Makalah Kewarganegaraan Analisis Kasus P

Makalah Kewarganegaraan
(Analisis Kasus PT. Freeport Indonesia dan Kaitannya dengan Pemenuhan Hak Asasi
Masyarakat Papua dan Keajiban Pemerintah )

Leo Syavana Pasi
180610150034
Moto : Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa orang di mana mereka berada

dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka, pendidikan dan kebudayaan untuk
pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan kebebasan untuk jiwa mereka. Saya
percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh orang- orang yang hanya memikirkan
dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh orang-orang yang memikirkan orang lain.

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
2016

BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1995 Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua.

Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai
penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak
pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan
beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas
potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan
sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan
konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa
negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang
serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak
tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya
hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara
otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di
wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan
dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan
kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara
masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak,
dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan
dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk

Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga
sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang
menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia
dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas

pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan
Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan secara Historis, Sosiologis, dan Yuridis tentang permasalahan hak
Masyarakat Papua atas Freeport ?
2. Apa keuntungan yang diberikan Freeport pada Indonesia ?
3. Bagaimana Kehidupan Masyarakat di sekitar tambang emas Freeport ?
4. Apa Dampak pertambangan emas yang dilakukan Freeport terhadap alam sekitarnya ?
5. Bagaimana Kasus Pelanggaran HAM yang Disebabkan oleh Pihak Freeport dan Kaitanya
dengan Pancasila ?
6. Apa saja Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua ?
7. Apa Dampak bagi masyarakat Papua ?


Bab II
Pendekatan

2.1 Historis
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang
dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang
sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi
negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
2.2 Sosiologis
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial
bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas,
perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi
tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir
700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa
disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga
Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang

besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua.
Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi
lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara
sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan
pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,
lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada
tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di

Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah,
wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot
Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin
(47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk

perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3
dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM)
Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena
masalah- masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
2.3 Yuridis
Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa
aktivitas pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah.
Hal ini telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah
mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena
erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.
Dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan
Freeport, mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan
undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan
adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya
pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya


perbaikan lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena
kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan
sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan
menjadi tanggung jawab Freeport.
Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang
mengamanatkan, aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai
sebagaimana dimaksud adalah yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta
mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena
mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan
lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.

BAB III
Pembahasan

3.1 Keuntungan yang diberikan Freeport pada Indonesia

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS.
Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2
persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir,
yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar
dolar. Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport
sebagai yang terbesar di dunia.
3.2 Kehidupan Masyarakat di sekitar tambang emas Freeport

Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial
bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas,
perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi
tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir
700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa
disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga
Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang

besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua.
Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan
pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,
lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada
tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah,
wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot
Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin
(47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3

dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena

masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
3.3 Dampak pertambangan emas yang dilakukan Freeport terhadap alam sekitarnya
Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport
telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam
karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan
tailing. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun
Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing
yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS)
yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport mencemari perairan
di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta
mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Tailing yang dibuang
Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi
kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah
akibat tailing Freeport. Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan
untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun.
3.4 Kasus Pelanggaran HAM yang Disebabkan oleh Pihak Freeport dan Kaitanya

dengan Pancasila
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah
Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan
bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16
penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik
oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia. Dalam selembar surat jawaban
kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika
Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat
dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya. Gugatan Tom Beanal,
Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas
besar FCX, dengan kasus no.96- 1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan
menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas
penyelesaiannya. Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat

perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM
kasus-kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd. Tidak ada investigasi yang
menemukan keterkaitan Freeport se- cara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin
banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang
dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan

fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja
untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat,
memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di
daerah tambang dan sekitarnya.
Kasus pelanggaran HAM ini tidak sesuai dengan sila kedua pancasila yang berbunyi
kemanusiaan yang adil dan beradab, karena seharusnya mereka menghormati hak warga yang
berada di sekitar wilayah pertambangan Freeport bukan malah sebaliknya. Pihak Freeport
terkesan mengabaikan hak warga yang berada disana, yang berakibat pada perlawanan warga
terhadap freeport.
3.5 Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua
Tahun 2010 dan 2011 adalah tahun-tahun yang sangat penting untuk masyarakat asli
Papua yang tinggal di belahan barat Pulau New Guinea. Tahun 2010 menjadi tahun di mana
laporan tentang aksi penyiksaan terhadap masyarakat asli Papua telah dipublikasikan ke
dunia luas. Melalui tayangan video yang mengejutkan dan mengerikan, dunia luas akhirnya
mengetahui bagaimana Tentara Nasional Indonesia secara sengaja melakukan penyiksaan
terhadap masyarakat asli Papua.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengisolasi Papua dari dunia luar –dengan
tidak memberikan akses kepada jurnalis asing, pekerja HAM internasional, peneliti dan
diplomat– akhirnya tidak mampu untuk menutupi kebrutalan yang dilakukan oleh anggota
tentara terhadap masyarakat Papua. Penyiksaan yang terjadi pada tahun 2010 bukanlah kasus
penyiksaan pertama yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, dan tampaknya juga
bukanlah yang terakhir.
Pada kenyataannya, masyarakat Papua telah menderita dalam kurun waktu yang
cukup lama karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Sejak Indonesia mengambil alih wilayah Papua pada tahun 1963, tentara Indonesia
telah melakukan setidaknya sepuluh operasi militer besar terhadap orang asli Papua.

Masyarakat Papua yang tinggal di tempat-tempat di mana operasi militer dilaksanakan
memiliki cerita mengerikan tentang pelanggaran yang mereka derita. Mereka menceritakan,
misalnya, bagai- mana mereka menyaksikan rumah mereka dibakar, juga kebun dan sumber
mata pencaharian mereka yang dihancurkan. Mereka menggambarkan bagaimana mereka
melihat teman-teman, kenalan dan anggota keluarga mereka diintimidasi, disiksa dan dibunuh
selama operasi militer.
Janji pemerintah akan keadilan adalah tidak lebih daripada kata-kata kosong. Hal ini
dibuktikan dengan fakta sederhana bahwa sangat sedikit personil militer yang diminta
bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua. Selain
itu, pelaku pelanggaran, kadang-kadang, bahkan diakui sebagai pahlawan nasional oleh
pemerintah. Masyarakat Papua tidak pernah mendengar cerita tentang keber- hasilan
pemerintah dalam memenjarakan pelaku pe- langgaran hak asasi manusia.
Bahkan jika pelaku berhasil diidentifikasi dan dihukum, penganiayaan dan
pelanggaran hak asasi manusia lainnya akan terus berlanjut. Ini terbukti dengan adanya tiga
batalion baru telah ditempatkan di Papua, dan beberapa komando daerah militer baru telah
diperluas. Ribuan pasukan juga telah ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Papua
Nugini. Semakin banyak pelanggaran HAM juga diprediksikan akan terjadi, bukan saja
karena, aparat keamanan yang tidak menganggap masyarakat Papua sebagai warga negara
Indonesia, mereka bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia. Setiap masyarakat asli
Papua dicurigai sebagai separatis atau pendukung gerakan separatis yang dapat menimbulkan
ancaman bagi integritas teritorial Indonesia. Akibatnya, pasukan Indonesia yang ditempatkan
di tengah-tengah masyarakat asli Papua menganggap bahwa mereka di antara musuh negara
Indonesia. Mereka mendapat perintah bahwa tugas utama mereka adalah untuk
mempertahankan integritas teritorial negara Indonesia, dan juga memberantas gerakan
separatis di Papua.
Sebagai akibatnya, ribuan penduduk Papua diyakini telah menjadi korban operasi
militer yang dilakukan untuk memberantas separatisme. Banyak masyarakat asli Papua yang
menderita sebagai akibat dari peng- aniayaan dan berbagai bentuk pelanggaran yang
dilakukan oleh aparat keamanan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa hampir setiap
masyarakat asli Papua dapat dengan mudah dibunuh oleh militer atau polisi kapan saja dan di
mana saja di Papua, berdasarkan pada kecurigaan atas separatisme.

Pemerintah pusat harus menetapkan kebijakan untuk mencegah pasukan keamanan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut terhadap warga sipil di Papua.
Mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi juga
merupakan langkah yang diperlukan untuk menghindari pengulang- an kejadian yang sama di
masa depan.
Banyak pihak di Indonesia yang telah menyadari bahwa akan lebih banyak
pelanggaran hak asasi manusia mungkin terjadi di Papua, kecuali jika akar penyebab dari
separatisme Papua diselesaikan. Pemerintah dan masyarakat asli Papua seharusnya terlibat
dalam dialog konstruktif untuk mengidentifikasi akar penyebab dari masalah ini dan
menyelesaikannya tanpa pertumpahan darah yang tidak perlu. Pemerintah harus mengambil
inisiatif dengan menunjukkan kepada masyarakat internasional keinginan dan komitmen
untuk menye- lesaikan masalah separatisme Papua melalui dialog dengan masyarakat Papua.
(Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STTF) “Fajar Timur” di Abepura, Papua, dan
koordinator dari Jaringan Damai Papua (JDP) )

3.6 Dampak di Papua
Meskipun mengalami kemajuan, kelompok/kelompok hak asasi manusia di Papua
meragukan ketulusan komitmen pemerintah Indonesia dalam hal hak asasi manusia. Sebagai

contoh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengkritik larangan virtual yang diberikan kepada
media asing untuk beroperasi di Papua Barat. 38 Anggota Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) menyambut kehadiran dan karya organisasi hak asasi manusia
internasional dan dukungan mereka terhadap LSM lokal. Mantan mitra lokal dari organisasi
PBI menekankan pentingnya keberadaan organisasi internasional hak asasi manusia di Papua.
Namun, keterbatasan dana asing untuk proyek-proyek lokal HAM memberikan pengaruh
negatif terhadap keberlanjutan pekerjaan mereka.
Situasi saat ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tertentu. Mengapa pemerintah
Indonesia memberikan batasan pada pengamat internasional, organisasi donor dan LSM
internasional jika tidak hal yang disembunyikan di Papua? Mengapa pelanggaran hak asasi
manusia di Papua sepertinya mendapat sedikit perhatian?
Dengan beberapa batasan seperti yang ada saat ini, situasi masyarakat Papua seperti
hampir tidak teramati ditingkat internasional, kecuali untuk informasi yang muncul dari
kelompok tersembunyi dan laporan informal. Hal ini juga mungkin memiliki pengaruh
negatif pada solusi damai bagi masalah-masalah yang mempengaruhi Papua dengan
memunculkan keluhan masyarakat sipil Papua terhadap pemerintah pusat dan pendekatan
mereka terhadap Papua.

Tabel 1: Kasus-kasus yang berkaitan dengan MIFEE

Kasus

Latar Belakang
Ardiansyah Matra’is ditemukan tewas di sungai
Gudang Arang, Merauke. Kematian- nya
dihubungkan dengan laporannya tentang pemilihan
lokal yang akan datang di Merauke yang

Juli 2010Kematian dari Wartawan Ardiansyah menimbulkan debat politik yang intens mengenai
MIFEE.
Matra’is
(Sumber: TAPOL and Down to Earth, the
International Campaign for Ecological Justice,
2010:
http://tapol.gn.apc.org/press/files/pr100811.html)
Sebuah cabang dari PT. Selaras Inti Persada
(PT.SIS) dari Medco Group, yang berop- erasi di
lahan milik desa Zenegi. PT. SIS berencana untuk
memulai perkebunan di desa tersebut. Para
pemimpin adat dibujuk untuk memberikan lahan
meeka sehar- ga Rp. 300 juta pada bulan December
Desember 2009 sampai sekarang Suap dan

2009. Para kaum muda desa itu menyalahkan tetua

korupsi di desa Zenegi

mereka karena menyerahkan hutan mereka. “Uang
Hadiah” itu memberikan Medco hak untuk
menebang kayu dengan seharga Rp. 2000 per m3
meskipun harga normalnya sepuluh kali lebih
tinggi.
(Sumber: Ginting and Pye, op. cit.)
MIFEE secara resmi diluncurkan di desa Serapu
oleh Bupati Johannes Gluba-Gebze, di bulan
Agustus 2010, beberapa saat sebelum masa
jabatannya berakhir. Tetapi, penduduk desa pada
waktu itu belum mendapat informasi tentang apa
yang sebenarnya diluncurkan. Mereka baru
menyadarinya beberapa minggu setelahnya. Ketika

Agustus 2010Perkebunan kelapa sawit yang
diluncurkan tanpa kesepakatan penuh
(informed consent) di desa Serapu

bulldozer mulai meratakan hutan sagu mereka,
mereka menyadari bahwa acara yang dimaksud
adalah ‘upacara pengambilalihan lahan mereka’.
Penduduk desa sama sekali tidak mendapatkan
keuntungan dari tanah adat mereka.
(Sumber: Takeshi Ito, Noer Fauzi Rachman,
Laksmi A. Savitri, 2011. Naturalizing Land

BAB IV
Penutup

4.1 Simpulan
Freeport dari segi finansial memang memberikan pemasukan yang besar bagi
Indonesia, tetapi hal tersebut tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima oleh pihak
Freeport yang merupakan perusahaan milik asing dan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan oleh freeport. Berbagai konflik dan pelanggaran HAM juga mewarnai perjalanan
Freeport yang semua itu terkesan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, karena semua
kasus pelanggaran HAM yang terjadi tidak pernah terselesaikan dengan baik. Apabila
dihubungkan dengan pancasila, maka Freeport telah melanggar sila kedua pancasila karena
pihak Freeport telah banyak mengabaikan apa yang menjadi hak warga sekitar.
4.2 Saran
Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang yang dikelola oleh pihak asing.
Sebagian besar keuntungan yang didapat dari hasil tambang pasti akan masuk ke devisa milik
asing dan bukan ke Indonesia. Indonesia kaya akan hasil tambang, seharusnya kita lebih
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki supaya berbagai tambang yang
kita miliki dapat kita kelola sendiri dan keuntungan yang didapat akan mengalir ke cadangan
devisa negara. Pemerintah juga sudah seharusnya lebih serius dalam menyelesaikan masalah
yang terkait dengan Freeport supaya tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM yang terjadi dan
kasusnya tidak pernah terselesaikan.

Referensi
http://rimanews.com/read/20110706/33855/abaikan-hak-masyarakat-adat-freeport-

rampok-

kekayaan-alam-papua (diakses tanggal 8 April 2016)
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Freeport_Indonesia&action=edit§ion=9
(diakses tanggal 8 April 2016)
http://www.menlh.go.id/terbaru/artikel.php?article_id=1702 (diakses tanggal 8 April 2016)
http://www.ranesi.nl/arsipaktua/Asia/kabar_papua051117/konflik_freeport060414???d
isclaimer.link??? (diakses tanggal 8 April 2016)
http://www.papuabaratnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1
218:sejarah-kelam-tambang-freeport-bagian-1&catid=73:opini&Itemid=417 (diakses tanggal
8 April 2016)
Jurnal Hak Asasi Manusia Di Papua ©Franciscans InternationalApril 2011ISBN: 978-962-831452-2 (paperback Print) ISBN: 978-962-8314-5-9 (pdf )

Mandessy Ary, MBA Dr. Bambang Rudito , Jurnal Adaptasi Pola Kekuasaan Pemimpin Adat
di Sekitae PT Freeport Indonesia,
Sugandi Yulia ,Jurnal Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63