BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Pengaruh Tataguna Lahan dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengendalian Banjir di Kabupaten Aceh Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Wilayah

  Sirojuzilam (2010), menjelaskan bahwa: 1). Perencanaan adalah sebuah cara berfikir yang berorientasi pada masa depan dengan sifat preskriptif menggunakan metoda dan sistematika yang rasional. 2). Perencanaan adalah penyusunan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan (sebuah status yang diiinginkan), tindakan: kegiatan, kelakuan terhadap sesuatu objek yang secara rasional diketahui akan mendekatkan pada status yang diinginkan. Wilayah adalah merupakan satuan ruang geografis yang dibatasi oleh batas-batas fisisk (iklim, air, vegetasi, morfologi), sosial (etnis, budaya, kependudukan), ekonomi (jaringan produksi-pasar, pelayanan), politik (administrasi pemerintahan, administrasi fungsional lain) tertentu dengan perkataan lain wilayah mengandung dimensi teritori (daerah) dan fungsi (wilayah). Perencanaan wilayah yang lebih terfocus pada perencanaan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan dilaksanakannya community planning dan participatory planning. Dengan demikian perencanaan wilayah adalah penerapan metode ilmiah dalam pembuatan kebijakan publik dan upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain publik untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.

  Menurut Sirojuzilam (2007), bahwa perencanaan dapat dilakukan dengan cara-cara:

  1. Menentukan tujuan dan sasaran perencanaan dalam proses politik yang menyertakan seluruh warga (stake holders)

  2. Mengetahui fakta-fakta tentang kondisi yang ada dan latar belakangnya serta memperkirakan apa yang bakal terjadi dalam situasi-situasi tertentu

  3. Mengkaji pilihan-pilihan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran dengan mengingat potensi dan hambatan yang ada

  4. Menentukan pilihan yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan normatif maupun teknis di dalam konteks partisipatif

  5. Mengusulkan rangkaian kebijakan dan tindakan yang perlu diambil dalam pelaksanaan pilihan yang diambil

  6. Melakukan langkah-langkah implementasi melalui tindakan sosialisasi, penegakan, pemberian insentif dan sebagainya serta memantau pelaksanaannya secara sistematik dan teratur Pengertian perencanaan dapat berbeda antara perencana yang satu dengan perencana lainnya. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang, perbedaan fokus perhatian dan perbedaan luasnya bidang yang tercakup dalam perencanaan yang dimaksud (Tarigan,2008). Menurut Soemarno (2004), Perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan (kontinyu) sejak dari tahap survei hingga tahap pelaksanaan (implementasi). Pada kenyataannya proses perencanaan merupakan kegiatan yang tidak pernah selesai, karena selalu memerlukan peninjauan ulang atau pengkajian guna memberikan umpan balik dalam proses evaluasi. Dalam proses penentuan alternatif, pemilihan alternatif dan evaluasi diperlukan analisis yang seksama donkomprehensif. Analisis merupakan uraian atau usaha untuk mengetahui arti suatu keadaan. data, informasi atau keterangan mengenai suatu keadaan diurai dan dikaji hubungannya satu sama lain, diselidiki kaitan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Analisis wilayah (regional) adalah suatu upaya melihat berbagai faktor perkembangan dalam skala wilayah, sementra daerah dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang batasannya ditentukan oleh beberapa faktor yaitu tujuan, skala, dan proses. Tujuan sangat besar pengaruhnya terhadap proses perencanaan. Lebih lanjut Soemarno (2004), menjelaskan bahwa pada setiap pembuatan perencanaan diharapkan perencana harus sudah mengetahui atau menetapkan tujuannya dan untuk siapa perencanaan tersebut dibuat. Dalam konteks ini proses perencanaan dapat diartikan sebagai suatu usaha memaksimumkan segala sumber daya yang ada pada suatu wilayah atau negara untuk tujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduknya. Untuk dapat menerapkan asas memaksimumkan manfaat segala sumber daya dengan meminimumkan dana masyarakat, diperlukan kemampuan analisis atas kedua faktor yang tidak saling terkait tersebut.

  Skala perencanaan mempunyai peranan penting pula. Secara teori perencana dapat mencakup seluruh dunia atau lebih kecil yaitu batas wilayah negara. Sebagai contoh, dapat dikemukakan perencanaan daerah aliran sungai yang menembus batas wilayah negara. Pada umumnya perencanaan dilakukan dalam skala nasional, wilayah dan setempat. Setiap cita-cita dan tujuan suatu negara dituangkan dalam rencana/rancangan nasional yang kemudian dipecah- pecah ke dalam rancangan wilayah. Dalam pelaksanaannya ke sasaran terakhir, rancangan wilayah diterjemahkan ke dalam rencana setempat. Dari sini terlihat, rancangan daerah merupakan jembatan antara rancangan nasional dan rancangan setempat (Soemarno, 2004). Menurut Tarigan (2008) dinyatakan bahwa definisi yang sangat sederhana terhadap perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi seperti ini pada dasarnya tidaklah salah namun tidak mampu memberikan gambaran atas suatu perencanaan yang rumit dan luas. Definisi seperti ini hanya cocok untuk perencanaan sederhana yang tujuannya dapat ditetapkan dengan mudah dan tidak terdapat faktor pembatas yang berarti untuk mencapaui tujuan tersebut.

  Faktor perencanaan lainnya ialah proses daerah maupun kota selalu berubah. Keadaan sosial akan berubah,lambat atau cepat. Bebagai perubahan ini tentu saja akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat sehingga selanjutnya berpengaruh pula pada keadaan fisik daerah/kota. Daerah atau kota yang mengalami urbanisasi besar, mengalami perubahan ekonomi dan fisik yang juga bergerak dengan cepat seperti di pulau Jawa dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Pola dan laju proses perkembangan masyarakat, ekonomi, politik dan lainnya dapat dikaji untuk dijadikan bahan pertimbangan pokok bagi penentuan kebijakan perencanaan. Kebijakan ini menyangkut beberapa aspek penting selain menentukan apa yang dikembangkan, juga harus menentukan bagaimana, kapan, dan berapa besar pengembangannya. Melihat pola dan laju perkembangan penduduk, seorang perencana kota akan dapat menentukan segala kebutuhan yang diperlukan pada 10 tahun mendatang. Hal ini sudah mencakup pertanyaan apa dan kapan. Dalam perencanaan hal tersebut belumlah cukup dan masih harus dilengkapi dengan pengetahuan "berapa besar" pengembangan yang sebenarnya dibutuhkan, dan "bagaimana" mewujudkannya. Berbagai kesulitan akan dihadapi dalam pekerjaan analisis, terutama yang menyangkut data, definisi daerah atau kota, penentuan batas daerah perencanaan dan lainnya. Dalam pekerjaan analisis seringkali dihadapi berbagai kesulitan antara lain ketersediaan data dan penentuan daerah perencanaan (Soemarno, 2004).

  Menurut Tarigan (2008), bahwa langkah-langkah dalam perencanaan wilayah dinyatakan oleh Glasson bahwa “Major features of general planning

  include a sequence of action wich are designed to solve problems in the fiture

  sehingga perencanaan dalam pengertian umum adalah menyangkut serangkaian tindakan yang ditujukan untuk memecahkan persoalan di masa depan. Glasson menetapkan urutan langkah-langkah perencanaan wilayah sebagai berikut: 1.

   The identification of problems 2. The formulation of general goals and more specific and measureable objectives relating to the problems

3. The identification of possible constraints 4.

   Projection of the future situation

  5. The generation and evaluation of alternative courses of action and the

  production of preferred plan wich in generic form may include any policy statement or strategy as well as definitive plan

  Untuk kebutuhan perencanaan wilayah di Indonesia, apa yang dikemukakan oleh Glasson masih perlu diperluas setidaknya memerlukan unsur- unsur yang urutan atau langkah-langkahnya sebagai berikut (Tarigan, 2008):

  1. Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Untuk dapat menggambarkan kondisi saat ini dan permasalahan yang dihadapi mungkin diperlukan kegiatan pengumpulan data terlebih dahulu baik data sekunder maupun data primer

  2. Tetapkan visi, misi dan tujuan umum. Visi, misi dan tujuan umum haruslah merupakan kesepakatan bersama sejak awal

  3. Identifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan muncul pada masa yang kan datang

  4. Proyeksikan berbagai variabel yang terkait baik yang bersifat controllable (dapat dikendalikan) maupun non-controllable (di luar jangkauan pengendalian pihak perencana)

  5. Tetapkan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu yaitu berupa tujuan yang dapat diukur

  6. Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk mencapai sasaran tersebut. Dalam mencari alternatif perlu diperhatikan keterbatasan dana dan faktor produksi yang tersedia

  7. Memilih alternatif yang terbaik, termasuk menentukan berbagai kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan

  8. Menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan

  9. Menyusun kebijakan dan strategi agar kegiatan pada tiap lokasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan

  Menurut Friedmann (2001), dinyatakan bahwa perencanaan wilayah hampir merupakan suatu upaya dalam membuat suatu formula bagi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengabaikan dimensi-dimensi lain dari kebijakan wilayah

atau teritorial seperti kebijakan-kebijakan khusus yang menjadi latar belakang

diskusi akademik. Dalam perencanaan wilayah perhatian tidak hanya diberikan

sebatas pada sumberdaya alam, impelementasi politik dan organisasi administrasi bagi pembangunan pedesaan namun pada semua aspek kehidupan masyarakat. Definisi perencanaan wilayah yang lebih komprehensif dan mungkin dengan

orientasi yang berbeda diberikan oleh Profesor Kosta Mihailovic yang

menyebutkan bahwa pembangunan wilayah diartikan sebagai perubahan sosial

ekonomi dalam berbagai tipe wilayah, hubungan interregional yang dinamis dan

faktor-faktor relevan yang memiliki keterkaitan dengan tujuan dan hasil dari

pembangunan. Faridad (2003) mendefinisikan perencanaan wilayah sebagai suatu

aplikasi dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan rujukan

yang sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan. Sebagai

alternatif, hal ini dapat ditunjukkan sebagai persiapan action plan pemerintah dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan pembangunan wilayah.

  Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya:

  

1. Walter Isard, sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya

hubungan sebab akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya.

  

2. Hirschmann, pada era 1950-an yang memunculkan teori polarization effect

dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development).

  

3. Myrdal, pada era 1950-an dengan teori yang menjelaskan hubungan antara

wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect .

  

4. Friedmann, pada era 1960-an yang lebih menekankan pada pembentukan

hirarki guna mempermuda h pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan.

  

5. Terakhir adalah Douglass pada era 1970-an yang memperkenalkan

lahirnya model keterkaitan desa–kota (rural–urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

  Melihat latar belakang dari para pelopor ilmu wilayah (regional science)

tersebut, maka dalam perkembangannya sense Ilmu Ekonomi terlihat sangat

menonjol, namun demikian mengingat bahwa permasalahan pembangunan

wilayah pada umumya sangat luas (mencakup ekonomi, sosial, lingkungan fisik,

dan prasarana) maka secara harfiah ilmu wilayah dapat dipandang sebagai ilmu

yang mempelajari aspek-aspek dan kaidah-kaidah kewilayahan, dan mencari cara- cara yang efektif dalam mempertimbangkan aspek-aspek dan kaidah-kaidah

  

tersebut ke dalam proses perencanaan pengembangan kualitas hidup dan

kehidupan manusia (Rustiadi, 2009). Lebih lanjut Kajian perencanaan dan

pengembangan wilayah selanjutnya didasarkan pada upaya untuk

memenuhi kebutuhan ilmu-ilmu kewilayahan yang berkembang kearah kebijakan

dan perencanaan. Bidang kajian ini berupaya menjawab permasalahan

perkembangan wilayah yang tidak terbatas pada “mengapa” namun hingga

“bagaimana” suatu wilayah dibangun. Jawaban dari “bagaimana” selanjutnya akan mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat spasial (spatial planning),

rencana penggunaan lahan/tataguna lahan (land use planning) hingga ke

perencanaan-perencanaan kelembagaan pembangunan, termasuk proses-proses

perencanaan itu sendiri (Rustiadi, 2009). Berbagai teori dan konsep dalam

pengembangan wilayah tersebut di atas juga diperkaya oleh gagasan yang dikemukan oleh pemikir dalam negeri diantaranya dikemukakan oleh Sutami pada era 1970-an dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu

mempercepat pengembangan wilayah, selain itu juga pemikiran yang

dikemukakan oleh Poernomosidhi pada era transisi memberikan kontribusi

lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota.

2.2 Pilar Pengembangan Wilayah

  Menurut Alkadri et al (2011), berbagai upaya yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan suatu wilayah harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, hal ini dapat berupa berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat setempat. Dalam mengembangkan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan sektoral atau fungsional yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral, dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini cenderung didominasi oleh program-program yang sangat sektoral, sehingga program yang dilaksanakan dan dihasilkan sering kurang mencerminkan keinginan dari masyarakat setempat yang pada akhirnya banyak dijumpai hasil pembangunan yang tidak termanfaatkan secara optimal. Pemberian otonomi kepada daerah diharapkan dapat mengurangi dominasi dari program-program sektoral sehingga pendekatan sektoral lebih bersifat mendukung program-program regional atau teritorial.

  Lebih lanjut Alkadri et al (2011), pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM) dan teknologi dengan memperhatikan daya tampung lingkungan. Secara lebih luas teknologi dibagi menjadi empat komponen yakni technoware,

  

humanware , inforware dan orgaware. Keempat komponen selalu berperan dalam

  sebuah proses transformasi dalam merubah input menjadi output. Tiga pilar pengembangan wilayah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. Dalam kegiatannya, pengembangan wilayah harus disertai community development. Selain memanfaatkan sumber daya alam melalui teknologi, sumber daya masusia juga harus dikembangkan. Berkembangnya suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat pemanfaatan dari ketiga sumber daya tersebut, sehingga upaya pengembangan yang harus dilakukan akan berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain

Gambar 2.1 Tiga Pilar Pengembangan Wilayah

  Sumber: Alkadri et al (2011)

2.3 Bencana

  Menurut Fadillah (2010), bahwa UNISDR (2009) mendefinisikan bencana sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana merupakan hasil dari kombinasi: pengaruh bahaya (hazard), kondisi kerentanan (vulnerability) pada saat ini, kurangnya kapasitas maupun langkah- langkah untuk mengurangi atau mengatasi potensi dampak negative.

  Bencana dapat dibagi 2 jenis yaitu utama yaitu bencana alam dan bencana teknologi. Sementara itu bencana alam terdiri dari tiga:

  1. Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang, kekeringan dan tanah longsor.

  2. Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulkanik 3. Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan.

  Untuk penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan meliputi 5 fase umum, yaitu:

  1. Prediction (prediksi)

  2. Warning (peringatan)

  3. Emergency relief (bantuan darurat)

  4. Rehabilitation (rehabilitasi); dan 5. Reconstruction (rekonstruksi).

  Fase-fase tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan mengacu pada UNISDR (2009).sebagai berikut:

  1. Prediction, dalam fase ini, dilakukan kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural. Langkah structural yaitu langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari bencana alam, kerusakan lingkungan dan bencana teknologi. Sedangkan langkah non-struktural yaitu tindakan yang diambil pada saat awal terjadi bencana untuk memastikan respon yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk peringatan dini yang efektif dan tepat waktu, serta evakuasi sementara penduduk dan barang dari lokasi terancam bencana.

  2. Warning, fase ini mengacu pada penyediaan informasi yang efektif dan tepat waktu melalui lembaga-lembaga yang terpercaya, agar individu dapat mengambil tindakan untuk menghindari atau mengurangi risiko dan mempersiapkan respon yang efektif

  3. Emergency relief, pemberian bantuan atau pertolongan selama atau segera setelah bencana terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan yang mendasar orang-orang yang terkena. Hal ini dapat langsung dalam jangka pendek atau jangka panjang.

  4. Rehabilitation, fase ini mencakup keputusan dan tindakan yang diambil setelah bencana dengan tujuan untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat serta mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi risiko bencana.

  5. Reconstruction, fase ini mencakup semua kegiatan yang penting dilakukan dalam jangka panjang yaitu fase prediksi berupa mitigasi dan kesiapsiagaan, fase respon terhadap peringatan dan pemberian bantuan darurat, serta fase pemulihan berupa rehabilitasi dan rekonstruksi.

  Terdapat kesamaan antara fase pada public project management dan disaster management (Moe dan Patranakul, 2006) yakni unik (tidak ada proyek yang sama sebelum maupun setelah), membutuhkan pengembangan dan ide baru (tidak ada proyek yang mempunyai pendekatan sama persis) dan bersifat sementara (mempunyai fase awal dan akhir).

2.4 Tataguna Lahan

  Tataguna lahan sangat terkait dengan banjir khususnya lahan yang berfungsi sebagai penyangga air. Menurut Chow et al (1988), jenis dan peruntukan lahan serta luasan lahan akan berpengaruh terhadap koefisien pengaliran. Sedangkan koefisien pengaliran merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap debit limpasan (runoff) yang mengakibatkan banjir di mana debit limpasan juga dipengaruhi oleh variabel curah hujan dan variabel luas kawasan. Menurut He Fei (2006), Perubahan pemanfaatan lahan, terutama peningkatan penggunaan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan aliran sungai, yang membuat risiko banjir juga meningkat. Sementara itu Widyaningsih (2008) hasil penelitiannya tentang tataguna lahan memberikan kesimpulan bahwa korelasi antara lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak berkorelasi negatif (tidak searah) dengan limpasan, debit aliran, erosi dan sedimentasi, tetapi lahan pemukiman, sawah, tegal dan tanah terbuka berkorelasi positif (searah).

  Korelasi antara tataguna lahan dengan limpasan, Debit aliran, erosi dan sedimentasi di Sub DAS Keduang termasuk tinggi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi lebih dari 70%.

  Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem yang structural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh berbagai macam sumber daya yang dominan dan jenis sumber daya serta intensitas interaksi yang berlangsung antar sumber daya tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penentu sifat dan perilaku lahan bermatra ruang dan waktu. Pengembangan lahan merupakan perubahan guna lahan dari suatu fungsi ke fungsi lain dengan tujuan untuk mendapat keuntungan dari nilai tambah yang terjadi karena perubahan guna lahan tersebut.

  Tataguna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan fungsi lainnya. Rencana tataguna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, pusat pemerintahan, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Tataguna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Perencanaan tataguna lahan adalah merupakan suatu perencanaan wilayah sesuai dengan kedudukannya dalam prencanaan fungsional. Perencanaan tataguna lahan merupaan kunci untuk mengarahkan pembangunan wilayah. Hal itu ada hubungannya dengan anggapan lama bahwa seorang perencana adalah perencana yang mempunyai pengatahuan secara umum tetapi memiliki suatu pengetahuan khusus. Pengetahuan khusus pada perencana wilayah baik perkotaan maupun perdesaan adalah perencana tataguna lahan. Pengembangan tata guna lahan yang sesuai akan meningkatkan perekonomian suatu kota atau wilayah.

  Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan dan menyebabkan suatu lahan menjadi tidak produktif.

  Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Bab 1 Pasal 1 ditetapkan, antara lain bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lain hidup dan melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.

  Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendaian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis dan penataan ruangnya diprioritaskan.

  Pada wilayah yang belum tersentuh manusia dan belum dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, tata ruang terbentuk tanpa direncanakan lebih dahulu, tetapi terjadi dengan sendirinya karena kekuatan alam yang ada di dalamnya. wilayah yang sudah ada kegiatan manusia, atau sudah dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, tata ruang terbentuk baik direncanakan lebih dahulu maupun tidak. Tata ruang mencakup tata ruang di wilayah yang sudah ada kegiatan manusia atau yang sudah dirasakan manfaat keberadaannya oleh manusia, terutama tata ruang yang telah direncanakan lebih dahulu. Karena itu, terbentuknya tata ruang sebagian atau seluruhnya, merupakan hasil kegiatan atau proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga proses itu disebut penataan ruang. Selanjutnya difokuskan pada aspek yang memerlukan peran teknik sipil, yaitu aspek prasarana dan sarana di bidang transportasi, keairan, teknik penyehatan dan struktur yang bersifat statis.

  Tata ruang pada hakekatnya adalah tata letak berbagai kegiatan sosial- ekonomi masyarakat serta prasarana dan sarana yang diperlukan. Untuk melangsungkan berbagai kegiatan sosial-ekonomi masyarakat dengan berdaya guna dan berhasil guna, prasarana dan sarana yang diperlukan harus diadakan atau dibangun lebih dahulu. Dalam pembangunan berbagai prasarana dan sarana tersebut diperlukan peran teknik sipil. Pertimbangan teknik sipil dalam penataan ruang berpengaruh terhadap biaya pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana. Agar biaya dapat diusahakan serendah mungkin, peran teknik sipil harus dilibatkan pada seluruh proses penataan ruang. Dalam perencanaan tata ruang, teknik sipil berperan dalam menetapkan letak atau lokasi semua kegiatan sosial ekonomi beserta prasarana dan sarana yang diperlukan termasuk memperkirakan biaya pembangunannya.

  Pada tahap pemanfaatan ruang, teknik sipil akan berperan dalam desain, pembangunaan, operasi serta pemeliharaan prasarana dan sarana agar keselamatan teknis dapat dijamin dan biaya dapat diusahakan serendah mungkin. Pada tahap ini teknik sipil berperan pula dalam menghitung biaya yang diperlukan. Pada proses pengendalian pemanfaatan ruang, teknik sipil turut berperan dalam berbagai pemberian izin dan persetujuan yang diperlukan, serta pengawasan terhadap dipatuhinya persyaratan yang tercantum dalam izin/persetujuan.

  Aspek teknik sipil dalam penataan ruang mencakup prasarana dan sarana transportasi, keairan, teknik penyehatan dan struktur. Prasarana transportasi, antara lain, jalan raya dan jalan rel dengan jembatan dan terowongan serta terminal/stasiun, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan pelabuhan udara.

  Prasarana keairan, antara lain, bendungan, waduk, saluran irigasi, saluran air baku untuk air bersih, saluran drainase, tanggul banjir, saluran pengelak banjir (banjir kanal) dan rumah pompa. Prasarana teknik penyehatan, antara lain, bangunan penjernihan air, saluran pembuangan limbah cair, bangunan pengolah limbah cair, tempat pembuangan dan pengolahan sampah. Struktur mencakup struktur bangunan gedung, antara lain, untuk industri, perdagangan, perkantoran, pendidikan, pelayanan kesehatan, peribadatan dan rekreasi. Biaya pembangunan prasarana dan sarana dipengaruhi keadaan di tempat atau lingkungan di mana prasarana dan sarana akan dibangun. Keadaan tersebut mencakup keadaan ekonomi dan sosial masyarakat maupun fisik/alam. Sebagai contoh, jalan yang dibangun melalui rawa lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui tanah kering dan keras. Jalan yang dibangun melalui wilayah berbukit lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui wilayah relatif rata. Jalan yang dibangun melalui permukiman padat lebih mahal dibanding jalan yang dibangun melalui wilayah kosong. Bangunan yang didirikan di tanah lembek dan dalam lebih mahal dibanding bangunan yang didirikan di tanah keras.

  Pembangunan prasarana dan permukiman sejauh mungkin menghindari wilayah rawan longsor agar tidak mengalami kerusakan akibat longsor. Jembatan yang dibangun di bantaran sungai yang relatif lebar lebih mahal dibanding jembatan yang dibangun di bantaran sungai sempit. Jembatan harus dibangun di tempat yang aman dari gerusan air sungai untuk menghindari ambruknya jembatan karena gerusan tanah di sekitar pondasi atau tiang jembatan. Waduk sedapat mungkin dibangun di wilayah yang porositas tanahnya rendah dan tidak di tempat retakan kulit bumi agar tidak bocor dan tidak merusak bendungannya.

  Ukuran dan kapasitas prasarana dan sarana yang dibangun harus sesuai skala kegiatan sosial-ekonomi yang memerlukannya. Sebagai contoh, lebar jalan yang akan dibangun harus sesuai volume lalu lintas, kekuatannya harus sesuai beban kendaraan yang lewat. Kapasitas atau debit irigasi harus sesuai luas wilayah dan jenis tanah serta jenis tanaman yang akan diairi. Kapasitas saluran drainase harus sesuai debit air maksimum yang harus dibuang ke dalamnya, baik air hujan, air buangan rumah tangga, industri, dan lainnya.

  Mengingat hal di atas, teknik sipil jelas berperan dalam mewujudkan tata ruang, mulai dari tata ruang makro (wilayah nasional) sampai tata ruang mikro seperti lingkungan perumahan, industri, perdagangan, perkantoran dan sebagainya. Peran tersebut diperlukan pada proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Karena luasnya wilayah Indonesia dan ada pembagian tugas dalam penataan ruang antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka penataan ruang dilakukan secara bertingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Wilayah perencanaan dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah administrasi. Aspek perencanaan dan kerincian rencana pada setiap tingkatan berbeda pula. Wilayah perencanaan nasional dapat mencakup seluruh wilayah nasional dapat pula hanya beberapa propinsi atau kawasan tertentu. Perencanaan tingkat propinsi dapat mencakup seluruh wilayah propinsi, dapat pula hanya beberapa kabupaten/kota. Perencanaan tingkat kabupaten/kota dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah kabupaten/kota. Tata ruang propinsi harus merupakan penjabaran dan bagian integral dari tata ruang nasional. Tata ruang kabupaten/kota harus merupakan penjabaran dan bagian integral dari tata ruang propinsi. Namun, penataan ruang propinsi harus memperhatikan masukan dari kabupaten/kota, penataan ruang nasional harus memperhatikan masukan dari propinsi. Pada akhirnya tata ruang merupakan kompromi antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan ruang.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa dinyatakan bahwa Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lampau dan masa kini yang bersifat mantap dan mendaur.

  Sedangkan menurut Sitorus (2004), lahan (land) didefinisikan sebagai bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Menurut Soeryanegara (1978) dalam Sinaga (2007) terdapat tiga aspek kepentingan pokok di dalam penggunaan sumber daya lahan, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara ikan dan lainnya; (2) lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa, dan (3) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Pada pengelolaan lahan sering terjadi adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengguna lahan atau sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Hal ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas lahan adalah : (1) jenis tanah dan kesuburannya, (2) keadaan lapangan, relief, topografi, dan ketinggian tempat, (3) aksesbilitas, (4) kemampuan dan kesesuaian tanah dan (5) besarnya tekanan penduduk. Besarnya tekanan penduduk dapat mengakibatkan degradasi lahan yang diakibatkan oleh kekeliruan- kekeliruan dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya lahan. Degradasi tersebut dapat terjadi berupa terjadinya erosi tanah, pencemaran tanah serta akibat yang ditimbulkan oleh interaksi-interaksi antara penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lahan untuk kepentingan lainnya di luar pertanian. Penggunaan lahan pertanian biasanya dibedakan berdasarkan komoditi yang diusahakan seperti sawah, tegalan, kebun kopi dan sebagainya. Penggunaan lahan di luar pertanian dapat dibedakan dalam penggunaan perkotaan, perdesaan, pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Penggunaan lahan ini sifatnya sangat dinamis sewaktu-waktu bisa berubah. Perubahannya dapat disebabkan oleh bencana alam, dan lebih sering disebabkan oleh campur tangan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan jumlah penduduk dapat berarti pula peningkatan kebutuhan akan lahan baik untuk pertanian maupun untuk pemukiman. Peningkatan kebutuhan lahan ini akan diimbangi dengan mengintensifkan penggunaan lahan maupun perluasan. Kedua usaha ini merubah lahan baik berupa luasan maupun jenisnya.

  Berbagai tipe penggunaan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing- masing tipe mempunyai kekhususan tersendiri. Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang penggembalaan, kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertanahan Nasional mengelompokkan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : 1. pemukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen); 2. kebun, meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan;

  3. tegalan merupakan daerah yang ditanami umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo,singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah;

  4. sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak penanaman hingga beberapa hari sebelum panen;

  5. hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun, besar serta lebat;

  6. lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia; 7. semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola dengan tajuk yang relatif kurang rimbun.

  Kebutuhan sumber daya lahan menjadi faktor proses perubahan penggunaan lahan, yang secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu (1) deforestasi baik ke arah pertanian maupun ke non pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non pertanian dan (3) penelantaran lahan. Pada dasarnya aspek permintaan lahan berkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efesiensi sosial ekonomis, peningkatan efisiensi industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengelolaan jumlah penduduk.

2.5 Banjir

  Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan.Uni Eropa mengartikan banjir sebagai perendaman sementara oleh air pada daratan yang biasanya tidak terendam air, dalam pengertian air mengalir, Banjir diakibatkan oleh volume air di suatu badan air sepertyang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya. Banjir merapakan satu bahaya alam (natural

  

hazard ) yang terjadi di alam di mana air menggenangi lahan-lahan rendah di

  sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga air meluap keluar alur melampaui tanggul dan menggenangi daerah sekitarnya seperti dataran banjir dan dataran alluvial

  Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air (Dibyosaputro, 1998).

(water saving) tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang

berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan

dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan

dan infiltrasi

  (Murdiyarso, 2007). Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi, memperlihatkan bahwa karakteristik tanah pedesaan, mampu mengendalikan proses sirkulasi hujan secara alamiah, karena daya dukung kemampuan tanah terhadap resapannya. Berbeda dengan penggunaan tanah di perkotaan, karena padatnya bangunan pancang dan beton, hingga menyebabkan pengaturan air secara lamiah relatif terganggu dan dicirikan oleh besaran laju limpasan air, bahkan karena kurang mampunyai daya tampung aliran (saluran drainase dan bantaran sungai), sering menyebabkan genangan (Waryono, 2002) Lebih lanjut Waryono (2002), menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya terletak pada wilayah dataran banjir, baik di pinggir sungai maupun di tepi pantai. Pembangunan pemukiman pada wilayah- wilayah dataran banjir, secara ekonomis cukup memberikan rangsangan keminatan bagi penghuninya, selain hamparannya relatif datar, tanahnya subur, dan harganya relatif terjangkau. Namun demikian lokasi pemukiman yang cukup strategis serta secara ekonomis sering memiliki resiko besar terhadap genangan (banjir). Hal ini mengingat bahwa pemilihan lokasi lebih cenderung pada kantong-kantong air, atau lahan basah yang dialih fungsikan menjadi komplek- komplek pemukiman. Oleh karena itu banjir tidak selayaknya hanya dilihat dari sisi bencana yang terjadi, akan tetapi akan lebih arif apabila ditinjau dari keruangan alamiahnya bahkan akan lebih menjamin kenyamanan lingkungan apabila dipertimbangkan dari faktor-faktor lingkungan dalam suatu hamparan daerah aliran sungai (DAS).

  Pendapat tentang fenomena banjir di wilayah perkotaan, ditinjau dari sistem DAS yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan karakteristik curah hujannya; dan secara garis besar disebabkan oleh pembangunan pemukiman di dataran banjir, perubahan penggunaan tanah, curah hujan yang tinggi, dan saluran badan sungai mengecil, serta pendangkalan yang terjadi pada badan-badan sungai. Menurut mononobe bahwa debit kawasan dipengaruhi oleh koefisien pengaliran, intensitas hujan dan luas daerah pengaliran. Koefisien pengaliran tergantung dari jenis tataguna lahan atau peruntukan lahan dan luasan lahan yang berpengaruh terhadap peresapan air ke dalam tanah. Intensitas hujan merupakan besaran hujan pada suatu kawasan. Daerah pengaliran adalah luasan suatu wilayah yang akan mengalirkan air. Apabila debit kawasan tidak mampu dialirkan oleh saluran yang ada baik berupa sungai atau saluran drainase maka akan terjadi limpasan permukaan yang menyebabkan terjadinya genangan yang disebut banjir.

  Menurut Sastrodihardjo (2010), Banjir didefnisikan sebagai kejadian genangan sementara yang alami terjadi pada dataran banjir (floodplain) ketika air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun non-materi. Definisi lain menyatakan bahwa banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia.

  Aktivitas manusia (proses man-made) yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Aktivitas manusia tersebut seperti: pembudidayaan di daerah dataran banjir; peruntukan tata ruang di dataran banjir yang tidak sesuai; belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir; permukiman di bantaran sungai; sistem drainase yang tidak memadai; terbatasnya tindakan mitigasi banjir; kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai; penggundulan hutan di daerah hulu; terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir; elevasi bangunan tidak memperhatikan peil banjir.

  Dari berbagai faktor penyebab bencana banjir tersebut, maka banjir dapat dikategorikan menjadi:

  1. Banjir akibat Sungai, terjadi karena luapan air sungai di mana kapasitas penyimpanan dan pengaliran air di sungai terlampaui akibat curah hujan yang tinggi selama beberapa hari dengan intensitas rendah (hujan siklonik atau frontal). Jenis banjir ini termasuk yang paling sering terjadi di Indonesia.

  2. Banjir Bandang (flash flood) disebabkan oleh tipe hujan konvensional dengan intensitas yang tinggi dan terjadi pada tempat-tempat dengan topografi yang curam di bagian hulu sungai. Aliran air banjir dengan kecepatan tinggi akan memiliki daya rusak yang besar, dan akan lebih berbahaya bila disertai dengan longsoran, yang dapat mempertinggi daya rusak terhadap daerah yang dilaluinya

  3. Banjir Pantai (Rob), disebabkan oleh air pasang laut akibat dari angin laut yang bertiup ke arah darat dengan kencang sehingga menimbulkan gelombang laut tinggi yang menyapu ke arah daratan sehingga terjadi banjir di wilayah pantai

  4. Banjir Lokal, terjadi karena curah hujan yang tinggi di suatu wilayah, genangan yang terjadi disebabkan karena aliran air permukaan tidak cepat diserap atau saluran pembuangan yang ada kurang dapat menampung aliran air hujan yang ada. Banjir lokal ini bisa terjadi di wilayah perkotaan karena berkurangnya lahan kosong yang dapat berfungsi sebagai daerah penyerap air hujan. Lahan kosong tersebut umumnya sudah berubah menjadi rumah, gedung, jalan, tempat parkir, dan lain sebagainya.

  Menurut Sebastian (2008), Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang.

  Sedangkan banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti perubahan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistim pengendali banjir yang tidak tepat.

  Lebih lanjut Sebastian (2008), menjelaskan bahwa penyebab banjir secara Alami meliputi:

  a. Curah hujan: oleh karena beriklim tropis, Indonesia mempunyai dua musim sepanjang tahun, yakni musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Oktober–Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan April- September. Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di sungai dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan.

  b. Pengaruh fisiografi: fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah aliran sungai (DAS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain merupakan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir.

  c. Erosi dan sedimentasi: erosi di DAS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul genangan dan banjir di sungai. Sedimentasi juga merupakan masalah besar pada sungai-sungai di Indonesia.

  d. Kapasitas sungai: pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan. Sedimentasi sungai terjadi karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat, sedimentasi ini menyebabkan terjadinya agradasi dan pendangkalan pada sungai, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan sungai

  e. Kapasitas drainase yang tidak memadai: sebagian besar kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah genanga yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi langganan banjir di musim hujan. f. Pengaruh air pasang: air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut, pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Fenomena genangan air pasang (Rob) juga rentan terjadi di daerah pesisir sepanjang tahun baik di musim hujan dan maupun di musim kemarau.

  Disamping penyebab banjir secara alami, banjir dapat terjadi akibat aktifitas Manusia yang meliputi: a. Perubahan kondisi DAS: perubahan kondisi DAS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tataguna lainnya dapat memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran banjir. Dari persamaan-persamaan yang ada, perubahan tata guna lahan berkontribusi besar terhadap naiknya kuantitas dan kualitas banjir.

  b. Kawasan kumuh dan sampah: perumahan kumuh (slum) di sepanjang bantaran sungai dapat menjadi penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh ini menjadi faktor penting terjadinya banjir di daerah perkotaan. Disiplin masyarakat untuk membuang sampah pada tempat yang ditentukan masih kurang baik dan banyak melanggar dengan membuang sampah langsung ke alur sungai, hal ini biasa dijumpai di kota-kota besar. Sehingga dapat meninggikan muka air banjir disebabkan karena aliran air terhalang. c. Drainase lahan: drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi.

  d. Kerusakan bangunan pengendali air: pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.

  e. Perencanaan sistim pengendalian banjir tidak tepat: beberapa sistim pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir yang besar.

  f. Rusaknya hutan (hilangnya vegetasi alami): penebangan pohon dan tanaman oleh masyarakat secara liar (Illegal logging), tani berpindah- pindah dan permainan rebiosasi hutan untuk bisnis dan sebagainya menjadi salah satu sumber penyebab terganggunya siklus hidrologi dan terjadinya banjir.

2.5.1 Pengendalian ruang kawasan rawan bencana banjir

  Sehubungan dengan penanganan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian, yaitu: