atau komplemen mirip dengan objek, namun berbeda karena
pelengkap tidakmampu menjadi subjek jika kalimatnya yang semula aktif transitif
dijadikan bentuk kalimat pasif. Contohnya yakni: (a) Indonesia berdasarkan Pancasila. (b)
Kele ingin selalu berbuat kebaikan. (c) Kaki Raja tersandung kayu.
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan
gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif atau lazim juga disebut
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer,
1991:222). Hal tersebut senada juga yang disampaikan (Ramlan, 2001:139) bahwa frase
adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas
fungsi atau jabatan. Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya
sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut
frasa. Contoh: (1) Rumah bersalin itu(S) luas(P). (2) Beliau (S) yang akan datang (P)
besok(Ket). (3) Bapak(S) sedang memasak (P) nasi goreng (O). (4) Gadis itu(S) cantik
sekali(P). (5) Minggu depan (Ket) aku(S) kembali(P). (6) Bu Camat(S) berdiri (P) di
depan(Ket).
Dari uraian kalimat contoh di atas, yang menjadi bentuk frase adalah rumah
bersalin, yang akan datang, sedang memasak, nasi goring, gadis itu,cantik sekali, minggu
depan, Bu camat, di depan. Sintaksis frasa, disamping frasa nominal, juga meliputi frasa
adposisional, ajektival, adverbial. Sintaksis frasa dapat dipandang menurut struktur intra
frasalnya dan menurut struktur ekstraprasalnya. Misalnya, frasa preposisi dapat berfungsi
sebagai objek ekstrafrasal. Contoh: (a) Guru menguraikan tentang teori itu. (b) Olah tanah
dengan cangkul. Pada hal, sacara intrafrasal semua frasa yang dicetak tebal di atas adalah
sama dengan frasa adposisional.
Artikel ini menggunakan teori Transformasi Generatif (TG). Teori ini sangat tepat
dipergunakan untuk membahas rekognisi frasa adposisional dalam bahasa Indonesia
karena berdasarkan ancangan dapat menjelaskannya berdasarkan kontruksi pada struktur
penerapan frasa dalam kalimat. Ruang lingkup penelitian ini adalah membicarakan frasa
adposisional (FA). Hal ini penting dikaji karena masih ada frasa jenis lain dalam bahasa
Indonesia, seperti frasa verbal, nominal, adjektiva adverb. Namun karena rumitnya
persoalan tentang frasa, maka difokuskanlah hanya pada FA, munculnya hal ini,
muncullah nantinya penelitian-penelitian tentang FA bahasa daerah yang ada kaitannya
dengan bahasa Indonesia. Permasalahan yang menyangkut frasa adposisional dalam
bahasa Indonesia, yaitu: (a) Bagaimana adposisional dan objek-nya? (b) Bagaimana
adposisional berupa preposisi, posposisi dan ambiposisi? (c) Bagaimana adposisional
10
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua adposisi? (d) Bagaimana adposisional
bermarkah induk dan bermarkah bawahan? (e) Bagaimana adposisional sebagai atribut?
KAJIAN PUSTAKA
Frase merupakan satuan sintaksis yang tersusun dari dua buah kata atau lebih, yang
menempati tiap-tiap fungsi sintaksis. Frase, sebagai salah satu konstituen penting dalam
satuan bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis.
Frase merupakan konstruksi awal yang perlu dipahami terlebih dahulu untuk memahami
sintaksis secara keseluruhan. Dalam satuan bahasa, konstituen frasa terletak pada tataran
keempat setelah kata dan sebelum klausa, sehingga frase dapat menggantikan kata
sebagai unsur pembentuk kalimat. Kalimat adalah telaah mengenai pola-pola yang
dipergunakan sebagai sarana untuk menggabung-gabungkan kata menjadi frasa (Stryker,
1969:21). Ada pula yang mengatakan bahwa ―analisis mengenai konstruksi yang hanya
mengikutkan bentuk-bentuk bebas disebutkan sintaksis frasa‖ (Bloch and trager, 1942:7).
Frase tidak boleh dipisahkan dari kesatuan fungsinya. Bila urutan-urutan unsur
kalimat itu dipindahkan, maka frasa itu harus dipindahkan secara keseluruhan. Frase juga
memiliki bentuk yang fleksibel, artinya kata-kata itu dapat rapat dan renggang. Frasa itu
bisa disisipi dengan kata lain. Misalnya frasa di kamar, bisa menjadi frasa di suatu kamar
atau di kamar kakek. Ada lagi yang mengatakan bahwa ―sintaksis adalah bahagian dari
tatabahasa yang membicarakan struktur frasa dan kalimat‖ (Ramlan, 1976:57). Dari
keterangan-keterangan serta batasan-batasan di atas, maka terbentuklah batasan sebagai
berikut: sintaksis adalah cabang tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa,
dan frasa. Maka di dalam struktur tersebutlah dibicarakan rekognisi frasa adposisional
dalam bahasa Indonesia. Adapun jenis-jenis frasa terbagi atas dua, yakni berdasarkan
hubungan konstituen-konstituennya dan kategori gramatikalnya. Berdasakan hubungan
konstituen-konstituennya, frasa terbagi menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris.
Sedangkan berdasarkan kategori gramatikalnya, frasa terbagi menjadi frasa nominal (FN),
frasa pronominal (FPro), frasa verba (FV), frasa adjektiva (FA), frasa adverbial (FAdv),
dan frasa numeralia (FNum). Karena memperhatikan kondisi seperti ini, di dalam bahasa
Indonesia masih ada frase yang disebut frasa adposisional yang belum dibicarakan secara
tuntas oleh ahli linguistik.
Berdasarkan makna leksikal rekognisi menurut kamus adalah perkenalan atau
memperkenalkan. Dengan demikian, pengkolaborasian dengan frase adposisional
merupakan memperkenalkan struktur bentuk dalam kategori bahasa serapan ke dalam
kalimat bahasa Indonesia. Menurut Elson dan Picklett (1983), “A phrase is a unit
potentially composed of two or more word but which does not have the propositional
characteristic of a sentence” (sebuah frasa ialah satuan yang secara potensial terdiri atas
dua buah kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri proposisi sebuah kalimat).
Sedangkan menurut Kridalaksana (1984), frasa ialah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, juga dapat renggang (Dola, 2010:39).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), frasa adalah gabungan dua kata atau
lebih yang bersifat nonpredikatif. Satuan gramatikal sedang membuat dan patung
presiden Habibie dalam kalimat Ayah Adi sedang membuat patung presiden Habibie
merupakan frasa karena anggota pembentuk satuan bahasa itu tidak menjabat sebagai
subjek maupun predikat. Istilah lain yang sering digunakan dalam linguistik Indonesia
adalah kelompok kata. Frasa adposisional merupakan bagian dari frasa eksosentris. Jadi
frasa eksosentris adalah frasa yang tidak berhulu, tidak berpusat atau non-headed (Dik,
11
Awaluddin Sitorus
1979:9) ataupun noncentered (Dik, 1979:90). Beradsarkan struktur internalnya, frasa
adposisional yang terdapat pada frasa eksosentris disebut juga relater-axix phrase atau
frase relasional (Bloch, 1968:165). Mengenai konsep frase, frase tidak dibatasi oleh
jumlah kata atau panjang-pendeknya satuan. Frase bisa terdiri dua kata, tiga kata, empat
kata, lima kata, dan seterusnya. Jadi, ukurannya bukanlah ukuran kuantitatif kata,
melainkan ukuran rasional subjek dan predikat. Berapa pun panjang satuan atau jumlah
kata dalam satuan itu, jika dipecah tidak menghasilkan subjek maupun predikat, maka
satuan itu merupakan frase. Di dalam gramatika (grammar), frase merupakan salah satu
konstituen dari tataran (level) sintaksis, sehingga frase merupakan bagian dari konstruksi
sintaksis (Dola, 2010: 18).
Frase, dalam konstruksi sintaksis, terletak pada tataran awal -sebelum klausa dan
kalimat. Walaupun kata termasuk dalam tataran sintaksis, tetapi kata di sini hanya
sebagai pembentuk satuan yang lebih besar di atasnya erta hubungan kata dengan satuan
bahasa di atasnya. Berbicara mengenai frasa, kita akan diingatkan kembali pada satuansatuan bahasa yang telah kita ketahui sebelumnya. sekedar mengingatkan, satuan bahasa
(linguistic unit) merupakan bentuk lingual yang merupakan komponen pembentuk
bahasa.
Menurut Pike & Pike, satuan-satuan bahasa terdiri atas: morfem, gugus morfem,
kata, frasa, kalimat, paragraf, monolog, pertukaran, dan konversasi. Frasa terletak pada
konstituen ke-4. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982) membedakan satuan bahasa
menjadi morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, gugus kalimat, paragraf, dan wacana. Frasa
terletak pada konstituen ke-3. Frasa sebagai salah satu konstituen penting dalam satuan
bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis. Jadi,
untuk memahami sintaksis secara keseluruhan, terlebih dahulu kita perlu memahami
tentang apa dan bagaimana konstituen terkecilnya, yaitu frasa. Namun, dapat juga
berwujud dua buah kata atau lebih, yang merupakan satu kesatuan, sebagai contoh:
Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon.
S
P
O
Melihat konstruksi kalimat di atas, kita dapat mengidentifikasi subjeknya terdiri atas dua
buah kata, yaitu ayah dan Poltak; predikatnya terdiri atas dua buah kata, yaitu sedang dan
membuat; objeknya terdiri atas tiga buah kata, yaitu patung, marga, dan narasaon.
Gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu
unsur kalimat (S, P, O, atau K) biasa dikenal dengan istilah frasa. Jadi, dalam kalimat
Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon, yang menempati subjek adalah
frasa Poltak; yang menempati predikat adalah frasa sedang membuat; dan menempati
objek adalah frasa patung marga narasaon.
METODOLOGI
Dalam penyediaan data, metodologi yang dipakai adalah metode pustaka dengan
mengkobolarasikan metode teknik catat. Adapun sumber data dari bahan yang tertulis
adalah buku, majalah, jurnal ilmiah, dll. Data-data tersebut akan diuraikan berdasarkan
masalah yang akan dideskripsikan pada penelitian ini. Teknik yang digunakan pada
tahapan ini adalah teknik lesap, teknik ganti, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ganti
ujud dasar. Dengan demikian, data-data dianalisis dengan metode yang menggunakan alat
penentu unsur bahasa itu sendiri untuk mendeskripsikan ancangan rekognisi frasa
adposisional dalam bahasa Indonesia.
12
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Frase adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa nominal sebagai
konsisten bawahan. Konstituen tersebut dalam ilmu linguistic lazim disebut objek artinya
objek pada adposisi induk. Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk
membedakannya dari ―objek‖ (huruf besar) sebagai argument dalam klausa; artinya
Objek pada verba. Kebiasaan menyebut kokonstituen adposisi ―objek‖ pernah muncul
oleh karena dalam banyak bahasa adposisi berasal dari verba. Tumpang –tindihnya kedua
kelas kata itu, adposisi dan verba, masih terlihat dalam contoh (1) dan (2) bahasa Inggris
(partisipia presen), contoh (3) bahasa Indonesia (bentuk man-), dan contoh (4) bahasa
Tok Pisin (bentuk –im):
(1) considering
mempertimbangkan
‗karena hal ini‘
(2) exceeding
five
lebih: dari
lima
‗lebih dari lima kio
this
ini
kilos
kilo
(3) mengingat hal itu
mempertimbangkan hal itu;
(4) winim
hat
lebih: dari
panasnya
‗lebih panas adri air‘
menurut dia;
melebihi tuntutan
bilong
PRP:POS
wara
air
Banyak bahasa adposisi tidak berasal dari verba (atau asal yang demikian tidak dapat
dibuktian), namun istilah ―objek‖ untuk kokonstituen adposisi umum dipakai para ahli
linguistic. Selain dari itu, bahkan dalam hal adposisi berupa verbal, ―objek‖-nya belum
tentu diperlukan seperti objek pada verba predikatif. Misalnya, dalam bahasa Indonesia
bentuk verba dangan men- dapat menyufikskan objek pronominal (misalnya membacanya, mengingat-nya), tetapi bentuk serupa sebagai objek adposisi tidak gramatikal: frasa
adposisional mengingat hal itu tidak dapat diubah menjadi*mengingat-nya dalam arti
yang sama. Sebaliknya, banyak adposisi nonverbal dalam bahasa ini dapat menyufikskan
objeknya dalam bentuk pronominal. Adposisi yang dapat mendahului objeknya disebut
―preposisi‖, sedangkan adposisi yang dapat mengikuti objeknya lazim dinamai
―posposisi‖. Selain dari kedua jenis ini ada juga yang dapat kita sebut ―ambiposisi‖, yaitu
adposisi dengan dua bagian yang didepan dan dibelakang objeknya. Istilah ―ambiposisi‖,
seperti juga istilah ―ambifiks‘ dan ―sirkumfiks‖ tidak sangat umum dipakai dalam ilmu
linguistik.
Ada bahasa-bahasa yang memiliki adposisi yang preposisional saja dan bahasa
tersebut bersusun beruntun VO secara konsisten misalnya dalam bahasa Woleai
(Mikronesia, daerah Pasifik) sebagai berikut:
(5) woal
Mariiken
dala;nya
amerika
‗di Amerika‘
13
Awaluddin Sitorus
(6) faal
mai
we
di:bawah:nya pohon: sukun itu
‗di bawah pohon sukun itu‘
(7) ttir
tangi Bill
cepat dari Bill
‗lebih cepat dari Bill‘
Bahasa-bahasa yang bersusun beruntun OV secara konsisten biasanya memiliki adposisi
hanya dalam bentuk posposisi saja: contohnya dalam bahasa Jepang (contoh 8 dan 9),
bahasa Manam Papua Niugini (contoh 10 dan 11), dan bahasa Punjabi (contoh 12 dan
13):
Tookyoo ni
(atau:)
Tokio ke
‗ke Tokyo‘
(9) Yokohama made
Yokohama sampai
‗sampai Yokohama‘
(10) p‟atu bo?ana
batu seperti
‗seperti batu‘
(11) ?a‟i
o‟no
tongkat
dengan
‗dengan tongkat‘
(12) ker
yc
rumah di:dalam
‗di dalam rumah‘
(13) pwtrang
tong
anak:anak:putera
dari
‗dari anak-anak putera
tookyoo e
Tokio
(8)
ke
Adanya banyak bahasa yang tidak memiliki keselarasan infraklausal untuk susunan
beruntun, sehingga frasa adposisi meliputi baik preposisi maupun posposisi antara lain
dalam bahasa Jerman (contoh 14, 15 dan 16), bahasa Belanda (contoh 17 dan 18) dan
bahasa Inggeris (contoh 19 dan 20).
(14) mit
diese-n
denan ini
J:DAT
‗dengan buku-buku ini‘
(15) fur die
untuk ART:DEF:N:J:AK
‗untuk anak-anak itu‘
(16) ihm
zuwider
3:M:T:DAT
melawan
Buch-er-n
buku J DAT
kind-er
anak J:AK
14
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
‗melawan dia‘
(17) over
het
melintasi
ART:DEF:N:T
(18) het
erf
ART:DEF:N:T pekarangan
melintasi pekarangan‘
(19) notwithstanding
the
Walaupun:ada ART;DEF
erf
pekarangan
over
melintas
problem
masalah
‗walaupun ada masalah itu‘
problem notwithstanding
(20) the
ART:DEF
masalah walaupun:ada
‗walaupun ada masalah itu‘
Ambiposisi dapat diperiksa dalam bahasa Belanda dan Inggeris sebagai berikut:
(21) tegen
melawan
mijn
wens-en
POS;1:T
kehendak J
in
‗melawan kehendak saya‘
(22) door
de
melalui ART:DEF
kamer heen
ruang
‗melalui ruang itu‘
(23) for
demi
peter-„s sake
Peter
JEN
‗demi Peter‘
Dalam banyak bahasa, frasa adposisi membutuhkan adposisi mejemuk atau adposisi
frasal atau adposisi rangkap sebagai induk frasa adposisional. Adposisi itu seakan-akan
bertumpuk satu pada yang lain dan oleh sementara ahli disebut ―adposisi bertumpuk‖.
Apakah adposisi bertumpuk dipandang sebagai adposisi majemuk atau adposisi frasal
rupanya tidak begitu penting dan istilah ―adposisi bertumpuk‖ menghindari masalah
tersebut. Contoh berikut ini adalah contoh bahasa Inggris (adposisi bertumpuk dicetak
tebal):
(24) They took it from under
the
cabinet.
3:J
ambil 3:T dari di:bawah ART:DEF
lemari
‗Mereka mengambilnya dari tempat di bawah lemari‘.
(25) They dragged it to* (the space) under
the
cabinet
3:J
seret
3:T ke ART:DEF tempat di:bawah ART:DEF lemari
‗Mereka menyeretnya ke tempat di bawah lemari‘.
15
Awaluddin Sitorus
Dalam kasus (16), preposisi bertumpuk from under memang ―bertumpuk‖ secara
semantic pula, karena temapat barang yang diambil adalah di bawah (under) almari,
sedangkan barang tersebut lalu pindah dari (from) tempat tersebut. Padahal ada kendala
gramatikal pada alat semantic tersebut, seperti terlihat dalam (17): * to under tidak
gramatikal (frasa the space atau prasa serupa wajib dipakai), dan under the cabinet adalah
atribut pada nomina space.
Dalam bahasa Indonesia preposisi bertumpuk *dari di bawah tidak gramatikal,
bukan karena preposisi bertumpuk dalam bahasa ini tidak mungkin, melainkan karena
yang bertumpuk rangkap tiga tidak mungkin (di bawah sudah rangkap).
Dalam penelitian antarbahasa kita temukan berbagai sistem adposisi bertumpuk.
Periksalah system adposisi dalam bahasa Inggris. Bahasa ini memiliki system adposisi
(tunggal) yang cukup terperinci: ada of ‗dari‘, from ‗dari‘, ‗daripada‘, to ‗ke‘, ‗kepada‘,
above ‗di atas‘, below ‗di bawah‘, behind ‗di belakang‘, before ‗sebelum‘, ‗di depan‘
after ‗sesudah‘, between ‗di antara‘, dan sejumlah lain lagi. Menyangkut system adposisi
bertumpuk dalam bahasa ini, system tersebut tergantung dari kebutuhan semantic (dengan
kendala gramatikal tertentu), tetapi seluruh system adposisi adalah system yang terdiri
dari banyak adposisi tunggal. Sistem ini kiranya dapat kita sebut system ―tipe Inggris‖.
Sebaliknya, dalam bahasa tertentu yang lain ada sistem yang agak lain sifatsifatnya: jumlah adposisi tunggal hanya sedikit saja, sehingga kebutuhan semantis perlu
diungkapkan dengan sistem adposisi bertumpuk. Dalam bahasa Tok Pisin, misalnya, ada
hanya tiga adposisi tunggal (kebetulan preposisi semua), yaitu: long ‗di‘, ‗dari‘; bilong
‗dari‘, ‗PRP:POS‘; dan wantaim ‗dengan‘ )tidak terhitung bentuk verbal winim ). Semua
preposisi lainnya berupa preposisi bertumpuk (dengan long semua), sebagai contoh Tok
Pisin:
(26) aninit long antap long ausait long insait
bawa di
atas
di
‗di bawah‘ ‗di atas‘
(27) namel long
luar
di
‗di luar‘
paslain long
antara di
depan
di
‗di antara‘
‗di depan‘
dalam
di
‗di dalam‘
raun
keliling
long
long
di
‗di keliling‘
Konstituen di depan long (kecuali paslain dan raun)
, bila dipakai tanpa long,
dapat berfungsi sebagai nomina atau sebagai adverbial. Contohnya aninit ‗bagian bawah‘
(seperti dalam long aninit ‗di bagian bawah) atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di
bawah‘; contoh lain adalah antap ‗bagian atas‘ (seperti dalam long antap ‗di bagian
atas‘), atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di atas. Yang penting disadari adalah bahwa
konstruksi seperti long aninit dan long antap adalah frasa preposisional (dengan long
sebagai preposisi tunggal), sedangkan aninit long dan antap long adalah preposisi
bertumpuk dan baru dengan nomina berikut merupakan frasa preposisional, seperti dalam
bahasa Tok Pisin,
(28) antap
atas
long haus
aninit long haus
di
bawah di
rumah
‗di atas rumah‘
rumah
‗di bawah rumah‘
16
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
Hampir semua kebutuhan semantik terpenuhi dengan adposisi bertumpuk dan
sistem ini dapat kita juluki sistem ―tipe Tok Pisin‘. Dalam kontinuum di antara kedua
sistem ini, yaitu tipe Inggris dan tipe Tok Pisin itu, ada sistem yang berlaku untuk
banyak bahasa yang lain, bahasa Indonesia (―tipe Indonesia‖, katakanlah) di antaranya.
Artinya, jumlah adposisi tunggal (seperti: di, dari, ke, pada, dengan, tanpa, untuk, bagi)
tidak sangat besar tetapi juga tidak sangat kecil, sedangkan adposisi bertumpuk dalam
bahasa ini agak besar jumlahnya juga (contohnya: di bawah, di atas, di belakang, dan
seterusnya, dan adposisi serupa dengan dari dan pada sebagai adposisi pertama: dari
bawah, dari atas, dan seterusnya). Pendek kata, adposisi bertumpuk cukup besar
jumlahnya, dalam bahasa ini. Ada pula kendala gramatikal: ke + sufiks promominal tidak
mungkin tanpa pada (kepadanya-nya, bukan * ke-nya; daripada-ku, bukan * dari-ku, dan
seterusnya), sedangkan di antara adposisi tunggal ada yang dapat ditambahi sufiks
(dengan-nya, untuk-nya), dan ada yang tidak (*tanpa-nya). Bahkan adposisi yang
berprefiks men- tidak dapat ditambahi sufiks, sedangkan bentuk yang sama sebagai verba.
Contoh bahasa Indonesia
(29) Saya kirim pesan ke* (pada) kepala kantor itu.
(30) Saya kirim pesan ke (*pada) kantor itu.
(31) Kalau label untuk buku, tempelkan saja kepada-nya.
Ada dua tipologi morfologis, yaitu bahasa pemarkah induk dan bahasa pemarkah
bawahan. Kebetulan bahasa Indonesia (dan banyak bahasa Austronesia khususnya di
Indonesia) sebagian besar memarkahi induk dalam konstruksi yang bermarkah.
Contohnya: untuk-nya; bagi-nya; daripada-nya.
Frasa adposisional pemarkah induk ada dua jenis:
1. Pemarkahan adposisi secara pronominal sebagai pengganti nimona. Misalnya,
dalam bentuk Indonesia untuk-nya atau bagi-nya, sufiks-nya menggantikan
nomina; artinya, bila nomina hadir, tak ada pemarkahan – nya: tidak mungkin
konstruksi seperti *untuk-nya guru, haruslah untuk guru.
2. Pemarkahan adposisi induk adalah pemarkahan yang hanya menyertai, tidak
mengganti, nomina objek, jadi ada baik pemarkahan (tebal) maupun nomina
objek.
Contoh bahasa Abkhaz (Kaukasia)
(32) ajeyas
aq‟ne
ART sungai 3:T pada
‗pada sungai itu‘
Pemarkahan bawahan dalam frasa adposisional terjadi dalam bentuk kasus nominal.
Adposisi ―menguasai‖ (istilahnya) kasus tertentu dalam objek. Dalam bahasa yang
termasuk dalam tipologi ini, adposisi dengan bentuk yang sama dapat berbeda menurut
kasus-kasus yang ―dikuasainya‖ dalam objek, seperti dalam bahasa Latin: preposisi in
dalam bahasa Latin menguasai kasus ablative dalam objeknya, bila artinya lokatif,
sedangkan in menguasai akusatif bila sesuatu bergerak masuk tempat yang ditunjuk oleh
objek:
17
Awaluddin Sitorus
(33)
Est
Ada:3:T:KPR:IND
‗dia ada di rumah‘
PRP
in
domrumah T:ABL
o
(34) It
in dom- um
Gerak;KPR:IND:3:T PRP rumah Ak
‗dia masuk ke dalam rumah‘
Dalam bahasa Jerman, preposisi tertentu menguasai kasus datif dalam objeknya
(misalnya, mit ‗dengan‘ atau seit ‗sejak‘), sedangkan preposisi yang lain (misalnya
wegen ‗karena‘, atau wa'hrend ‗selama‘) menguasai kasus jenitif dalam objeknya;
preposisi lain lagi menguasai kasus akusatif (misalnya fu”r ‗untuk‘ atau durch
‗melalui‘).
(35) mit
den
Kind- er- n
dengan ART:DEF:N:J:DAT anak J
DAT
‗dengan anak-anak itu‘
(36) seit dem
Krieg
sejak ART:DEF:M:T:DAT perang
‗sejak perang itu‘
(37) wegen
des
schlechten
wetter-s
karena ART:DEF:N:T:JEN buruk:T:JEN cuaca EN
‗karena cuaca yang buruk‘
(38) durh
den
Saal
melalui ART:DEF:M:T:AK ruangan
‗melalui ruangan‘
Pembahasan ini hanya membahas dalam struktur intrafrasalnya. Namun
struktur tersebut kadang-kadang tergantung dari struktur ekstrafrasalnya. Dalam tradisi
pembahasan gramatikal baik untuk bahasa Inggris (contoh 39) maupun untuk bahasa
Indonesia (contoh 40) tidak terlihat adanya masalah. Misalnya frasa preposisional bahasa
Inggeris on the table dapat menjadi atribut pada the flowers, dan dalam frasa
preposisional dalam bahasa Indonesia di samping lemari dapat menjadi atribut pada kursi.
(39) the
flower
on
the
table
ART:DEF
bunga di:atas ART:DEF meja
‗bunga di atas meja‘
(40) kursi di samping lemari
Akan tetapi, dalam bahasa Tok Pisin tidak semua frasa preposisional dapat dipakai
sebagai atribut. Misalnya, frasa long ston dapat, tetapi konstruksi seperti itu agak jarang
dipakai, dan hanya bila long sebagai preposisi tunggal bermakna lokatif (tidak bila
bermakna ‗ke‘); dalam makna lokatif lebih ―normal‖-lah bentuk klausa relative.
(41) hul
long
ston
lobang di:dalam batu
‗lobang di dalam batu‘
18
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
(42) olgeta samting I
stap long graun
semua
benda PRK ada di bumi
‗semua benda yang ada di dalam bumi‘
(43) rot * (i)
raun
long maunten
jalan PRK keliling di bukit
‗jalan yang mengelilingi bukit‘
Dalam bahasa OV dengan keselarasan infraklausal yang konsisten yakni bahasa dengan
posisi pronominal yang wajib untuk semua atribut, ada kendala-kendala ketat untuk frasa
posposisional sebagai atribut. Misalnya, dalam bahasa Jepang hanya frasa dengan
posposisi no ‗dari‘, ‗POS‘, dapat berperan sebagai atribut, dan alasan semantik, posposisi
lain dibutuhkan, penambahan posposisi no di belakangnya perlu demi kegramatikalan
frasa posposisional sebagai atribut, seperti contoh berikut.
(44) Niho no fune
Jepang PSP kapal
‗kapal Jepang‘; atau: ‗kapal dari Jepang‘;atau:
‗kapal yang tujuannya Jepang‘; atau: ‗kapal milik Jepang‘
(45) Nihon kara no
fune
Jepang PSP PSP kapal
‗kapal yang dari Jepang (datangnya)‘
KESIMPULAN
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu
kesatuan. Frasa adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa
nominal sebagai konsisten bawahan. Selain itu juga adposisi dan objek-nya, preposisi,
posposisi, ambioposisi, adposisi bertumpuk.
Konstituen pada frasa adposisional itu disebut objek artinya objek pada adposisi induk.
Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk membedakannya dari ―objek‖ (huruf
besar) sebagai argument dalam klausa; artinya Objek pada verba.
DAFTAR PUSTAKA
Bloch and trager. 1942. Readings in Linguistics. New York: American Council.
Chaer. Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer. Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dik, Simion C. 1979. Functional Grammar. Amsterdam: Nort Holland.
Dola, Abdullah. 2010. Tataran Sintaksis dalam Gramatika Bahasa Indonesia. Makassar:
Badan Penerbit Univesitas Negeri Makassar.
19
Awaluddin Sitorus
Elson and Picklett. 1983. Language Teaching: A scientific Approach. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana .1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
P, Wardihan. 2010. Diktat Pengantar Linguistik. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
Pike, Kenneth L., and Evelyn G. Pike.1977. Grammatical Analysis, The Summer Institu
of Linguistics and The University of Texas at Arlington.
Ramlan, M. 1985. Tatabahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Ofset.
Samsuri. 1978. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto. 1991. Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Stryker. 1969. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik, Jilid I: Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Verhaar, J.W.M. 1994c. ―Language underived. “Notes on Linguistics, 67: 41-44.
Verhaar, J.W.M. 1995a. ―Endony and exonyms. “Notes on Linguistics, 70: 11-14.
20