BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Definisi

  Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi (Notoatmodjo, 2003).

  Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979), perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

  Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : a.

  Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

  b.

  Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

  8 c.

  Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan juga undang-undang dan peraturan.

  Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

  Menurut Benyamin Bloom (1908), membagi perilaku ke dalam tiga domain pendidikan yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.1.2 Pengetahuan (Knowledge)

  Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian Rogers (1974), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni : a.

  Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

  b.

  Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

  c.

  Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

  d.

  Trial (memcoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e.

  Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

  Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan bersifat langgeng. Hal yang penting dalam perilaku adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku, karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan.

  Teori Stimulus Organisme (S-O-R) mendasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kepemimpinan, gaya berbicara, kredibilitas, sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat.

2.1.3 Sikap (Attitude)

  Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup suatu stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Newcomb seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

  Allport (1954), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

  c.

  Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

  Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ; 1.

  Menerima (Receiving) Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2. Merespons (Responding)

  Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.

3. Menghargai

  Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah sikap yang paling tinggi.

2.1.4 Praktek atau Tindakan (Practise)

  Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior) sehingga diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan dukungan berbagai pihak. Tingkatan-tingkat tindakan :

  1. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah praktek tingkat pertama.

  2. Respon Terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

  3. Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

  4. Adaptasi (Adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

2.2 Tuberkulosis Paru

2.2.1 Definisi

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet

  nuclei ) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono, 2008).

  2.2.2 Penyebab Tuberkulosis

  Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.

  Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.

  Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.

  Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008).

  2.2.3 Gejala-gejala Tuberkulosis

  Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah : Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

  Dahak bercampur darah.

  Batuk berdarah. Sesak napas. Badan lemas. Nafsu makan menurun. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik. Demam meriang lebih dari satu bulan.

  Dengan strategi yang baru (DOTS, Directly Observed Treatment Shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).

2.2.4 Penemuan Pasien Tuberkulosis

  1. Penemuan Pasien Tuberkulosis pada Orang Dewasa Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

  Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis.

  Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

  2. Penemuan Pasien Tuberkulosis pada Anak Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks (Depkes RI, 2008).

2.2.5 Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru

  1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

   Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak

  menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam : a.

  Tuberkulosis paru BTA positif.

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

  2) 1 (satu) spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3) 1 (satu) spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

  Tuberkulosis positif.

  4) 1 (satu) atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

  b.

  Tuberkulosis paru BTA negatif.

  Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi : 1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif. 2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis. 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

  2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu : a.

  Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

  b.

  Kambuh (Relaps) Adanya pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

  c.

  Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. d.

  Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

  e.

  Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

  f.

  Lain-lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.2.6 Cara Penularan Tuberkulosis

  Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun

  tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien

  Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).

  Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang endemis terhadap penyakit Tuberkulosis.

  Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

  Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.

  Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2008).

  Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan Annual

  Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

  terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis.

  Setengah dari mereka BTA-nya akan positif (0,5%) (Depkes RI, 2008).

  Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2008).

  Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh, faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :

  1. Harus ada sumber penularan 2.

  Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus menurus.

  3. Virulensi (keganasan) basil.

  4. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis berkembang biak.

  Menurut Depkes RI (2008), faktor risiko kejadian Tuberkulosis, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut: Bagan 2.1

  Faktor Risiko Kejadian Tuberkolosis Paru transmisi ● Diagnosis tepat

  Jumlah kasus TB BTA+ dan cepat Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila

  ● Pengobatan tepat dengan HIV : dan lengkap ■ Ventilasi ■ Kepadatan ● 5-10% setiap tahun ● Kondisi kesehatan mendukung ■ Dalam ruangan ● >30% lifetime Faktor Perilaku

  HIV (+)

  SEMBUH

  TERPAJAN

INFEKSI MATI TB

  10% Kosentrasi Kuman

  ■ Keterlambatan diagnosis Lama Kontak dan pengobatan

  ■ Malnutrisi ■ Tatalaksana tak memadai ■ Penyakit DM, ■ Kondisi kesehatan Immuno-supresan

  ● Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati

  Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan : 50% meninggal 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

  Sumber: Depkes RI, (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

2.2.7 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

  Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit.

  Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment).

  Pencegahan Tuberkulosis yang utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.

  Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai berikut :

  1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan : a.

  Penemuan penderita sedini mungkin.

  b.

  Isolasi penderita sedemikian rupa selama masih dapat menularkan.

  c.

  Segara diobati.

  2. Memutuskan mata rantai penularan.

3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru.

  Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.

  Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada : a.

  Keadaan sosial ekonomi rakyat.

  Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.

  b.

  Kesadaran berobat si penderita Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.

  c.

  Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.

  Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.

2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Pencegahan Tuberkulosis Paru 1.

  Umur Dalam menurunkan angka kejadian TB Paru, sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mendukung program yang dilaksanakan pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan adalah dimana Individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga maupun kesehatan masyarakat. Sebagian besar penderita TB Paru adalah penduduk pada kelompok usia produktif, sehingga perlu dilakukan penanggulangan secara intensif sebagai bagian daripembangunan kesehatan khususnya peningkatan derajat kesehatan pada kelompok usia produktif (Depkes RI, 2008).

  Gunarsa (1991), menyatakan bahwa usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia semakn berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya akan semakin membaik, karena usia yang semakin tua, maka semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

2. Pendidikan

  Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap tetang pelayanan kesehatan. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional daripada mereka yang berpendidikan rendah, lebuk kreatif dan lebih terbuka terhadap usaha-usaha pembaharuan, dan juga lebih dapat mmenyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan sosial, dengan demikian faktor pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakatt berperilaku yang buruk dalam kehidupannya sehingga lebih banyak menderita Tuberkulosis Paru dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi (Purwoko, 2000).

  3. Pekerjaan Masyarakat yang bekerja umumnya merasakan pentingnya menjaga kesehatan individu maupun keluarga untuk tetap dapat hidup secara sehat dan tetap dapat melaksanakan aktivitas sesuai pekerjaan yang dimilikinya. Dalam kondisi demikian kepedulian mereka terhadap program yang dikembangkan atau dilaksanakan pemerintah dilingkingan tempat tinggalnya lebih baik dibandingakan dengan masyarakat yang tidak bekerja.

  4. Penghasilan Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru (Depkes, 2000).

2.4. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen

  Faktor perilaku : Pengetahuan

  • Sikap -
  • Kejadian Tuberkulosis Paru Karakteristik :

  Tindakan

  Pendidikan

  • Pekerjaan -
  • Kejadian Tuberkulosis Paru dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor-faktor : 1.

  Penghasilan

  Faktor Perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan.

2. Faktor Karekteristik yang meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan.

  Kedua faktor ini merupakan faktor penyebab langsung terjadinya TB paru di wilayah kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa.

2.6. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut: Ha : Ada hubungan karakteristik, pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti. Ho : Tidak ada hubungan karakteristik dan pengetahuan, sikap, tindakan mengenai lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti.

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Penjadwalan Produksi Dengan Metode Algoritma Genetika Di Pt. Agri First Indonesia

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN - Penjadwalan Produksi Dengan Metode Algoritma Genetika Di Pt. Agri First Indonesia

0 1 16

2.1 Penelitian Sebelumnya - Perbandingan Karakter Tokoh Pada Teater Tradisional Cina Jing Ju Dengan Teater Tradisional Indonesia Makyong

0 1 16

Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Melon (Cucumis melo L.) melalui Aplikasi Pupuk Organik dan Anorganik

0 0 21

Peranan Pupuk Organik Terhadap Kesuburan Tanah Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Fisik Tanah

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Permintaan 2.1.1 Teori dan Hukum Permintaan - Analisis Kepuasan Nasabah Terhadap Pelayanan PT. Bank Sumut : Studi Kasus Nasabah Pengguna Fasilitas Safe Deposit Box

0 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman - Pengaruh Sungai Sebagai Pembentuk Permukiman Masyarakat di Pinggiran Sungai Siak (Studi Kasus : Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Siak Kabupaten Siak, Riau)

5 30 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Sungai Sebagai Pembentuk Permukiman Masyarakat di Pinggiran Sungai Siak (Studi Kasus : Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Siak Kabupaten Siak, Riau)

0 0 8

PENGARUH SUNGAI SEBAGAI PEMBENTUK PERMUKIMAN MASYARAKAT DI PINGGIRAN SUNGAI SIAK (Studi Kasus : Permukiman di Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Riau) SKRIPSI

0 0 16

II. DATA KHUSUS A. Perilaku Pengetahuan. - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 0 46