Peran Perawat dalam Pemberian Edukasi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Beberapa aspek yang terkait dengan penelitian ini akan dipaparkan sebagai

  berikut:

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Defenisi

  Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, DM merupakan suatu kelompok kelainan metabolik dengan kharakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006). Sedangkan menurut WHO (2010) dikatakan bahwa DM merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

  DM juga didefenisikan suatu penyakit kronik yang komplek yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologis (Riyadi, 2008).

  Dalam buku lain DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Marrelli, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

  Ada beberapa tipe DM yang dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama yaitu:

  a. DM Tipe I / Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)

  Pada tipe ini sel beta pankreas mengalami kerusakan akibat terjadinya gangguan pada sistem imun tubuh, meningkatnya kerentanan sel beta terhadap virus atau sel beta mengalami degenerasi. Tipe I umumnya lebih sering ditemukan pada anak, dan sesuai dengan penyebabnya DM tipe I memerlukan suntikan insulin.

  b.

  

DM Tipe II / Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

  Yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten) atau akibat penurunan jumlah sekresi insulin. Keberadaan insulin di dalam darah kurang atau tidak dapat dimanfaatkan. Lebih sering pada dewasa, kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.

  c. DM Sekunder

  Diabetes yang disebabkan oleh penyakit lain yang menyebabkan produksi insulin terganggu atau meningkatkan kadar gula darah. Penyakit yang dimaksud misalnya infeksi berat, radang pankreas, penggunaan kortikosteroid, dan kelainan hormonal.

  d.

   Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)

  Diabetes Gestational adalah jenis diabetes yang muncul pada saat ibu hamil. Hal ini terjadi karena pengaruh beberapa hormon pada ibu hamil menyebabkan resisten terhadap insulin. Diabetes ini dapat ditemukan sekitar 2-5% dalam kehamilan. Umumnya gula darah kembali normal bila sudah melahirkan, tetapi resiko ibu terkena DM tipe II akan lebih besar (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.3 Etiologi

  DM tipe I di tandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi yaitu adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing atau otoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta sehingga pankreas tidak dapat memproduksi insulin (Riyadi, 2008).

  DM tipe 2 masih belum diketahui mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin karena DNA pada orang DM akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin, selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko karena umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia 40 tahun, penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin, umumnya resistensi insulin cendrung meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas, gaya hidup, kelompok etnis, kebiasaan diet yang salah, kurang berolah raga, dan infeksi.

  Diabetes gestasional disebabkan oleh hormon yang disekresikan plasenta dan menghambat kerja insulin sehingga melahirkan bayi besar dengan berat badan bayi lebih dari 4 kg (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.4 Patofisiologi

  DM tipe 2 yang disebabkan oleh karena gangguan sekresi dan resistensi insulin, sehingga terjadi hiperglikemia karna glukosa tidak terukur oleh hati dan glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat masuk ke dalam sel dan tidak dapat disimpan di hati. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin, upaya pengenceran glukosa ini akan terjadi ekresi cairan dan elektrolit yang berlebihan dan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) sehingga pasien akan merasa haus dan banyak minum (polidipsia). Defesiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya kadar glukosa dalam sel kelelahan dan kelemahan. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton adalah asam yang menganggu keseimbangan asam basah tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma, bahkan kematian (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.5 Manifestasi klinik

  Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien DM tipe 2 yaitu: Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengkuti dehidrasi ekstrasel karena air intra sel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (Antideuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Polifagia (peningkatan rasa lapar). Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibody, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada lipatan kulit dan dibawah payudara. Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama kandida. Kesemutan/kebas pada jari tangan dan kaki akibat terjadinya neuropati. Pada penderita DM tipe 2 regenerasi sel persyarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persyarafan terutama perifer mengalami kerusakan. Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal. Luka yang tidak sembuh-sembuh akibat bahan yang digunakan untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan dan pertumbuhan mikroorganisme yang cepat. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi karena pasien DM tipe 2 mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan testosteron dan sistem yang berperanan. Mata kabur yang disebabkan katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia. Pada diabetes gestasional ibu sering melahirkan bayi diatas 4 kg (Riyadi, 2008 ).

2.1.6 Diagnosis

  Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah. Guna penentuan diagnosis DM tipe 2. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh, vena dan kapiler tetap dapat digunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan tujuan untuk pemantauan hasil pengobatan

  Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM tipe 2 perlu diperkirakan apabila terdapat keluhan klasik DM tipe 2 seperti berikut: a.

  Keluhan klasik DM tipe 2 berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

  b.

  Keluhan lain dapat berupa: badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita.

  Diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2. Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM tipe 2. Kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl, puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Ketiga dengan Test Toleransi Glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan glukossa puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl (PERKENI, 2006).

2.1.7 Komplikasi

  Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis.

a. Komplikasi akut

  Adalah komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

1) Hipoglikemia (glukosa darah turun terlalu rendah)

  Hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol (Nabil, 2009).

  Gejalanya berupa perpirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar, ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, penurunan daya ingat, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, prilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan. Pada hipoglikemia berat gejalanya dapat berupa perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangukan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.

  Penanganan harus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. pemberian berupa 10 hingga 15 gram gula yang bekerja cepat peroral, seperti 2-4 tablet glukosa yang dapat dibeli dirumah obat/apotik, 4-6 ons sari buah atau teh yang manis, 6-10 butir permen khusus atau permen manis lainnya, dan 2-3 sendok teh sirup atau madu.

  Penanganan hipoglikemia berat, preparat glukagon 1 mg dapat disuntikkan secara subkutan atau intramuskular. Setelah menyuntikan glukagon pasien kembali sadar dalam waktu 20 menit. Gula sederhana yang diikuti olah makanan cemilan harus diberikan kepada pasien yang sadar untuk mencegah timbulnya kembali hipoglikemia. Dirumah sakit dapat ditangani dengan penyuntikan intravena 25-50 ml dextrosa 59% dalam air (larutan D-50) (Smeltzer & Bare, 2002).

2) Hiperosmolar Non-ketotik

  Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah menjadi kental. Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600 mg/dl. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stres akut

  Penanganannya yaitu dengan cairan, elektrolit dan insulin. Kadar glukosa yang naik secara ekstrim dapat turun ketika pasien mengalami rehidrasi.

3) Ketoasidosis (terlalu banyak asam dalam darah)

  Ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin (Nabil, 2009). Gejala yang timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma (Nabil, 2009).

  Rehidrasi adalah penangan yang penting untuk mempertahankan perfusi jaringan. Pasien mungkin memerlukan 6-10 liter cairan infus, penggantian kalium 40 mEq kalium/jam (yang ditambahkan ke dalam cairan infus), dan pemberian insulin 5 unit per jam (Smeltzer & Bare, 2002).

b. Komplikasi Kronik

  Adalah komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak, dan mikrovaskular adalah retinopati, nefropati, neuropati (Tandra, 2007).

  Kerusakan Saraf (neuropati diabetik), dalam jangka lama, glukosa darah yang tinggi akan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makanan ke saraf menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Saraf yang telah rusak membuat penderita diabetes tidak dapat merasakan sensasi sakit, panas, dingin, pada tangan dan kaki. Pada penderita diabetes gangguan ereksi disebabkan oleh rusaknya urat saraf pada alat kelamin. Kesukaran pengosongan kandung kemih disebut dengan diabetic neurogenic bladder di mana bila kantung penuh tidak terasa, bila ingin berkemih juga tidak terasa.

  Mata (Retinopati), penyakit diabetes dapat merusak mata dan menjadi penyebab kebutaan. Ada tiga macam disebabkan oleh diabetes yaitu retinopati, katarak, glukoma. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang serius. Diawali kerusakan pembuluh darah kapiler pada jaringan yang berfungsi sebagai sensor cahaya (retina). Gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata berupa melemahnya dinding pembuluh kapiler (Riyadi, 2008).

  Penyakit Jantung, antara lain angina (nyeri dada), serangan jantung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung. Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan tekanan darah meningkat (Tandra, 2007).

  Kerusakan Ginjal (nefropati diabetik), adalah komplikasi pada ginjal yang dapat berakibat dengan gagal ginjal. Komplikasi ini ditemukan pada 35-45% penderita diabetes tipe I. Kerusakan saringan ginjal timbul akibat glukosa darah yang tinggi (umumnya di atas 200 mg/dl) dan dipengaruhi oleh tekanan darah yang tinggi (Nabil, 2009).

  Kaki Diabetik, perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah.

  Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, ganggren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi syaraf sensorik dapat menunjang terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan gangren (Riyadi, 2008).

2.1.8 Penatalaksanaan

  Tujuan penatalaksanaan klien dengan DM tipe 2 adalah menghilangkan keluhan/gejala, mempertahankan rasa nyaman dan sehat, mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi DM tipe 2 yang dideritanya, ia akan terhindar dari komplikasi DM tipe 2 (Rumahorbo, 1999).

  Pengelolaan DM tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM tipe 2 dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2006).

  Pilar penatalaksanaan DM tipe 2 yaitu terdiri dari: a.

   Edukasi

  DM tipe 2 merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Diet, aktivitas fisik serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki prilaku yang preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2002).

  Diabetes Tipe 2 umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan prilaku, dibutuhkan edukasi. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

  Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah: 1)

  Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan 2)

  Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dari hal-hal yang sederhana 3)

  Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi 4)

  Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.

  5) Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima

  6) Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan

  7) Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi

  8) Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarga

9) Gunakan alat bantu audio visual bila perlu (PERKENI, 2006).

  Banyak rumah sakit yang memiliki perawat spesialis dalam sebuah rumah sakit jumlah pasien diabetes disetiap unit cukup banyak, maka semua perawat memiliki peran yang sangat penting dalam megidentifikasi pasien-pasien diabetes, mengkaji keterampilan dalam melakukan perawatan mandiri, memberikan pendidikan dasar, menyegarkan kembali pengajaran yang perna diterima, dan merujuk pasien untuk mendapatkan tindak lanjut setelah keluar dari rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2002).

  Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan DM tipe 2 adalah dengan membagi informasi dan keterampilan menjadi dua tipe utama yaitu:

  1)

Keterampilan Serta Informasi Yang Bersifat Dasar (Tingkat

Awal)

  Informasi ini harus diajarkan pada setiap pasien yang baru di diagnosis sebagai penderita DM tipe 2 dan mendapatkan terapi insulin untuk pertama kalinya. Informasi bersifat dasar ini secara harafiah berarti pasien harus mengetahui bagaimana bertahan hidup yaitu dengan cara menghindari komplikasi hipoglikemia atau hiperglikemia yang berat setelah pulang dari rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2002).

  Materi edukasi pada tingkat awal adalah: Perjalanan penyakit DM tipe 2, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM tipe 2, penyulit DM tipe 2 dan risikonya, intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan, interaksi antara asupan obat-obatan lain, cara pemantauan hasil glukosa darah serta pemahaman hasil glukosa darah dan urin mandiri, mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, masalah khusus yang dihadapi seperti hiperglikemia pada kehamilan, pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan fasilitas kesehatan (PERKENI, 2006).

  Perawatan kaki harus dilakukan secara teratur yaitu dengan cara: a)

  Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki

  b) Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila ada kulit terkelupas atau daerah kemerahan atau luka c)

  Periksa alas kaki sebelum memakainya

  d) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, dan mengoleskan krim pelembab ke kulit yang kering (PERKENI, 2006).

2) Pendidikan Tingkat Lanjut

  Pendidikan ini mencakup pengajaran yang lebih rinci tentang keterampilan bertahan hidup disamping pendidikan tentang tindakan preventif untuk menghindari komplikasi DM tipe 2 jangka panjang. Dapat mencakup penggunaan berbagai metode alternatif pemberian insulin (Smeltzer & Bare, 2002).

  Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah: Mengenal dan hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia), pengetahuan mengenai penyulit menahun DM tipe 2 (makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati), penatalaksanaan DM tipe 2 selama menderita penyakit lain, makan diluar rumah, rencana untuk kegiatan khusus, hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM tipe 2, pemeliharaan/perawatan kaki.

  Seperti halnya proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan pengkajian, perencanaan yang baik, implementasi, dan evaluasi (PERKENI, 2006).

b. Terapi Gizi Medis

  Terapi gizi merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara total. Kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim kesehatan dan pasien itu sendiri. Setiap pasien DM tipe 2 sebaiknya mendapat terapi gizi medis sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran. Prinsipnya pengaturan makan pada penyandang DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Perlu ditekankan keteraturan jam makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).

  Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan dan Lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Suryono, 2004).

  Pilihan makanan untuk penyandang DM tipe 2 dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyandang diabetes:

  

Gambar 1.

Piramida makanan sehat

c.

   Latihan Jasmani

  Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selam kurang lebih 30 menit. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga dan berkebun. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak dan bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

d. Intervensi farmakologis

  Apabila pengendalian diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diaet dan latihan jasmani barulah diberikan obat.

  1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

  Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :

  a) Pemicu sekresi insulin: sulfonilurea dan glinid

  b) Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion.

  c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

  d) Penghambat absorbsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

  Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

  a) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

  b) Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan

  c) Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan

  d) Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan

  e) Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

  2) Insulin

  Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu:

  a) Masa kerja singkat (Short-acting Insulin), disebut juga insulin reguler.

b) Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting).

  c) Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat (Insulin campuran/Pre-mixed) d)

  Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin) (PERKENI, 2006).

  Selain diatas perawat yang merawat pasien DM tipe 2 dirumah sakit juga harus memberikan perhatian kepada higiene oral dan perawatan kulit, karena pasien DM s tipe 2 sering mengalami penyakit periodotal dan cenderung terjadi luka akibat gesekan dan infeksi jamur. Untuk pasien yang berbaring menekankan pencegahan luka pada kulit di bagian-bagian yang menonjol. Jika terdapat ulkus pada kaki selain melakukan perawatan khusus pada kaki yang terinfeksi, perawatan preventif juga harus dilakukan pada kaki yang sehat. Setiap kesempatan harus selalu dimanfaatkan untuk mengajarkan kepada pasien mengenai perawatan mulut, kulit dan kaki setiap hari secara mandiri.

  Selain stres fisiologik seperti infeksi dan pembedahan turut menimbulkan hiperglikemia dan dapat memicu diabetes ketoasidosis, stres emosional dapat memberi dampak negatif terhadap pengendalian diabetes. Peningkatan hormon stres akan meningkatkan kadar glukosa darah, khususnya bila asupan makanan dan pemberian insulin tidak diubah.

  Disamping itu, pada saat terjadi stres emosional, penderita diabetes dapat mengubah pola makan, latihan dan penggunaan obat yang biasanya dipatuhi. Keadaan ini turut menimbulkan hiperglikemia dan bahkan hipoglikemia. Bagi mereka diperlukan motivasi agar sedapat mungkin mematuhi rencana terapi diabetes pada saat-saat stres (Smeltzer & Bare, 2002).

2.2 Peran Perawat

  Menurut Hutahaean (2010) peran adalah keadaan dari tingkah laku yang diharapkan orang lain terhadap seseorang, sesuai dengan kedudukannya dalam suatu lingkungan.

  Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Undang-Undang Kesehatan No.23,1992). Dalam Permenkes RI No. 1239 tahun 2001, dijelaskan bahwa perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri (Hidayat, 2007).

  Peran perawat menurut Hidayat (2007), merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya dalam sistem, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang konstan. Peran perawat terdiri dari 8 elemen yaitu: Care giver (pemberi asuhan keperawatan), Client advocate (pembela pasien), Counsellor (konselor), Edukator (pendidik), Collaborator (kolaborasi), Coordinator (kordinator), Change agen (pembaharu), dan Consultan (konsultan) (Hutahaean, 2010).

  2.2.1 Peran Care giver (pemberi asuhan keperawatan)

  Yaitu perawat sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana dan tindakan serta evaluasi keperawatan. Dalam hal ini perawat juga harus memperhatikan individu atau klien sebagai mahluk yang holistik dan unik.

  2.2.2 Peran Client advocate (pembela pasien)

  Yaitu perawat sebagai pembela atau penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela hak ataupun kepentingan klien, dan membantu klien untuk memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun profesional khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien.

  2.2.3 Peran Edukator (pendidik)

  Yaitu perawat membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

  2.2.4 Peran Coordinator (kordinator)

  Yaitu perawat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi yang ada dan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasikan pelayanan kesehatan dengan tim kesehatan lain sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.

  2.2.5 Peran Collaborator (kolaborasi)

  Yaitu perawat bekerja sama dengan keluarga dan tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

  2.2.6 Peran Consultan (konsultan)

  Yaitu perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

2.2.7 Peran Change agen (pembaharu)

  Yaitu perawat mengadakan inovasi atau pembaharuan kepada klien terhadap cara berpikir, bersikap dan bertingkahlaku untuk meningkatkan keterampilan klien atau keluarga untuk mencapai hidup yang sehat. Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perbaruan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

2.3 Pemberian Edukasi pada Klien

  Peran perawat sebagai pendidik klien adalah perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medik yang diterima klien, sehingga klien atau keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.

  Dalam hal ini perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga yang beresiko tinggi terhadap masalah kesehatan, kader kesehatan dan yang lainnya (Hutahaean, 2010).

  Dalam keperawatan, edukasi merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik (Suliha, 2002).

2.3.1 Pengertian Edukasi

  Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self direction ), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru (Suliha, 2002).

  Definisi di atas menunjukkan bahwa edukasi adalah suatu proses perubahan perilaku secara terencana pada diri individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Edukasi merupakan proses belajar dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu dan dari tidak mampu mengatasi kesehatan sendiri menjadi mandiri.

  Pelaksanaan edukasi dalam keperawatan merupakan kegiatan pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut: pengkajian kebutuhan belajar klien, penegakan diagnosa keperawatan, perencanaan edukasi, implementasi edukasi, evaluasi edukasi, dan dokumentasi edukasi (Suliha, 2002).

  Secara umum tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu dan masyarakat di bidang kesehatan, serta tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam memelihara perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pendidikan dalam pelayanan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat social eknomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat (Potter&Perry, 2009). Pendidikan dalam pelayanan kesehatan mengacu juga pada edukasi pada klien. Klien semakin menyadari kesehatan dan ingin dilibatkan dalam pemeliharaan kesehatan. Perawat atau tim kesehatan harus memeberikan edukasi kesehatan pada tempat yang nyaman dan dikenal oleh klien (Potter&Perry, 2009). Sedangkan tempat penyelenggaraan pendidikan kesehatan dapat dilakuakan di isntitusi pelayanan antaralain puskesmas, Rumah Sakit, Klinik, Sekolah ataupun pada masayarakat berupa keluarga binaan (Rocahdi, 2011).

2.3.2 Standar Untuk Pendidikan Klien

  Pendidikan bagi klien telah lama menjadi standar pada praktek keperawatan profesional. Menurut Virginia Henderson (1966) dalam Potter & Perry (2005), bagian dari peran perawat adalah untuk meningkatkan tingkat pemahaman klien dan dengan demikian meningkatkan kesehatan.

  Badan yang terakreditasi di Amerika Serikat dan kanada telah menyusun petunjuk untuk memberikan pendidikan kesehatan bagi klien di institusi pelayanan kesehatan. The Joint Commisionon Accreditation Of Healhcare

  

Organization (JCAHO) (1995) menggambarkan standar berikut bagi pendidikan

  klien: Klien/keluarga diberikan pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang diperlukan untuk memberikan merencanakan dan mendorong pengawasan dan koordinasi aktivitas dan sumber pendidikan klien/keluarga. Klien/keluarga mengetahui kebutuhan belajar mereka, kemampuan dan kesiapan untuk belajar. Proses pendidikan klien/keluarga bersifat interdisiplin sesuai dengan rencana asuhan keperawatan. Klien/keluarga mendapatkan pendidikan yang spesifik sesuai dengan hasil pengkajian, kemampuan dan kesiapannya. Pendidikan kesehatan meliputi pemberian obat- obatan, penggunaan alat medis, pemahaman tentang interaksi makanan/obat dan modifikasi makanan, rehabilitasi, serta bagaimana melakukan pengobatan selanjutnya. Informasi mengenai instruksi pulang yang diberikan pada klien/keluarga diberikan oleh pihak institusi atau individu tertentu yang bertanggungjawab terhadap kesinambungan perawatan klien (Potter & Perry, 2005).

2.3.3 Tujuan Edukasi Pada Klien

  Pendidikan klien yang komprehensif meliputi tiga tujuan penting yang setiap tingkatannya mencakup tingkatan perawatan kesehatan yang berbeda.

a. Pemeliharaan, peningkatan dan pencegahan penyakit

  Memungkinkan klien untuk hidup dengan perilaku yang lebih sehat. Peningkatan perilaku sehat melalui pendidikan meningkatkan harga diri dengan mengizinkan klien mengambil tanggung jawab dan menjaga kesehatannya. Pengetahuan yang lebih besar dapat menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan yang lebih baik. Pada waktu klien menyadari tentang kesehatannya, mereka cendrung untuk mencari pertolongan secepatnya untuk masalah kesehatannya.

  b. Perbaikan kesehatan

  Klien yang mengalami kecelakaan atau sakit memerlukan informasi dan keterampilan yang akan membantunya mengembalikan atau mempertahankan tingkat kesehatannya. Perawat perlu melibatkan keluarga karena keluarga merupakan bagian vital dalam pengembalian kesehatan klien dan mungkin membutuhkan informasi yang sama banyaknya dengan klien.

  c. Koping terhadap gangguan fungsi

  Tidak semua klien benar-benar pulih dari sakit atau cedera. Banyak klien belajar untuk menghadapi perubahan kesehatan permanen.

  Pengetahuan dan keterampilan baru seringkali dibutuhkan klien untuk melanjutkan aktivitas hidup sehari-hari (Potter & Perry, 2005).

2.3.4 Proses Pendidikan Kesehatan pada Pasien

  Proses pendidikan adalah rangkaian tindakan yang sistematik, berurutan dan terencana terdiri dari dua operasi utama yang interdependen, pengejaran dan pembelajaran yang membentuk siklus tanpa terputus, dan melibatkan pengajar dan peserta didik. Secara bersama-sama mereka melakukan kegiatan belajar dan mengajar yang hasilnya berupa perubahan perilaku yang dikehendaki oleh kedua belah pihak (Bastable, 2002).

  Langkah-langakah proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, evaluasi digunakan pada saat pengembangan rencana pemberian edukasi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan pasien.

a. Pengkajian

  Yaitu diarahkan pada pengumpulan data secara sistematik tentang kebutuhan pembelajaran dan kesiapan untuk belajar seseorang dan tentang kebutuhan pembelajaran keluarga. Pengkajian faktor predisposisi yang meliputi: Pengkajian riwayat keperawatan (usia, status perkembangan, persepsi pasien tentang masalah kesehatannya saat ini, kepercayaan klien tentang kesehatan, agama yang dianut, peran gender, budaya, keadaan ekonomi, dan sistem pendukung pasien), pengkajian fisik, motivasi dan kemampuan membaca klien.

  Untuk menurunkan tingkat bacaan dan menyederhanakan materi edukasi, maka gunakan kata-kata yang lebih pendek, hindari kata-kata dengan beberapa suku kata, tulis kalimat-kalimat pendek, jelaskan peristilahan yang digunakan, dan gunakan kata-kata yang mudah dan sering digunakan (Suliha dkk, 2002).

  Pengkajian kesiapan individu untuk pendidikan kesehatan meliputi: Keyakinan dan perilaku kesehatan individu, adaptasi psikososial yang telah dibuat individu, kesiapan individu untuk belajar, kemampuan individu untuk belajar perilaku ini, informasi tambahan yang diperlukan oleh individu, harapan individu, dan yang ingin ketahuinya. Selanjutnya mengorganisasikan, menganalisis, sintesis dan merangkum data yang dikumpulkan.

  b. Diagnosa Keperawatan

  Merumuskan diagnosa keperawatan yang menunjukkan kebutuhan pembelajaran individu. Diagnosa keperawatan yang dikelompokkan pada kategori kurang pengetahuan. Identifikasi kebutuhan pembelajaran, karakteristik dan etiologinya dan menetapkan diagnosa keperawatan dengan singkat dan persis

  c. Perencanaan

  Yaitu perencanaan komponen proses pengajaran-pembelajaran ditetapkan sesuai dengan kriteria umum yang berlaku pada proses keperawatan. Sebagaimana halnya dengan proses keperawatan prioritas diagnosa ditentukan bersama dengan pasien dan anggota keluarga yaitu antaralain: Tetapkan prioritas diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan kebutuhan pembelajaran individu, tentukan tujuan pembelajaran pengajar-peserta didik jangka pendek, menengah dan jangka panjang, mengidentifikasi strategi pengajaran yang sesuai dengan pencapaian tujuan, menetapkan hasil yang diperkirakan, kembangkan rencana pengajaran tertulis, termasuk diagnosa, tujuan, strategi, hasil yang diharapkan. Buat informasi yang akan diajarkan dalam urutan yang logik, tuliskan poin-poin penting, pilih alat bantu pengajaran yang sesuai, pertahankan rencana terbaru dan fleksibel untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau orang terdekat, anggota tim keperawatan, anggota tim kesehatan dalam semua aspek perencanaan.

  d. Implementasi

  Yaitu proses pengajaran-pembelajaran pasien, anggota keluarga dan anggota tim keperawatan serta tim kesehatan lain menjalankan aktivitas yang telah dibuat dalam rencana pengajaran. Semua aktivitas dari semua individu ini dikoordinasi oleh perawat, yaitu antaralain: Buat rencana perawatan menjadi nyata, gunakan bahasa yang dapat dimengerti individu, gunakan alat bantu pengajaran yang sesuai, gunakan peralatan yang sama dengan yang akan digunakan individu setelah pemulangan, beri dorongan pada individu untuk ikut serta secara aktif dalam pembelajaran, catat respon pesrta didik terhadap tindakan pengajaran, dan berikan umpan balik.

  e. Evaluasi

  Yaitu menentukan seberapa efektifnya individu telah merespons terhadap strategi pengajaran dan sejauh mana tujuan telah tercapai, yaitu antaralain: Kumpulkan data objektif, observasi individu, ajukan pertanyaan untuk menentukan apakah individu mengerti, gunakan peringkat skala, daftar periksa, catatan dan ujian tertulis bila memungkinkan, bandingkan respons perilaku individu dengan hasil yang diharapkan. Tetapkan sejauh mana tujuan sudah tercapai, libatkan individu, keluarga atau orang terdekat, anggota tim keperawatan, dan yang harus dibuat dalam rencana pengajaran. Buat rujukan ke sumber atau lembaga yang sesuai untuk menguatkan pembelajaran setelah pemulangan. Lanjutkan semua langkah dari proses pengajaran yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.5 Hambatan dan Rintangan Perawat dalam Menjalankan Perannya sebagai Educator

  Ada banyak halangan dan rintangan yang dihadapi perawat saat melaksanakan tanggung jawab mereka untuk mendidik klien. Halangan terhadap pendidikan adalah faktor-faktor yang menghalangi kemampuan perawat di dalam memberikan jasa pendidikan. Rintangan terhadap pembelajaran adalah faktor- faktor yang berdampak negatif terhadap kemampuan peserta didik untuk menangani dan memproses informasi. hambatan dari perawat antara lain perawat tidak siap memberikan pendidikan kesehatan. Ketidaksiapan ini dapat diakibatkan oleh masih kurang memadainya pendidikan perawat, karakter pribadi parawat dan keterbatasan waktu. Pendidikan yang kurang memadai, karakter pribadi perawat yang pemalas dan tidak kreatif membuat perawat kurang mampu memberikan pendidikan kesehatan sesuai kebutuhan pasien. Selain itu kurang distandarisasikan dan kurang jelasnya materi pendidikan, delegasi, pendokumentasian dan koordinasi yang kurang juga mempengaruhi pendidikan kesehatan yang diberikan oleh seorang perawat. Hal ini menyebabkan seringkali terjadi duplikasi dokumentasi komunikasi antara perawat dan tenaga kesehatan yang lain serta materi diambil dari berbagai sumber yang belum valid.

  Sedangkan hambatan pendidikan kesehatan dari pasien antara lain tingkat pendidikan yang rendah, karakter pribadi peserta didik, efek hoptalisasi, stres akibat penyakit, ansietas, menurunnya fungsi tubuh (pancaindra), kurangnya waktu untuk belajar, kompleksitas target yang harus dicapai, ketidaknyamanan, fragmentasi, ketidakmanusiawian sistem perawatan yang sering menyebabkan frustasi dan ketidakpedulian (Bastable, 2002).

Dokumen yang terkait

Landmark Kota Medan (Persepsi dalam Arsitektur) Studi Kasus : Istana Maimun

0 0 14

Penggunaan Tepung Limbah Udang dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma viridae pada Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

0 0 9

Penggunaan Tepung Limbah Udang dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma viridae pada Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara 2.1.1. Pengertian Udara - Perbedaan Kadar Co dan So2 di Udara Berdasarkan Volume Lalu Lintas dan Banyaknya Pohon di Jl. Dr. Mansur dan Jl. Jendral A.H. Nasution di Kota Medan

0 5 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbedaan Kadar Co dan So2 di Udara Berdasarkan Volume Lalu Lintas dan Banyaknya Pohon di Jl. Dr. Mansur dan Jl. Jendral A.H. Nasution di Kota Medan

0 0 7

Perbedaan Kadar Co dan So2 di Udara Berdasarkan Volume Lalu Lintas dan Banyaknya Pohon di Jl. Dr. Mansur dan Jl. Jendral A.H. Nasution di Kota Medan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik(Studi Pada Kantor Unit Pelayanan Terpadu (Upt) Samsat Medan Selatan)

0 0 29

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik(Studi Pada Kantor Unit Pelayanan Terpadu (Upt) Samsat Medan Selatan)

0 0 12

Buku SMK - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK.pdf

4 38 114

Peran Perawat dalam Pemberian Edukasi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan

0 5 25