BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kota Medan - Analisis Arsitektur Masjid Raya Al Mashun sebagai Identitas Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kota Medan

  Dalam riwayat Hamparan Perak, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka’desa’ yang diberi nama Medan. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di kampung Pekan. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karna itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan.

  Kota Medan berdiri pada tahun 1590 sebagai kota pelabuhan, dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (Tengku Luckman Sinar, 1991), dituliskan bahwa menurut “Hikayat Aceh”, Medan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

  Dalam Syahrum (2004), Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda. Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno disitu sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari Hamparan Perak, dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.

  Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1950.

  Setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945 Kota Medan ditetapkan sebagai Ibukota Propoinsi Sumatera Utara, dan wilayahnya diperluas dari 1.583 hektar menjadi 5.130 hektar, yang terdiri dari 4 (empat) daerah kecamatan yaitu kecamatan Medan Deli, kecamatan Medan Sunggal, kecamatan Medan Timur, dan Kemacamatn Medan Barat. Pada tahun 1986 kota Medan berkembang lagi menjadi 21 kecamatan dengan 144 Kelurahan dan luas keseluruhan adalah 26.500

2 Km .

  Sejak tahun 1990 penduduk Kota Medan mengalami kenaikan yang cukup nyata hingga ke tahun 2001 yaitu berdasarkan Sensus Penduduk dari 1.730.725 jiwa pada tahun 1990 menjadi 1.926.520 jiwa di tahun 2001.

  Gambar 2.9. Peta Medan Tahun 1936

  (atas) Gambar 2.10. Kawasan Istana Maimun

  (kanan) Sumber: Syahrum Maimun sehingga tepat di depan Istana Maimun terdapat jalan poros antara pusat kawasan Maimun berkembang menjadi pusat perdagangan yang membentang sepanjang jalan poros seperti Gedung Mega Eltra, yang dibangun oleh sebuah perusahaan perkebunan Belanda yang berfungsi sebagai Kantor Pusat perdagangan tembakau wilayah Timur Jauh, dan juga kawasan Kesawan sebagai pusat pelayanan dan jasa bagi orang-orang asing di Medan.

  Sebagai kerajaan yang diakui kedaulatannya oleh pemerintahan kolonial Belanda, Kesultanan Deli diberi hak istimewa untuk mengatur wilayah istana dan sekitarnya, termasuk tepian sungai Deli yang membatasi kawasan Istana Maimun dengan kawasan Polonia. Kawasan Maimun pada masa pemerintahan kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan masih berkembang sebagai kawasan urban

  space bagi penduduk pribumi. Perbedaan antara public space dengan private space sudah jelas dengan dibangunnya jalan poros yang melintas didepan istana

  dan jalan penghubung yang menghubungkan Masjid Raya Al Mashun dengan kawasan Istana. Persimpangan antara jalan poros dengan jalan penghubung menunjukkan secara tegas pola aksis dari arah masjid menuju istana. Dibangunnya jalan penghubung yang tegak lurus dengan jalan poros, memperlihatkan kesan visual yang tegas karena jalan penghubung berada tepat di tengah Istana Maimun yang berbentuk simetris.

  Taman Sri Deli walaupun berfungsi sebagai open space tetapi peruntukkannya masih bersifat private karena hanya dapat digunakan oleh keluarga kerjaan. Dalam peta lay out Istana Maimun yang menghadap kepada

  open space , lapangan di depan Istana, Taman Sri Deli, dan Mesjid Raya

  jalan poros maupun di jalan penghubung. Walaupun secara konsep ajaran Islam Masjid adalah public space, tetapi sampai pada akhir masa dinasti kesultanan deli rakyat kebanyakan enggan untuk menggunakan Masjid Raya sebagai tempat ibadah kecuali pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri atau atas undangan Sultan, selebihnya hanya digunakan oleh lingkungan kesultanan, kerabat dan tamu dari kerajaan lain.

2.2.3. Perkembangan Kawasan Kesultanan Deli di Masa Sekarang

  Istana Maimun, Masjid Raya Al Mahsun dan Taman Sri Deli menjadi bangunan bersejarah di kawasan ini. Gabungan antara ketiga bangunan tersebut dapat dijadikan landmark bagi kota Medan. Syahrum (2004).

  Istana Maimun sekarang ini tidak dipergunakan lagi sebagai pusat pemerintahahn kesultanan Deli, melainkan hanya sebagai tempat tinggal keturunan Sultan deli, dan sebagai salah satu tujuan wisata di Medan. Walaupun Pemda Kotamadya Medan telah menetapkan Istana Maimun sebagai bangunan konservasi dengan dasar Undang-undang Monumenten Ordonantic 238/1981, kenyataannya istana ini masih dimiliki oleh keluarga Kesultanan Deli.

2.3. Tinjauan Arsitektur Masjid

  Secara Etimologi, kata “masjid” berasal dari sebuah kata pokok dalam bahasa Arab, sajada (tempat sujud). Kata sajada ini lalu mendapatkan awalan ma, sehingga terbentuklah kata masjid. Dalam lafal orang Indonesia, kata masjid ini kebanyakan diucapkan menjadi “mesjid”. Barangkali hal tersebut dikarenakan pengaruh pemakain awalan me pada kebanyakan bahasa Indonesia. Dengan demikian kata masjid tidak selalu menunjukkan sebuah gedung/tempat ibadah khusus umat Islam. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ia biasa melakukan shalat berjamaah dirumah sahabatnya di bukit Safa, Arqom, ketika awal syiar Islam ditentang dan dihadang dengan kekerasan oleh kafir Quraisy. Demikian pula pada peristiwa hijrah, sesampainya di Madinah yang mula-mula dikerjakannya sesudah datang waktu Dzuhur ialah meletakkan dahinya ke bumi, sebagai rasa syukur ke hadirat Ilahirabbi. Kemudian di suatu lapangan terbuka dekat tasik (danau), beliau pun mengerjakan shalat Jum’at berjamaah dengan golongan Anshor dan Muhajirin, kira-kira sebanyak seratus orang.

  Pada masa awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, sebetulnya pengertian masjid secara materi berupa sebuah bangunan tempat ibadah sudah dikenal, karena sudah terdapat Masjidil Haram di Mekkah meskipun bangunannya belum megah seperti sekarang. Masjid ini sangat terkenal, sebab selain arsitekturnya yang monumental, juga diyakini sebagai salah satu tempat yang disinggahi Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj.

  Pengertian kata masjid, seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya yang dipergunakan sebagai tempat ibadah shalat.Menurut fungsi dan bentuknya, masjid mempunyai beberapa nama pula. Masjid Jami adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat Jumat yaitu shalat berjamaah yang wajib dilakukan pada hari Jum’at menggantikan shalat Dzuhur.

2.3.2. Fungsi Masjid

  Membahas fungsi masjid tidak bisa terlepas dari pengertian masjid itu sendiri serta konteks tradisi Islam yang bersumber dari sejarah dan hadist Nabi Muhammad SAW, yang masih dapat kita temui sampai saat ini. Fungsi masjid adalah sebagai tempat shalat. Masjid dipakai untuk shalat berjamaah sehari-hari, shalat Jum’at, shalat jenazah maupun aktivitas lainnya.

  Masjid berfungsi juga sebagai tempat bermusyawarah dan memutuskan berbagai permasalahan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah (kemasyarakatan). Fungsi lain dari masjid adalah tempat pendidikan agama atau madrasah.

  Masjid diramaikan oleh berbagai kegiatan ibadah seperti kegiatan pesantren kilat, maulid, isra’ mi’raj, maupun pengajian. Aktivitas ibadah yang lain bersifat sosial dipusatkan di masjid seperti pembayaran zakat mal dan zakat fitrah, tempat bagi para musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) untuk digunakan sebagai tempat menginap atau beristirahat sementara. Pelaksanaan akad nikah pun sering dilakukan di masjid. Masjid juga menjadi pusat kebudayaan karena menjadi pusat kegiatan umat Islam baik yang bersifat spiritual

  mimbar pada ruangan utama. Pintu dan jendelanya sempit-sempit sehingga udara

2.4. Masjid Raya Al-Mashun

  Bangunan masjid berdiri diatas sebidang tanah yang cukup luas meliputi 13.200 m2. Masjid Raya Al-Mashun Medan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Kerajaam Sultan Deli ini didirikan pada tanggal 21 Agustus 1906, sedangkan pembangunannya dimulai dari tahun 1906 dan pembangunan masjid selesai dalam tiga tahun. Bangunan Masjid Raya Al-Mashun ini dirancang dengan bantuan seorang arsitek yang berasal dari tentara KNIL yang bernama TH. Van Erp. Setelah pembangunan masjid mulai selesai, diberilah nama Masjid Raya Al- Mashun yang mempunyai arti masjid yang mendapat pemeliharaan dari Allah SWT. Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 10 September 1909. Dalam rangka peresmiannya itu dilaksanakan shalat jum’at yang dihadiri oleh pembesar-pembesar Kerajan termasuk Sri Paduka Alumarsyun, Tuanku Sultan Aziz, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman Alamsyah dari Negeri Serdang. Pada masa lalu masjid ini merupakan tempat shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultan Deli. Hal ini menunjukkan Masjid Raya Al-Ma’shun Medan merupakan masjid Kesultanan tetapi tidak terdapat tempat sembahyang khusus untuk Sultan (maksurah) seperti pada umumnya masjid-masjid Kesultanan.

  Masjid ini dibangun atas perintah sultan yang berkuasa saat itu guna memperoleh wujud yang representatif dari masjid negara, dan melalui perencanaan seorang arsitek Belanda.

  penampilan masjid-masjid di Timur-Tengah yang juga kebanyakan berfungsi Ornamen yang menghiasi bangunan masjid tersebut hampir terdapat di seluruh bagian bangunan, termasuk alat perlengkapannya yang dipergunakan di dalam ruangan masjid itu, misalnya lampu penerangan yang berbentuk lampu gantung.

  Pada tahun 1970 M dilakukan pengecatan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata pada bagian luar dengan menyesuaikan warna aslinya. Tahun 1991 dilaksanakan perbaikan yang meliputi perbaikan jalan, taman, pekarangan, halaman, dan pergantian bola-bola lampu yang rusak. Perbaikan ini dilakukan oleh Proyek rehabilitasi, Dinas Bangunan Kotamadia Daerah Tingkat II Medan.

2.5. Identitas Kota

  Lynch (1960) mengatakan bahwa identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu, yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial- ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.

  Identitas adalah suatu kondisi saat seseorangmampu mengenali atau membedakan suatu tempat dengan tempat lain karena memiliki karakter dan keunikan. Lynch (1960)

  Menurut Lynch terdapat tiga komponen yang sangat mempengaruhi gambaran mental terhadap suatu kawasan (kota) yaitu :

  1. Identitas, artinya orang dapat memahami gambaran perkotaan tentang obyek tersebut.

  2. Struktur, artinya orang dapat memelihara pola perkotaan melalui hubunganantar obyek-subyek melalui pola yang dapat dilihat.

  3. Makna, artinya orang dapat mengalami ruang perkotaan dengan segalaperkembangan fisik, sosial maupun rohani subyeknya sehingga mendapatkanrasa yang dapat dialami.

  Utomo (2005) berpendapat bahwa kota memerlukan identitas, baik dalam skala lingkungan maupun skala kota. Ciri atau identitas yang mudah diamati adalah bentukan-bentukan fisik kota. Kesan visual suatu benda atau bangunan mudah dicerna atau diserap oleh ingatan manusia. Ciri-ciri spesifik dari elemen- fisik pembentuk kota, diperkuat dengan struktur yang memisahkannya dengan elemen-elemen di sekitarnya. Oleh karena itu, elemen-elemen fisik tersebut mampu menanamkan citra pada setiap pengamatnya, serta dapat menambah makna bagi keberadaannya. Pemahaman suatu makna identitas berguna terhadap penanaman citra bagi pengamatnya, sehingga pesan yang disampaikan dapat dengan mudah diserap oleh ingatannya.

  Elemen-elemen fisik yang tercipta dapat menjadi karakter bagi lingkungan di sekitarnya. Hal ini lebih banyak ditentukan oleh perwujudan rancangan maupun perletakan yang dikaitkan dengan hubungan antara elemen fisik yang satu dengan lainnya. Sebuah kota mempunyai kesan yang tidak sama dengan kota lainnya bagi orang yang berada didalamnya. Kesan ini timbul dari adanya persepsi manusia suatu lingkungan maupun kota melalui komunikasi visual, menyebabkan seseorang mempunyai kesan yang spesifik terhadap kota dan lingkungan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan sebuah kota sering diwujudkan dalam bentuk kekhasan yang dimasukkan dalam elemen-elemen fisik pembentuknya.

  Arsitektur juga dapat menjadi salah satu bagian penanda suatu tempat, misalnya membuat landmarkbagi sebuah kawasan yang dapat menunjang identitas suatu kota. Arsitektur diintisarikan agar dapat merepresentasikan keberadaan identitas kota dapat dilestarikan sebagai benda cagar budaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas dari sebuah kota berawal dari nilai budaya yang meliputi nilai historis perjuangan dan perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial, arstitektur, struktur masyarakat, tata kota serta karakteristik khusus kotanya.

  Sedangkan identitas psikis kota, masih perlu upaya penggalian dan pengenalan jati diri yang lebih mendalam. Mengingat identitas psikis merupakan identitas kehidupan masyarakat kota secara psikis yang mempengaruhi wajah kota tersebut, berupa ritme kehidupan masyarakatnya maupun spirit yang dimiliki masyarakat sehingga memberikan identitas kota atau budaya yang hidup dalam keselarasan kota yang menjadi simbol suatu kehidupan kota membentuk identitas kota itu sendiri.

  Identitas merupakan pengenalan bentuk ruang dan kuantitas yang paling sederhana, pengertian tersebut disebut pula “A Sense of Place”. Pemahaman tentang nilai dari tempat, merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu berupa peristiwa-peristiwa, yang disebut “Sense of Occasion”, yakni tempat dan peristiwa akan saling menguatkan satu dengan yang lain dan menciptakan suatu keberadaan. Purwanto (2001).

  Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan yang perlu mendapat perhatian dalam usaha membangun identitas suatu kawasan adalah bentuk, massa serta fungsi bangunan, dan ruang luar kawasan yang terbentuk. Dari unsur-unsur pembentuk kawasan tersebut, makna kawasan (image) manusia tentang suatu kawasan dapat terbentuk, kesan suatu kawasan adalah hasil dari proses dua arah antara manusia dengan lingkungannya. Suatu kawasan menyediakan objek-objek tertentu dan manusia mengorganisasikannya di dalam otak dan memberikan pengertian khusus.

  Keragaman budaya menuntut karya arsitektur harus dirancang semakin serius agar kawasan terhindar dari polusi visual yang kacau, untuk itu rancangan arsitektur yang kontekstual akan memberikan kemungkinan tampilan kawasan yang lebih harmonis secara visual, baik melalui rancangan bangunan maupun perkotaan. Kontinuitas visual kawasan dapat dijaga dengan memperhatikan elemen tampilan seperti bentuk dasar yang sama, namun tampak berbeda, pemakaian bahan, warna, tekstur, serta ornamentasi bangunan.

  Pemahaman lain yaitu Shirvani (1985) membedakan antara identitas dan sense, dimana sense adalah makna yang ditangkap oleh manusia yang ada di

  umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah

  2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing) Dalam bentuk dan massa bangunan, seharusnya diperhatikan berbagai aspek, meliputi: a. Ketinggian Bangunan

  Ketinggian bangunan berkaitan dengan jarak pandang pemerhati, baik yang berada dalam bangunan maupun yang berada pada jalur pejalan kaki. Ketinggian bangunan pada suatu kawasan membentuk skyline. Skyline dalam skala kota mempunyai makna:

  • Sebagai simbol kota
  • Sebagai indeks sosial
  • Sebagai alat orientasi
  • Sebagai perangkat estetis
  • Sebagai perangkat ritual

  Spreiregen (1965), bila tinggi muka bangunan sama dengan jarak dari tempat kita berdiri ke bangunan, maka sudut yang terjadi antara garis puncak muka bangunan dan garis horizontal pandangan adalah 45°. Jika jarak orang ke bangunan = tinggi bangunan atau pandangan membentuk sudut 45°, merupakan pandangan normal manusia, pada jarak tersebut pengamat dapat memperhatikan keseluruhan muka obyek/bangunan. Demikian pula menurut Panero (2003), sudut tinggi daripada batas atas daerah pandangan kita kedepan, maka kita akan merasa tertutup.

  b. Kepejalan Bangunan (Bulky) Arti dari kepejalan adalah tebal, besar, dan gemuk. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah penampakan gedung dalam konteks kota.

  Kepejalan suatu gedung ditentukan oleh tinggi, luas, lebar panjang, olahan massanya, dan variasi penggunaan material.

  c. Koefisien Lantai Bangunan Koefisien lantai bangunan adalah jumlah luas lantai bangunan dibagi dengan luas tapak. Koefisien lantai bangunan dipengaruhi oleh daya dukung tanah, daya dukung lingkungan, nilai harga tanah dan faktor- faktor khusus tertentu sesuai dengan peraturan atau kepercayaan daerah setempat.

  d. Koefisien Dasar Bangunan (Building Coverage) Koefisien dasar bangunan adalah luas tapak yang tertutup dibandingkan dengan luas tapak keseluruhan. Koefisien dasar bangunan dimaksudkan untuk menyediakan area terbuka yang cukup di kawasan perkotaan agar tidak keseluruhan tapak diisi dengan bangunan sehingga daur lingkungan menjadi terhambat.

  e. Garis Sempadan Bangunan

  Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bangunan terhadap as tepi jalan kota.

  f. Langgam Langgam atau gaya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan karakteristik bangunan dimanastuktur, kesatuan dan ekspresi digabungkan di dalam satu periode atau wilayah tertentu. Peran dari langgam ini dalam skala urban jika direncanakan dengan baik dapat menjadi guideline yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan fragment-fragment kota.

  g. Skala Rasa akan skala dan perubahan-perubahan dalam ketinggian ruang atau bangunan dapat memainkan peranan dalam menciptakan kontras visual yang dapat membangkitkan daya hidup dan kedinamisan

  h. Material Peran material berkenaan dengan komposisi visual dalam perancangan.

  Komposisi yang dimaksud diwujudkan oleh hubungan antar elemn visual. i. Tekstur

  Dalam sebuah komposisi yang lebih besar (skala urban) sesuatu yang menimbulkan efek-efek tekstur. j. Warna

  Dengan adanya warna (kepadatan warna, kejernihan warna), dapat memperluas kemungkinan ragam komposisi yang dihasilkan.

  3. Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)

  a. Sirkulasi Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat berupa bentuk, hubungan atau satu pola bagi yang dapat mengontrol aktivitas kawasan seperti aktivitas jalan raya, jalur pejalan kaki, dan pusat-pusat kegiatan yang bergerak.

  b. Tempat Parkir Unsur yang sangat penting dapat sirkulasi kota adalah tempat parkir kendaraan. Keberadaan tempat parkir sangat menentukan hidup tidaknya suatu kawasan komersial.

  4. Ruang Terbuka (Open Space) Ruang terbuka bisa menyangkut semua lansekap : elemen keras (hardscape, yang meliputi jalan, trotoar dan sebagainya), taman dan ruang rekreasi di kawasan kota.

  Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang tempat sampah, air minum, sculpture, jam dan sebagainya. Secara keseluruhan, elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan dalam perancangan kota. Dan ruang terbuka merupakan elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota. Desain ruang terbuka harus dipertimbangkan secara terintegral terhadap bagian dari perancangan kota. Rustam Hakim (1987) membagi ruang terbuka berdasarkan kegiatan yang terjadi sebagai berikut: a. Ruang terbuka aktif, yaitu ruang terbuka yang mengundang unsur- unsur kegiatan di dalamnya, misalnya plaza, tempat bermain.

  b. Ruang terbuka pasif, yaitu ruang terbuka yang di dalamnya tidak mengandung kegiatan manusia

  5. Area Pedestrian (Pedestrian Area) Pedestrian merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena tidak lagi hanya berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga masalah kenyamanan dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran yang dapat memperkuat kehidupan ruang kota yang ada. Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi keterkaitan terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan penggunaan pejalan kaki, mempertinggi kualitas lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kali lima yang lebih banyak dan akhirnya akan membantu dalam meningkatkan interaksi antara dasar-dasar elemen kegiatan pendukungnya.

  6. Penanda (Signage) Tanda adalah suatu tulisan (huruf, angka, atau gambar), gambar (ilustrasi atau dekorasi), lambang (simbol atau merek dagang), bendera, atau sesuatu gambar yang:

  a. Ditempelkan atau digambar pada suatu bangunan atau struktur lain

  b. Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, iklan

  c. Terlihat di luar bangunan Papan reklame merupakan elemen visual yang semakin penting artinya dalam perancangan kota. Perkembangan papan-papan reklame terutama, mengalami persaingan yang berlebihan baik dalam penempatan titik- titiknya, dimensi atau ukuran billboardnya, kecocokan bentuk, dan pengaruh visual terhadap lingkungan kota. Pedoman teknis mengenai signages menurut Richardson (2003), meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan tanda-tanda harus merefleksikan karakter kawasan tersebut.

  b. Jarak dan ukuran tanda-tanda harus memadai dan diatur sedemikian rupa agar menjamin jarak penglihatan dan menghindari kepadatan signage. c. Penggunaan penanda harus harmonis dengan bangunanarsitektur di

  d. Pembatasan penanda dengan lampu hias, kecuali penggunaan khusus seperti theater dan tempat pertunjukan.

  7. Kegiatan Pendukung (Activity Support) Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ruang-ruang publik suatu kawasan kota. Antara kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang fisik selalu memiliki keterkaitan satu sama lain. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang memiliki ciri khusus akan berpengaruh pula terhadap fungsi peggunaan lahan dan kegiatan-kegiatannya. Sebaiknya kegiatan yang memperhatikan lokasi tapak yang layak dan baik tergantung seberapa besar aktivitas penggunaan lahan tersebut.

  8. Konservasi (Conservation) Konservasi suatu bangunan individual harus dikaitkan secara keseluruhan kota, agar meyakinkan bahwa konservasi akan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan beberapa aspek yakni: bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal-hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau kelayakan bangunan.

  Identitas merupakan aspek yang sifatnya tidak terukur dan tergantung dari persepsi pengamat terhadap setting lingkungannya. Dalam upaya membentuk identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman dan diberi pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut (land use, ruang luar dan bangunan) dalam konteks kawasan Kesultanan Deli.

  Lynch (1960) melihat landmark sebagai sebuah konstruksi fisik yang dapat menyatakan suatu identitas wilayah atau lingkungan karena landmark memiliki entitas bentuk fisik yang berbeda dan terpisah dengan sekitarnya.

  Landmark dapat berperan menjadi identitas karena ia berperan sebagai basis atau

  dasar dalam mengenal suatu lingkungan. Ketika landmark dapat menyatakan identitas suatu wilayah, landmark kemudian juga membawa karekter, atmosfir, dan ambience keberadaannya terhadap manusia yang merasaknnya. Landmark yang dapat menyatakan identitas dan karakter suatu wilayah kemudian tidak lagi hanya dipandang sebagai suatu elemen fisik secara visual saja. Narita (2010)

  Untuk menetapkan elemen-elemen yang akan digunakan dalam upaya pembentukan identitas sebuah kawasan adalah dengan melihat elemen apa saja yang menonjol dan dapat dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan, tentunya yang sesuai dengan tema (estetika ataupun budaya), yang dalam konteks penelitian ini adalah elemen-elemen fisik yang terdapat pada bangunan Masjid Raya.

2.6. Citra Kota

  Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan Lynch berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut- atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengetahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya,kelembagaan, adat isitiadat serta politik yangpada akhirnya akan berpengaruh pula dalampenampilan fisiknya.

  Menurut Budihardjo (1991), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota, sebagai berikut:

  1.Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)

  2. Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)

  3. Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)

  4. Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)

  5.Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya; dan

  6. Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.

  Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan

  Landmark merupakan gambran dengan cepat dan pasti tentang suatu lokasi Landmark dan sekitarnya.

  3. Jarak

  Landmark harus dapat dikenali dari suatu jarak, dimana pengamat berada diluar lingkup proyek.

  Proses pembentukan suatu obyek yang mempunyai potensi sebagai

  landmark dapat diwujudkan dengan 2 cara dalam hal posisi, yaitu:

  a. Memperluas arah pandang Dengan cara menjadikan obyek dapat terlihat dari arah yang lebih banyak atau luas sehingga arah pandang menjadi lebih terbuka dan medan pengenalan visual lebih luas.

  b. Tampilan Obyek Dengan cara membentuk obyek menjadi kontras dalam komposisi bersama elemen-elemen fisik di sekitarnya, misal menciptakan variasi setback.

  Menurut Lynch (1960), ditinjau dari aspek jarak, Landmark dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:  DistantLandmark Merupakan obyek landmark yang dapat dilihat dari banyak arah atau posisi dengan suatu jarak yang relatif jauh. “Some landmarks are distant ones,

  typically seen from many angles and distances, over the tops of smaller elements,

  

  memudahkan proses identifikasi lingkungan. “More often, local points were

  were recognizable partly by context” Lynch (1960). Sebuah wilayah atau sebuah

  tempat kemudian dapat memiliki lebih dari satu landmark, terutama pada jenis locallandmark yang dipengaruhi oleh tingkat familiaritas seseorang.

  Menurut Lynch (1960), fungsi Landmark dalam perancangan dan pembentukan lingkungan fisik urban adalah: a. Landmark sebagai sarana informasi

  Sarana informasi langsung mapun tidak langsung dalam jarak dekat maupun jarak jauh, baik fisik maupun non fisik dimana Landmark berada

  • DistantLandmark memberikan informasi secara langsung dari jarak

  jauh mengenai aspek fisik berupa bangunan Landmark, maupun non fisik berupa kegiatan di sekitar Landmark

  • LocalLandmark memberi informasi secara langsung maupun tidak

  langsung dari jarak dekat mengenai aspek fisik dan non fisik

  b. Landmark sebagai orientasi lingkungan

  Landmark dapat dijadikan patokan arah apabila dikaitkan dengan elemen

  atau proses alam yang berlangsung secara kontinyu. Orientasi arah dapat dibentuk dari kombinasi Landmark dengan suatu jalan atau jalur menuju atau mendekati Landmark.

  Menurut Lynch (1960), Pengendalian keberadaan Landmark dalam kelompok, yaitu: a. Berdasarkan bentuk

  • Distant Landmark pada proses pengendalian dalam perancangan dan pembentukan lingkungan urban berkaitan dengan skala kota, meliputi konfigurasi bangunan, sky line bangunan dan penataan fungsi lahan kota
  • Local Landmark pada proses pengendalian ini berpengaruh dalam radius tertentu; seperti komposisi fasade bangunan, arah pandang, dan arah capai

  b. Berdasarkan waktu keberadaannya Ditinjau berdasarkan waktu maka Landmark dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

  • Bangunan Landmark lama (old building), yaitu obyek Landmark yang lebih dahulu ada dari proses perancangan kota.
  • Bangunan Landmark baru (new building), yaitu obyek Landmark yang keberdaaanya bersamaan atau sesudah proses perancangan kota.

  Menurut Lynch (1960), terdapat beberapa kriteria untuk menjadikan suatu obyek sebagai Landmark:

  • Mempunyai karakter fisik lain dari obyek fisik di sekitarnya, mempunyai unsur unik dan mudah diingat.
  • Mudah diidentifikasikan, hal ini berkaitan dengan tuntutan bahwa Landmark harus mudah dikenali pengamat.

  • Mempunyai bentuk yang jelas dalam luasan atau benteng yang relatif besar. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk kontras antara obyek Landmark dengan latar belakangnya.
  • Mempunyai nilai lebih dalam suatu lingkup atau luasan tempat berupa nilai historis atau nilai estetis.
    • Nilai historis menyangkut proses terbentuknya obyek tersebut dan kaitannya dengan lingkup tempat dimana Landmark berada.
    • Nilai estetis dapat pula nilai historis menyangkut kurun waktu terbentuknya bangunan, karena nilai estetik tiap kurun waktu dapat berlainan.

Tabel 2.1. Citra Kawasan menurut teori Citra Kota dari penelitian Syahrum

  (2004) Elemen kota

  Periode sebelum menurut teori Periode setelah Periode saat ini Kemerdekaan

  Citra Kevin Kemerdekaan 1945-2002 2003-2004 1896-1945

  Lynch

  Landmark Istana Maimun Istana Maimun sebagai Pemerintahan daerah

  sebagai Landmark Landmark dari kota mulai mencoba dari Kerajaan Medan mulai berkurang, untuk menjadikan Deli saat itu juga pengaruh politik Istana Maimun sangat tegas, selain sebagai pusat pemerintahan juga merupakan bangunan terbesar dan termegah di Medan pada saat itu saat itu yang mengangkat Balaikota Lama sebagai

  Landmark Kota Medan

  karena keberpihakan Kerajaan deli kepada pemerintahan kolonial pada saat yang lalu menyebabkaan istana maimun menjadi simbol kolonialisme dan imperialisme masa lalu sebagai Landmark

  Kota Medan, karena dianggap sebagai warisan budaya Melayu yang identik dengan kebudayaan lokal. Kebijakan Politik Pemerintahan Kerajaan Deli pada masa lalu mulai dilupakan masyarakat