makalah tentang diskriminasi upah buruh

KESETARAAN UPAH BAGI PEKERJA PEREMPUAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM
Oleh Charoline Koni Padaka
Mahasiswa Fakultas Hukum UAJY
Email: koni_charol19@yahoo.com

1.

PENDAHULUAN
Peran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi telah dimulai

sejak dahulu. Banyak perempuan yang bekerja disektor informal (seperti petani,
pengrajin) dan formal (dalam perusahaan/industri) maupun sebagai ibu rumah tangga.
Akibat berkembangnya paham Liberalisme Adam Smith yang pokok ajarannya
“Laissez-fair, laissez-passer”, yang menentang segala bentuk campur tangan
pemerintah terhadap industri dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya proses
industrialisasi besar-besaran di Inggris dan kemudian menyebar keseluruh dunia. 1
Penyebaran kebebasan dalam industri dan perdagangan tersebut juga melanda
Indonesia. Banyak kaum perempuan mengalami pergeseran mata pencaharian dari
sektor informal menuju sektor formal. Sebagian besar perempuan menjadi buruhburuh di pabrik atau perusahaan
Peran pekerja-pekerja wanita dalam perusahaan membuat banyak perusahaan dapat

berkembang dengan pesat. Ketekunan, kerajinan, dan ketelitian kaum wanita dalam
bekerja memberikan andil yang cukup besar bagi hasil produksi perusahaan. Seiring
dengan berjalannya waktu, dalam kenyataan di lapangan ada ketimpangan dalam
sistem pengupahan pekerja. Dalam hal ini upah yang diterima oleh pekerja perempuan
rata-rata lebih kecil daripada pekerja laki-laki dengan jumlah jam kerja yang sama.
Sebagian besar kaum pekerja perempuan belum menikmati penghargaan yang
sama dengan kaum laki-laki sesuai dengan apa yang telah disumbangkan pada
perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya bentuk diskriminasi terhadahap kaum
pekerja perempuan. Diskriminasi perempuan di tempat kerja menjadi suatu persoalan
penting yang perlu dikaji lebih dalam, karena pekerjaan adalah salah satu hak hidup
yang dimiliki setiap individu termasuk juga disini adalah perempuan. Melalui
pekerjaan tersebut, perempuan berhak secara bebas mengembangkan bakat dan
1

F.X. Soedijana, Ekonomi Pembangunan Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
2012, hlm 1

1

kemampuan yang dimiliki serta memperoleh penghargaan sesuai prestasi masingmasing. Karena, pada dasarnya kesetaraan upah pekerja telah dilindungi dalam UUD

1945. Dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini Negara
menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja, baik dalam hal jenis
pekerjaan,

penempatan

jabatan

dalam

bekerja,

hingga

pemberian

upah.


Ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja perempuan telah dibahas
(Sudargo Gautama,2002), bahwa ketidakadilan tampak dalam hubungan kerja antara
pekerja wanita dengan pengusaha. Pembahasan yang serupa juga telah dikemukakan
oleh (Agnes Widanti, 2005) bahwa pekerja juga dituntut untuk harus menaati hukum
yang berlaku di pabrik secara ketat tetapi majikan sendiri banyak melanggar hukum
dengan tidak memberikan hak-hak buruh yang sudah dijamin Undang-Undang
termasuk dalam pengupahan. Dari ulasan yang telah dibahas oleh para pakar, namun
dalam hal ini belum dibahas secara lebih mendalam dikriminasi pemberian upah dari
perspektif hukum, baik dalam hukum internasional maupun hukum positif Indonesia.
Sehingga, dengan mengkaji secara lebih mendalam dari perspektif hukum, dapat
diketahui bagaimana seharusnya peran Negara dalam mengupayakan kesetaraan upah
bagi pekerja perempuan

sebagai bentuk pemenuhan kewajian Negara dalam

melindungi hak asasi warga negaranya.
Makalah ini akan membahas secara berturut-turut tentang pemahaman
mengenai diskriminasi; penyebab adanya diskriminasi upah terhadap pekerja
perempuan; dan kajian sudut pandang hukum atas pengupahan yang diskriminatif
dengan didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Konvensi Internasional dan

Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan akan diakhiri dengan kesimpulan.

2

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pekerja
Pekerja adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan dalam
hubungan kerja dengan menerima upah (Iman Soepomo 1976:33). Penjelasan senada
juga dikemukakan oleh G. Kartasapoetra (1986:17-18) bahwa yang dimaksud dengan
pekerja ialah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, dimana para tenaga
kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang diadakan oleh
pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan pekerjaannya, untuk
mana tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan hidup lainnya yang wajar.
Pengertian pekerja banyak pula dijumpai dalam Undang-Undang Kerja, UndangUndang Perlindungan dan Keselamatan Kerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan serta
beberapa Undang-Undang lainnya dimana buruh dimaksudkan sebagai “tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, yang tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha,
sesuai dengan peraturan kerja yang berlaku di lingkungan pekerjaannnya.
2.2 Upah dan Kesetaraan Upah
Para pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan
kesepakatan kerja terdahulu akan mendapatkan upah. Istilah upah dalam UndangUndang Ketenagakerjan No 13 Tahun 2003 ialah hak pekerja / buruh yang diterima

dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/
buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan / atau jasa yang telah atau akan
dilakukan. Dalam Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 istilah upah mencakup upah
atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan lain apapun, yang
dibayar secara langsung maupun tak langsung, secara tunai maupundalam bentuk
barang oleh majikan kepada pekerja terkait atas pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja. Definisi Upah juga diartikan sebagai harga untuk jasa yang telah diterima atau
diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum (Edwin B.
Flippo 1987:75-76). Sedangkan menurut G. Kartasapoetra (1986:94) yang dimaksud
dengan upah ialah pembayaran atau imbalan, yang wujudnya dapat bermacam-macam
yang dilakukan atau diberikan oleh seseorang atau kelembagaan atau instansi terhadap
orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah
3

dilakukannya. Selanjutnya secara sederhana upah merupakan pengganti jasa yang
telah diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain/pengusaha (Abas
Kustandi 1995:24). Menurut Konvensi International Labour Organisation (ILO)
No.100 dan Undang-Undang No. 80 tahun 1957 mengatur tentang Upah yang setara

dan Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama
Nilainya. Namun menurut data hasil penelitian ILO telah terjadi kesenjangan upah
antar gender. Kesenjangan upah antar gender didefinisikan sebagai perbedaan ratarata penghasilan kotor antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan ini
terjadi ketika pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menerima gaji dalam jumlah
yang berbeda. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22% berarti berarti bahwa
pekerja perempuan berpenghasilan lebih rendah daripada kolega pekerja laki-laki
mereka. Secara sederhana, kesenjangan upah antar gender adalah kesenjangan antara
apa yang didapatkan oleh pekerja laki-laki dan apa yang didapatkan oleh pekerja
perempuan. International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada
kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun
2012, perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun
memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan
mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan
pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh
upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan
kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah
dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara
perkerja laki-laki maupun perempuan (G. Kartasapoetra 1986:94). Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Hardijan Rusli (2011:75) bahwa setiap pekerja/buruh terutama
perempuan berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan
keluarganya secara wajar dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.
2.3 Hukum positif Perburuhan Internasional dan Indonesia
1.

Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja
Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
Konferensi mengusulkan setiap Anggota, berdasarkan ketentuan-ketentuan

dalam Pasal 2 Konvensi ini, perlu menerapkan ketentuan-ketentuan berikut ini dan
memberikan laporannya kepada Kantor ILO sebagaimana yang diminta oleh Badan
4

Pimpinan mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk memberlakukan ketentuanketentuan tersebut:
1. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi
pekerja terkait atau, apabila organisasi ini tidak ada, dengan pekerja terkait —
(a) untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya bagi semua pegawai
departemen atau lembaga Pemerintahan pusat, dan
(b) untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai departemen atau lembaga

pemerintahan di tingkat pusat, provinsi maupun lokal, dimana mereka
mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat upah.
2. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha dan pekerja terkait, untuk menjamin, secepatnya mungkin, penerapan
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan
yang sama nilainya di semua jabatan, selain dari yang telah disebutkan dalam
Ayat 1, dimana tingkat upah ditentukan berdasarkan peraturan perundangundangan atau control publik, khususnya mengenai —
(a) penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor industri dan jasa dimana
tingkat upah tersebut ditentukan oleh pejabat publik yang berwenang;
(b) industri dan perusahaan yang dioperasikan di bawah kepemilikan atau kontrol
publik; dan
(c) Bila mungkin, pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak publik.
3. (1) Apabila sesuai dengan metode-metode pengoperasian untuk menentukan tingkat
upah, maka ketentuan harus dibuat melalui penegakan hukum untuk penerapan
umum dari prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk
pekerjaan yang sama nilainya.
(2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan segala tindakan yang
diperlukan dan tepat untuk menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah
sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan, bila mungkin,
diberi nasehat tentang penerapannya.

4. Apabila setelah berkonsultasi dengan organisasi pekerja dan pengusaha terkait, bila
ada, tidak dianggap layak untuk segera melaksanakan prinsip kesetaraan upah bagi
pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, sesuai
dengan pekerjaan yang tercantum dalam Ayat 1, 2 atau 3, maka ketentuan yang

5

tepat harus dibuat atau diupayakan untuk dibuat sesegera mungkin, untuk
penerapannya secara progresif, melalui tindakan-tindakan berikut ini—
(a) mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk pekerja laki-laki dengan
tingkat upah bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya;
(b) dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan kenaikan upah yang
setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang
sama nilainya.
5. Bilamana mungkin untuk tujuan memfasilitasi penetapan tingkat atau pemberian
upah sesuai dengan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan
untuk pekerjaan yang sama nilainya, setiap Anggota, setelah disetujui oleh
organisasi pengusaha dan pekerja bersangkutan, harus menetapkan atau
mendorong penetapan metode untuk menilai secara objektif pekerjaan yang akan
dilaksanakan, baik melalui analisa kerja maupun melalui prosedur lain, untuk

menyediakan klasifikasi kerja tanpa memandang jenis kelamin; metode- metode
ini harus diterapkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 2 Konvensi ini.
6. Untuk memfasilitasi penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, tindakan yang tepat harus
dilakukan, bila mungkin, untuk meningkatkan efisiensi produktif dari pekerja
perempuan melalui tindakan-tindakan seperti —
(a) memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin mendapatkan fasilitas
yang setara atau sebanding untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling
kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;
(b) mengambil tindakan yang tepat untuk mendorong perempuan menggunakan
fasilitas untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling kerja, pelatihan dan
penempatan kerja;
(c) Menyediakan layanan sosial dan kesejahteraan yang dapat memenuhi
kebutuhan pekerja perempuan, khususnya mereka yang memiliki tanggung
jawab keluarga, dan Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di
Dunia Kerja mendanai layanan-layanan tersebut dari pendanaan masyarakat
umum atau dari dana jaminan sosial atau dana kesejahteraan industri yang
berasal dari pembayaran yang dilakukan oleh para pekerja tanpa memandang
jenis kelamin mereka; dan
(d) Mempromosikan kesetaraan di antara pekerja laki-laki dengan pekerja

perempuan dalam memperoleh akses ke jabatan dan posisi tertentu tanpa
6

melanggar ketentuan- ketentuan perundang-undangan internasional dan
undang-undang dan peraturan nasional yang terkait dengan upaya
perlindungan kesehatan dan kesejahteraan bagi perempuan.
7. Setiap upaya perlu dilakukan untuk mempromosikan pemahaman masyarakat
tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah
bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat
dilaksanakan dengan baik.
3. Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984
Pasal 11 huruf (d)
Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik
untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai
yang sama maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.
4. Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Pasal 3
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi
antara buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk pekerjaan yang sama
nilainya.
5. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Pasal 88 ayat (1) dan (2)
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

7

3. PEMBAHASAN
A. Diskriminasi
Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari luas lingkupnya. Dalam
lingkup luas secara umum, diskrimininasi dipahami sebagai adanya pelayanan yang
tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini dibuat berdasarkan karakteristik
yang diwakili oleh individu tersebut. Ketika seseorang mengalami ketidakadilan atau
pembedaan perlakuan yang didasarkan pada karakteristik gender, ras, agama atau
aliran politik tertentu, amaka dapat dikatakan ia telah mengalami diskriminasi.
Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang luas ini mengartikan bahwa pembedaan
perlakuan tersebut dapat dialami oleh siapa pun tanpa melihat jenis kelaminnya baik
laki-laki atau perempuan.
Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang lebih sempit, dapat dilihat dalam
Pasal

1

Konvensi

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi

Terhadap

Perempuan/CEDAW yang menentukan bahwa diskriminasi adalah, setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang memepunyai
pengaruh atas tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan
terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaaan antara laki-laki dan
perempuan.
Dari batasan Pasal 1 tersebut diatas, jelas ada penyempitan lingkup berlakunya
diskriminasi, yaitu pembedaan yang dialami hanya oleh perempuan karena jenis
kelaminnya. Secara khusus konvensi ini melarang berbagai bentuk diskriminasi
terhadap perempuan dalam hal penikmatan atas hak social, politik, budaya, sipil dan
hak ekonomi, termasuk disini melarang dikriminasi dalam hal pemberian upah
ditempat kerja. Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini, melalui Undang-Undang No. 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 ini,
Indonesia menjadi terikat untuk melaksanakan/ menjabarkan apa yang diterapkan
dalam konvensi ini ke dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia termasuk
dalam bidang ketenagakerjaan.

8

B. Penyebab Adanya Diskriminasi Upah Terhadap Pekerja Perempuan
Berkaitan dengan penerapan pengupahan yang diskriminatif terhadap pekerja
perempuan dan laki-laki maka dapat dikemukakan beberapa factor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut.
1. Budaya patriarki
Apabila dicermati lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa alasan utama
yang dikemukakan oleh pengusaha dalam menentukan perbedaan
kebijakan pengupahan antara pekerja perempuan yang sudah menikah
dibandingkan pekerja laki-laki sebenarnya terpengaruh oleh budaya
patriarki yang dianut oleh sebagian besar daerah dan masyarakat
Indonesia. Budaya Patriarki ini dikonsepkan sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan sistem sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh
anggota keluarganya, harta milik, segala sumber ekonomi serta pembuat
semua keputusan penting dan sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah
pria diposisikan lebih tinggi dari perempuan2. Budaya ini tidak jarang
bersumber dari nilai-nilai sakral keagamaan dan budaya komunitas, dan
berkembang dan disosialisasikan melalui pendidikan dalam keluarga di
rumah. Adanya struktur komunitas yang seperti itu, perempuan seakan
ditempatkan pada posisi sub-ordinat dibandingkan dengan pria, sehingga
menyebabakan perempuan semakin dilemahkan kesetaraannya. Perempuan
hanya dianggap sebagai makhluk pelengkap kehidupan laki-laki dan hanya
cocok bekerja di ranah domestik dalam keluarga . Budaya ini berdampak
pada anggapan terhadap status laki-laki yang memikul tanggung jawab
besar dalam keluarga dan karenanya harus diberi kedudukan lebih tinggi
atau istimewa dibandingkan perempuan dalam hal ini adalah pekerja lakilaki dengan pekerja perempuan. Sehingga, memunculkan berbagai bentuk
pembedaan/diskriminasi.
Tragisnya perempuan yang bekerja kadang dianggap bahwa dia
bekerja hanya sekedar untuk membantu suami sebagai pencari naskah
utama. Hal ini tampak dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
2

Departemen

Ketenagakerjaan,

”Hukum

Berkeadilan

Jender” ,

Diakses

dari

http://jdih.depnakertrans.go.id.com , Pada tanggal 4 juni 2015 Pukul 14.20 WIB

9

Imma Indra Dewi W tahun 2002 pada pekerja beberapa perusahaan
percetakan di DIY dan DKI Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap
pada umumnya pengusaha yang diteliti menyatakan bahwa perempuan
tidak berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Konsekuensinya
perempuan tidak mempunyai kewajiban untuk membiayai rumah
tangganya andai perempuan itu sudah menikah. Jadi hadirnya anak dalam
rumah tangga pembiayaannya merupaka tanggung jawab suaminya. Akibat
pandangan demikian pengusaha memutuskan menerapkan pemberian
tunjangan yang berbeda antara tenanga kerja laki-laki dan perempuan.
(Ima Indra Dewi W, 2002). Hal ini tentu merugikan pihak pekerja
perempuan, terlebih bila pada keluarga tersebut istri telah mengambil alih
kewajiban suami sebagai pencari nafkah utama. Kondisi ini terjadi karena
seorang perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama maka ia tidak
diberikan tunjangan sebagaimana pekerja laki-laki.
2. Penyalahgunaan kodrat perempuan
Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar pendiskriminasian
antara pekerja laki-laki dan perempuan adalah terutama perempuan yang
sudah menikah dan berprofesi sebagai pekerja akan lebih banyak
mengambil cuti dibandingkan pekerja laki-laki. Rasionya karena
perempuan yang sudah menikah seketika akan hamil, melahirkan dan
menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja perempuan lebih banyak
mengamnil cuti dari pada pekerja laki-laki. Kondisi demikian menurut
kacamata pengusaha dipandang tidak efisien dan cenderung merugikan
perusahaan dalam menjalankan proses produksi. Selain itu kodrat yang
telah disandang perempouan untuk hamil, melahirkan dan menyusui
tersebut kadang dianggap sebagai bukti otentik untuk mengukuhkan
pandangan bahwa tugas perempuan adalah mengurus masalah domestik
rumah tangga.
3. Ketidakseimbangan posisi tawar kerja pekerja perempuan
Antara pengusaha dan pekerja biasanya terjadi ketidakseimbangan
posisi ekonomi. Pengusaha biasanya berada pada posisi ekonomi kuat
sementara

pekerja

berada

pada

posisi

sebaliknya.

Kondisi

ini

menyuebabkan ketidakseimbangan posisi tawar antara pengusaha dengan
pekerjanya, karena di satu sisi pekerja memerlukan biaya untuk hidupnya
10

dan keluarganya, sementara pengusaha merupakan pihak yang diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan tersebut melalui upah yang diberikan pada
pekerja.
Situasi ini diperparah dengan besarnya jumlah angkatan kerja, terutama
perempuan, yang membutuhkan pekerjaan di Indonesia tetapi belum
tersalurkan. Sebagai contoh jumlah penduduk di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010
sebagai berikut: jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.708.910 jiwa dan
perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa3. Artinya dari hasil sensus tersebut
dapat dikertahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar
dibanding penduduk laki-laki. Dalam kondisi seperti ini tidak mustahil
jumlah angkatan kerja yang tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya
besarnya jumlah angkatan kerja perempuan ini tidak sebanding dengan
jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Selain itu juga faktor pendidikan pekerja perempuan juga berpengaruh
terhadap posisi tawar perempuan. Mengutip hasil BPS tahun 2004,
diketahui bahwa jumlah lulusan SD perempuan hanya sekitar 20%,
sedangkan pada tingkap SLTP jumlah lulusan perempuan hanya sekitar
17%. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu SLTA jumlah lulusan
perempuan hanya sekitar 18,8% serta ditingkat perguuruan tinggi hanya
sekitar 8%. Semua jumlah persen tersebut berangkat dari total penduduk
perempuan berumur 15 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkannya, yaitu sebanyak 1.288.425 jiwa.

Sedangkan jumlah

prosentase kelulusan dari penduduk laki-laki yang berusia diatas 15 tahun
kesemuanya melebihi prosentase dari penduduk perempuan. Data diatas
menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan
formal bagi laki-laki dan perempuan.
Akibatnya posisi tawar seorang pekerja perempuan menjadi lebih
rendah dibanding pekerja laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan
pengusaha bahwa pekerja perempuan lebih banyak mengambil cuti
sehubungan dengan kodratnya sebagai perempuan dan anggapan bahwa
perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga. Hal ini menyebabkan
3

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ,“ DIY Dalam Angka 2013”, Diakses
dari http://yogyakarta.bps.go.id, Pada tanggal 29 Mei 2015 Pukul 19.17 WIB

11

pekerja perempuan menjadi semakin lemah kedudukannya dibanding
dengan pengusaha.
.
4. Kepentingan penguasa
Logikanya jika suatu ketentuan telah mendapatkan suatu pengaturan
secara tegas serta didalamnya telah dimuat sanksi bila tidak melaksanakan
isis ketentuan tersebut, maka pihak yang melakukan pelanggaran
mendapat sanksi. Namun dalam hal ini seolah-olah penguasa mengalami
dilema

untuk

menegakkan

berbagai

ketentuan

perundangan

ketenagakerjaan, terutama bidang pengupahan yang berkeadilan jender.
Pengusaha yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat sanksi dari
pejabat berwenang. Hal ini dapat dipahami karena dalam pelaksanaanya
masih banyak oknum dari pihak yang berwenang berperan sebagai
pelindung.
Berkaitan dnegan pemberian upah undang-undang telah mengatur
tentang sanksi bagi pengusaha yang melakukan diskriminasi upah. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 31 PP No 8 Tahun 1981 yang mengatur bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 PP No 8 Tahun 1981 tentang
larangan diskriminasi upah terhadap pekerja laki-laki dan perempuan
dapat dikenai sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Demikian
pula pasal 190 UU No 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa bagi pengusaha
yang melanggar ketentuan Pasal 5 dan 6 tentang adanya larangan
diskriminasi bagi pekerja dapat dikenai sanksi administratif sebagai
berikut:

a. teguran
b. peringatan tertulis
c. pembatasan kegiatan usaha
d. pembekuan kegiatan usaha
e. pembatalan persetujuan
f. pembatalan pendaftaran
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
h. pencabutan ijin.

12

Namun adanya kepentingan penguasa maka sanksi-sanksi tersebut seolah
hanya berfungsi sebagai hiasan dalam undang-undang, karena tidak
pernah dilaksanakan.
Di sisi lain berkaitan dengan sumber dana daerah maupun Negara,
pengusaha merpakan pemasok terbesar baik dari sudut pajak maupun dana
tak terduga lainnya. Faktanya dalam setiap kesempatan pengusaha seolaholah berperan sebagai bank tidak resmi yang “multifungsi” bagi penguasa.
Di sisi lain pengusaha juga menikmati fasilitas atas ke-“multifungsi”annya terhadap penguasa. Akibatnya pekerja, terutama pekerja perempuan
sebagai pihak terlemah diantara pengusaha dan penguasa harus
menanggung penderitaan. Adanya kepentingan penguasa ini tentu saja
akan memberikan pertimbangan tersendiri bagi pihak yang terkait untuk
menjatuhkan sanksi pada pengusaha.
5. Ketidaktahuan berlakunya suatu hukum
Meskipun adanya suatu asa yang menyatakan bahwa setiap orang
dianggap tahu akan hukumnya, namun hal ini biasanya hanya merupakan
suatu asas saja. Sesuai dengan sifatnya yang dapat ditimpangi maka
berkaitan dengan asas tersebut diatas lebih banyak orang yang tidak
mengetahui hukum yang mengaturnya. Di Indonesia asas ini hanya berlaku
bagi

para

pelaku

hukum

saja.

Selain

itu

masyarakat

kurang

memperdulikannya, sehingga ketika hak dan kewajibannya tidak terpenuhi
mereka tidak tahu bagaimana prosedur yang tepat untuk memperolehnya.
Harusnya, ketentuan hukum sebagai dasar pemberian upah terutama yang
berkaitan dengan perlindungan pekerja perempuan terhadap diskriminasi
upah perlu diketahui oleh pengusaha maupun para pekerja, sehingga
benar-benar dipahami sistem pengupahan yang berbasiskan pada keadilan
jender.

13

C. Kajian Sudut Pandang Hukum Atas Pengupahan Yang Diskriminatif
Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut hukum,
apabila hukum tidak lagi pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut
konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan 4.
Berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ini,
merupakan suatu keharusan bahwa segala peraturan yang telah dibuat harus
diwujudnyatakan. Dari sinilah diperlukan peranan Negara sebagai penegak hukum
yang terdiri dari Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan juga Badan
Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya penegak hukum, janji-janji serta
kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum dapat diwujudkan.
Dengan adanya para penegak hukum maka praktek diskriminasi upah antara
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya tidak
boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-Undang
No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11 huruf (d)
konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk menerima upah yang sama,
termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan
pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun persamaan perlakuan dalam

penilaian kualitas pekerjaan.
Tidak hanya Konvensi CEDAW, terdapat pula konvensi/ ketentuan yang bersifat
internasional yang memuat tentang penghapusan diskriminasi yakni, Konvensi ILO
No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan
Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya. Konvensi ILO ini telah diratifikasi oleh
Indonesia pada 11 Mei 1957 dengan Undang-Undang No.80 Tahun 1957. Itu artinya,
setelah diratifikasi Undang-Undang tersebut dinyatakan berlaku, dan sudah
merupakan kewajiban dari Negara untuk melaksanakan perannya. Dalam konvensi ini
telah ditetapkan bahwa Negara perlu menerapkan ketentuan-ketentuan dalam
konvensi ini dan memberikan laporannya kepada Kantor perwakilan ILO di
Indonesia.

4

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,
2009, hlm 17.

14

Secara garis besar, dalam Kovensi ILO No.100 ditentukan bagaimana
seharusnya peran Negara dalam mewujudkan kesetaraan upah pekerja laki-laki dan
pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yaitu: 1) Negara menjamin
menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah dengan mengadakan koordinasi dengan
lembaga terkait dan sedemikian rupa dibuat hukumnya; 2) Negara menjamin bahwa
pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum
tersebut dan diberi nasehat tentang penerapannya; 3) Negara mempromosikan
pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam ketentuan hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan kesetaraan
upah juga diatur dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003. Dalam ayatnya yang pertama dinyatakan bahwa setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dilanjutkan pada ayat berikutnya bahwa untuk mewujudkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh.
Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah mengatur terdapat hak
dasar pekerja perempuan yang bagi negara harus mutlak melindunginya. Hak yang
dimaksud ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Pemenuhan hak
upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil dipenuhi, sebab sampai saat ini telah
banyak aturan hukum yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11 CEDAW
yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki
Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya yang telah diratifikasi dalam
Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga Pasal 38 Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat digunakan sebagai rujukannya.
Meskipun demikian, pelaksanaan akan ketentuan hukum yang telah dibuat
belum sepenuhnya dapat terlaksana sampai saat ini. Menurut hasil penelitian
International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah
antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, dimana
15

perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki
tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili
sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan
“tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah
kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan kepada
seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/
dikerahkannya (activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja lakilaki maupun perempuan.5 Setiap pekerja terutama perempuan berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar
dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.6

4. KESIMPULAN
5

G. Kartasapoetra, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Angkasa, Bandung, 1986,
hlm 94
6
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan , Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm 75

16

Citra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas dari peranan wanita sendiri
dalam kehidupan kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik fisik,
maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah memaksa wanita ikut bekerja di
pabrik-pabrik. Bahkan mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab wanita
lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang diskriminatif, tidak setara. Adanya
pemberian upah yang diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya patriarkhi yang dianut sebagian
besar

masyarakat,

konstruksi

masyarakat

perihal

kodrat

perempuan

yang

disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya kepentingan penguasa,
dan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.
Dalam hal ini fungsi Negara untuk memberikan pelindungan melalui berbagai
pengaturan telah berjalan. Berbagai Konvensi Internasional mengenai kesetaraan upah
pekerja dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), serta Undangundang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur adanya kesetaran upah bagi
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Meskipun telah ada pengaturan maupun sanksi yang telah ditentukan, tidak serta
merta ketimpangan tersebut dapat teratasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, upaya
Negara untuk menekan adanya tidakan pemberian upah yang diskriminatif belum
terwujud. Hak warganya (khususnya perempuan) untuk mendapatkan upah yang
setara tidak didapatkan sepenuhnya.
Oleh karena dalam praktik dilapangan masih menimbulkan ketimpangan, hukum
yang telah dibuat harus dijalankan sebagaimana mestinya. Negara dituntut untuk lebih
berperan dalam menekan pemberian upah diskriminatif terhadap pekerja perempuan.
Dalam hal ini Negara harus benar-benar menjalankan perannya sesuai dengan
ketentuan perundangan yang telah dibuatnya, terutama karena Negara telah
menundukkan diri terhadap ketentuan internasional dengan meratifikasi ketentuan
tersebut. Negara perlu mengadakan koordinasi yang baik dengan lembaga
dibawahnya untuk melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat. Dengan adanya
sosialisasi mengenai bangaimana persyaratan hukum itu mengatur, dapat diharapkan
para pengusaha menjadi lebih tahu dan memahami apa kewajibannya dan pekerja
telah sepenuhnya tahu tentang hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Selain itu,
Negara perlu berperan untuk

mempromosikan pemahaman masyarakat tentang

alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja
laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan
17

dengan baik. Dengan demikian, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dapat
terlaksana. Dapat membawa masyarakat yang ada menjadi masyarakat yang lebih
baik.

Daftar Pustaka
18

Buku-Buku :
Kartasapoetra, G. 1986.

Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Penerbit

Angkasa: Bandung
Kustandi, Abas. 1995. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni:
Bandung.
Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta
Publishing: Yogyakarta
Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan . Ghalia Indonesia: Bogor
Soedijana. 2012. Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta: Yogyakarta
Soepomo,Iman. 1976. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Rineka

Cipta : Jakarta
Hasil Penelitian:
Ima Indra Dewi W. 2002. Implikasi Pasal 31 ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 UU No 1
Tahun 1974 Terhadap Penerapan Kebijakan Di Bidang Ketenagakerjaan bagi
tenaga Kerja Perempuan pada Perusahaan Percetakan
Peraturan Perundang-Undangan:
Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki
Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP
No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sumber Online:
19

Departemen Ketenagakerjaan. “Hukum Berkeadilan Jender” . 4 juni 2015.
http://jdih.depnakertrans.go.id.com
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY . “DIY Dalam
Angka 2013”. 29 Mei 2015. http://yogyakarta.bps.go.id
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY . “Keadaan
Angkatan Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta Agustus 2014”. 29 Mei 2015.
http://yogyakarta.bps.go.id/
Wage Indicator Foundation : “Survei tentang Peta Dunia Kesenjangan Upah
Berdasarkan Gender”. 29 Mei 2015. http://www.wageindicator.org/main

20