makalah perundangan tentang peradilan.do (1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis di Negara kita. Awal
mulanya ketentuan pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 itu memuat hal-hal
pokok yang belum terjabarkan secara luas serta masih kondusif dengan era itu. Sehingga
seiring perjalanan bangsa Indonesia sudah banyak sekali perubahan Undang-Undang
Dasar. Tidaklah cukup Undang-Undang Dasar itu sebagai aturan tunggal. Tentu harus
menjadi payung hukum yang utama dari undang-undang dan aturan lainnya yang berada
di bawahnya.
Pada Amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001
pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna bahwa bahwa segala aspek kehidupan dalam
kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Penegakan dan penerapan hukum itu sedianya bersumber dari tata aturan yang
mengaturnya. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara telah melakuan beberapa hal
untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan
sebaik-baiknya sebagaimana tujuan hakikat Negara merdeka itu sendiri.
Dalam bidang hukum dan peradilan pada awalnya belum memiliki payung hukum yang
jelas walau pelaksanaan praktisnya sudah ada di masyarakat. Kita mengenal berbagai

jenis peradilan seperti peradilan umum/sipil, peradilan militer, peradilan agama dan
peradilan tata usaha.
Peradilan agama misalnya sudah ada semenjak jaman kolonial, namun masih berpatok
pada tata aturan kolonial. Hal itu berlangsung hingg awal kemerdekaan. Demikian juga
dengan peradilan militer, peradilan umum dan peradilan tata usaha. Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa: segala badan negara dan
peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan
tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan. Ketentuan itu juga mendorong

lahirnya beberapa ketentuan yang mengatur lebih lanjut tentang perikehidupan
masyarakat dalam bidang peradilan.
Seiring dinamika perkembangan bangsa maka munculah Undang-Undang sistem
peradilan. Kita mengenal era Orde Lama, Orde Baru, dan sekarang Orde Reformasi yang
tentu saja memberi pembedaan dalam tata peradilan baik itu perubahan Undang-Undang
dan tata aturan lainnya maupun membuat sesuatu aturan Undang-Undang yang baru.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas sehingga pada makalah ini hanya membahas
perundang-undangan peradilan di zaman Orde Lama dan Orde baru.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan beebagai

perundang-undangan di bidang peradilan di kedua era yaitu Orde Lama dan Orde Baru.
Selain itu juga untuk mengetahui sejarah peradilan di Negara Indonesia semenjak
kemerdekaan hingga sekarang ini.
C. Manfaat
Manfaat dari makalah ini diharapkan agar semua elemen bangsa khususnya para penggiat
dan pembelajar hukum dan tata Negara dapat mengetahui dasar hukum dan tata aturan
bidang peradilan dari masa Orde Lama dan Orde Baru. Manfaat lainnya agar dapat
memperoleh pengetahuan tentang perundang-undangan dan berbagai jenis peradilan yang
berlaku di Indonesia yang juga merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa
Indonesia sendiri dari masa ke masa.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Peradilan di Indonesia
Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka
sesungguhnya sistem dan sumber hukum tentu harus jelas. Suatu Negara dapat dikatakan
sebagai Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan
di Indonesia, apakah ada sistem peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana
bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan juga sumber hukum

sebagai dasar acuan penerapan hukumnya.
Perkembangan perundang-undangan peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama
sejalan dengan perkembangan sistem hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum
bangsa Eropa (Belanda) datang ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai
macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya
masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini. Aturan sejenis
perundang-undangan dari

zaman

ke zaman

akan

mengalami

perubahan

dan


perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal berbagai peraturan yang berfungsi sebagai
payung hukum bagi masyarakat di zamannya. Tentu peraturan sejenis perundangundangan itu sekemauan bangsa kolonial.
Pada periode awal kemerdekaan, hampir semua payung hukum bersumber dari sistem
yang diwariskan bangsa kolonial. Bahkan ada beberapa perundang-undangan yang masih
memakai aturan jaman penjajahan. Seiring dengan nuansa kemerdekaan, maka secara
perlahan bangsa Indonesia mulai melakukan berbagai perubahan-perubahan dalam tata
aturan hukum terutama perundang-undangan untuk mengatur peri kehidupan bangsa yang
merdeka dan berdaulat.
Demikian halnya dengan perundang-undangan tentang peradilan. Di zaman penjajahan
Belanda hingga Jepang, banyak sekali peraturan yang dibuat. Semua peraturan
perundang-undangan itu sejalan dengan zamannya sehingga jelas sekali adanya

ketimpangan dalam pelaksanaan. Seperti pengadilan umum misalnya, sudah ada
semenjak jaman colonial Belanda, juga peradilan agama.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945 mulailah dengan menata perundangan-undangan
Negara merdeka dengan sistem peradilan yang disesuaikan zamannya. Selanjutnya di era
Orde Lama, pemerintahan di saat itu mulai perlahan melakukan pembenahan sistem
perundang-undangan khususnya pada bidang peradilan dengan mengacu pada hukum
dasar Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Situasi Negara yang belum stabil karena adanya berbagai gejolak di masyarakat, di era
Orde Lama tersebut menyebabkan dasar hukum Negara kita mengalami berbagai
perubahan. Dan perubahan dasar hukum itu mempengaruhi tata aturan perundangundangan di bawahnya termasuk tentang peradilan.
Di masa Orde Baru sudah semakin memperhatikan perundang-undangan peradilan
dengan tujuan mencapai masyarakan yang adil dan makmur sesuai cita-cita luhur bangsa.
Peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer, bahkan di akhir era Orde Baru
hadir juga peradilan Tata Usaha Negara.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era reformasi di
segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, bergulir pula tuntutan untuk
mereformasi hukum secara menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem,
maka reformasi hukum selain menyangkut perbaikan substansi peraturan perundangundangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan hukum serta
kultur/budaya hukum masyarakatnya. Sejalan dengan tuntutan Reformasi dan
amandemen UUD 1945 muncul lembaga peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi,
yang diharapkan keberadaannya dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan di
Indonesia.
Namun substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini hanya mengenai perundangundangan tentang peradilan Indonesia pada era Orde Lama dan era Orde Baru sebagai
salah satu bagian yang integral dari sistem dan dasar hukum Indonesia.

B. Perundang-Undangan Peradilan Era Orde Lama


Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945, maka susunan pengadilan masih
menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 34 tahun 1942.
Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 tahun 1948.
Undang-undang ini bermaksud melaksanakan Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman sekaligus juga mencabut Undang-undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan
dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara RI dikenal adanya 3
lingkungan peradilan, yaitu :
1). Peradilan umum
2). Peradilan Tata Usaha Pemerintahan;
3). Peradilan Ketentaraan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat 1 menyebutkan tentang sebagai “pemegang kekuasaan dalam
masyarakat yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menurut hukum yang
hidup di masyarakat desa”. Tentang peradilan agama tidak disebutkan oleh Undangundang No. 19 tahun 1948 itu, hanya dalam Pasal 35 ayat 2 ditetapkan bahwa perkaraperkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan
diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh pengadilan Negeri, yang terdiri
dari seorang hakim beragama Islam, sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam
sebagai anggota.

1. Peradilan Umum



1945-1949

Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan
yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal
ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku
sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka
Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No.
11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum

dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum
acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional
yang ternyata belum pernah dilaksanakan.


1949-1950

Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan

Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi


1950-1959

Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan,
dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga
menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.


1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970

Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan
Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan
Landreform (UU No. 21 tahun 1964).

2. Peradilan Militer
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan
Peradilan Militer. Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7
tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan

biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan
Bersenjata RI. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer.
Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara
pidana guna peradilan Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang
peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil
tidak diperlakukan lagi.
Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Peradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
1. Mahkamah Tentara

2. Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh:
1. Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3. Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan
ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang
dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang
dinyatakan dalam keadaan bahaya.

Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara
dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah. Mahkamah Tentara Agung;
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah
diputus oleh mahkamah tentara.
Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan
susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini mengatur
peradilan tentara dengan susunan:
1.Mahkamah Tentara.
2.Mahkamah Tentara Tinggi
3.Mahkamah Tentara agung
Dalam PP tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentara;
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun
1946 dan peraturan pemerintah No. 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut:
1. KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)

2. KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
3. KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)

Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat
dari peperangan yang terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar
daerah. Peradilan militer khusus ini meliputi:
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
2. Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua
terhadap negara RI. Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional
Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota
tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda.
Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/
49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura.
Peraturan tersebut memuat tentang:
1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
3. Mahkamah Luar Biasa
4. Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada
tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut.
Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut
seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku
sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara
kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi

3. Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas:
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5
tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan penggantian formil saja, sedangkan
mengenai materinya tetap tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir
Mahkamah Tentara di banyak tempat, seperti di Jawa-Madura.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. UU No. 5 tahun 1950 sejak
dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan
penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin
disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang
hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya
fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965,
tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950.
Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama
pada badan-badan peradilan militer.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan
Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa
dan diadili oleh hakim jaksa dari angkatan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang
perlu mendapat perhatian adalah diundangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun
1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan
Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30
Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan
perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan

peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Dengan demikian peradilan dalam
lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
a. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
b. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
c. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
d. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di
lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.

3. Peradilan Agama
Pada awal tahun 1946 dibentuklah kementerian agama. Departemen agama dimungkinkan
melakukan konsolidasin atas seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah
badan yang bersifat nasional.
Adapun kekuasaan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah menurut ketetapan pasal 4 PP
adalah sebagai berikut:
1) Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan
antara suami isteri dan semua perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut
hukum agama Islam.
2) Pengadilan agama / mahkamah syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara
tersebutdalam ayat 1 jika untuk perkara berlaku lain dari pada hukum agama Islam.
Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung Islam Tinggi yang
telah ada berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen
Agama yang dibentuk melalui keputusan pemerintah. Setelah Pengadilan Agama
diserahkan pada Departemen Agama masih ada pihak tertentu yang berusaha
menghapuskan keberadaan pengadilan agama. Pengadilan agama selanjutnya ditempatkan
dibawah tanggung jawab jawatan urusan agama.

4. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan

Selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan RO, yakni system
banding administratif (administratief beroep). Setelah itu, pada tanggal 17 Agustus 1945
diproklamasikanlah kemerdekaan Negara RepubLik Indonesia. Untuk kali pertama
diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949. Kemudian
dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 diberlakukanlah Konstitusi Indonesia
Serikat. Selanjutnya sejak tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD
Sementara tahun 1950. Dan terkhir sejak tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945.
Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka hingga
penghujung tahun 1986, Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan
Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek telah banyak
perkara

administrasi

Negara (TUN) yang dapat

diselesaikan.

Namun dalam

penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan diselesaikan
oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas kompetensi tertentu
dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam praktek, kita mengetahui adanya
3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga Peradilan TUN yaitu Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi
yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan yang lainnya tidak pernah berfungsi.
Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai Peradilan TUN adalah Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini merupakan hakim yang mandiri, yang mengadili
antara sengketa yang memungut pajak (pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat).
Dalam hal ini kedua pihak mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.
Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata Usaha
Negara, maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah sejak lama
dirintis. Untuk kali pertam pada tahun 1946 Wirjono Prodjodikoro membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Di
samping itu masih ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya
kegiatan-kegiatan yang berupa penelitian, simposium, seminar, penyusunan RUU, dan
sebagainya. Perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan
dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960.
C. Perundang-Undangan Peradilan Era Orde Baru

Pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan
bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara.

1. Peradilan Umum
Semangat dari UU No 14 Tahun 1970 memang yang patut di apresiasi, dengan Empat
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang masing-masing memiliki
kopentensi dibidangnya, yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah diakui
eksistensinya oleh hukum dasar yakni konstitusi negara Republik Indonesia.
Sementara itu Mahkamah Agung menjadi lembaga tinggi negara (lembaga negara)
diranah yudisial, yang mana MA tidak hanya sebagai pemegang puncak kekuasaan
kehakiman tetapi juga menjadi lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang
pokok kekuasaan kehakiman untuk mengawasi perbuatan peradilan yang lain (pasal 10
ayat (4)).
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan yang melakukan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, didefinisikan sebagai “...
Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”
Intervensi kebijakan (politik dan birokratik) terhadap lembaga peradilan sepanjang
dekade 70-an, pada dekade 80-an mendapat penguatan oleh dua produks legislasi.
Masing-masing UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 4/1986 tentang
Peradilan Umum. Usulan IKAHI yang mengingatkan kembali mengenai kemandirian
lembaga peradilan dengan mengeluarkan administrasi lembaga peradilan dari birokrasi
pemerintah dan pemberian kewenangan uji materiil undang-undang, tidak digubris.
Dengan intervensi birokratik dan politik yang sudah mendalam, IKAHI pada masa itu
adalah organisasi yang sudah terkooptasi oleh pemerintah dan dengan demikian tidak
mampu lagi melakukan tekanan.
Dengan efektivitas politik kooptasi tidak heran bila ketentuan dalam UU No. 14/1985 dan
UU No. 4/1986 hanya bersifat menguatkan hal-hal yang sudah ada. Dalam soal uji
materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang misalnya, UU No. 14/1985

kembali menegaskan bahwa hal itu hanya dapat dilakukan lewat pemeriksaan kasus biasa
dan dengan demikian tidak dapat diajukan langsung ke MA. Sementara itu UU No.
4/1986 tetap mempertahankan dualisme administrasi peradilan dengan menentukan
bahwa urusan manajemen teknis peradilan di bawah MA sementara urusan manajemen
organisasi, administrasi dan keuangan berada di tangan Departemen Kehakiman.

2. Peradilan agama
Pada masa orde baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami
perkembangan yang signifikan yaitu dengan diundangkannya undang-undang nomor 14
tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mana dalam undang-undang
ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang
semuanya berada dibawah Mahkamah Agung.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU No.1/1974 tentang
perkawinan sampai menjelang lahirnya UU No.7/1989 tentang peradilan agama. Ada dua
hal yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesia:
a. Tentang proses lahirnya UU No.1/1974 tentang

perkawinan dengan peraturan

pelaksanaannya PP No.9/1974
b. Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah
diperbaharui UU No.41/2004 tentang wakaf. (Basiq Djalil,2006:73)
Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti
dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan
keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya, maka terbit
pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja.
Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan
secara tegas sejak diterbitkan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum
Acara yang dimaksud diletakkan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal.
Terlepas dari gencarnya pro dan kontra perihal pengesahan UU No.7 tahun 1989 diatas,
bahkan tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro dan kontra tersebut

dimuat di media massa, namun akhirnya pada tanggal 27 Desember 1989 UU No.7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama disahkan oleh DPR yang kemudian yang diikuti dengan
dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan
disahkan UU tersebut bukan saja menyejajarkan kedudukan Peradilan Agama dengan
lembaga peradilan lain, melainkan juga mengembangkan kompetensi Peradilan Agama
yang dulu pernah dimilikinya pada zaman kolonial. Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shodaqoh
Dalam pasal 49 ayat 3 dinyatakan bahwa:
Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapasiapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagianbagian ahli waris dan melaksanakan pembagian pada harta peninggalan tersebut.
Dalam ayat 3 diatas terlihat bahwa Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum untuk
melaksanakan keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi dari
Pengadilan Umum.

3. Peradilan Militer
Pelaksanaan peradilan militer di dalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang
ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14
tahun 1970 menggantikan UU No. 9 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di
lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut;
a. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal
10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 - SKEB/B/498/VII/72
b. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada
tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 - J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama,

tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan
tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer
tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan
peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan.
Berdasarkan dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan diadakan
perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer
dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-Undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan
pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
No 1 tahun 1988. Undang-undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan
peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata
mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang
penyerahan perkara. Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan
dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undangundang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer,
mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat
undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari;
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan

ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan
tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara
Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun
1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

4. Peradilan Tata Usaha Negara
UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yang dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini diperkuat
dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan
terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato
kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978
menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat
menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun untuk memberikan kepastian
hukum untuk setiap pegawai negeri”.
Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor II/
MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan kelanjutan dari Pelita III,
memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN. Namun karena
rencana pembangunan merupakan rencana yang berkesinambungan maka sudah
sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan TUN. Seiring dengan itu pada tanggal
16 April 1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986 mengajukan
kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan tersebut merupakan
penyempurnaan dari RUU Peradilan Administrsi 1982.
Akhirnya pada tanggal 20 Desmber 1986, DPR secara aklamasi menerima Rancangan
Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut adalah UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Dengan demikian terwujudlah sudah
badan atau wadah tunggal yang bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, yang diserahi
tugas dan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN.

Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan bahwa
Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun 1986 mulai berlaku.
Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan dan menguraikan pada bab sebelumnya, maka berikut ini merupakan
beberapa simpulan yang dapat kami sampaikan. Kesimpulan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Perkembangan perundang-undangan peradilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup
lama sejalan dengan perkembangan sistem hukum yang ada di Indonesia. Bahkan
sebelum bangsa Eropa (Belanda) datang ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki
berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan
jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini.
2. Pada periode awal kemerdekaan, hampir semua payung hukum bersumber dari sistem
yang diwariskan bangsa kolonial. Bahkan ada beberapa perundang-undangan yang
masih memakai aturan jaman penjajahan. Seiring dengan nuansa kemerdekaan, maka
secara perlahan bangsa Indonesia mulai melakukan berbagai perubahan-perubahan
dalam tata aturan hukum terutama perundang-undangan untuk mengatur peri
kehidupan bangsa yang merdeka dan berdaulat.
3. Orde Lama tersebut menyebabkan dasar hukum Negara kita mengalami berbagai
perubahan. Dan perubahan dasar hukum itu mempengaruhi tata aturan perundangundangan di bawahnya termasuk tentang peradilan.
4. Di masa Orde Baru sudah semakin memperhatikan perundang-undangan peradilan
dengan tujuan mencapai masyarakan yang adil dan makmur sesuai cita-cita luhur
bangsa. Peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer, bahkan di akhir era
Orde Baru hadir juga peradilan Tata Usaha Negara.

5. Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara RI dikenal adanya
3 lingkungan peradilan, yaitu : 1) Peradilan umum; 2) Peradilan Tata Usaha
Pemerintahan; dan 3)Peradilan Ketentaraan.
6. Pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan
bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara.
B. Saran
Bagian akhir dari makalah ini izinkan kami menyampaikan beberapa saran yang
sekiranya menjadi khazanah guna perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan
datang.
1. Pada penggiat hukum dan akademisi agar lebih memahami tata aturan yang pernah
berlaku di Negara kita khususnya pada bidang peradilan.
2. Pada seluruh masyarakat disarankan untuk selalu mempelajari perjalanan sejarah
bangsa Indonesia di bidang peradilan dari masa ke masa.