BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Implementasi Program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah) pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk memudahkan penulis dalam rangka menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan

  suatu landasan berfikir yang dijadikan pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot. Pedoman tersebut disebut kerangka teori. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.

II. 1 Kebijakan Pubik

  Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan public (public policy). Masing masing defenisi tersebut member penekanan yang berbeda beda. Perbedaan itu timbul karena masing- masing ahli mempunyai latar belakang yang beragam.

  Menurut Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chose to do or not to do).

  Sementara itu, istilah public dalam rangkaian kata public policy mengandung tiga konotasi : pemerintah, masyarakat dan umum. Ini dapat dilihat dalam subjek, objek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi subjek, kebijakan public dari pemerintah. Kebijakan dari pemerintah yang dianggap kebijakan yang resmi dan dengan demikian mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Dalam dimensi lingkungan yang dikenai kebijakan, pengertian public disini adalah masyarakat. (Said Abidin, 2002: 20) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun paea politis untuk memecahkan masalah masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan public merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukakn secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

  Sedangkan menurut Woll, kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyrakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah yaitu : (Hessel Nogi, 2003: 2) a.

  Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh poitisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan politik untuk mempengaruhi kehidupan masyrakat.

  b.

  Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyrakat.

  c.

  Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijkan yang mempengaruhi kehidupan masyrakat.

  

James Anderson mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan, seperti berikut:

  Public policy is purposive, goal- oriented behavior rather than random or

  chance behavior. Setiap kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan

  suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat saja atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada tujuan.

  b.

  Public policy consists of course of action rather than separate discrete

  decision or actions performed by government officials. Maksudnya, suatu

  kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijkan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hokum.

  c.

  Policy is what government do not what they say will do or what they intend to Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang do. diinginkan pemerintah.

  d.

  Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negative atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.

  e.

  Public policy is based on law and is authoritative. Kebijakan didasarkan pada hokum, karena memiliki kewenangan untuk memaksa masyrakat untuk mematuhinya.

2.1.1 Tahapan Kebijakan Publik

  Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu bebrapa ahli politik menaruh minat untuk mengkaji kebijakan public membagi proses- proses penyusunan kebijakan public ke dalam

  Penyusunan Agenda ↓ →Formulasi Kebijakan →Adopsi Kebijakan →Implementasi Kebijakan →Evaluasi Kebijakan

  beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik. Berikut tahapan kebijkan public : (Budi Winarno, 2002: 28) a.

  Tahapan penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

  b.

  Tahap formulasi kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahapan perumusan kebijakan masing masing alternative bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

  c.

  Tahap adopsi kebijakan perumusan kebijakan, pada akhirnya salah satu alternative kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  d.

  Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecah masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan- badan administrasi maupun agen- agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit- unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada tahap implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

  e.

  Evaluasi kebijakan Pada tahap ini kebijakan yan telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalh. Kebijkan public pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyrakat. Oleh karena itu, ditentukan ukuran- ukuran atau kriteria yang mebjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

  2.2.1 Pengertian Implementasi

  Dalam setiap perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi.

  Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi, maka tidak akan banyak berarti. Berikut disampaikan beberapa pengertian implementasi menurut para ahli.

  Menurut Jeffri L.Pressman and Aaron B.Wildavski (dalam Jones 1996 :295), mengartikan implementasi sebagai sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan. Perangkat-perangkat yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut : adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Dengan demikian berdasar pada pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan dari implementasi tersebut dibutuhkan: manusia, anggaran, dan juga kemampuan organisasi ataupun instansi seperti teknologi informasi.

  Sementara itu, Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002:101) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

  2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

A. Menurut Van Meter dan Van Horn

  Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005: 99) ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni :

1. Standar dan sasaran kebijakan

  Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

  2. Sumberdaya Kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resource). Dalam berbagai kasus Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksanaan.

  3. Hubungan antar Organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

  4. Karakteristik agen pelaksana Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrsi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

  5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

  Disposisi Implementor Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni :

  a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; b) kognisi, yaitu pemahamannya terhadap kebijakan; dan

  c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

  Model Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan organisasi

  Kinerja Implementasi Karakteristik badan pelaksana Disposisi pelaksana Sumber daya

  Lingkungan ekonomi dan politik Sumber :Subarsono (2005 : 99) George Edward III, menegaskan bahwa ada empat variable yang mempenagruhi implementasi kebijakan publik : 1)

  Komunikasi Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni; a.

  Transmisi Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan.

  Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukana keputusan-keputusan diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.

  Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Pertama, pertentangan pendapat pelaksana dengan pemerintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaannya yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah-perintah umum. Kedua, informasi melewati berlapis-lapis hirarki. Ketiga, persepsi yang efektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan- persyaratan suatu kebijakan. b.Konsistensi Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsurkejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah akan memudahkan para pelaksana kebijakna menjalankan tugasnya dengan baik.

  Kejelasan Edwards mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak menganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

  2) Sumber Daya

  Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif, tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, informasi, fasilitas dan sumber daya finansial.

  3) Disposisi (kecendrungan atau tingkah laku)

  Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi dengan baik, maka dia akan dapat menjalankan kabijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memilki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi efektif.

  4) Struktur Birokrasi

  Struktur birokrasi yang mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operting procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementasi dalam bertindak. menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Gambar 1.2 Model Teori George Edward II

  Komunikasi Sumberdaya

  Implementasi Disposisi

  Struktur Organisasi

  Sumber Subarsono (2005 : 90)

C. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978)

  Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan terletak di kuadran pucak “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan mekanisme pasar.

  Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:

  1. Jaminan tidak adanya masalah besar yang akan dihadapi oleh lembaga/ badan pelaksana yang berasal dari lingkungan luar atau eksternal

  Tersedia sumber daya yang memadai termasuk sumber daya waktu karena berkenaan dengan fisibilitas implementasi kebijakan

  3. Kerjasama atau perpaduan antara sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada 4.

  Kebijakan yang akan segera diimplementasikan merupakan kebijakan yang didasari oleh hubungan kausal yang handal, dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi

  5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi 6.

  Hubungan saling ketergantungan kecil hingga implementasi kebijakan dapat berjalan dengan efektif

  7. Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan 8.

  Adanya perincian tugas dan ditempatkan pada urutan yang tepat 9. Koordinasi dan komunikasi yang sempurna 10.

  Pihak-pihak yang dapat menuntut dan mendapat kepatuhan yang sempurna.

  D. Model Merilee S. Grindle (1980)

  Merilee memberi pemahaman bahwa studi implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Merilee juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi.

  E. Model Mazmanian dan Sabatier (1983)

  Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan publik adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai model Kerangka Analisis Impementasi. variabel, yakni: a.

  Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori, teknis, keragaman objek, perubahan yang dikehendaki b.

  Variabel intervening, yaitu kemampuan kebijakan dalam menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan, konsistensi terhadap tujuan dengan menggunakan teori kausal c. Variabel dependen, tahapan proses kebijakan yakni pemahaman lembaga pelaksanan dalam bentuk dibentuknya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan revisi atas kebijakan yang dilaksanakan baik sebagian kebijakan maupun keseluruhannya.

  Dalam penelitian ini penulis memilih menggunakan model teori implementasi George C.Edward yang dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: 1.

  Komunikasi Persyaratan utama bagi implementasi kebijakan adalah bahwa mereka yang harus mengimplementasikan suatu keputusan harus tahu apa yang mereka harus kerjakan.

  Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikuti. Secara alami, komunikasi ini membutuhkan keakuratan dan komunikasi mesti secara akurat pula diterima oleh para implementor. Aspek lain dari komunikasi adalah konsistensinya, keputusan kontradiksi mengacaukan dan membuat frustasi staf administrative dan memaksa kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Petunjuk implementasi juga harus jelas. Seringkali perintah yang disampaikan kepada para dilakukan, hal ini dapat menimbulkan hal yang bertentangan dengan undang-undang.

  2. Sumberdaya Sumber daya adalah kritis bagi implementasi kebijakan yang efektif. tanpa adanya sumberdaya, kebijakan yang ada diatas kertas bukan merupakan kebijakan dalam praktek dan penyimpangan pun tetrjadi. Keterampilan sebagaimana juga jumlahnya adalah sebuah karakteristik penting dari staf untuk implementasi kebijakan. Kurangnya bangunan, perlengkapan dan persediaan yang esensial serta batasan anggaran bisa menunda implementasi kebijakan didalam sumberdaya lain yang telah diuji. Hal ini pada gilirannya membatasi kualitas pelayanan dimana para impelementor memberikan kepada publik.

  3. Disposisi Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam pendekatan terhadap studi impelemtasi kebijakan public. Jika impelemtasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukannya, melainkan mereka juga mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

  4. Struktur Birokrasi Bahkan jika sumberdaya yang cukup untuk mengimplentasikan sebuah kebijakan itu ada dan para impelen tor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya, implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam struktur organisasi. Fragmentasi organisasional mungkin merintangi koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP).

  Komunikasi Sumberdaya Implementasi Disposisi Struktur Birokrasi

2.2.3 Fungsi Implementasi Kebijakan

  Sifat kebijakan sangat kompleks dan sangat sedikit bersifat self-executing karena saling bergantung dengan implementasi, dimana kebijakan sangat didukung keberhasilannya oleh implementasi yang baik. Ini berarti memerlukan dukungan berbagai pihak yang memberi pengaruh dalam implementasi sehingga berdampak positif dan sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik lebih bersifat non self- executing yakni bergantung dengan pihak lain. sebuah kebijakan publik harus mewujudkan pemerintahan yang demokrasi dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat bukan pemerintah. Implementasi harus menjamin terwujudnya kebebasan instrumental, meliputi fasilitas ekonomi, kebebasan berpolitik, kesempatan sosial, jaminan transparansi keamanan dan kesetaraan, peningkatan mutu sumber daya manusia, serta mampu menggabungkan nilai-nilai lama yang dapat menghasilkan nilai baru

  Secara garis besar, fungsi implementasi kebijakan ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tercapainya tujuan atau sasaran kebijakan publik pada hasil akhirnya sebagai outcome kebijakan.

  Fungsi implementasi kebijakan mencakup pada penciptaan yang terdapat dalam ilmu kebijakan itu sendiri (public science) yang disebut juga dengan policy delivery system (sistem penyampaian/ penerusan kebijakan publik) yang biasanya dirancang untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki dari kebijakan tersebut. Untuk memahami atau lebih memberi kesan spesifik pada sebuah kebijakan maka kebijakan tersebut biasanya diturunkan didalam sebuah program-program yang lebih operasional (program aksi) dan juga diturunkan lagi menjadi sebuah proyek yang tujuan utamanya adalah terciptanya perubahan-perubahan sebagai hasil akhir program atau proyek.

  Dari pembedaan antara kebijakan dengan program atau proyek tersebut dinyatakan bahwa fungsi dari implementasi program adalah proses implementasi kebijakan itu sendiri yang tergantung pada hasil akhir. Dengan demikian, yang menyatakan kebijakan itu berhasil atau gagal dilihat dari kemampuan dalam merumuskan atau mengoperasionalkan kebijakan atau program sebelumnya serta apakah hasil dari kebijakan atau program tersebut sudah sesuai dengan tujuan atau sasaran sebelumnya atau tidak. ditinjau dari tiga faktor yaitu: a.

  Prespektif kepatuhan (compliance), melihat keberhasilan implementasi dari kepatuhan strate level burcancrats terhadap atasan mereka.

  b.

  Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dalam penyelenggaraan kebijakan publik dan tidak adanya persoalan.

  c.

  Implementasi yang berhasil dilihat dari kinerja baik para pelaksana kebijakan dan kelompok yang menjadi penerima mendapat manfaat sesuai dengan kebutuhannya atau harapannya.

  Sedangkan Peter (1982) mengatakan bahwa ada 4 faktor kegagalan implementasi kebijakan publik, yakni: (1) gambaran yang kurang tepat tentang obyek kebijakan, pelaksana, dan hasil-hasil dari kebijakan karena kurangnya informasi; (2) masih samarnya isi kebijakan atau tujuan serta tidak adanya ketegasan intern atau ekstern atas kebijakan tersebut; (3) dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan tidak cukup; (4) pembagian tugas antara para aktor implementasi dan organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangan.

II.3 LARASITA (LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI TANAH)

2.3.1 Pengertian LARASITA

  Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang LARASITA Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dalam pasal 1 dikatakan bahwa dalam rangka mendekatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat dikembangkan pola pengelolaan pertanahan yang disebut dengan LARASITA.

  LARASITA adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. LARASITA merupakan dengan pelayanan petugas BPN dalam bentuk pelayanan bergerak, diharapkan mampu menghapus praktik persoalan sertifikat tanah dan memberikan kemudahan serta akses yang murah dan cepat dalam mewujudkan kepastian hukum. Tujuannya, adalah untuk menembus daerah-daerah yang sulit dijangkau, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah terpencil tersebut dengan mudah mendapatkan pelayanan pertanahan tanpa harus menempuh jarak yang jauh dan biaya transportasi yang besar.

  LARASITA juga merupakan layanan sistem front office mobile secara online dengan kantor pertanahan setempat. Sehingga seluruh proses pelayanan dari mobil/sepeda motor LARASITA saat itu juga langsung terdata di kantor pertanahan. Untuk tahap awal, program ini di Sumut diterapkan di tiga kabupaten/kota yakni Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan juga Kota Pematang Siantar. Penerbitan sertifikat tanah yang dilaksanakan oleh kantor BPN berdasarkan atas Undang-Undang Pokok Agraria mengenai pendaftaran tanah.

2.3.2 Tugas Pokok dan Fungsi LARASITA LARASITA menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan.

  Namun sesuai dengan sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut diperlukan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian LARASITA menjadi mekanisme untuk: 1. menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agraria nasional (reforma agraria);

  2. melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat dibidang pertanahan; 3. melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar; 4. melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasi bermasalah; memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin diselesaikan di lapangan;

  6. menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat;

  7. meningkatkan dan mempercepat legalisasi aset tanah.

  2.3.3 Tim Pelaksana LARASITA

  Pelaksanaan LARASITA dilakukan oleh Tim LARASITA yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut : a. Keanggotaan terdiri paling sedikit 5(lima) orang dengan susunan sebagai berikut : 1). Koordinator, dengan persyaratan paling rendah pejabat eselon IV; 2) Petugas Pelaksana, paling sedikit 4(empat) orang, dengan persyaratan paling tinggi pejabat eselon IV atau staf yang menurut penilaian dianggap cakap dan mampu untuk melaksanakan LARASITA. b.Penunjukkan keanggotaan Tim LARASITA dilakukan bergantian sesuai dengan kebutuhan dan/atau beban kerja pada Kantor Pertanahan.

  c. Dalam hal tertentu, Koordinator tidak harus turun kelapang setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pertanahan.

  d. Petugas LARASITA melaksanakan tugas sesuai dengan perencanaan, jadwal dan tugas yang diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan. e.Apabila diperlukan, Kepala Kantor Pertanahan dapat mengajukan permohonan bantuan tenaga pelaksana LARASITA kepada Kepala Kantor Wilayah BPN

  2.3.4 Sertifikat Tanah surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan sesuatu (Muh. Yamin, 2004: 132). Menurut Ali Achmad Chomzah (2003:25), sertifikat tanah adalah tanda bukti atau alat pembuktian mengenai pemilikan tanah sehingga merupakan surat/barang bernilai.

  Secara fisik sertifikat tanah dibagi atas beberapa bagian, yaitu : Sampul Luar, Sampul Dalam, Buku Tanah dan Surat Ukur/Gambar Situasi (GS). Namun dalam praktek sehari-hari orang sering hanya menyebut Buku Tanah dan Surat Ukur / GS. Dalam sebuah sertifikat tanah dijelaskan atau dibuktikan beberapa hal, antara lain yaitu:

  1 Jenis hak atas tanah dan masa berlaku hak atas tanah

  2. Nama pemegang hak

  3. Keterangan fisik tanah

  4. Beban di atas tanah 5. Peristiwa yang berhubungan dengan tanah.

  

II.4 Gambaran Umum Peraturan Kepala BPN RI Nomor 18 Tahun 2009 Tentang

Layanan Rakyat Sertifikasi Tanah (Larasita)

  Dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Layanan Rakyat Sertifikasi Tanah (Larasita) dinyatakan bahwa dalam rangka mendekatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat dikembangkan pola pengelolaan pertanahan yang disebut LARASITA. LARASITA sebagaimana dimaksud adalah merupakan Kantor Pertanahan Bergerak.

  Dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi mempunyai tugas pokok dan fungsi sama dengan tugas pokok dan fungsi yang berlaku pada Kantor Pertanahan. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi LARASITA juga mempunyai tugas (a). menyiapkan melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; (c). melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar; (d). melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasikan bermasalah; (e). memfasilitasi penyelesaian tanah bermasalah yang mungkindiselesaikan di lapangan; (f). menyambungkan program Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat; dan (g). meningkatkan dan mempercepat legalisasi aset tanah masyarakat.

  Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dilakukan LARASITA berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. LARASITA dilaksanakan dengan dukungan kendaraan atau alat transportasi lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, dan/atau sarana dan prasarana yang tersedia di Kantor Pertanahan.

II.5 Defenisi Konsep

  Definisi konsep adalah unsur penelitian yang penting untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti (Singarimbun, 1999 : 33).

  Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian ini, penulis mendefinisikan konsep-konsep yang digunakan adalah sebagai berikut : Definisi konsep dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Kebijakan Publik

  Kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah dimasyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kebijakan publik berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan mengembangkan interaksi dalam sebuah komunitas atau pemerintahan. Kebijakan Publik

  18 Tahun 2009 Tentang Layanan Rakyat Sertifikasi Tanah (Larasita.

2. LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah)

  Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang LARASITA Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dalam pasal 1 dikatakan bahwa dalam rangka mendekatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat dikembangkan pola pengelolaan pertanahan yang disebut dengan LARASITA.

  LARASITA adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. LARASITA merupakan Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah. Program ini memadukan teknologi informasi dengan pelayanan petugas BPN dalam bentuk pelayanan bergerak.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Penggunaan Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Saham - Penilaian Harga Wajar Saham dengan Price Earning Ratio pada PT Bank Mandiri, Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk dan PT Bank Negara Indonesia, Tbk

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Penilaian Harga Wajar Saham dengan Price Earning Ratio pada PT Bank Mandiri, Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk dan PT Bank Negara Indonesia, Tbk

0 0 7

Penilaian Harga Wajar Saham dengan Price Earning Ratio pada PT Bank Mandiri, Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk dan PT Bank Negara Indonesia, Tbk

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 6

BAB II PROFIL PT. TELKOM AKSES MEDAN A. Sejarah Ringkas PT. Telkom Akses Medan - Penerapan Komputer Sebagai Pengolah Data dalam Sistem Informasi Akuntansi Pada PT. Telkom Akses Medan

1 12 11

Perencanaan Produksi dan Kapasitas Jangka Menengah pada PT Sumatra Industri Cat

0 0 23

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Perencanaan Produksi dan Kapasitas Jangka Menengah pada PT Sumatra Industri Cat

1 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Perencanaan Produksi dan Kapasitas Jangka Menengah pada PT Sumatra Industri Cat

0 11 9