BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat - Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Leg

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga perwakilan

  rakyat telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Di bentuknya peraturan tersebut merupakan sebagai norma hukum yang menjadi dasar upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan.

  Tidak hanya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh Negara saja yang menjadi landasan hukum ikut sertanya perempuan di lembaga perwakilan rakyat, Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk beberapa instrument hukum. Contohnya saja Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) yang mengatur hak-hak publik dan privat untuk perempuan. Beberapa instrument lainnya tentang hak asasi manusia juga telah diratifikasi Indonesia untuk menjadi hukum formil.

  Berikut beberapa peraturan nasional dan internasional yang memberikan pengaturan tentang hak politik perempuan untuk menjadi legislator.

1. Peraturan Nasional a.

  Pancasila

  52 Pancasila merupakan staatfundamentalnorm ( norma

  fundamental Negara). Sebagai suatu norma tertinggi disuatu 52 Negara yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam

  Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan suatu Negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat

  53 bergantungnya norma norma hukum di bawahnya .

  Sehingga, kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang

  54 membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undanga tersebut .

  Sehingga Pancasila merupakan suatu asas hukum dasar.

  Hubungan Pancasila dengan jaminan hukum dari keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat terletak pada isi pancasila, terutama pada sila kedua. Isi sila kedua yaitu, kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki pengertian bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan

  55

  sama dalam hukum . Dari isi sila kedua tersebut mengandung makna bahwa Negara menjamin hak setiap orang termasuk hak perempuan untuk menyatakan pendapat dan ikut memilih dan dipilih untuk mencapai kehidupan yang layak serta memberikan manfaat bagi orang lain.

  b. 53 Undang Undang Dasar 1945 54 Ibid. hlm.28 Ibid.hlm.41

  Pancasila merupakan dasar dan sumber serta pedoman pada batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 sebagai aturan dasar Negara (verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan

  56 lainnya .

  Dalam Undang Undang Dasar 1945 setelah di amandemen,

  Bab XA merupakan bab baru yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Pasal yang mengatur tentang keterwakilan perempuan adalah;

  Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

  Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 22E ayat (1): Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2): Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

  Pasal 28I ayat (2):

  Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

  Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

  Pasal 28I ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

  Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 berbunyi; Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

  Pada pasal ini ada kata „perlakuan khusus‟ dimaknai sebagai tindakan positif pemerintah agar kelompok tertentu mendapatkan keadilan memperoleh haknya. Tidak ditentukan kelompok tertentu tersebut secara spesifik, tetapi di Indonesia perlakuan khusus ini diberikan kepada perempuan karena hak perempuan belum

  57 sepenuhnya terpenuhi.

  c.

  Peraturan Perundang Undangan

57 Irma Latifah Sihite, Penerapan Affirmative Action sebagai upaya Peningkatan

  Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen Indonesia, Tesis, Jakarta; Universitas Indonesia, hlm. 58 (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297574-T29780%20-

  Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah mengenai keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat.

  1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan

  Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita; Melalui Undang-Undang ini, Indonesia meratifikasi

  Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Perempuan pada tahun 1952 yang mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak untuk mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syarat-syarat yang sama dengan kaum laki-

  58

  laki . Dengan adanya konvensi ini, maka telah ada pengakuan bahwa setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan di negaranya secara langsung ataupun tidak langsung melalui

  59 perwakilan yang di pilih secara bebas .

  Tiga pasal dalam Konvensi ini yang memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan adalah; Pasal 1: Wanita akan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan-pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi.

  Pasal 2: Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pilihan umum yang didirikan oleh hukum nasional. Dengan syarat-syarat sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi.

58 Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum (http: http: //www.

  

  Pasal 3: Wanita akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat-syarat yang samadengan pria, tanpa diskriminasi.

  Ketiga pasal ini memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan, tetapi tidak memberikan pengaturan tentang

  60 mekanisme untuk mewujudkan suaatu keadilan bagi perempuan .

  2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan

  Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita

  Konvensi ini di ratifikasi dengan mengingat bahwa diskriminasi terhadap wanita melanggar azas-azas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi partisipasi wanita, atas dasar persamaan dengan pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Negara-negara mereka menghambat pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi wanita dalam

  61

  pengabdiaannya pada Negara dan kemanusiaan , maka dari itu Indonesia meratifikasi Konvensi ini.

  Beberapa Pasal yang memebrikan jaminan hukum keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah; 60 Pasal 2 huruf f: 61 Irma Latifah… Op.cit. Hlm. 59 Lihat lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984

  tentang Pen g esah an Kon ven si Men g en a i Pen gh a p u san Sega la Ben t u k Di sk ir i min a si T er h ad a p Wan i ta ( C on ven t i on On Th e E lim in a ti on Of Al l For m s Of Di scr im in a ti on Aga in st Wom en ) Tah un 19 8 4 Nom or

  Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah, menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita.

  Pasal 3: Negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk membuat peraturan perundang- undangan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan pokok dasar persamaan dengan pria.

  Pasal 4 ayat (1): Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara pria dan wanita, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar- standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan- peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.

  Pasal 7: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan dengan pria, hak:

  a. untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat;

  b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara;

  Pasal 8 Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat untuk menjamin bahwa wanita,berdasarkan persyaratan yang sama dengan pria dan tanpa diskriminasi, mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional.

  Pasal 15:

  1. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.

  2. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada wanita, dalam hal-hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan pria dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya tersebut. Secara khusus, Negara harus memberikan kepada wanita persamaan hak untuk untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama kepada pria dan wanita di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan.

  3. Negara-negara pihak bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen pribadi lainnya yang mempunyai kekuatan hukum dan ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi wanita, wajib dianggap batal demi hukum.

  4. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada pria dan wanita hak sama menurut hukum yang berkaitan dengan kebebasan bergerak perorangan kebebasan untuk memilih tempat tingal dan domisili.

  Pada pasal 3 dan pasal 4 ayat (1) undang undang ini memerintahkan untuk membentuk suatu tindakan khusus sementara (temporary special measure) atau yang disebut dengan affirmative action. Dibentuknya kebijakan tersebut merupakan solusi yang diberikan oleh undang-undang ini untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan.

  Selanjutnya pada pasal 7 dan pasal 8 undang- undang ini mewajibkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan public. Serta Negara yang meratifikasi konvensi ini wajib menjamin hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintahan.

  3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

  Undang undang ini menyadari pentingnya peran perempuan dalam politik demi mencapai suatu keadilan.

  Dalam undang-undang inimenyebutkan yang dimaksud dengan keterwakilan perempuan adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi perempuan untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, legislatif, yudikatid,

  62 kepartaian dan pemilihan umum .

  Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah;

  Pasal 1: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat 62 manusia.

  Lihat Penjelasan pasal 46 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

  Pasal 2: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

  Pasal 3 ayat (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

  Pasal 5 ayat (1): Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum.

  Pasal 8 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

  Pasal 46 Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggotan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

  Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

  (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum.

  Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

  Pasal 72: Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. 4)

  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik

  Undang-undang ini bersumber dari Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Konvensi ini berisi pokok-pokok hakasasi manusiadi bidang sipil dan politik sehingga menjadi ketentuan hukum yang mengikat.

  Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah;

  Pasal 3: Negara pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.

  5)

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang

  Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Instruksi Presiden ini merupakan perangkat hukum yang adalah untuk menyelenggarakan perencanaan, penyusunan, pelaksanaaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkelluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  Pembangunan nasional yang dimaksud juga termasuk bidang politik bagi perempuan, yang dapat memberikan kesempatan pada perempuan untuk ikut serta dalam pemerintahan.

2. Peraturan Internasional

  Beberapa peraturan Internasional yang menjadi landasan hukum hak

  63

  politik perempuan antara lain ;

  a) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

  b) Rekomendasi Umum Komite Convention on Elimination off All

  Forms Discrimination Againts Woman (CEDAW) Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik, c)

  Tindakan Khusus Sementara Pasal 4 ayat (1) CEDAW, sesi ke-30 Tahun 2004

  d) Concluding Comment Komite CEDAW 2007, atas Laporan

  Keempat dan Kelima Indonesia yang disampaikan dalam Sesi ke Tiga puluh Sembilan Sidang Umum CEDAW, tepatnya dalam

63 Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen:

  Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sidangnya yang ke 799 dan ke 800 pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, Amerika Serikat

  e) Beijing Platform for Action (BPfA) dalam Konferensi Perserikatan

  Bangsa-Bangsa tetnang Perempuan Ke-IV di Beijing Tahun 1995

  f) Millenium Development Goals – MDGs Tahun 2000 B.

  

Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1.

  Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewanperwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun2003 ini, tidak disebutkan tentang kedudukan perempuan di Parlemen. Pada undang undang ini, kedudukan perempuan untuk menjabat menjadi pimpinan alat kelengkapan tidak di khususkan secara tertulis.

  2. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan pasal dibawah ini mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR.

  Pimpinan komisi.

  Pasal 95 ayat (2) : Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

  menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

  Pimpinan Badan Legislasi

  Pasal 101 ayat (2) : Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilihdari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan

  perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

  Pimpinan badan anggaran

  Pasal 106 ayat (2) : Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan

  perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi.

  Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara

  Pasal 119 ayat (2): Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

  Pimpinan Badan Kehormatan

  Pasal 125 ayat (2): Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari danoleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsipmusyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

  menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

  Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga

  Pasal 132 ayat (2): Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan

  keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi.

  Pimpinan Panitia Khusus

  Pasal 138 ayat (2): Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

  3. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat

  Pada undang u ndang ini, dihapus klausula „memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi‟ dan menggantinya dengan „berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat‟.

  Presiden menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan perkara Nomor. 82/PUU-XII/2014 tanggal 23 September 2014,

  … tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih

  64 menentukan pada lembaga-lembaga negara tersebut .

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang

  Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

  Pada gugatan tentang diberikannya kebijakan khusus sementara (affirmative action), Mahkamah berpendapat bahwa:

  Setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi

  affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang 64 politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008,.hlm. 37 dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum

  Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination

  65 Against Woman (CEDAW) .

  Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination , yang memberi kesempatan kepada perempuan

  demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini, disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan, maka seharusnyalah aspek kepentingan gender dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan di bidang

  66 politik, sosial, ekonomi, hukum, dan cultural.

  Di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, perlakuan khusus 65 tersebut diperbolehkan. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi,

  Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hlm 97 (www.mahkamahkonstitusi.go.id)

  “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

  khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

  ” Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah. Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, diambil kesimpulan bahwa: 1)

  Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Undang Undang ini tidak memberikan kebijakan khusus kepada Perempuan untuk diberi kesempatan menduduki posisi penting pada Lembaga Perwakilan Rakyat.

  Hal ini tidak sesuai dengan pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat

  kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan .” Dari isi pasal ini, Perempuan yang

  memiliki jumlah minoritas dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dapat diberikan ke khususan untuk memperoleh kedudukan yang penting untuk memberikan manfaat bagi Negara.

  2) Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

  Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Pasal ini memberikan kebijakan khusus pada Legislator Perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat untuk memudahkan Perempuan memperoleh posisi yang penting. Hal ini terwujud dengan klausul

  “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi ”.

  Klausul tersebut memberikan jaminan kemudahan pada Legislator Perempuan untuk dapat menjadi pemimpin pada alat kelengkapan pada Lembaga Perwakilan Rakyat.

  3) Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014

  Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  Undang Undang ini menghapus klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi

  ”. Klausul ini dihapus dengan alasan bahwa kebijakan ini tergolong dalam pendiskriminasian kaum perempuan.

  Sedangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Mahkamah berpendapat bahwa

  Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, kebijakan khusus ini merupakan diskriminasi positif untuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki.

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014 tentang

  Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang Undang Dasar 1945

  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014 mengenai penghapusan klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan” pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Mahkamah berpendapat bahwa penghapusan klausul tersebut akan menimbulkan ketidak pastian hukum yang adil bagi perempuan karena perubahan yang dilakukan tersebut dapat membuyarkan seluruh kebijakan affirmative yang telah dilakukan pada kelembagaan politik lainnya. Mahkamah juga berpendapat bahwa klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan” yang tertuang pada Undang Undang No 27 Tahun 2009 telah menjadi norma hukum karena itu dihapusnya kebijakan ini pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengakibatkan ketidak pastian hukum yang adil sesuai pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

  Selanjutnya, amar putusan yang diputuskan oleh hakim adalah memasukkan klausul “dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap tiap fraksi” pada pasal-pasal yang menghapus kebijakan affirmative pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014. Frasa “mengutamakan” menurut Mahkamah memiliki makna yang lebih kuat, sehingga lebih sungguh-sungguh memperhatikan keterwakilan perempuan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Penerapan Iso 9001:2000 Kaitannya Dengan Harga Cpo Dan Keuntungan (Kasus : Pt Perkebunan Nusantara Iii (Persero) Kebun Sei Meranti Kabupaten. Labuhan Batu Selatan)

0 0 12

Analisis Penerapan Iso 9001:2000 Kaitannya Dengan Harga Cpo Dan Keuntungan (Kasus : Pt Perkebunan Nusantara Iii (Persero) Kebun Sei Meranti Kabupaten. Labuhan Batu Selatan)

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Atas Upaya Reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Menciptakan Tatanan Negara-Negara Di Dunia Yang Berdaulat, Damai Dan Adil

0 0 12

Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Patogen Tanaman - Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

0 0 7

Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

0 0 13

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Setiap Penelitian memerlukan kejelasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah-masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masala

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Persepsi Mahasiswa Terhadap Pemberitaan Tv Swasta

0 0 7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

0 0 16