PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil o
PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus
aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus
aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil ointment
on Staphylococcus aureus infected rats
Setyo Sri Raharjo, Maryani, Kisrini
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta
ABSTRAK
Kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) mengandung minyak atsiri dengan berbagai komponen seperti
limonena, linalool, dan mirsen yang diduga bermanfaat sebagai antibakteri. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui efek antibakteri salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis terhadap Staphylococcus aureus in vivo.
Sebanyak 30 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dengan usia 2-3 bulan, berat badan 150-200 g dibagi
5 kelompok secara random. Setelah adaptasi lingkungan semua tikus diberi perlukaan dengan cara punggung
tikus dicukur bulunya kemudian disemprot dengan chloretyl spray, selanjutnya luka dibuat dengan membuat
-3 luka bakar diameter 2 cm. Inokulasi bakteri S. aureus isolate klinik dengan konsentrasi 10 sebanyak 0,1mL. Pada hari ke 4 setelah inokulasi, kelompok I (kontrol negatif) diberi vaselin pada luka infeksi. Kelompok
II (kontrol positif) diolesi salep kloramfenikol. Kelompok III, IV, dan V berturut-turut diolesi salep minyak
atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20%, 40%, 80%. Semua perlakuan dilakukan setiap hari selama 21
hari. Pemberian salep masing-masing sebanyak 100 mg sekali pemberian dengan menggunakan solet plastik.
Setelah disalep luka ditutup dengan kassa steril. Pengamatan luas luka dilakukan pada hari ke1, 3, 7, 14 dan
21. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji ANAVA dilanjutkan dengan Post Hoc test. Hasil penelitian
pada hari 3, 7, 14 dan 21 menunjukkan ada perbedaan bermakna pada kelima kelompok perlakuan masing-
masing didapat p=0,00 (p<0,005), p=0,007 (p<0,05), p=0,007 (p<0,05), dan p=0,007 (p<0,05). Salep minyak
atsiri kulit buah jeruk nipis berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit oleh S. aureus pada tikus putih.Kata kunci: kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia), minyak atsiri, luka bakar
ABSTRACT
The peel of Lime (Citrus aurantifolia) contains essential oil which might be consisting of various components such
as limonena, linalool, and mirsen. Those chemical compound have been used as antibacterial properties. This
research aimed to find out the antibacterial effect of the essential oil ointment of lime peel against Staphylococcus
aureus by in vivo technique. A total of 30 male rats (Rattus norvegicus) aged 2-3 months, weight 150 to 200 g
were randomly divided into 5 groups. After being adapted all rats were assigned burn injury 2 cm in diameter.
- -3
Staphylococcus aureus isolate 0,1 ml were inoculated with a concentration of 10 . On day 4 after inoculation,
group I (negative control) was lubricated by vaselin album on the wound infection. Group II (positive control) was
lubricated by chloramphenicol ointment. Essential oils ointment of lime pell at concentration 20%, 40%, and 80%
respectively. All the treatments were given daily for up to 21 days. Administration of 100 mg ointments was given
by using plastic solet. Wound size was observed on day 1, 3, 7, 14 and 21. The data were analyzed using ANAVA
test followed by post hoc test. Result on day 3, 7, 14 and 21 showed significant differences among five groups p=
0.00 (p <0.005), p= 0.007 (p <0.05), p= 0.007 (p <0.05), and p= 0.007 (p<0.05), respectively. Ointment of essential
oil of lime peel has antibacterial effect on skin infection in rats.Key words: the peel of Lime (Citrus aurantifolia), essential oil, burn injury.
Volume 3, No. 1, Desember 2010
Volume 3, No. 1, Desember 2010 PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil ointment on Staphylococcus aureus infected rats
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan utama di negara berkembang, walaupun insidensinya menurun dengan ditemukannya antimikroba (Rendra, 2004). Namun efek samping yang tidak dikehendaki tidak jarang mengiringi penggunaan antimikroba seperti alergi dan toksik yang menyulitkan bahkan kadang-kadang berakibat fatal (Baierre dan Jacobs, 1998). Penggunaan secara berlebihan dan tidak rasional menimbulkan masalah resistensi (Anantharayan, 2000). Walaupun terdapat efek tak diinginkan dari antimikroba, namun penggunaannya tak dapat dielakkan, sementara itu alam telah menyediakan bahan- bahan yang dapat digunakan untuk melawan mikroba (Katno, 2004).
Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat. Berbagai keuntungan yang dimiliki bahan alam, antara lain: relatif mudah didapat, murah, efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi, serta lebih sesuai untuk Namun selain berbagai keuntungan, bahan alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat bahan alam. Kelemahan obat bahan alam antara lain: efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar, belum dilakukan uji klinik, dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme (Katno, 2004).
Tanaman jeruk nipis mempunyai beberapa kandungan seperti asam sitrat, damar, lemak, vitamin C, vitamin B1 (Tampubolon, 1995), asam amino triptofan, lisin (Mursito, 2002) dan mineral seperti besi, kalsium, fosfor, synephrine dan N-methyltyramine terdapat pada buah masak. Selain itu, jeruk nipis juga mengandung flavonoid seperti poncirin, hesperidin, rhoifolin, dan naringin (Dalimartha, 2000), saponin dan minyak atsiri (DepKes RI, 1991). Kandungan- kandungan tersebut berkhasiat sebagai antiinflamasi, antibakteri, antifungi (Pertiwi, 1992), obat pelangsing, menetralkan bau amis, menghilangkan nikotin yang menempel pada gigi, memperlunak daging, mengobati wasir (Mursito, 2002), mengatasi terkilir, membersihkan lemak di kulit wajah, menambah stamina, mukolitik, diuretik, peluruh keringat, dan membantu proses pencernaan (Dalimartha, 2000).
Pada jeruk nipis, khususnya di bagian kulit buah, terdapat kandungan minyak atsiri yang terdiri dari berbagai komponen seperti terpen, sesquiterpen, aldehida, ester, dan sterol. Rincian komponen minyak atsiri kulit jeruk nipis adalah sebagai berikut: limonena (82,06%), β pinene (7,29%), β mirsena (4,59%), β linalool (1,61%), α pinena (1,59%), terpineol (0,30%), α elemena (0,21%) (Agusta, 2000), fellandren, lemon kamfer, dan linalin asetat (Tampubolon, 1995).
Keterangan dari berbagai pustaka menyebutkan bahwa minyak atsiri jeruk nipis, bermanfaat sebagai antibakteri (Dalimartha, 2000; Mursito, 2002; Cvetnic dan Knezevic, 2004). Yang diduga merupakan senyawa antibakteri adalah limonena, linalool, dan mirsen dimana bekerja dengan menghancurkan membran sel bakteri (Pasqua et al.
, 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan
METODE PENELITIAN
Bahan
Staphylococcus aureus isolate klinik dengan
sebanyak 30 ekor dengan usia 2-3 bulan, berat badan 150-200 g diadaptasikan dengan lingkungan selama 3 hari, kemudian dibagi menjadi 5 kelompok secara random. Pada hari ke 4 semua tikus diberi perlukaan dengan cara punggung tikus dicukur bulunya kemudian disemprot dengan chloretyl spray, selanjutnya dibuat luka bakar dengan diameter 2 cm, selanjutnya diinokulasi dengan bakteri
Cara Kerja
) sebanyak 30 ekor dengan usia 2-3 bulan, berat badan 150-200 g diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
norvegicus
dr. Muwardi Surakarta. Tikus Putih (Rattus
aureus isolate klinik yang didapatkan dari RS
hasil destilasi kulit buah jeruk nipis segar. Setiap 300 gram kulit buah jeruk nipis yang didestilasi akan diperoleh 0,48 ml minyak atsiri. Kemudian minyak atsiri yang diperoleh dibuat salep dengan mencampur vaselin album yang dibuat secara aseptis dengan dosis untuk memperoleh konsentrasi 20%, 40% dan 80%. Minyak atsiri kulit buah jeruk nipis segar didapatkan dari BPTO Tawangmangu. Bakteri Staphylococcus
(Citrus aurantifolia) isolat lokal, berasal dari
Salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis
Volume 3, No. 1, Desember 2010 Setyo Sri Raharjo, Maryani, Kisrini
untuk membuktikan efek antibakteri, antara lain: minyak atsiri daun jeruk nipis mempunyai aktivitas hambatan terhadap pertumbuhan
group design yang dilakukan di Laboratorium
Penelitian bersifat analitik eksperimental dengan rancangan post test only control
aureus secara in vivo.
mengetahui efek antibakteri salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis terhadap Staphylococcus
in vivo? Sedangkan tujuan penelitian ini untuk
Dari penjelasan diatas muncul pertanyaan, apakah salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis mempunyai efek anti bakteri terhadap infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus secara
(Mursito, 2002). Sehubungan dengan adanya indikasi minyak atsiri kulit buah jeruk nipis sebagai antibakteri, maka perlu dilakukan penelitian tentang efek antibakteri minyak atsiri kulit buah jeruk nipis terhadap beberapa kuman, salah satu diantaranya terhadap S. aureus secara in vivo yang belum pernah dilakukan . Kuman ini merupakan kuman patogen yang menyebabkan pernanahan, abses, bahkan septikemia yang fatal. S. aureus menghemolisa darah, mengkoagulase plasma dan menghasilkan enzim dan toksin. Beberapa spesies menyebabkan keracunan makanan dengan memproduksi enterotoksin yang bersifat tahan banyak antimikroba dan menyebabkan kesulitan dalam pengobatan (Jawetz et al., 1996).
, 2004), disamping itu air perasan jeruk nipis mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, Eschericia coli, dan Streptococcus haemolyticus
Staphylococcus aureus secara in vitro (Quintero et al.
secara in vitro (Dalimartha, 2000), minyak atsiri yang diekstrak dari kulit pohon jeruk nipis juga terbukti dapat menghambat pertumbuhan
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
- bergamotena (0,14), –famesena (0,10) (Fang dan Jun, 2001). Dari penelitian didapatkan hasil
37,95 191,03 ± 82,38 23,51 ±
257,59 ± 144,56 131,31 ± 81,31
V J. Nipis 80% 6 393,95 ± 73,96 393,63 ± 74,23
23,06 ± 20,61
136,37 ± 40,19 29,02 ± 20,77
IV J. Nipis 40% 6 295,80 ± 148,83 238,65 ± 65,17
25,09 ± 45,18 6,93 ± 15,49
205,43 ± 51,38 77,02 ± 62,24
III J. Nipis 20% 6 379,44 ± 44,04
19,60 8,72 ± 10,33
II K positif 6 318,32 ± 17,47 232,11 ±
Volume 3, No. 1, Desember 2010 PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil ointment on Staphylococcus aureus infected rats
36,52 175,16 ± 97,61
94,88 229,67 ± 47,65 186,82 ±
I K negatif 6 380,09 ± 48,87 297,94 ±
Hari 1 Hari 3 Hari 7 Hari 14 Hari 21
Tabel 1. Rata-rata Luas Luka Bakar masing masing kelompok (mm 2 ) KLP Perlakuan Jumlah Subyek Luas Luka Bakar (mm 2 )
Penelitian ini menggunakan minyak atsiri dari kulit buah jeruk nipis. Jeruk nipis memiliki kandungan kimia asam sitrat, vitamin C, vitamin B1, damar, lemak, mineral, flavonoid, saponin, minyak atsiri. Dipilihnya minyak atsiri karena beberapa minyak atsiri tumbuhan memberikan aktivitas antibakteri dan cara pemisahan minyak atsiri mudah yaitu dengan cara distilasi. Kulit buah (segar) mengandung sekitar 1,25% minyak atsiri dengan komposisi: -pinena (0,60), -pinena (0,72), -mirsena (2,70), limonena (85,25), osimena (0,68), -linalool (0,97), sitronelal (0,11), cis-verbenol (0,08), 1-sikloheksil-2-buten-1- ol (0,11), 2-pinen-4-ol (0,22), linalil propanoat (0,21), dekanal (0,25), sitronelol (0,25), sitral B (3,66), linalool asetat (0,14), sitral C (3,80),
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan luas luka dilakukan pada hari ke1, 3, 7, 14 dan 21 pada semua kelompok untuk mengetahui proses penyembuhan luka. Data yang diperoleh dianalisis ini menggunakan uji Anava dilanjutkan dengan Post Hoc test.
Pada hari ke 4 setelah inokulasi kuman, kelompok I sebagai kontrol negatif diolesi vaselin pada luka infeksi setiap hari selama 21 hari. Kelompok II sebagai kontrol positif diolesi salep kloramfenicol selama 21 hari. Kelompok III diolesi salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20% selama 21 hari. Kelompok IV diolesi salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 40% selama 21 hari. Kelompok V diolesi salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 80% selama 21 hari. Pemberian salep masing-masing sebanyak 100 mg sekali pemberian dengan menggunakan solet plastik.
konsentrasi 10 -3 sebanyak 0,1 ml. Isolat S. aureus klinik didapatkan dari isolas S. aureus asal sampel usap luka pasien, identifikasi dilakukan dengan pemeriksaan morfologi (pemeriksaan GRAM) dan pemeriksaan koloni/ sifat biokimia kuman. Perbanyakan kuman klinik dengan penyuburan dalam medium nutrien broth. Pemeliharaan isolat kuman dilakukan dengan penanaman pada medium nutrien agar. Isolat yang akan dipakai untuk penelitian distandarisasi dengan standar Mc. Farland yang setara dengan 10 5 kuman /ml suspensi.
85,30 ± 52,04
21 L u a s L u k a B a k a r ( m m
) terjadi pada kelompok I (kontrol negatif) kemudian berturut-turut kelompok V (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 80%) sebesar 85,30 ± 52,04 mm 2
, 2007). Untuk pengurangan luas luka bakar pada hari ke 3 tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,069 (p>0,05) antara kelima kelompok perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik pengurangan luas luka bakar tidak bermakna walaupun semua
, 2004). Hasil penelitian lain lagi menyatakan komponen minyak atsiri yang diduga sebagai senyawa antibakteri adalah limonena, linalool, dan mirsen yang bekerja membunuh bakteri dengan mengahancurkan membran sel bakteri (Pasqua et al.
Hasil penelitian baik pada perlakuan hari ke 7,14 dan 21 didapatkan p<0,05 ini menunjukkan ada perbedaan bermakna pada kelima kelompok perlakuan sehingga dapat disimpulkan bahwa salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit oleh S. aureus. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dalimarta (2000) yaitu minyak atsiri daun jeruk nipis mempunyai aktivitas hambatan terhadap pertumbuhan S. aureus dan Escherichia coli secara in vitro. Selain itu penelitian lain menyimpulkan minyak atsiri yang diekstrak dari kulit pohon jeruk nipis terbukti dapat menghambat pertumbuhan S. aureus secara
10,33 mm 2 . Dari data ini, kelompok III ternyata mengalami penyembuhan luka bakar paling besar dibanding kelompok lain, ini terlihat sejak pengamatan di hari ke 3 sampai ke 21 dimana letak kelompok III selalu berada di paling bawah (Gambar 1). Sehingga dapat dikatakan salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20% memberikan efek penyembuhan luka bakar paling baik pada seluruh hari pengamatan, bahkan dibanding kelompok kontrol positif sekalipun.
10,33 mm 2 ) dan yang terkecil luas lukanya terjadi pada kelompok III (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20%) sebesar 8,72 ±
, kelompok IV (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 40%) sebesar 23,06 ± 20,61 mm 2 , kelompok II/kontrol negatif (8,72 ±
Volume 3, No. 1, Desember 2010 Setyo Sri Raharjo, Maryani, Kisrini
Dari data pada Tabel 1 dapat digambarkan melalui grafik seperti pada Gambar 1 berikut.
2 ) Hari K N K P JN 20% JN 40 % JN 80% Gambar 1. Rata-rata Luas Luka Bakar Masing-masing Kelompok (mm 2 )
14
7
3
1
50 100 150 200 250 300 350 400 450
Dari Tabel 1 terlihat bahwa sejak hari ke 3 perlakuan rata-rata luas luka bakar mengalami penurunan pada semua kelompok, penurunan ini berlanjut sampai pada hari ke 7, 14 dan 21 untuk semua kelompok. Hal ini akan lebih jelas dilihat pada Gambar1. Grafik Rata- rata Luas Luka Bakar Masing-masing Kelompok (mm 2 ), disini terlihat semua kelompok perlakuan sejak hari ke 1 grafiknya mengalami penurunan sampai hari ke 21. Jika dilihat masing-masing kelompok perlakuan sampai pada hari ke 21, luas luka bakar dari yang paling besar (175,16 ± 97,61 mm
Volume 3, No. 1, Desember 2010 PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil ointment on Staphylococcus aureus infected rats
IV J. Nipis 40% 6 56,86 ± 165,15 159,43 ± 155,17
III (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20%), kemudian kelompok II (kontrol positif), kelompok IV (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 40%), kelompok V (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 80%) dan terakhir kelompok I (kontrol negatif).
III, II, IV, V dan I masing-masing sebesar 372,87 ± 31,76; 309,47 ± 40,76; 272,74 ± 148,22; 214,93 ± 25,21 dan 204,93 ± 97,73. Ini menunjukkan bahwa pada akhir perlakuan semua kelompok mengalami proses penyembuhan, tetapi paling besar proses penyembuhannya adalah kelopok
Dari data diatas juga terlihat bahwa semua kelompok untuk semua hari perlakuan mengalami pengurangan luas luka bakar yang meningkat. Sedangkan kalau dilihat hanya pada perlakuan hari ke 21 (terakhir) untuk semua perlakuan, maka pengurangan luas luka bakar berturut- turut dari yang besar ke kecil adalah kelompok
Ini meninjukkan bahwa kelompok III (salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 20%) mempunyai kemampuan terbesar sebagai antibakteri.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa pengurangan luas luka bakar (mm 2 ) terbesar terjadi pada kelompok III baik untuk hari ke 3, 7, 14 dan 21 masing-masing sebesar (174,38 ± 58,01, 302,78 ± 32,06, 354,71 ± 17,76 dan 372,87 ± 31,76) sedangkan yang paling kecil pada hari ke 3 kelompok V sebesar 24,25 ± 77,50, pada hari ke 7 justru kelompok II sebesar 127,29 ± 60,17, sedangkan mulai hari ke 14 dan 21 kelompok I mengalami pengurangan luas luka bakar terkecil sebesar 127,29 ± 60,17 dan 214,93 ± 25,21.
bakar bila kita hitung pengurangan luas luka bakarnya pada hari 3, 7, 14, 21 terhadap hari ke 1 akan terlihat pada Tabel 2 berikut.
205,26 ± 13,49 214,93 ± 25,21
V J. Nipis 80% 6 24,25 ± 77,50 135,99 ± 93,56
266,78 ± 155,01 272,74 ± 148,22
372,87 ± 31,76
kelompok mengalami pengurangan luas luka bakar. Keadaan ini kemungkinan disebabkan obat maupun minyak atsiri belum bekerja secara maksimal pada hari ke 3. Dari data luas luka
302,78 ± 32,06 354,71 ± 17,76
III J. Nipis 20% 6 174,38 ± 58,01
40,76
60,17 294,81 ± 36,47 309,47 ±
II K positif 6 86,20 ± 26,72 127,29 ±
97,73
34,11 193,27 ± 25,49 204,93 ±
I K negatif 6 98,44 ± 25,64 150,52 ±
Hari 3 Hari 7 Hari 14 Hari 21
Tabel 2. Pengurangan luas luka bakar pada hari ke 3, 7, 14 dan 21 terhadap hari ke 1 (mm 2 ) KLP Perlakuan Jumlah Subyek Pengurangan Luas Luka Bakar (mm 2 )
Hasil pengobatan pada kelompok kontrol negatif memberikan angka penyembuhan luka yang paling kecil. Lesi yang terinfeksi pada kelompok ini hanya diberikan salep yang berisi vaselin saja tanpa obat maupun minyak atsiri; sehingga terjadinya kesembuhan tidak dibantu obat tetapi faktor internal dari tikus itu sendiri. Volume 3, No. 1, Desember 2010 Setyo Sri Raharjo, Maryani, Kisrini
Kelompok ini membuktikan bahwa vaselin tidak mempengaruhi penyembuhan luka.
Pada akhir perlakuan hasil pengobatan salep yang mengandung minyak atsiri paling kecil (20%) justru memberikan prosentase penyembuhan luka bakar paling besar (98,17%) dibanding dengan salep yang konsentrasi minyak atsirinya lebih banyak yaitu konsentrasi 40% memberikan prosentase penyembuhan 93,32% dan konsentrasi 80% memberikan prosentase penyembuhan 78,35%. Hal ini kemungkinan disebabkan salep terdiri dari minyak atsiri 20 % dan vaselin album 80%, ini mengakibatkan semua minyak atsiri dapat tercampurkan dalam bahan tambahan salep, sehingga konsistensinya lunak dan mudah dioleskan (Ansel, 1989). Salep dengan minyak atsiri ini dapat menempel cukup lama pada lesi yang terinfeksi, pengobatan menjadi efektif maka luka lebih cepat sembuh. Berbeda dengan konsentrasi minyak atsiri yang lebih tinggi, hasil pengobatan salep yang mengandung minyak atsiri 40% maupun 80% prosentase penyembuhan luka lebih kecil dibandingkan salep minyak atsiri 20%. Perbedaan ini kemunkinan disebabkan komposisi kedua konsentrasi salep dengan vaselin album sebagai bahan tambahan untuk membuat salep, sehingga konsistensinya menjadi cair seperti obat gosok atau linimen.
Konsistensi cair ini apabila dioleskan tipis pada lesi yang dengan diameter tertentu memberi kesempatan pada minyak atsiri untuk menguap karena minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap (Agusta , 2000; Zaman-Joenus , 1990). Dengan demikian minyak atsiri menempel pada lesi yang terinfeksi relatif singkat dan sedikit, yang selanjutnya berakibat kurang efetif bekerja, keadaan ini berpengaruh terhadap penyembuhan luka.
Dari data yang diperoleh jika dianalisis menggunakan uji Anova menunjukkan bahwa pengurangan luas luka bakar pada hari ke 3 tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,069 (p>0,05) antara kelima kelompok perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik pengurangan luas luka bakar tidak bermakna walaupun semua kelompok mengalami pengurangan luas luka bakar. Keadaan ini kemungkinan disebabkan obat maupun minyak atsiri belum bekerja secara maksimal pada hari ke 3. Sehingga untuk hari ke 3 dapat disimpulkan salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis tidak berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit oleh S. aureus pada tikus putih. Selanjutnya untuk hari ke 7 didapat ada perbedaan yang bermakna p=0,012 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit oleh S. aureus pada tikus putih, untuk hari ke 14 dan 21 pun didapat perbedaan yang bermakna yaitu p=0,022 (p<0,05) dan p=0,039 (p<0,05). dan 21 salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit oleh S. aureus pada tikus putih.
Dari hasil uji Anova bila dilanjutkan post
hoct test akan terlihat bahwa untuk hari ke 7 tidak
semua hasil bermakna, untuk kelompok I dengan kelompok II (p=653 atau p>0,05), kelompok I dengan kelompok IV (p=0,861), kelompok I dengan kelompok V (p=0,779). Sedangkan pada hari ke 14 kelompok II dengan kelompok PENGGUNAAN SALEP MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia L.) SEBAGAI ANTIBAKTERI INFEKSI KULIT OLEH Staphylococcus aureus PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) The antibacterial effect of Lime peel (Citrus aurantifolia L.) essential oil ointment on Staphylococcus aureus infected rats
salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis dapat
III (p=0,187), kelompok II dengan kelompok IV menyembuhkan luka infeksi yang disebabkan S. (p=0,531), kelompok II dengan kelompok V (p=
aureus isolat klinik pada kulit tikus putih. Minyak
0,916). Untuk hari ke 21 kelompok II dengan atsiri kulit buah jeruk nipis dapat menghambat kelompok III (p=0,220), kelompok II dengan pertumbuhan S. aureus yang ditandai dengan kelompok IV (p=0,470), kelompok II dengan hilangnya pus dan luka di kulit mengering. kelompok V (p= 0,980).
Dari tabel 1 dan 2 serta Gambar 1 terlihat bahwa baik dengan perlakuan maupun tanpa KESIMPULAN perlakuan tenyata pada semua kelompok Salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis mengalami perbaikan luka, tetapi yang berpengaruh sebagai antibakteri infeksi kulit mengherankan adalah pada kelompok perlakuan oleh Staphylococcus aureus pada tikus putih.
III, IV dan V. Seharusnya dengan penambahan Pengaruh sebagai antibakteri paling baik konsentrasi minyak atsiri pada salep akan pada salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis memperbesar penyembuhan luka pada hewan konsentrasi 20% kemudian 40% dan 80%. percobaan, tetapi kenyataannya justru terbalik. Pada salep minyak atsiri kulit buah jeruk DAFTAR PUSTAKA nipis konsentrasi 20% (kelompok III) malah Anantharayan, and Paniker CKJ. 2000. Text Book menyembuhkan luka lebih besar dibanding of Microbiology, Orient Longman Ltd dengan salep minyak atsiri kulit buah jeruk
Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika
Indonesia. Penerbit ITB Bandung, hal. 18-
nipis konsentrasi 40% (kelompokIV) dan salep minyak atsiri kulit buah jeruk nipis konsentrasi 23, 89.
Ansel, HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan 80% yang paling kecil. Pada akhir perlakuan hasil pengobatan Farmasi, ed. IV, terjemahan Ibrahim, UI kelompok kontrol positip, lesi pada tikus dioles
Press, Jakarta, hal. 502-6 dengan salep kloramfenikol (salep apabila tidak Barriere, SL., Jacobs RA. 1998. Penggunaan Klinik vaselin) memberikan prosentase penyembuhan and Clinical Microbiology, Penerbit EGC,
Jakarta besar pula (97,26%) walaupun masih kalah dibanding dengan salep minyak atsiri 20 % Cvetric, Z. and Knezevic SV. 2004. Antimicrobial (98,17 %). S. aureus yang diperoleh dari isolat Activity of Grapefruit Seed and Pulp klinik telah diuji mikrobiologi dan memberikan
Ethanolic Extract. Acta Pharm., 54(3):243- hasil sensitif terhadap kloramfenikol. Hasil 50 sensitifitas ini terbukti pada kelompok kontrol Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat positif, karena memberikan angka kesembuhan Indonesia Jilid
2. Jakarta: Trubus besar dan seharusnya angka kesembuhannya Agriwidya.
Depkes R.I. 1991. Inventaris Tanaman Obat adalah 100 %. Hasil ini menunujukkan bahwa
Volume 3, No. 1, Desember 2010 Setyo Sri Raharjo, Maryani, Kisrini Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Jawetz, Melnick, Joseph L., Adelberg. 1996.
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 22. Penerbit EGC. Jakarta.
Katno. 2004. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. http://www.litbang.depkes.go.id/bpto/ keamanan_TO.pdf
(1 Maret 2007). Mursito, Bambang. 2002. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. Penebar Swadaya.
Jakarta. Pasqua, RD., Hoskins N., Betts G. 2007. Membrane
Toxicity of Antimicrobial Compounds from Essential Oils. J Agric Food Chem., 55(12):4863-70
Pertiwi, RD. 1992. Aktivitas Hambatan
Minyak Atsiri Daun Jeruk Nipis terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Yogyakarta, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada. Skripsi Quintero A., Gonzales CN., Sanchez F. 2003. Constituents and Biological Activity of Citrus aurantium amara L. Essential Oil.
Proc. Int. Conf. on MAP, Acta Hort., 597: 115-
Rendra. 2004. Infeksi Tulang Anak Usia Sampai
19 Tahun, http://www.indomedia.com
(10 September 2007)
Tampubolon, O. 1995. Tumbuhan Obat Bagi Pecinta Alam. Jakarta: Bhatara. Zaman-Joenus, N. 1990. Ars Prescibendi Resep
Yang Rasional, Jilid 2. Airlangga University Press, Surabaya, hal. 121-4.
Volume 3, No. 1, Desember 2010