PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIKA SISWA MELALUI PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH DI SMA NEGERI 1 SEI BINGAI.

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN
PENALARAN MATEMATIKA SISWA MELALUI
PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH
DI SMA NEGERI 1 SEI BINGAI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:
JAKA KESUMA SEMBIRING
NIM. 081188710018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan
pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan keahlian tertentu kepada manusia untuk
mengembangkan bakat serta kepribadian mereka. Agar mampu menghadapi setiap
perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
maka manusia berusaha mengembangkan dirinya dengan pendidikan. Oleh karena
itu masalah pendidikan perlu mendapat perhatian dan penanganan lebih yang
menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan
relevansinya. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini tidak
lepas dari peranan matematika. Boleh dikatakan landasan utama sains dan
teknologi adalah matematika. Masykur dan Fathani (2007) mengatakan
:“Kedudukan matematika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar,
sehingga untuk dapat berkecimpung di dunia sains, teknologi atau disiplin ilmu
lainnya, langkah awal yang harus ditempuh adalah menguasai ilmu dasarnya yaitu
matematika”.
Kedudukan matematika sebagai "ilmu dasar" atau "pengetahuan dasar"
yang menopang perkembangan teknologi serta berkembang seiring dengannya.
Oleh karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa untuk menunjang perkembangan

pengetahuan dan teknologi peran matematika sangat penting. Dengan

demikian sangat diharapkan peserta didik sekolah menengah untuk menguasai
pelajaran matematika SMA. Karena disamping matematika sebagai sarana
berfikir ilmiah yang sangat diperlukan oleh peserta didik, juga untuk
mengembangkan kemampuan berpikir logiknya.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau yang dikenal
dengan Kurikulum 2006, Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa pembelajaran
matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma, secara luwes,
akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran dalam pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
memecahkan masalah.
Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut, maka siswa
dituntut memiliki berbagai kemampuan matematis. Kemampuan matematis ini
digunakan untuk memahami pengetahuan dan memecahkan masalah yang
dihadapi siswa di masa kini dan masa datang. Dengan demikian, pembelajaran
matematika di sekolah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan matematis
siswa yang tercermin dari baiknya hasil belajar matematika itu sendiri.
. Namun pada kenyataannya, Priatna (2008 : 33) menyatakan bahwa
tingkat penguasaan siswa terhadap pelajaran matematika sangat rendah. Hasil

survey Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada
tahun 2003 menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 dalam bidang matematika
dari 50 negara yang di survey. Tahun 1999, 2003 dan 2007 tingkat pengusaan
matematika siswa Indonesia di bawah siswa dari negara Singapura dan Malaysia,
Thailand dan Philipina. Matematika disadari sangat penting peranannya. Namun
tingginya tuntutan untuk menguasai matematika tidak berbanding lurus dengan
hasil belajar matematika siswa. Kenyataan yang ada menunjukkan hasil belajar

siswa pada bidang studi matematika kurang menggembirakan Pemerintah,
khususnya Departemen Pendidikan Nasional telah berupaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan salah satunya pendidikan matematika, baik melalui
peningkatan kualitas guru matematika melalui penataran-penataran, maupun
peningkatan prestasi belajar siswa melalui peningkatan standar minimal nilai
Ujian Nasional untuk kelulusan pada mata pelajaran matematika. Namun ternyata
hasil belajar matematika siswa masih jauh dari harapan (Markaban, 2006). Hasil
yang kurang memuaskan juga berlaku di SMA Negeri 1 Sei Bingai. nilai MID
Semester

seluruh siswa kelas X dengan jumlah siswa 153 siswa belum

memuaskan. Dari 153 siswa kelas X hanya 71 siswa yang tuntas atau 47,05%,
sedangkan yang belum tuntas dari 153 siswa kelas X sebanyak 81 siswa atau
52,28%. Kenyataan yang kurang memuaskan di atas, salah satunya disebabkan
karena hasil belajar siswa masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya hasil belajar diantaranya dari siswa itu sendiri, dan guru. Jika faktor
penyebabnya guru, mungkin dalam hal ini ketika proses pembelajaran, khususnya
dalam penyajian materi. Ketika matematika dalam proses pembelajaran


disajikan sebagai suatu pokok bahasan yang membosankan, perasaan antara
suka dan tidak suka diantara siswa akan timbul (Mohamed, 2001:1). Hal ini
sangat mungkin terjadi disebabkan pembelajaran matematika memiliki beberapa
kelemahan yang mendasar, diantaranya:
1. Lebih berpusat pada guru (teacher centered instruction). Guru lebih
mendominasi kegiatan belajar mengajar (KBM), siswa ditempatkan sebagai
objek bukan subjek. Guru menyampaikan materi pelajaran matematika
didominasi dengan metode ceramah, sementara siswa mencatatnya di buku
catatan. Sebagaimana yang diungkapkan Turmudi (2008:6) bahwa pengajaran
matematika selama ini memandang siswa sebagai objek yang pasif dan guru
senantiasa menjadi pusat perhatian karena ia harus mendemonstasikan
matematika yang sudah siap saji dan memandang matematika sebagai ilmu
yang sangat ketat.
2. Paradigma transfer of knowledge sangat mewarnai KBM. Guru mengajar
di kelas menyampaikan pengetahuan, sementara siswa memperhatikan
dan menyerap informasi yang disajikan. Pembelajaran dianggap proses
penyampaian fakta-fakta

kepada siswa dan siswa dianggap berhasil bila


mampu menyerap banyak fakta dan mampu menyampaikan kembali faktafakta tersebut kepada orang lain dan menggunakannya untuk menjawab soalsoal ujian. Sebagaimana yang dikemukakan Mettes (Gani, 2008:2) bahwa
siswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal
yang dikerjakan oleh gurunya.

3. KBM disajikan secara tidak bermakna, informasi disajikan sebagai suatu
konsep abstrak, tidak dikaitkan dengan dunia riel. Menurut Zamroni
(2000:2): "Praktek pembelajaran yang demikian mengisolir dari lingkungan
sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai
manusia utuh dan berkepribadian" dan Sabandar (Saragih, 2007:4)
menyatakan

bahwa

untuk

mendukung

proses

pembelajaran


yang

mengaktifkan siswa diperlukan pengembangan materi pelajaran matematika
yang teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu Arnawa (2008) menerangkan bahwa adanya anggapan atau
asumsi yang keliru dari guru-guru yang menganggap bahwa pengetahuan itu dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Berdasarkan hal
tersebut, guru memfokuskan pembelajaran matematika pada upaya penuangan
pengetahuan matematika sebanyak mungkin kepada siswa. Dengan adanya
beberapa kelemahan diatas, terlihatlah bahwa pembelajaran matematika selama
ini (baik di Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah SMP dan SMA),
sepertinya kurang bermakna dan kurang memberikan motivasi kepada siswa untuk
terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuan matematika mereka. Mereka
lebih banyak tergantung pada guru dan menurut Dahlan (Gani, 2008;2) akan
menempatkan siswa menjadi pasif, sehingga sikap ketergantungan inilah
yang kemudian menjadi karakteristik seseorang yang secara tidak sadar
telah guru biarkan tumbuh melalui gagasan pembelajaran tersebut.
Padahal yang diinginkan adalah manusia Indonesia yang mandiri, mampu


untuk memunculkan gagasan dan ide yang kreatif serta dapat menggunakan
matematika dan pola berfikir matematika dalam kehidupan sehari-hari serta
dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan tujuan pendidikan
matematika bagi pendidikan dasar dan menengah (Depdikbud, 1995 :1).
Kelemahan-kelemahan pembelajaran diatas tentulah sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa terutama kemampuan pemahaman dan penalaran
matematik siswa. Pemahaman matematika dan penalaran matematika merupakan
dua hal yang saling mempengaruhi. Pemahaman matematika membantu
perkembangan penalaran matematika siswa. Dengan memahami materi pelajaran
matematika, kemampuan penalaran siswa setidaknya lebih baik. Kemampuan
pemahaman matematika adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran,
memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan
hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih
mengerti materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman matematika juga merupakan
salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru
merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan,
memahami keterkaitan antar konsep dan memberi arti. Hal ini sesuai
dengan Hudoyo (1985) yang menyatakan: “Tujuan mengajar adalah agar
pengetahuan yang disampaikan dapat dipahami peserta didik“. Pendidikan yang
baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin dicapai

yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa.
Pembelajaran matematika yang diharapkan saat ini adalah pembelajaran
yang berorientasi kepada siswa. Siswa dituntut untuk aktif membangun sendiri

pengetahuannya, guru hanya sebagai fasilitator. Hal yang sama juga diperoleh
peneliti ketika melakukan observasi awal dengan memberikan soal matematika,
soal tersebut merupakan soal pemahaman matematika yang berupa soal cerita
matematika. Soal tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan awal siswa
terutama kemampuan pemahaman matematika siswa, dengan karakteristik soal
yaitu meminta siswa untuk mengubah soal cerita matematika ke dalam bahasa
atau model matematika serta dengan mengggunakan metode apa yang lebih baik
menyelesaikan soal yang diberikan. Soal tes yang diberikan adalah “Adi memiliki
sejumlah kelereng. Diantaranya ada kelereng berwarna merah dan biru. Jumlah
kelereng merah dan kelereng biru adalah 12 kelereng. Sedangkan selisih kelereng
merah dan kelereng biru adalah 4. Berapakah sebenarnya jumlah kelereng merah
dan kelereng biru adi?”
Adapun jawaban siswa adalah seperti pada gambar 1.1. berikut

(a)


(b)

Gambar 1.1 Hasil Pekerjaan Siswa yang Berhubungan dengan
Pemahaman matematika

Dari hasil yang diperoleh, ternyata hanya 5 orang yang menjawab benar
atau 15,6% sedangkan jawaban siswa seperti pada gambar 1.1(a) diatas sebanyak

10 siswa atau 31,25%, sedangkan jawaban siswa seperti pada gambar 1.1(b)
sebanyak 8 siswa atau 25% dan sisanya tidak ada jawaban sama sekali sebanyak
9 siswa atau

sebesar 28,1%. dari jawaban siswa bahwa siswa mengalami

kesulitan dalam pembuatan model matematika dan menyelesaikan model
matematika tersebut. Jawaban yang seharusnya dibuat oleh siswa diawali dengan
memahami soal tersebut, arti mamahami soal tersebut adalah proses
mengidentifikasi hal-hal apa saja yang diketahui dalam soal, serta memahami apa
yang ditanyakan pada soal. Setelah proses mengidentifikasi barulah tahap
berikutnya yaitu pembuatan model matematika, seperti terlihat pada soal,

misalkan kelereng berwarna merah: x, dan kelereng berwarna biru : y, sehingga
didapat dua buah persamaan yaitu :
x + y = 12…… (1)
x – y = 4……...(2)
Setelah membuat model matematika maka siswa menyelesaikan soal
tersebut, sampai akhirnya mendapat hasil yang diharapkan. Namun dalam hal ini
jawaban siswa jauh dari yang diharapkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa
hasil belajar siswa rendah, rendahnya hasil belajar siswa disebabkan kemampuan
pemahaman siswa selama ini rendah. Sebagaimana yang dikemukakan
Abdurrahman (2003:38) bahwa :
“Yang menjadi faktor penyebab rendahnya atau kurangnya
pemahaman peserta didik terhadap konsep matematika, salah satu
diantaranya adalah metode pembelajaran yang digunakan oleh
pengajar. Misalnya, dalam pembelajaran yang berorientasi pada
pendekatan tradisional yang menempatkan peserta didik dalam
proses belajar mengajar sebagai pendengar”.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembelajaran matematika
yang diharapkan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, proses
pembelajaran di kelas yang melibatkan interaksi antara siswa dengan siswa, siswa
dengan guru, atau pun siswa dengan pembelajaran. Pemilihan model
pembelajaran dan media yang tepat akan sangat membantu proses pembelajaran
matematika di kelas.
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman sangatlah penting
bagi siswa untuk keterampilan menyelesaikan soal yang tidak rutin berupa soal
cerita matematika. Satu lagi kemampuan matematika lainnya yang juga sangat
penting adalah penalaran

matematika. Salah satu masalah yang ada dalam

pembelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan penalaran matematika.
Menurut Shadiq (2004: 2) penalaran merupakan suatu kegiatan, proses atau
aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru
yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah
dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Terdapat dua jenis penalaran yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif (Shurter dan Pierce dalam Dahlan,
2003; Shadiq, 2004; Copeland dalam Rochmad, 2008). Penalaran induktif terdiri
atas generalisasi dan analogi (Rusefendi, 2010). Penalaran deduktif terdiri atas
modus ponens dan modus tolens serta silogisma (Saragih, 2007). Dengan
memperhatikan beberapa pendapat tersebut maka kemampuan penalaran logis
dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan melakukan suatu proses

penarikan kesimpulan dengan cara berpikir induktif yaitu dengan generalisasi dan
analogi, serta cara berpikir deduktif yaitu dengan kondisional.
Penalaran merupakan salah satu kemampuan matematis yang sangat erat
kaitannya dengan matematika. Depdiknas (dalam Shadiq, 2004) menyebutkan
bahwa materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, yakni materi matematika dipahami melalui penalaran dan
penalaran matematika dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
Suryadi (dalam Saragih, 2007) menyatakan bahwa pembelajaran yang lebih
menekankan pada aktivitas penalaran sangat erat kaitannya dengan pencapaian
prestasi siswa yang tinggi. Priatna (2012) menjelaskan bahwa kemampuan
penalaran tidak hanya dibutuhkan siswa ketika belajar matematika dan mata
pelajaran lainnya, melainkan sangat dibutuhkan pula ketika orang memecahkan
masalah ataupun menentukan keputusan.
Hal

ini

menunjukkan

pentingnya

kemampuan

penalaran

dalam

pembelajaran matematika. Pola bernalar yang dikembangkan dalam matematika
tersebut memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis
dan kreatif. Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika
mereka belajar matematika maupun pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan
setiap manusia di saat memecahkan masalah. Oleh karena itu pembelajaran
matematika di sekolah harus dapat menyiapkan siswa untuk memiliki kemampuan
penalaran logis sebagai bekal untuk menghadapi tantangan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.

Sehubungan dengan pentingnya penalaran logis ini, beberapa fakta
mengindikasikan adanya masalah. Rendahnya prestasi belajar matematika
menurut Sumarmo (dalam Anggriamurti, 2007) disebabkan oleh rendahnya
kemampuan

penalaran

siswa.

Wahyudin

(dalam

Anggriamurti,

2007)

menyebutkan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa
gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu
karena siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal
atau persoalan matematika yang diberikan.
Riadi (2011) juga menjelaskan lemahnya penalaran siswa di SMA Negeri
2 Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang dimana siswa: (a) sulit menemukan
pola atau aturan yang melandasi pola tersebut sehingga hanya menghapal rumus
saja dan akan kewalahan bila menuliskan rumus yang telah dihapalnya dalam
bentuk lain, dan (b) sulit menarik kesimpulan dari dua pernyataan kondisional
atau silogisme. Selanjutnya Hasanah (2011: 5) menyatakan bahwa:
Pada kenyataannya kemampuan penalaran matematik siswa masih
rendah. Sebagai contoh observasi yang dilakukan terhadap siswa
SMP Negeri 2 Samadua kelas VIII. Diberikan soal berikut: Jika 2x
+ 3y = 7.000, tentukanlah nilai x dan y. Sebelumnya siswa telah
mempelajari sistem persamaan linier dua variabel, tapi semua siswa
tidak dapat menyelesaikannya. Alasan siswa: (a) soalnya cuma satu
tidak dapat diselesaikan, (b) jika variabelnya sama-sama x bisa
diselesaikan, (c) kalau variabelnya dua, cara menyelesaikannya
dengan metode substitusi dan eliminasi maka persamaannya harus
dua, (d) susah menyelesaikannya karena soalnya salah, dan (e)
tidak ada soal seperti itu dalam buku.
Untuk menguatkan adanya masalah tersebut, observasi awal terhadap
beberapa siswa kelas X SMA Negeri 1 Sei Bingai Kab Langkat. Kepada
siswa diberikan soal. Soal tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan

penalaran matematika siswa, dengan karakteristik soal yaitu meminta siswa
untuk mengubah soal cerita kedalam bentuk tabel dan menarik kesimpulan,
menyusun bukti, dan memberikan alasan terhadap kebenaran solusi. Soal
tersebut adalah “Keliling sebuah taman yang berbentuk persegi panjang sama
dengan 44 m, lebarnya 6 m lebih pendek dari panjangnya. Berapakah luas
taman tersebut?”
Adapun jawaban siswa adalah seperti pada gambar 1.2. berikut:

(a)

(b)

Gambar 1.2 Hasil Pekerjaan Siswa yang pada soal penalaran aspek
generalisasi

Dari hasil yang diperoleh, ternyata hanya 2 orang siswa yang menjawab
benar atau 6,25% sedangkan jawaban siswa seperti pada gambar 1.2(a) diatas
sebanyak 15 siswa atau 48,,875%, sedangkan jawaban siswa seperti pada gambar
1.1(b) sebanyak 5 siswa atau 15,62% dan sisanya tidak ada jawaban sama sekali
sebanyak 10 siswa atau

sebesar 31,25%. dari jawaban siswa bahwa siswa

mengalami kesulitan dalam pembuatan model matematika dan menyelesaikan
model matematika tersebut. Berdasarkan temuan pada observasi awal yang telah
diuraikan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan yaitu

siswa sidak bisa mengubah soal cerita matematika kedalam bahas matematika
yang berupa simbol-simbol, sehingga ini menyebabkan hasil belajar siswa rendah,
rendahnya hasil belajar siswa mempengaruhi rendahnya kemampuan pemahaman
dan

penalaran

matematika siswa. Pembelajaran matematika pada umumnya

masih didominasi oleh paradigma pembelajaran terpusat pada guru, yang sering
disebut sebagai pembelajaran langsung (direct teaching). Pada pembelajaran ini,
guru aktif melakukan transfer pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa
menerima pelajaran dengan pasif. Matematika diajarkan sebagai bentuk yang
sudah jadi, bukan sebagai proses. Akibatnya, ide-ide kreatif siswa tidak dapat
berkembang, pemahaman siswa rendah serta daya nalar siswa kurang terlatih dan
siswa tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam
menyelesaikan suatu masalah. Siswa hanya berusaha mengingat dan menghapal
rumus atau konsep matematika tanpa memahami maknanya.
Akan tetapi dalam perkembangan seperti saat ini, guru dituntut agar tugas
dan peranannya tidak lagi sebagai pemberi informasi, melainkan sebagai
pendorong belajar agar siswa dapat mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya
melalui berbagai aktivitas seperti pemahaman dan penalaran matematika. Pada
pembelajaran biasa, guru masih menggunakan metode mengajar yang bersifat
mekanisitik dan strukturalistik, yaitu guru menerangkan, memberi rumus dan
contoh, kemudian siswa diberi soal untuk dikerjakan, jarang memberikan masalah
yang tidak rutin, dan lebih menekankan pada drill. Guru-guru sering dihantui oleh
selesai atau tidaknya topik-topik yang harus diajarkan dengan waktu yang tersedia
(Syaban, 2009). Dengan begitu, guru lebih suka mengajar menggunakan metode

ceramah serta meninggalkan cara investigasi maupun pemecahan masalah.
Akibatnya banyak siswa yang masih mengalami kesulitan belajar matematika.
Senada dengan hal tersebut,
Zulkardi (Anggriamurti, 2007) menilai bahwa:
Pembelajaran yang berlangsung di sebagian besar sekolah selama
ini memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan. Hal
tersebut dikarenakan pembelajaran yang masih berpusat pada guru,
sedangkan siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan guru,
mencatat pelajaran tersebut, kemudian mengerjakan soal-soal rutin.
Selanjutnya Hasratuddin (2010: 3) menyebutkan:
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa salah satu faktor yang
mengakibatkan kurangnya kemampuan siswa dalam matematika
antara lain disebabkan cara mengajar yang dilakukan guru masih
menggunakan pembelajaran konvensional, lebih menekankan pada
latihan mengerjakan soal-soal rutin atau drill dan kurang
melibatkan aktivitas mental siswa.
Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, maka pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman dan penalaran matematika siswa agar sesuai dengan yang diharapkan.
Salah satu jawaban yang dapat dikemukakan adalah perlu adanya reformasi dalam
pembelajaran

matematika.

Reformasi

yang

dimaksud

adalah

terutama

menyangkut pemilihan pendekatan atau model pembelajaran yang dilakukan
dalam pembelajaran matematika. Pertanyaan selanjutnya adalah pembelajaran
yang bagaimanakah yang mampu menghadirkan adanya peningkatan kemampuan
pemahaman dan penalaran matematika ini?
Cobb (Suherman, 2001) menjelaskan bahwa belajar dipandang sebagai
proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah
yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan

matematika di kelas. Semenantara itu, Coney (Saragih, 2007) menyarankan
reformasi pembelajaran matematika dari pembelajaran meniru (menghapal) ke
pembelajaran pemahaman yang berlandaskan pada penekanan pada doing (proses)
dibandingkan dengan hasil. Perubahan pandangan pembelajaran ini dimaksudkan
agar pembelajaran lebih fokus pada proses pembelajaran yang mengaktifkan
siswa, berdasarkan paham konstruktivisme yang menghendaki adanya reformasi
pembelajaran yaitu dari pembelajaran berpusat pada guru ke pembelajaran
berpusat pada siswa maka dalam pembelajaran matematika di sekolah siswa
dituntut untuk aktif membangun pengetahuannya sendiri, dan adanya peningkatan
kemampuan pemahaman dan penalaran penalaran matematikanya melalui
interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
materi ajar (yaitu masalah sebagai pemicu dan media untuk belajar). Melalui
interaksi siswa dengan masalah tersebut diharapkan juga adanya peingkatan
kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa.
Ada banyak model pembelajaran yang dapat diterapkan sebagai upaya
untuk menghadirkan adanya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran
matematika. Salah satunya adalah pembelajaran melalui pendekatan pemecahan
masalah. Lalu mengapa memilih PPM? Jawaban pertanyaan ini sangat erat
kaitannya dengan karakteristik yang dimiliki oleh PPM. Pemecahan masalah
adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan
memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat
diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Pendekatan pemecahan masalah

digunakan dalam pembelajaran agar pemahaman siswa tentang pelajaran
matematika lebih mendalam.
Lebih lanjut, Utari (2002) menjelaskan bahwa pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika merupakan pendekatan dan tujuan yang harus dicapai.
Sebagai pendekatan, pemecahan masalah digunakan untuk menemukan dan
memahami materi atau konsep matematika. Sedangkan sebagai tujuan, diharapkan
agar siswa dapat mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta
kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari
dalam matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
dalam atau diluar matematika.
Polya (1985) menyebutkan empat langkah dalam penyelesaian masalah,
yaitu: memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, melakukan
perhitungan dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Pembelajaran
pendekatan pemecahan masalah merupakan salah satu pembelajaran yang
menuntut siswa benar-benar aktif dan bisa menumbuhkan sifat kemandirian.
Siswa dapat berinteraksi dengan bebas, seperti interaksi dengan teman, interaksi
dengan guru serta berinteraksi dengan pembelajaran yang diberikan. Pada
kegiatan belajar dengan menggunakan pembelajaran

pendekatan pemecahan

masalah siswa dilatih menghadapi berbagai masalah matematika untuk
dipecahkan. Pemecahan masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang
merangsang siswa untuk mau berfikir, menganalisa suatu permasalahan sehingga
dapat menentukan pemecahannya. Bila siswa dilatih menyelesaikan soal atau
masalah maka akan melatih daya analisis sehingga siswa mampu mengambil

keputusan. Penggunaan pembelajaran pendekatan pemecahan masalah juga
memperbaiki hasil belajar siswa terutama kemampuan pemahaman dan penalaran
matematik siswa.
Selain faktor pembelajaran, terdapat faktor lain yang diduga dapat
berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan kemampuan
penalaran matematika siswa. Adapun faktor lain

tersebut adalah faktor

kemampuan awal matematika (KAM). Kemampuan awal siswa diperoleh dari
hasil tes awal. Tes awal diberikan kepada siswa untuk mengetahui kemampuan
awal siswa sebelum siswa memasuki materi selanjutnya. Merurut Russefendi
(1991) setiapa siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, ada siswa yang
pandai, ada yang kurang pandai, serta ada yang biasa-biasa saja, serta kemampuan
yang dimiliki siswa bukan semata-mata dari lahir (hereditas), tetapi juga
dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lingkungan belajar
khususnya model pembelajaran menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan.
Kemampuan awal matematis siswa dalam penelitian ini dikategorikan kedalam
tiga kelompok yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Bagi siswa yang memiliki
kemampuan sedang atau rendah, apabila model pembelajaran yang digunakan
oleh guru menarik dan menyenangkan, sesuai dengan tingkat kognitif siswa
sangat dimungkinkan pemahaman dan daya nalar siswa akan lebih cepat ketika
pembelajaran barlangsung dan akhirnya dengan sendirinya dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman dan penalaran. Sebaliknya bagi siswa yang memiliki
kemampuan tinggi tidak begitu besar pengaruh model pembelajaran terhadap
kemampuan dalam matematika. Hal ini terjadi karena siswa kemampuan tinggi

lebih cepat memahami matematik, artinya tidak ada pengaruhnya bagi siswa.
Adapun tujuan pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan awal matematika
siswa adalah untuk melihat adakah pengaruh bersama antara pembelajaran yang
digunakan dan

kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan

kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa. Hal ini sejalan dengan
pendapat Tandiling (2011), bahwa kemampuan awal siswa untuk mempelajari
ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur
kognitif yang sudah ada. Dalam penelitian ini informasi mengenai kemampuan
awal matematika siswa digunakan dalam pembentukan kelompok ketika
melaksanakan pembelajaran dengan PPM.
Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematika

siswa SMA kelas X terhadap pelajaran matematika.

Pemahaman dalam penelitian ini adalah kesanggupan dan kecakan dalam
pemberian arti,memberi penjelasan dengan kata-kata sendiri yang dimengerti,
melakukan pengubahaan misalnya dalam bentuk tabel serta notasi matematika dan
meramalkan kecendrungan data menurut fakta. Meletakkan hal-hal tersebut dalam
hubungannya antara satu dengan yang lain secara benar pada situasinya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan
mengadakan suatu penelitian tentang pembelajaran matematika di SMA.
Pembelajaran yang akan dilakukan penulis adalah pembelajaran yang memberikan
suatu alternative, pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan pemecahan
masalah yang diharapkan adanya peningkatan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematika siswa.

B. Identifikasi Masalah
Melihat dari latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah
masalah yang muncul yaitu:
1. Hasil belajar siswa rendah
2. Kemampuan awal siswa rendah.
3. Penggunaan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat
4 Pembelajaran yang digunakan guru masih berorientasi pada pembelajaran biasa.
5. Kemampuan pemahaman matematika siswa rendah.
6. Kemampuan penalaran matematika siswa rendah.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah, maka agar lebih fokus mencapai
tujuan, penulis membatasi masalah pada peningkatan kemampuan pemahaman
dan kemampuan penalaran matematika siswa melalui pendekatan pemecahan
masalah.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan
masalah yang penulis kaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan

peningkatan kemampuan pemahaman

matematika siswa melalui pembelajaran pendekatan pemecahan masalah
dengan siswa yang diberi pembelajaran biasa ditinjau dari keseluruhan
siswa dan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah)?
2. Apakah

terdapat

perbedaan

peningkatan

kemampuan

penalaran

matematika siswa melalui pembelajaran pendekatan pemecahan masalah
dengan siswa yang diberi pembelajaran biasa dari keseluruhan siswa dan
kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah?
3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal
siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa?
4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal
siswa terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematika siswa?
5. Bagaimanakah proses penyelesaian jawaban siswa yang pembelajarannya
melalui

pendekatan pemecahan masalah dengan siswa yang diberi

pembelajaran biasa?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikembangkan, tujunan penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman
matematika siswa melalui pembelajaran pendekatan pemecahan masalah
dengan siswa yang diberi pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan
siswa maupun berdasarkan kemampuan awal matematika siswa.
2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran
matematika siswa melalui pembelajarn pendekatan pemecahan masalah
dengan siswa yang diberi pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan
siswa maupun berdasarkan kemampuan awal matematika siswa.
3. Untuk mengetahui bahwa ada interaksi antara pembelajaran dengan
kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman
matematika siswa.
4. Untuk mengetahui bahwa ada interaksi antara pembelajaran dengan
kemampuan awal terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematika
siswa.
5. Untuk mengetahui proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan
masalah pada pembelajaran pendekatan pemecahan masalah dan
pembelajaran biasa.

F. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat dilaksanakannya penelitian ini, yaitu:
1. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi guru untuk
mengembangkan

pendekatan

pembelajaran

matematika

yang

dapat

membantu siswa meningkatkan kemampuan penalaran khususnya dalam
bidang matematika.
2. Untuk siswa, penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa variasi
pembelajaran matematika yang baru yang dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengoptimalkan pemahaman dan potensi penalarannya
dalam menyelesaikan masalah matematika.
3. Sedangkan

bagi

sekolah,

berguna

untuk

memperoleh

alternatif

penanggulangan masalah sebagai upaya dalam perbaikan mutu kegiatan
belajar mengajar matematika khususnya dalam usaha meningkatkan
kemampuan penalaran matematika siswa.
G. Defenisi Oprasional
Berikut ini adalah beberapa istilah yang perlu didefinisikan secara
operasional dengan tujuan agar tidak terjadi salah paham terhadap beberapa istilah
yang digunakan di dalam penelitian dan penelitian menjadi lebih terarah.
Beberapa istilah yang digunakan. dalam penelitian ini adalah :
1. Kemampuan pemahaman matematik adalah kemampuan yang memuat tiga
jenis perilaku kognitif yaitu interpretasi (kemampuan mengartikan), translasi
(kemampuan mengubah), dan ekstrapolasi (kemampuan memperkirakan)
(Bloom dalam Ruseffendi, 1988:221).

2. Kemampuan penalaran matematika adalah kemampuan memproses pencapaian
kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan (Shurter dan
Pierce, 1966:99), pentransformasian yang diberikan dalam urutan tertentu
(bersifat induktif dan deduktif) untuk menjangkau kesimpulan yang benar.
3. Pendekatan pemecahan masalah matematika pada penelitian ini adalah suatu
pembelajaran matematika yang menekankan pada 4 tahapan penting dalam
menyelesaikan masalah. 4 tahapan itu diantaranya (1) memahami masalah (2)
merencanakan pemecahan masalah (3) menyelesaikan masalah (4) memeriksa
kembali hasil yang diperoleh.
4. Pembelajaran biasa adalah suatu pembelajaran yang melibatkan komponenkomponen: demontrasi oleh guru, menjelaskan materi dan konsep matematika,
memberikan contoh-contoh penyelesaian masalah, bertanya bila tidak
mengerti, dan memberikan soal-soal sebagai latihan untuk dikerjakan di kelas
ataupun di rumah.
5. Kemampuan awal matematika adalah Kemampuan awal matematis siswa
merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa agar dapat mengikuti pelajaran
dengan lancar. Dalam hal ini mengacu kepada hasil tes kemampuan awal

200

BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasa yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa
melalui

pendekatan pemecahan masalah (PPM) dengan siswa yang diberi

pembelajaran biasa berdasarkan faktor pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).
2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematika siswa
melalui pendekatan pemecahan masalah (PPM) dengan siswa yang diberi
pembelajaran biasa berdasarkan faktor pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).
3. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal
matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematika.
4. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal
matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematika.
5. Proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah pada
pembelajaran pendekatan masalah dan pembelajaran biasa dilihat dari aspek
kemampuan pemahaman dan kemampuan penalaran matematika siswa pada
pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah lebih baik dari kelas
dengan pembelajaran biasa. dibandingkan. Penyebabnya karena kelas kontrol
tidak biasa

201

menyelesaikan soal cerita matematika serta ketika kegiatan pembelajaran, guru
masih mendominasi didalam kelas ini menyebabkan siswanya pasif dan guru
yang aktif.

B. Implikasi
Fokus utama dalam penelitian ini adalah upaya peningkatan kemampuan
pemahaman dan kemampuan penalaran matematika siswa melalui pendekatan
pemecahan

masalah.

Hasil

penelitian

menunjukan

bahwa

pembelajaran

matematika yang dilakukan peneliti secara signifikan dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa sekolah menengah atas.
Berkaitan dengan kondisi pendidikan kita saat ini, hasil penelitian ini
sangat sesuai untuk digunakan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan
kualitas pendidikan matematika. Oleh karena itu kepada guru matematika di
sekolah menengah atas diharapkan memiliki pengetahuan teoritis maupun
ketrampilan menggunakan pendekatan penecahan masalah dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran dengan pendekatan pemecahan ini belum banyak
dipahami oleh sebagian besar guru matematika terutama para guru senior, serta
kepada para pengambil kebijakan dapat mengadakan pelatihan maupun
pendidikan kepada para guru matematika yang belum memahami peembelajaran
dengan pendekatan pemecahan masalah.
Penerapan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah yang
terjadi di kelas berlangsung antar lain melalui sajian LAS berupa masalah dalam
dunia nyata yang menarik dan menantang, memaksimalkan kontribusi siswa,dan
belajar secara kooperatif, intervensi guru, dan interaksi antar komunitas kelas

202

yang multi arah melalui diskusi kelas. Aktivitas tersebut mampu menciptakan
proses pembelajaran yang kondusif. Intervensi guru dengan teknik Scaffolding
serta interaksi antar siswa dalam upaya membantu kelompok siswa secara tidak
langsung dengan menggunakan teknik bartanya yang efektif atau memberikan
petunjuk seperlunya mampu memaksimalkan perkembangan aktual dan
perkembangan potensial anak. dan keterkaitan dengan bidang atau pengetahuan
lain. Beberapa implikasi yang perlu diperhatikan bagi guru sebagai akibat dari
pelaksanaan proses pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah antara
lain :
1.

Guru harus mampu membangun pola pikir siswa agar mampu meningkatkan
kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa.

2.

Peran guru sebagai teman belajar, mediator, dan fasilitator membawa
konsekuensi keterdekatan hubungan guru dan siswa. Hal ini berakibat guru
lebih memahami kelemahan dan kekuatan dari bahan ajar serta karakteristik
kemampuan individu siswa.

3.

Pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah tidak terdapat
peningkatan secara bersama-sama yang disumbangkan terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman matematika dan penalaran matematika siswa tetapi
untuk kemampuan pemahaman hanya kemampuan kelompok sedang dan
rendah saja yang mendapat keuntungan lebih besar. Berbeda dengan
kemampuan penalaran matematika siswa, semua kelompok kemampuan
siswa mendapat keuntungan lebih besar.

203

C. Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, maka berikut beberapa
saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan
terhadap penggunaan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah
(PPM) dalam proses pembelajaran matematika. Saran-saran tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Bagi para guru matematika
a) Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, pembelajaran dengan
pendekatan pemecahan masalah mampu meningkatkan kemampuan
pemahaman matematika dan penalaran matematika siswa. kepada guru
disarankan bahwa pendekatan pemecahan masalah merupakan solusi dan
alternatif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran
matematika siswa.
b) Agar pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah
(PPM)

dapat

lebih

berhasil

dengan

baik

di

kelas,

sebaiknya

mempersiapkan dengan matang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
sesuai dengan waktu yang diperlukan serta pada lembar aktivitas siswa
(LAS) ditulis tahapan yang harus dikerjakan oleh siswa agar siswa tidak
kebingungan, untuk jawaban siswa sebaiknya peneliti selalu menganalisis
jawaban siswa setiap kali mereka mengerjakan LAS, sehingga peneliti
dapat melihat siswa yang masih mengalami kesulitan dalam mengerjakan
LAS. Alokasi waktu juga diperhitungkan lagi, karena pembelajaran
dengan pendekatan pemecahan masalah memerlukan waktu yang lebih
banyak.

204

c) Dalam

pelaksanaan

pembelajaran

dengan

pembelajaran

dengan

pendekatan pemecahan masalah (PPM) di kelas guru harus mampu
membuat siswa saling bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang
diberikan. Guru matematika juga diharapkan bisa menciptakan kondisi
yang harmonis sehingga siswa mampu mengungkapkan argumen dengan
bahasa mereka sendiri serta lebih berani tampil percaya diri dalam
mempresentasikan gagasan mereka.
2) Bagi peneliti selanjutnya.
a) Dapat melakukan penelitian kedepannya mengenai bagaimana pengaruh
pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah (PPM) terhadap
kemampuan

matematis

lainnya,

seperti

kemampuan

komunikasi,

repersentasi, disposisi, berpikir kritis, dan kreatif.
b) Rancanglah perangkat pembelajaran dengan efektif, sesuaikan dengan
indikator kemampuan dan alokasi waktu yang harus dicapai.
3) Bagi lembaga terkait
a) Agar mensosialisasikan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan
masalah diterapkan dalam proses pembelajaran sehingga meningkatnya
kemampuan matematika yang dimiliki oleh siswa, khususnya kemampuan
pemahaman dan penalaran matematika siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka
Cipta. Jakarta.
Arikunto, Suharsimi (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi Revisi).
Bumi Aksara: Jakarta.
.............................. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Rineka Cipta: Jakarta.
Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-Teori Belajar. Erlangga: Jakarta.
Driver, R dan Leach, J. (1993). A Constructivist of Learning: Children’s
Conceptions and Nature of science. What Research Says to The
Science Teacher. 7, 103-112. Washington: National Science
Teachers Association.
Dwirahayu,G.(2005).Pengaruh
Pembelajaran
Matematika
Dengan
Menggunakan Pendekatan Analogi Terhadap Peningkatan
Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Tesis pada PPS UPI: Tidak Diterbitkan.
Fatoni.(2009).

Penelitian
Kualitatif
Tersedia
:http://fatonipgsd071644221.wordpress.com/2009/12/20/
penelitian- kualitatif/. Diakses 3 Februari 2013.

Hamalik, Oemar. (2007). Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta.
Hasratuddin.

(2010). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kecendrungan Emosional Siswa SMP melalui Pendekatan
Matematik Realistik. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.

Hasanah, Aan. (2004). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada
Representasi Matematik. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Herdian. (2010). Kemampuan Komunikasi Matematika. Tersedia:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuankomunikasi-matematis/. Diakses 8 November 2012.
.........................(2010). Kemampuan Pemahaman Matematika. Tersedia:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuanpemahaman-matematis/. Diakses 6 November 2012.

Hudojo, H. (1990). Strategi Belajar Mengajar . Malang: IKIP Malang.
...................(1998). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depertemen
Pendidikan
dan Kebudayaan.
Kamal, Marconi. (2011). Penelitian Kuantitatif dan Penelitian Kualitatif.
Tersedia:
http://marcopangngewa.blogspot.com/2011/12/penelitian-kuantatifdan-penelitian.html. Diakses 3 maret 2013.
Krulik, S.& Jesse A.R. (1996) Teaching Reasoning and Problem Solving in
Junior and Senior High School. Masschusetts : Allyn and Bacon
Publisher.
Marzuki, Ahmad. (2006). Implementasi Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif
Learning) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa (Eksperimen pada MAN
Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon). Tesis Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Masykur, M., dan Fathani, A.H. 2007. Mathematical Intelligence, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
NCTM. (1989). Curriculum and Standads for School Mathematics. Reaston, VA:
NCTM
............. (2000). Principles and Standarts for School Mathematics. Reaston, VA:
NCTM.
Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa
Kelas 3 SLTP Negeri di Kota Bandung. Disertasi. Bandung: UPI.
Purba, Edward., Nasrun., Simanjuntak, M., Lubis, M. Rajab., Yusnadi dan
Rosdiana. (2004). Balajar dan Pembelajaran. Universitas Negeri
Medan. Medan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa
Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon
Guru. Diktat: Bandung.
............................ (1998). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya
dalam
Pengajaran
Matematika
untuk
Meningkatkan CBSA. Tarsito: Bandung.

Safari, (2004). Teknik analisis butir soal instrument tes dan non tes dengan
manual dan kalkulator.
Saragih, Sahat. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan
Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui
Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Shadiq, Fajar. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Diklat
Pengembangan Matematika SMP Jenjang Dasar. PPPG
Matematika Yogyakarta 10-23 Oktober 2004.
Sanjaya,W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
................... (2010). Strategi Pembelajaran. Kencana: Jakarta.
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka
Cipta: Jakarta.
Slavin, R.E.(1997) Educational Psychology Theori and Practece. Fourth Edition
Masschusetts: Allyn and Bacon Publisher
Soedjadi, R. (2000). Kiat pendidikan matematika Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti.
Depdikbud.
Sudjana. (1992). Metode Statistika. Tarsito: Bandung.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suherman, Erman. Dkk.(2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA-UPI
Sumarmo, U. (2003). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Disajikan pada
Pelatihan Matematika di STKIP Siliwangi Ciamis. Bandung: Tidak
Dipublikasikan.
................. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada
Siswa Sekolah Menengah. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wpcontent/uploads/2010/02/MKLH-KETBACA-MAT-NOV-06new.pdf. Diakses 2 Februari 2010.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Guru
Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung: Tidak dipublikasikan.

Wahyuningsih, Eis Sri. (2012). Perbedaan Peningkatan Kemampuan Penalaran
dan Representasi Matematis Siswa Sekolah Dasar dengan
Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC. Tesis Program
Pascasarjana Universitas Negeri Medan: Tidak dipublikasikan.

Dokumen yang terkait

Meningkatkan kemampuan penalaran matematika melalui pendekatan pemecahan masalah

17 147 98

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMA.

0 1 52

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMP NEGERI 1 SIPIROK MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK.

0 2 45

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN PENALARAN LOGIS SISWA MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) DI SMP NEGERI 3 PEMATANG SIANTAR.

0 3 44

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN Peningkatan Pemahaman Konsep Dan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan Scientific Learning (PTK Bagi Siswa Kelas VIIG Semester Gasal SMP Negeri 1 Tawangharjo Tahun

2 8 18

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN Peningkatan Pemahaman Konsep Dan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan Scientific Learning (PTK Bagi Siswa Kelas VIIG Semester Gasal SMP Negeri 1 Tawangharjo Tahun

0 2 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN LOGIS DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMA LAKSAMANA MARTADINATA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL.

0 3 71

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK.

0 2 40

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PEMECAHAN MASALAH, DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK.

3 26 59

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PEMECAHAN MASALAH, DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK.

5 12 69