Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being Pada Guru Swasta SMA "X" di Bandar Lampung.

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat Psychological Well-Being pada Guru Swasta SMA ”X” di Bandar Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan kuesioner. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel 33 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari Skala Psychological Well-Being yang dikembangkan oleh Ryff (1989) dan terdiri dari 84 item. Setelah dilakukan validasi menggunakan SPSS versi 12.00, maka item yang digunakan sebanyak 70 dengan nilai validitas berkisar antara 0,331-0,801 dan nilai reliabilitas sebesar 0,995.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil bahwa guru swasta SMA ”X” memiliki derajat Psychological Well-Being (PWB) yang tersebar hampir merata, yaitu 51,5% memiliki derajat PWB tinggi dan 48,5% memiliki derajat PWB rendah. Guru yang memiliki derajat PWB tinggi, pada umumnya memiliki derajat tinggi untuk 3-6 dimensi. Sedangkan guru yang memiliki PWB rendah, pada umunya memiliki derajat rendah untuk 2-6 dimensi. Selain itu, dimensi yang ada dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status marital, lama bekerja dan tipe kepribadian menurut Big Five.

Peneliti mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian mengenai derajat Psychological Well-Being pada guru SD ataupun SMP dan dapat juga meneliti pada guru negeri. Selain itu, untuk guru SMA ”X” dapat meningkatkan derajat untuk tiap dimensinya dengan cara mengikuti seminar pengembangan kompetensi, pelatihan seperti leadership dan juga mengikuti retret mengenai pengenalan diri untuk meningkatkan derajat PWB-nya. Untuk kepala sekolah dapat memberikan waktu dan kesempatan bagi para guru untuk mengikuti kegiatan yang diperlukan diatas.


(2)

viii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Lembar Pengesahan Pembimbing... ii

Abstrak... iii

Prakata... iv

Daftar isi... viii

Daftar Tabel... xi

Daftar Gambar... xii

Daftar Bagan... xiii

Daftar Lampiran... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Maksud Penelitian... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

1.4.1 Kegunaan Ilmiah... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis... 9

1.5 Kerangka Pikiran... 10


(3)

ix Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 20

2.1 Psychological Well-Being... 20

2.1.1 Sejarah Psychological Well-Being... 20

2.1.2 Definisi Psychological Well-Being... 24

2.1.3 Latar Belakang Dimensi Psychological Well-Being... 24

2.1.4 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being... 28

2.1.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being 31 2.2 Tahap Perkembangan Masa Dewasa... 35

2.2.1 Tahap Perkembangan Masa Dewasa Awal... 35

2.2.1.1 Perkembangan Fisik……….. 36

2.2.1.2 Perkembangan Kognitif……… 37

2.2.1.3 Perkembangan Sosio-Emosional……….. 38

2.2.2 Tahap Perkembangan Masa Dewasa Madya... 39

2.2.2.1 Perkembangan Fisik……….. 39

2.2.2.2 Perkembangan Kognitif……… 40

2.2.2.3 Perkembangan Sosio-Emosional……….. 42

2.3 Guru... 43

2.3.1 Definisi Guru... 43

2.3.2 Tugas dan Fungsi Guru Sekolah ”X”... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 45

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... 45

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 45


(4)

x Universitas Kristen Maranatha

3.3.1 Variabel Penelitian... 46

3.3.2 Definisi Operasional... 46

3.4 Alat Ukur... 47

3.4.1 Spesifikasi Alat Ukur PWB... 47

3.4.2 Data Penunjang... 51

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 51

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel... 52

3.5.1 Populasi Sasaran... 52

3.5.2 Karakteristik Sampel... 52

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel... 53

3.6 Teknik Analisis Data... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54

4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 54

4.2 Hasil Penelitian... 58

4.3 Pembahasan... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 71

5.1 Kesimpulan... 71

5.2 Saran... 73

5.2.1 Saran Teoritis... 73

5.2.2 Saran Praktis... 73

DAFTAR PUSTAKA... 75


(5)

xi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

3.1 Distribusi Indikator dan Item Dimensi Psychological

Well-Being... 48

3.2 Skor Item Positif dan Negatif... 50

3.3 Pengkategorian Psychological Well-Being dan Dimensinya…..…..………50

3.4 Kriteria Validitas... 51

3.5 Kriteria Reliabilitas... 52

4.1 Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin... 54

4.2 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia... 54

4.3 Gambaran subjek penelitian berdasarkan status marital... 55

4.4 Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan terakhir... 55

4.5 Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama bekerja... 55

4.6 Gambaran subjek penelitian berdasarkan kepemilikan sertifikasi sebagai guru... 56

4.7 Gambaran subjek penelitian berdasarkan penghasilan yang diperoleh tiap bulan... 56

4.8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan penghayatan terhadap penghasilannya... 57

4.9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan tipe kepribadian Bigfive... 57

4.10 Psychological Well-Being pada guru swasta SMA “X”... 58

4.11 Tabulasi silang antara PWB dan dimensi self acceptance... 58

4.12 Tabulasi silang antara PWB dan dimensi positive relation with others... 59

4.13 Tabulasi silang antara PWB dan dimensi personal growth... 59

4.14 Tabulasi silang antara PWB dan dimensi purpose in life……… 60

4.15 Tabulasi silang antara PWB dan dimensi environmental mastery……….. 60


(6)

xii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

2.1 Dimensi Utama dari Psychological Well-Being dan Dasar Teoritisnya...23


(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

1.1 Kerangka Pikir... 18 3.1 Rancangan Penelitian... 45


(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Undang-Undang No. 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Lampiran 2 Data Pribadi

Lampiran 3 Kuesioner Big Five Personality

Lampiran 4 Alat Ukur Psychological Well-Being sebelum Validasi Lampiran 5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 6 Alat Ukur Psychological Well-Being setelah Validasi Lampiran 7 Identitas Responden

Lampiran 8 Skor Mentah Responden

Lampiran 9 Skor Tiap Dimensi sebelum Dibobot Lampiran 10 Skor Tiap Dimensi setelah Dibobot Lampiran 11 Distribusi Frekuensi Data Utama

Lampiran 12 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan self acceptance

Lampiran 13 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan positive relation withothers

Lampiran 14 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan purpose in life Lampiran 15 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan personal growth Lampiran 16 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan environmental mastery Lampiran 17 Crosstab Faktor yang Mempengaruhi dengan autonomy


(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Pendidikan selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat dikembangkan secara optimal. Namun pada kenyataannya, pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting, sehingga dapat dirasakan bahwa kondisi pendidikan Indonesia saat ini jauh tertinggal dengan negara lain (Nurkolis dalam kompas, 2007). Selain peran pemerintah dan masyarakat, perkembangan dunia pendidikan juga tidak terlepas dari peran para pendidik yaitu guru.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah (UU Guru dan Dosen, no.14 tahun 2005). Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena selain tugas-tugas di atas, ada pula peran dan tuntutan yang harus dihadapi seorang guru. Beberapa di antaranya adalah menjadi pengganti orangtua siswa di sekolah dan menjadi teladan bagi para siswanya. Selain itu, guru juga dituntut untuk memberikan pengajaran yang terbaik bagi peserta didiknya. Sedangkan pandangan dari masyarakat, pekerjaan sebagai guru dipandang sebagai pekerjaan


(10)

Universitas Kristen Maranatha 2

yang kurang memiliki jaminan kesejahteraan sehingga sebagian dari kalangan pendidik harus hidup secara pas-pasan. Terutama guru yang berstatus guru swasta (Sultan, 2007).

Kondisi kesejahteraan guru di Indonesia memang masih memprihatinkan. Masalah penghasilan merupakan masalah umum yang dihadapi oleh hampir semua guru di Indonesia. Minimnya penghasilan yang diperoleh, memaksa guru untuk mencari profesi lain sebagai tambahan penghasilan. Hal ini juga diakui oleh Ketua PGRI Mohamad Surya (2002), bahwa imbalan jasa yang diterima oleh guru baik yang bersifat materi maupun nonmateri masih jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru, meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek materi dan simbol-simbol lahiriah. Cepatnya perubahan kurikulum pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah juga mendatangkan masalah baru di kalangan pendidik, karena para guru harus menyesuaikan diri dan mengubah cara mengajar mereka sesuai dengan sistem baru yang ditetapkan. Berbagai masalah yang dihadapi oleh para guru, memunculkan pertanyaan bagaimana guru dapat berfungsi secara optimal dalam melakukan tugasnya apabila sedang menghadapi masalah. Penilaian guru mengenai pengalaman termasuk masalah yang dihadapi menurut Ryff (1995) disebut sebagai Psychological Well-Being, yaitu evaluasi/ penilaian atas pengalaman dan kualitas hidupnya yang dilihat dari 6 dimensi yaitu self-acceptance, positive relations with others, personal growth, purpose in life, environmental mastery dan autonomy.

Lebih dari itu, yang lebih memprihatinkan adalah kesejahteraan guru-guru swasta di Indonesia. Besarnya gaji yang diterima dari yayasan masih jauh dari


(11)

Universitas Kristen Maranatha 3

layak, sedangkan untuk mendapatkan insentif atau tunjangan fungsional dari pemerintah pusat dan daerah masih terbentur dengan ketentuan mengajar 24 jam per minggu. Guru swasta masih ”dianaktirikan” jika dibandingkan dengan guru negeri. Padahal, para guru swasta memiliki kewajiban yang sama untuk mengabdi pada Negara (Maruli Taufik dalam kompas, 2008). Hal serupa juga diungkapkan oleh 11 orang guru yang diwawancarai di SMA “X” yang merupakan sekolah swasta, seorang guru mengatakan bahwa gaji yang diterima guru swasta sudah jauh tertinggal dengan guru negeri, kesenjangan yang ada membuatnya merasa kuatir tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan jauh dari rasa kepuasan sebagai guru. Sedangkan 2 orang guru lainnya mengatakan, bahwa penghasilan yang dirasakan masih kurang dan terkadang mengganggu konsentrasinya dalam mengajar. Sebanyak 2 orang mengatakan tidak memiliki masalah dengan penghasilan yang diperoleh, penghasilan yang diperoleh dapat mencukupi kebutuhannya dan bekerja sebagai guru dihayati sebagai panggilan untuk mendidik dan dapat dimanfaatkan untuk terus belajar. Sebanyak 3 orang mengatakan tidak memikirkan masalah penghasilan karena bekerja sebagai guru dianggap sebagai suatu jalan yang memang harus dilalui. Sedangkan 3 orang lainnya merasa bahwa penghasilan yang diperoleh memang jauh dari cukup, namun mereka mencoba untuk mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Selain masalah penghasilan, ternyata hubungan relasi yang terbentuk di lingkungan sekolah akan mempengaruhi kualitas para guru dalam menjalankan tugasnya, terutama jika relasi yang terbentuk tidak nyaman dan tidak kondusif.


(12)

Universitas Kristen Maranatha 4

Oleh karena itu, dalam berelasi diperlukan kepercayaan, kerjasama dan kepedulian akan kesejahteraan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari relasi antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan siswa maupun antara satu guru dengan guru lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan 11 orang guru di atas mengenai relasinya dengan kepala sekolah, sebanyak 4 orang mengatakan bahwa kepala sekolah seharusnya tidak memiliki banyak peran sehingga bisa selalu ada di sekolah untuk memperhatikan keadaan para guru dan mengetahui apa yang dialami para gurunya. Sebanyak 3 orang mengatakan, kepala sekolah tidak dapat bersikap tegas dan karena mudah dipengaruhi oleh figur guru yang lebih dominan, sehingga terkesan tidak adil terhadap guru lain. Oleh karenanya, mereka merasa tersisihkan dan kurang dapat berperan di sekolah tersebut. Sedangkan 4 orang lainnya mengatakan kepala sekolah adalah orang yang baik, dapat mengayomi serta bersifat keibuan dan pengertian. Perhatian dari kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi sekolah memang sangat dibutuhkan, karena perannya sangat berpengaruh terhadap para guru.

Sedangkan dari hasil wawancara terhadap 11 orang guru di atas mengenai hubungannya dengan para siswa, sebanyak 6 orang mengatakan bahwa para siswa memiliki ketergantungan terhadap guru dalam hal belajar; seperti tidak mencari bahan pelajaran jika tidak diberikan dan prestasi siswa juga dirasakan masih belum maksimal. Selain itu, perilaku yang ditampilkan para siswa dirasakan semakin tidak sopan dan tidak menghargai guru sebagai pendidik, sehingga membuat guru merasa kesulitan dalam melakukan proses belajar mengajar serta mendidik para siswanya. Sedangkan 5 orang lainnya mengatakan memiliki


(13)

Universitas Kristen Maranatha 5

hubungan yang cukup baik dengan siswa, mereka cukup mengerti keadaan para siswanya dan hubungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk saling bercerita dan berbagi pengetahuan.

Mengenai relasi antara satu guru dengan guru lainnya, berdasarkan hasil wawancara terhadap 11 guru di atas, sebanyak 3 orang mengatakan kurang memiliki relasi dengan guru lain dan hanya akan menjalin relasi dengan guru yang dianggap dapat diajak bekerja sama, sebanyak 2 orang mengatakan tidak ingin menjalin relasi yang mendalam karena adanya sikap guru lain yang dianggap suka mencari-cari kesalahan orang lain dan menjatuhkan serta menguasai keadaan. Sedangkan 6 orang lainnya mengatakan memiliki relasi yang baik dengan sesama rekan guru, karena adanya sikap saling memperhatikan, keterbukaan dan saling membantu.

Di sisi lain, terdapat kuesioner yang diberikan kepada 16 siswa SMA ”X” mengenai pendapat para siswa terhadap guru mereka dalam hal relasi. Sebanyak 5 siswa mengatakan bahwa guru mereka tidak dapat menjadi sahabat, dirasakan tidak mau bertegur sapa dan menjadi seperti musuh. Sedangkan 12 siswa lainnya mengatakan guru mereka sudah baik dan bertindak seperti teman, akrab, saling memberi masukan, serta dapat bertanya mengenai hal yang tidak dimengerti dan tidak merasa ”canggung” dalam berkomunikasi. Kualitas relasi yang dimiliki guru merupakan salah satu dimensi dari psychological well-being yaitu positive relation with others.

Relasi yang terbentuk di atas secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi yang ada di sekolah. Komunikasi antar guru


(14)

Universitas Kristen Maranatha 6

sangat dibutuhkan, baik untuk saling berbagi informasi mengenai keadaan para siswa di kelas, maupun usaha saling memberi dan saling berbagi pengetahuan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai guru dituntut untuk selalu memperkaya dan memperbaharui diri dengan mengembangkan kemampuan serta mencari tahu perkembangan yang sedang terjadi terutama yang berkaitan dengan bidang pendidikan. Usaha mengembangkan kemampuan memang dapat dilakukan dengan cara lain selain dengan saling berbagi pengetahuan antar guru, yaitu dengan mengikuti seminar atau training. Namun yang sangat menentukan adalah keinginan para guru untuk mengikutinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan 11 guru di atas, sebanyak 3 orang mengatakan tidak memiliki waktu dan kurang dapat mengatur waktu sehingga tidak dapat membaca ataupun mencari tahu perkembangan yang sedang terjadi karena kesibukan bimbingan belajar yang diadakan di sekolah dirasakan sangat menyita waktu. Satu orang mengatakan kurang memiliki minat untuk membaca. Sedangkan 7 orang lainnya mengatakan memiliki hobi untuk membaca, suka mengikuti seminar dan training walaupun tidak diwajibkan dari sekolah, selain itu ada yang mencari informasi melalui internet ataupun belajar secara autodidak untuk mengembangkan dirinya. Jika seorang guru kurang memiliki keinginan untuk mengembangkan diri, maka kemampuan yang dimilikinya akan sulit berkembang dan pengetahuan yang diberikan kepada anak didiknya juga akan terbatas. Sebaliknya, semakin tinggi keinginan untuk mengembangkan diri, maka pengetahuan yang dimiliki akan semakin bertambah dan semakin banyak juga informasi yang dapat diberikan kepada para siswanya. Keinginan untuk mengembangkan diri pada guru


(15)

Universitas Kristen Maranatha 7

menunjukkan personal growth yang juga merupakan dimensi dari psychological well-being.

Sebelum memutuskan apakah ia harus mengembangkan kemampuan yang dimiliki atau tidak serta dengan cara seperti apa, seorang guru terlebih dahulu harus mengetahui dan mengenali kompetensi, kebutuhan serta kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu untuk menjadi seorang guru diperlukan banyak pertimbangan dan pemikiran, diantaranya adalah apakah kekurangan dan kelebihan yang dimiliki untuk menjadi guru. Dari hasil wawancara juga terungkap, 2 orang guru merasa tidak yakin ketika harus mengajar di depan kelas, karena tidak mengetahui harus menggunakan metode apa yang cocok bagi dirinya untuk mengajar agar dapat dipahami oleh siswanya. Satu orang lainnya merasa pesimis dalam menjalani tugas sebagai guru karena merasa tidak mempunyai kelebihan apa-apa dan merasa tidak dapat memajukan sekolah. Tetapi 8 orang guru lainnya mengetahui kelebihannya dalam mengajar seperti disiplin, serta dapat mengajar dengan kekhasan caranya sendiri dan juga kekurangannya seperti malas mempersiapkan terlebih dahulu bahan yang akan diajarkan dan mengikuti cara mengajar guru lain.

Selain itu, terdapat pula kuesioner yang diberikan kepada 16 siswa SMA ”X” mengenai kemampuan gurunya dalam mengajar. Sebanyak 4 siswa mengatakan bahwa kemampuan dan cara mengajar guru mereka sulit dimengerti, terlalu menuntut siswa, tidak jelas dalam menyampaikan materi sehingga membingungkan dan membosankan. Sebanyak 12 siswa lainya mengatakan bahwa kemampuan dan cara mengajar guru mereka sudah baik, menarik, mudah


(16)

Universitas Kristen Maranatha 8

dipahami, komunikatif, menyenangkan dan memiliki variasi sesuai caranya sendiri. Kemampuan para guru untuk menyadari kemampuan serta kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya disebut sebagai self-acceptance yang merupakan salah satu dimensi dan akan menentukan psychological well-being seorang guru.

Berdasarkan paparan di atas, ternyata tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh para guru swasta di SMA ”X”. Bagaimana penilaian seorang guru mengenai pengalaman yang dialami akan mempengaruhi kepuasan, kenyamanan dan kesejahteraan diri yang juga akan menentukan psychological well being-nya. Diharapkan jika seorang guru telah merasa puas, nyaman dan sejahtera, ia dapat berfungsi secara optimal untuk menjalankan pekerjaannya dan pada akhirnya membawa dampak yang positif terutama bagi anak. Oleh karena itu, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana derajat psychological well being pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana derajat Psychological Well-Being pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitan

Untuk memperoleh gambaran mengenai derajat Psychological Well-Being pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung yang dilihat dari 6 dimensi yang membentuknya.


(17)

Universitas Kristen Maranatha 9

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui derajat Psychological Well-Being pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung yang dilihat dari 6 dimensi yang membentuknya, serta kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah

• Sebagai informasi tambahan bagi ilmu Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Sosial mengenai derajat Psychological Well-Being pada guru swasta jenjang SMA.

• Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya, khususnya yang tertarik untuk meneliti derajat Psychological Well-Being pada guru swasta jenjang SMA.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi pada guru SMA “X” mengenai derajat Psychological Well-Being-nya, sehingga dapat membantu untuk dikembangkan secara optimal.

• Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMA “X” mengenai seberapa besar pengaruhnya terhadap derajat psychological well-being para guru, sehingga dapat membantu meningkatkan psychological well-being-nya.


(18)

Universitas Kristen Maranatha 10

1.5 Kerangka Pikir

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU Guru dan Dosen, no.14 tahun 2005). Sedangkan profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Guru dan Dosen, no.14 tahun 2005).

Guru memiliki banyak tuntutan dan tugas-tugas yang harus dikerjakan, diantaranya adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan; menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan dan keputusan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Selain tugas yang banyak, guru juga memiliki berbagai peran di sekolah, baik sebagai guru, sebagai pembimbing atau pendamping, menjadi teladan bagi para siswanya, juga menjadi pengganti orangtua selama siswa berada di sekolah.

Tuntutan dan tugas yang dimiliki guru merupakan tantangan tersendiri bagi setiap guru dalam menghadapinya, penilaian guru mengenai tuntutan dan tugas yang dihadapi menurut Ryff (1995) disebut sebagai Psychological Well-Being. Psychological Well-Being adalah penilaian/ evaluasi atas pengalaman dan kualitas hidupnya yang dilihat dari enam dimensi yang membentuknya, yaitu


(19)

Self-Universitas Kristen Maranatha 11

acceptance, Positive relations with others, Personal growth, Purpose in life, Environmental mastery, dan Autonomy. Guru swasta SMA “X” dapat dikatakan memiliki derajat Psychological Well-Being yang tinggi apabila memiliki penilaian yang positif dalam menghadapi situasi yang ada selama menjadi guru dan juga mampu menggunakan seluruh pengalaman mengajar yang telah dialami sebagai bahan pembelajaran dalam mengevaluasi diri, agar dapat berfungsi secara optimal sebagai guru. Keenam dimensi di atas, bersama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi akan saling melengkapi untuk menentukan derajat Psychological Well-Being setiap guru. Derajat Psychological Well-Being yang akan dihasilkan terdiri dari kategori tinggi dan rendah yang akan membedakan Psychological Well-Being satu guru dengan guru lainnya.

Berikut ini akan dijelaskan keenam dimensi yang membentuk Psychological Well–Being. Self-acceptance merupakan patokan dimana seorang dewasa harus berjuang untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri melalui penerimaan diri. Guru yang memiliki derajat Self-acceptance tinggi akan mengakui dan menerima berbagai aspek dalam diri yang meliputi kualitas baik dan buruk, memiliki sikap positif (optimis) terhadap diri sendiri, serta memiliki perasaan bahagia mengenai masa lalunya. Sedangkan guru yang memiliki derajat self-acceptance rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, kecewa dengan kejadian dalam kehidupan di masa lalu, kesulitan untuk menerima kualitas pribadinya dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini. Penerimaan diri ini dipengaruhi juga oleh faktor kepribadian dari Big Five Personality yaitu neuroticism (hasil penelitian yang dilakukan oleh McCrae,


(20)

Universitas Kristen Maranatha 12

1980). Guru dengan tipe kepribadian neuroticism cenderung menurunkan derajat self-acceptancenya karena guru dengan tipe kepribadian ini cenderung memiliki emosi yang lebih negatif mengenai pengalamannya. Selain itu, self-acceptance juga dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan dan status pekerjaan, guru yang menghayati bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang lebih tinggi, akan menunjukkan derajat yang lebih tinggi pada dimensi self-acceptance. Hal ini disebabkan karena guru yang menghayati bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang lebih tinggi, memiliki perasaan positif tentang diri mereka sendiri dan terhadap masa lalunya (survey Nasional MIDUS dalam Ryff, 2006).

Positive relations with others merupakan kemampuan untuk mempererat hubungan dan kualitas hubungan dengan orang lain (yaitu kepala sekolah, sesama guru dan siswa). Guru yang memiliki derajat positive relations with others tinggi akan memiliki relasi yang hangat, saling percaya, serta intim. Selain itu, peduli akan kesejahteraan orang lain, mampu untuk berempati, bekerjasama, dan berkompromi mengenai berbagai hal. Sedangkan guru yang memiliki derajat positive relations with others rendah adalah guru yang sulit untuk dekat dan percaya pada orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli pada kesejahteraan orang lain; merasa terisolasi dan frustasi dalam membangun hubungan interpersonal serta tidak mau berkompromi untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain. Positive relations with others ini dipengaruhi juga oleh faktor kepribadian, di mana guru yang memiliki faktor kepribadian agreeableness menurut Big Five Personality akan cenderung memiliki sikap


(21)

Universitas Kristen Maranatha 13

empati dan kooperatif terhadap orang lain sehingga akan meningkatkan level positive relations with others. Sedangkan dari faktor jenis kelamin (Ryff & Keyes, 1995), biasanya wanita memiliki derajat yang lebih tinggi daripada pria, wanita mendapatkan derajat yang lebih tinggi daripada pria pada dimensi positive relations with others karena wanita dianggap lebih banyak menghadapi masalah psikologis dan ketika mereka mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan suatu akhir yang baik/ positif, mereka menunjukkan kekuatan psikologis yang unik sehingga dapat semakin mengembangkan personal growth-nya (Ryff, 1994). Wanita juga dianggap lebih mampu mengekspresikan emosi dengan ”curhat” kepada orang lain dan lebih senang menjalin relasi sosial dibanding pria.

Personal growth merupakan usaha yang berkelanjutan dalam mencapai dan mengembangkan keterampilan, talenta, dan kesempatan yang tersedia untuk perkembangan diri. Cara dan usaha mengembangkan diri pada guru dapat dilakukan seperti mengikuti kegiatan seminar pendidikan nasional ataupun training penggunaan alat multimedia. Guru yang memiliki derajat personal growth tinggi memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru, memiliki perasaan untuk terus berkembang serta mampu merealisasikan potensinya dan melihat perkembangan yang ada dalam diri seiring bertambahnya waktu. Sedangkan guru yang memiliki derajat personal growth rendah adalah guru yang kurang mampu mengembangkan diri seiring berjalannya waktu, merasa bosan dan tidak tertarik terhadap kehidupan. Personal growth dipengaruhi oleh faktor usia, tingkat pendidikan dan faktor kepribadian. Berdasarkan faktor usia, maka personal growth akan mengalami penurunan seiring bertambahnya usia khususnya dari


(22)

Universitas Kristen Maranatha 14

midlife ke old-aged. Hal ini terjadi, karena guru yang memasuki usia midlife memiliki kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan merasakan pengalaman yang bermakna semakin terbatas karena bertambahnya usia (Ryff, 1995; Ryff & Singer, 1996).

Sedangkan dari faktor kepribadian menurut Big Five Personality, guru yang memiliki tipe kepribadian extraversion and openness to experience cenderung memiliki sikap terbuka terhadap pengalaman, memiliki rasa ingin tahu, suka berimajinasi dan memiliki variasi pengalaman, sehingga akan meningkatkan dimensi personal growth. Berdasarkan tingkat pendidikan, personal growth pada guru yang menghayati bahwa level pendidikannya rendah mungkin saja merasa puas dalam hidupnya, akan tetapi ia akan tetap merasa kurang memiliki kesempatan berkembang dalam hal pendidikan, sehingga akan membuat personal growth mereka lebih rendah dibandingkan dengan guru yang menghayati bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (survey Nasional MIDUS dalam Ryff, 2006).

Purpose in life meliputi adanya tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup itu mempunyai arah. Guru yang memiliki derajat purpose in life tinggi mampu mengarahkan dirinya, merasakan hidup pada saat ini dan masa lalu dan memandangnya sebagai sesuatu yang bermakna, serta berpegang pada beliefnya yang memberi tujuan hidup. Sedangkan guru yang memiliki derajat purpose in life rendah adalah guru yang kurang memiliki makna hidup, memiliki sedikit goal atau harapan, tidak melihat adanya tujuan dari pengalaman masa lalu serta tidak mempunyai pandangan atau belief yang memberi makna dalam hidup. Pengaruh


(23)

Universitas Kristen Maranatha 15

faktor usia pada dimensi personal growth ternyata memiliki pengaruh yang sama pada dimensi purpose in life. Faktor tingkat pendidikan dan status pekerjaan juga memberi pengaruh pada Purpose in life, yaitu apabila guru menghayati bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang lebih tinggi dibanding orang lain, maka derajat purpose in life akan meningkat. Hal ini disebabkan karena mereka akan memiliki penghayatan yang lebih baik terhadap tujuan dan arahan dalam hidup dibandingkan dengan guru yang menghayati bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang lain (Ryff, 1994).

Environmental mastery adalah keadaan di mana individu mengenali kebutuhan dan hasrat personalnya, serta merasa mampu dan mungkin untuk mengambil peran aktif dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari lingkungan. Guru yang memiliki derajat environmental mastery tinggi memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan aktivitas di kelas, mengefektifkan kesempatan mengajar yang ada secara efektif, serta memilih dan menciptakan situasi belajar yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadinya seperti ingin diperhatikan oleh anak didiknya dan mampu mendisiplinkan siswanya. Sedangkan guru yang memiliki derajat environmental mastery rendah adalah guru yang kesulitan menangani masalah sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah atau mengembangkan situasi di sekelilingnya, dan kurang mampu dalam mengontrol dunia di luar dirinya. Faktor yang mempengaruhi dimensi ini adalah usia (Ryff, 1989). Environmental mastery guru akan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, hal ini juga terjadi pada


(24)

Universitas Kristen Maranatha 16

dimensi Autonomy.Hal ini dapat terjadi karena guru yang memiliki usia lebih tua merasa lebih mandiri dan lebih mampu dalam mengendalikan lingkungan (Santrock, 2002).

Autonomy merupakan kemampuan merefleksikan pencarian akan penentuan diri (self-determination) dan otoritas personal atau kemandirian dalam masyarakat yang terkadang mendorong pada sikap obidience (patuh karena adanya kontrol dari luar diri) dan compliance (patuh karena adanya kesadaran dari dalam diri). Guru yang memiliki derajat autonomy tinggi memiliki kemampuan menentukan hidupnya secara mandiri dan memiliki prinsip, mampu untuk bertahan dari tekanan-tekanan sosial seperti mampu menyelesaikan masalah yang terjadi di kelas sehingga dapat berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, serta untuk memandu dan mengevaluasi perilaku berdasarkan standar dan nilai pribadi yang terinternalisasikan. Sedangkan guru yang memiliki derajat autonomy rendah adalah guru yang fokus pada harapan dan evaluasi orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting serta mengikuti tekanan sosial dalam bertindak dan berpikir.

Faktor lain yang mempengaruhi psychological well–being adalah status marital, dukungan sosial dan status sosio ekonomi. Perbedaan status marital akan mempengaruhi derajat psychological well–being pada guru. Guru yang sudah menikah akan memiliki psychological well–being yang berbeda dengan guru yang belum menikah. Perbedaan ini dapat terjadi, apabila guru yang sudah menikah menganggap dirinya memiliki beban ekonomi yang lebih berat dibandingkan dengan guru yang belum menikah. Keadaan ini akan menurunkan derajat


(25)

Universitas Kristen Maranatha 17

psychological well–being-nya. Namun dalam mengatasi beban hidupnya pun, seorang guru memerlukan suatu dukungan sosial yang bisa datang dari keluarga ataupun pasangan hidup maupun rekan kerja sesama guru, siswa dan kepala sekolah; baik dukungan secara moril maupun materi, sehingga pada akhirnya dukungan sosial juga akan mempengaruhi derajat psychological well–being.

Penelitian dalam Psychological Well-Being (Marmot, dkk; 1997, 1998 dalam Ryff, 2006) menunjukkan bahwa orang yang berada pada status sosial ekonomi rendah tidak hanya rentan terhadap penyakit dan ketidakmampuan, namun juga kurang mempunyai kesempatan dalam memaksimalkan hidup mereka. Demikian pula pada guru, jika keadaan status sosial ekonomi-nya dihayati sebagai suatu beban dan berada pada level rendah, maka akhirnya akan menurunkan derajat Psychological Well-Being mereka.


(26)

Universitas Kristen Maranatha 18

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Guru di SMA “X”

Bandar Lampung

- Usia

- Status marital - Jenis kelamin

- Tingkat pendidikan dan status pekerjaan

- Dukungan sosial - Status sosioekonomi - Faktor kepribadian

Self-acceptance

Positive Relation With Others Personal Growth

Purpose in Life

Environmental Mastery Autonomy

Psychological Well-Being

tinggi


(27)

Universitas Kristen Maranatha 19

1.6 Asumsi

Guru swasta SMA “X” memiliki derajat Psychological Well-Being yang berbeda-beda.

Tinggi atau rendahnya derajat Psychological Well-Being guru swasta SMA “X” ditentukan oleh 6 dimensi dari Psychological Well-Being, yaitu Self-acceptance, Positive Relation With Others, Personal Growth, Purpose in Life, Environmental Mastery dan Autonomy.

Derajat Psychological Well-Being tidak hanya ditentukan oleh dimensi Psychological Well-Being tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti usia, jenis kelamin, status marital, tingkat pendidikan dan status pekerjaan, status sosioekonomi, dukungan sosial, dan faktor kepribadian.


(28)

71 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil

interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran

yang bernilai praktis dan terarah sesuai hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological

Well-Being yang dilakukan pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung, maka

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1.

Guru swasta SMA “X” memiliki derajat Psychological Well-Being (PWB) yang

tersebar hampir merata, yaitu 51,5% memiliki derajat PWB tinggi, yang berarti

guru tersebut memiliki penilaian positif terhadap pengalaman dan kualitas

hidupnya yang dilihat dari enam dimensi yaitu self-acceptance, positive relation

with others, purpose in life, personal growth, environmental mastery dan

autonomy. 48,5% memiliki derajat PWB rendah yang berarti guru tersebut kurang

memiliki penilaian positif terhadap pengalaman dan kualitas hidupnya yang

dilihat dari keenam dimensi diatas.

2.

Guru yang memiliki derajat Psychological Well-Being tinggi, pada umumnya

memiliki derajat yang tinggi untuk 3-6 dimensi. Sedangkan guru yang memiliki


(29)

Universitas Kristen Maranatha

72

derajat Psychological Well-Being rendah, pada umumnya memiliki derajat yang

rendah untuk 2-6 dimensi.

3.

Dimensi yang menunjukkan kecenderungan keterikatan paling kuat dalam

meningkatkan derajat PWB pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung

adalah environmental mastery, purpose in life dan, self-acceptance.

4.

Dimensi environmental mastery berkaitan dengan:

jenis kelamin, dimana guru pria memiliki derajat lebih tinggi daripada wanita.

lama bekerja, dimana guru yang memiliki masa kerja yang tergolong baru dan

sudah lama memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan guru yang

berada pada masa kerja pertengahan.

5.

Dimensi self-acceptance berkaitan dengan :

usia, dimana guru yang berada pada rentang dewasa madya memiliki derajat

yang lebih tinggi daripada guru yang berada pada rentang dewasa awal.

jenis kelamin, dimana guru yang berjenis kelamin pria memiliki derajat yang

lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

status marital, dimana guru yang memiliki pasangan (menikah) memiliki

derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang hidup sendiri

(belum menikah dan janda).

tipe kepribadian menurut Big Five Personality, dimana guru yang memiliki

tipe kepribadian agreeableness dan extraversion memiliki derajat lebih


(30)

Universitas Kristen Maranatha

73

tinggi, sedangkan guru dengan tipe kepribadian neuroticism memiliki derajat

yang lebih rendah.

6.

Dimensi personal growth berkaitan dengan kepemilikan sertifikat sebagai guru,

dimana guru yang telah mengikuti sertifikasi dan memiliki sertifikat

menunjukkan derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak

mengikuti program sertifikasi.

7.

Dimensi autonomy berkaitan dengan usia, dimana guru yang berada pada rentang

usia dewasa madya memiliki derajat autonomy yang lebih tinggi dibandingkan

dengan guru yang berada pada rentang usia dewasa awal.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoritis

1.

Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian pada guru SD ataupun SMP

untuk melihat derajat psychological well-being-nya.

2.

Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian pada guru negeri untuk

melihat derajat psychological well-being-nya.

5.2.2 Saran praktis

1.

Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi guru swasta SMA “X” mengenai

Psychological Well-Being-nya, yang dilihat dari tiap dimensi. Guru yang

memiliki derajat tinggi untuk setiap dimensinya dapat dipertahankan sedangkan


(31)

Universitas Kristen Maranatha

74

guru yang memiliki derajat rendah pada setiap dimensinya dapat ditingkatkan

dengan berbagai cara, seperti seminar pengembangan kompetensi dan pelatihan

seperti leadership dan management kelas untuk meningkatkan derajat personal

growth dan environmental mastery; mengikuti retret pengenalan diri dan

kemampuan serta konseling pribadi untuk meningkatkan derajat self-acceptance,

purpose in life dan autonomy serta mengadakan pertemuan antara guru, orang tua

dan siswa dalam bentuk kegiatan sekolah untuk meningkatkan dimensi positive

relation with others.

2. Kepala sekolah perlu memperhatikan Psychological Well-Being para guru dengan

memberikan waktu, kesempatan dan informasi kepada para guru swasta SMA

“X” mengenai berbagai seminar, pelatihan dan retret yang telah disebutkan pada

saran pertama.


(32)

75 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Berry, John W, Pourtinga, Ype H, Segall, Marshall H & Dasen, Pierre R. 1992. Cross-Cultural Psychology. Australia: Cambrige University Press.

De Raad, Boele. 2000. The Big Five Personality Factors. Canada: Hogrefe & Huber Publishers.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo.

Halim, Magdalena dan Wahyu Dwi Atmoko. 2005. Hubungan antara Kecemasan akan HIV/ AIDS dan Psycological Well-Being pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. “Jurnal Psikologi”. Vol. 15 : 17-31.

Keyes, Corey L.M, & Magyar-Moe, Jeanna L. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC: American Psychological Association.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Papalia, D.E, Sterns, H.L, Feldman, R.D, & Camp, C.J. 2002. Adult Development and Aging 2nd ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 57 : 1069-1081.

____________. 1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological Science”.

____________. & Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 69 : 719-727.


(33)

Universitas Kristen Maranatha 76

____________., Keyes, & Shmotkin. 2002. Optimizing Well Being : the Empirical Encounter of Two Traditions. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 82 : 1007-1022.

____________. & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development 5th ed. Jakarta: Erlangga.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(34)

77 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Kompas. 24 Mei 2002. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang. (www.kompas.com, diakses 30 November 2008).

Kompas. 10 september 2008. Guru Swasta Dianatktirikan. (www.kompas.com, diakses 30 November 2008).

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. edisi revisi II. Agustus 2007.

Pedoman Umum Penyelenggaraan Sekolah “X”. 2002.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud: Balai Pustaka.

Belajar Psikologi. 2008. Big Five Personality. (www.rumahbelajarpsikologi.html, diakses 24 Maret 2009).

Sultan. 2007. Masalah Kesejahteraan dan Pencitraan Profesi Guru sultan’s weblog. (http://sultanhabnoer.wordpress.com, diakses 25 September 2008).

Undang-Undang Guru dan Dosen no 14. 2005. (http://www.isi-dps.ac.id, diakses 2 Desember 2008).


(1)

Universitas Kristen Maranatha 72

derajat Psychological Well-Being rendah, pada umumnya memiliki derajat yang rendah untuk 2-6 dimensi.

3. Dimensi yang menunjukkan kecenderungan keterikatan paling kuat dalam meningkatkan derajat PWB pada guru swasta SMA “X” di Bandar Lampung adalah environmental mastery, purpose in life dan, self-acceptance.

4. Dimensi environmental mastery berkaitan dengan:

• jenis kelamin, dimana guru pria memiliki derajat lebih tinggi daripada wanita.

• lama bekerja, dimana guru yang memiliki masa kerja yang tergolong baru dan sudah lama memiliki derajat lebih rendah dibandingkan dengan guru yang berada pada masa kerja pertengahan.

5. Dimensi self-acceptance berkaitan dengan :

• usia, dimana guru yang berada pada rentang dewasa madya memiliki derajat yang lebih tinggi daripada guru yang berada pada rentang dewasa awal.

• jenis kelamin, dimana guru yang berjenis kelamin pria memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

• status marital, dimana guru yang memiliki pasangan (menikah) memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang hidup sendiri (belum menikah dan janda).

tipe kepribadian menurut Big Five Personality, dimana guru yang memiliki tipe kepribadian agreeableness dan extraversion memiliki derajat lebih


(2)

Universitas Kristen Maranatha tinggi, sedangkan guru dengan tipe kepribadian neuroticism memiliki derajat yang lebih rendah.

6. Dimensi personal growth berkaitan dengan kepemilikan sertifikat sebagai guru, dimana guru yang telah mengikuti sertifikasi dan memiliki sertifikat menunjukkan derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak mengikuti program sertifikasi.

7. Dimensi autonomy berkaitan dengan usia, dimana guru yang berada pada rentang usia dewasa madya memiliki derajat autonomy yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang berada pada rentang usia dewasa awal.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian pada guru SD ataupun SMP untuk melihat derajat psychological well-being-nya.

2. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian pada guru negeri untuk melihat derajat psychological well-being-nya.

5.2.2 Saran praktis

1. Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi guru swasta SMA “X” mengenai Psychological Well-Being-nya, yang dilihat dari tiap dimensi. Guru yang memiliki derajat tinggi untuk setiap dimensinya dapat dipertahankan sedangkan


(3)

Universitas Kristen Maranatha 74

guru yang memiliki derajat rendah pada setiap dimensinya dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti seminar pengembangan kompetensi dan pelatihan seperti leadership dan management kelas untuk meningkatkan derajat personal growth dan environmental mastery; mengikuti retret pengenalan diri dan kemampuan serta konseling pribadi untuk meningkatkan derajat self-acceptance, purpose in life dan autonomy serta mengadakan pertemuan antara guru, orang tua dan siswa dalam bentuk kegiatan sekolah untuk meningkatkan dimensi positive relation with others.

2. Kepala sekolah perlu memperhatikan Psychological Well-Being para guru dengan memberikan waktu, kesempatan dan informasi kepada para guru swasta SMA “X” mengenai berbagai seminar, pelatihan dan retret yang telah disebutkan pada saran pertama.


(4)

75 Universitas Kristen Maranatha Cross-Cultural Psychology. Australia: Cambrige University Press.

De Raad, Boele. 2000. The Big Five Personality Factors. Canada: Hogrefe & Huber Publishers.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo.

Halim, Magdalena dan Wahyu Dwi Atmoko. 2005. Hubungan antara Kecemasan akan HIV/ AIDS dan Psycological Well-Being pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. “Jurnal Psikologi”. Vol. 15 : 17-31.

Keyes, Corey L.M, & Magyar-Moe, Jeanna L. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC: American Psychological Association.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Papalia, D.E, Sterns, H.L, Feldman, R.D, & Camp, C.J. 2002. Adult Development and Aging 2nd ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 57 : 1069-1081.

____________. 1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological Science”.

____________. & Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 69 : 719-727.


(5)

Universitas Kristen Maranatha 76

____________., Keyes, & Shmotkin. 2002. Optimizing Well Being : the Empirical Encounter of Two Traditions. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 82 : 1007-1022.

____________. & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development 5th ed. Jakarta: Erlangga.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(6)

77 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Kompas. 24 Mei 2002. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang. (www.kompas.com, diakses 30 November 2008).

Kompas. 10 september 2008. Guru Swasta Dianatktirikan. (www.kompas.com, diakses 30 November 2008).

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. edisi revisi II. Agustus 2007.

Pedoman Umum Penyelenggaraan Sekolah “X”. 2002.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud: Balai Pustaka.

Belajar Psikologi. 2008. Big Five Personality. (www.rumahbelajarpsikologi.html, diakses 24 Maret 2009).

Sultan. 2007. Masalah Kesejahteraan dan Pencitraan Profesi Guru sultan’s weblog. (http://sultanhabnoer.wordpress.com, diakses 25 September 2008).

Undang-Undang Guru dan Dosen no 14. 2005. (http://www.isi-dps.ac.id, diakses 2 Desember 2008).