Makalah pengembangan sistem evaluasi pai (3)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Pendidik merupakan komponen dasar penting dalam sistem pendidikan. Pendidik
akan berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana
arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.
Konsep pendidik dalam perspektif pendidikan memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai
dengan karakteristik pendidikan itu sendiri. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan
persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Tentu semua itu tidak terlepas
dari landasan ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan
pendidik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan
pemahaman maksimal manusia.
Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan dapat dipenuhi, maka pendidikan yang
berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat
dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dalam perspektif pendidikan sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh tentang pendidik.
Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik

dalam perspektif filsafat pendidikan. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih
lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pendidik itu sehingga
berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan
efisien.
B. Rumusan Masalah
1.

bagaimanakah peran pendidik itu dan apa pula fungsi pendidik itu?

2.

apa saja yang menjadi tugas pendidik ?

3.

apa tanggung jawab pendidik ?

4.

seperti apakah kode etik pendidik supaya tujuan pendidik tercipta?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis dan Pola Pikir Filosofis Tentang Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah
disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab,
juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris,
mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz
yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih,
penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture
(dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan
trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in
koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).
Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan
istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat
untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi,
jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb
yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan
mu’addib.
Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada

pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam
proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan
secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak
terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama
yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung
jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata
”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan),
menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu.
Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia
berusaha

untuk

memberikan

pengetahuannya

tersebut

kepada


peserta

didiknya.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masingmasing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam.
Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich
kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk

mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge)
serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam.
Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi
positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam.
Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua,
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian
bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh
manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anakanaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di
sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan
ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.


B. Keberadaan Pendidik
a. Pendidik dalam al-Qur’an
Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang
pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat
dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang
yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah
orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan
pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
َ ‫اُ لَ ُك ْم َوإِ َذا قِي َل ان ُش ُزوا فَان ُش ُزوا يَرْ فَ ِع‬
َ ‫ح‬
‫اُ الَ ِذينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم‬
ِ ِ‫يَا أَيهَّا الَ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َسحُوا فِي ْال َم َجال‬
ِ ‫س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس‬
َ ‫ت َو‬
‫اُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
ٍ ‫َوالَ ِذينَأُوتُوا ْال ِع ْل َم د ََر َجا‬
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan

apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
al-Mujadilah/58: 11)

Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi
seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
‫ب‬
ِ ‫قُلْ هَلْ يَ ْست َِوي الَ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَ ِذينَ َل يَ ْعلَ ُمونَ إِنَ َما يَتَ َذ َك ُر أُوْ لُوا ْالَ ْلبَا‬
Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(Q.S. az-Zumar/39: 9).
Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut,
tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang
pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. FirmanNya:
َ ‫اَ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَ َماء إِ َن‬
َ ‫ك إِنَ َما يَ ْخ َشى‬
ٌ ِ‫اس َوال َد َوابِ َو ْالَ ْن َع ِام ُم ْختَل‬
‫َزي ٌز َغفُو ٌر‬
َ ِ‫ف أَ ْل َوانُهُ َك َذل‬

ِ َ‫َو ِمنَ الن‬
ِ ‫اَ ع‬
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatangbinatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).
Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat
disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika
digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat
derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari.
Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang
lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.
b. Pendidik dalam Hadis
Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik
di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi,
sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam,
pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
ُ َ‫ ْال ُعلَ َما ُء َو َراث‬.....
.....‫ت ْالَ ْنبِيَا ِء‬
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan
diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar
terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan

mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten
dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia.
Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di
beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di
Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti
Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai
guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang
memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa
guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang
ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan”.

Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat
sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat
dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa
”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi
adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan
kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1)
”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh

melalui pendidikan profesi”.
Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting
serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari
kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang
besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa.
Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang
sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di
hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan
mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral.
Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua)
sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga.
3. Tugas Pendidik
Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke
dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah
mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk
tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan
akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa
tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.
Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional)

yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah
disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator)
yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil,
seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial),

yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait.
Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas
pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa
hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik
untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk
dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia
akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain
bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas
utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan,
membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari
kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini
menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai
muzakky.
Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai
waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini
sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:
ْ ُ‫َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َويُ َعلِ ُم ُكم َما لَ ْم تَ ُكون‬
َ‫وا تَ ْعلَ ُمون‬
َ ‫َك َما أَرْ َس ْلنَا فِي ُك ْم َرسُولً ِمن ُك ْم يَ ْتلُو َعلَ ْي ُك ْم آيَاتِنَا َويُ َز ِكي ُك ْم َويُ َعلِ ُم ُك ُم ْال ِكت‬
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu
dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151).
4. Karakteristik Pendidik
Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik
tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan
Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa
karakteristik pendidik.
a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata
karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya,

terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji
lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya,
lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan
mempunyai harga diri.
e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya
sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.
Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan
pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha
Allah dan menegakkan kebenaran.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan
mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip
penggunaan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik.
i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa,
keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki
posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah,
sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia
ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta
didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi

Muhammad SAW.
Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus
memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin
Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,
"O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan
jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada
Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia
membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia
Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu
pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia
menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai
para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika
Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang
menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemahlembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki
dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan han itu, Anda harus
mempergunakan kekerasan dan kekasaran."
Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu
pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya,
penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak
memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan.

5. Persyaratan Pendidik
Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi
seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh.
Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka
seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang
dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan
pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:

Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:
1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala
perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah
kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan
diri kepada Allah SWT.
2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah
tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang
menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud.
4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat
untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan
menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat
menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat
berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan
lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang
banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang
bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari
orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan
keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.
Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis),
yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan
kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan
syari’at.
2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan
dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik

harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh
semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar
memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan
kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada
objek tertentu.
8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun
dalam kelas.
9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan
pelajaran dan jawaban pertanyaan.
10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana
yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata
wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.
Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu,
menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara
kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat
tulus dalam belajar.
3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha
agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang
dilakukannya.
7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik

dengan kedudukan ataupun hartanya.
9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun
akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia
maupun di akhirat.
Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru
tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi
Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan
agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan
keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi
guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras
agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja,
kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan
Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian
peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional
bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional…".

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan
menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual

hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan
kepada ajaran Islam.
Rekomendasi
Demikian pentingnya pendidik, maka pendidik ini harus menjalankan tugas dan memahami
perannya sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di
Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari
pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi
formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan
perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih
penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta
didiknya.
Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip
pragmatisme

dan

materialisme

selalu

menjadi

pertimbangan—terkadang

menjadi

pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya
suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan.
Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi
guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi,
tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan.
Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak
an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan;
B. SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

 Depdikbud, (1981), Materi Dasar Pendidikan Akta V, buku III c,Penilaian dalam
Pendidikan: Jakarta.

 Edward Norman, (1981), Measurment and Evaluation in Teaching, Edisi IV, New
York, Macmillan Publishing Co,. Inc.
 Chalib Thoha, M., (1990), Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta, Rajawali Press.
 John W. Best, (1982), Methode Penilaian Pendidikan, terj. Sanfiah Faisal dan Muladi
G.W., Surabaya: Usaha Nasional.
 Muchtar Bukhari, (1980), Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan, Bandung:
Jemmars.
 Ngalim Purwanto, M, (1990), Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Raka Joni, T., (1984), Pengukuran dan Penilaian Pendidikan, Malang: Yayasan
Penerbit LPM.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT. Shalawat
beriringan salam kita panjatkan keharibaan nabi besar Muhammad SAW dan para sahabatnya
sekalian, yang mana pada tahun 2014 ini penulis dapat menyusun makalah “Pengembangan

Sistem Evaluasi PAI”. Disini penulis mengangkat judul tentang “Pengertian, Fungsi, Tujuan
Dan Sasaran Evaluasi Pendidikan”.
Dalam hal ini, penulis menyadari berbagai kelemahan kekurangan dan keterbatasan
yang ada. Sehingga tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana
sini, baik penulisan terutama dalam bidang isi dan sistematika uraiannya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak dalam
rangka tercapainya kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kepada Allah jualah penulis berserah diri serta memohon taufik hidayahNya. Kepada teman - teman dari segenap pembaca makalah ini, kiranya makalah yang
sederhana ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan suri teladan bagi kehidupan kita semua.
Amiin.

Raha, Januari 2013

PENULIS

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................

i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................

1

B. Rumusan Masalah .....................................................................................................

1

BAB II Pembahasan
A. analisa dan pola pikir filosofi tentang pendidikan........................................................... 2
B. Keberadaan Pendidik....................................................................................................... 3
BAB II Penutup
A. Kesimpulan................................................................................................................... 13
B. Saran.............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 14

TUGAS INDIVIDU

PENGEMBANGAN
SISTEM EVALUASI PAI

OLEH

NAMA

: HANAPIA

SEMESTER : V (LIMA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SYARIF MUHAMMAD RAHA
2013 / 2014