Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Lansia di Panti Jompo "X" Kota Bandung.

(1)

v

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penarikan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 22 orang. Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being dari Carol Ryff (1989) yang dimodifikasi oleh peneliti dan terdiri atas 54 item. Peneliti mengguakan expert judgement sebagai validasi. Reliabilitas alat ukur diukur dengan perhitungan statistik menggunakan Alpha Cronbach dan diperoleh reliabilitas yaitu 0,896 yang tergolong tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian, lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung 54,5% menunjukkan derajat Psychological Well-Being yang tinggi. Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengorelasikan dengan variabel lain atau membandingkan pada lansia yang tinggal di panti jompo yang berbeda.

Peneliti juga menyarankan pengurus panti untuk membuat program dan meningkatkan fasilitas panti, serta mengupayakan agar program dan fasilitas tersebut diberlakukan. Bagi keluarga diharapkan untuk tetap menjaga komunikasi dengan para lansia, jika tidak bisa untuk berkunjung secara rutin, diharapkan untuk tetap memerhatikan melalui telepon. Bagi para lansia, diharapkan untuk terus aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh panti, sehingga dapat lebih produktif,


(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research was conducted to obtain a description of the Psychological Well-Being in the elderly in a nursing home "X" Bandung. The method used in this research is descriptive method. Sampling using purposive sampling technique, with a total sample of 22 people.

Measuring instruments used is an adaptation of the Scale of Psychological Well-Being of Carol Ryff (1989) was modified by the researcher and consists of 54 items. Researcher, used expert judgment as validation. The reliability of measuring instruments is measured by using a statistical calculation and obtained Cronbach Alpha reliability is 0.896 which is relatively high.

Based on the research results, the elderly in a nursing home "X" Bandung 54.5% indicates the degree of Psychological Well-Being high. Researcher suggest that further research to correlate with other variables or comparing the elderly living in other nursing homes.

Researcher also suggests nursing home administrators to create programs and improving care facilities, as well as see to it that the program and the facility is run. For families are expected to maintain communication with the elderly, if not able to visit on a regular basis, are expected to keep in touch by phone. For the elderly, it is expected to continue to be active in activities held by the institutions, therefore they can be more productive.


(3)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ...iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ...vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11


(4)

xi

Universitas Kristen Maranatha

1.4.2 Kegunaan Praktis... 11

1.5 Kerangka Pikir ... 11

1.6 Asumsi Penelitian ... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being ... 21

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 21

2.1.2 Dimensi Psychological Well- Being ... 22

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being .. 25

2.2 Lansia ... 29

2.2.1 Pengertian Lansia ... 29

2.2.2 Ciri Perkembangan Lansia ... 29

2.3 Panti Jompo ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 35

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 35

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional . 35 3.3.1 Variabel Penelitian ... 35

3.3.2 Definisi Operasional ... 36

3.3.3 Definisi Operasional ... 36

3.4 Alat Ukur ... 37

3.4.1 Kuesioner Dimensi Psychological Well-Being ... 37

3.4.2 Sistem Penilaian ... 38


(5)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 40

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 40

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 40

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 41

3.5.1 Populasi Sasaran ... 41

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 41

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 41

3.6 Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden ... 43

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 43

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 44

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi ... 45

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Dukungan Sosial ... 45

4.2 Gambaran Hasil Penenlitian ... 46

4.2.1 Gambaran Psychological Well-Being ... 46

4.2.2 Gambaran Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 47

4.2.2.1 Gambaran Self-Acceptance ... 47

4.2.2.2 Gambaran Positive Relation With Others ... 47

4.2.2.3 Gambaran Autonomy ... 48

4.2.2.4 Gambaran Environmental Mastery ... 48


(6)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

4.2.2.6 Gambaran Personal Growth ... 49

4.3 Pembahasan ... 49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 61

5.2 Saran ... 61

5.2.1 Saran Teoritis ... 61

5.2.2 Saran Praktis ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

DAFTAR RUJUKAN ... 64 LAMPIRAN


(7)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Dimensi Psychological Well Being ... 38

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Kuesioner Dimensi Psychological Well-Being ... 38

Tabel 4.1 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Usia ... 43

Tabel 4.2 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

Tabel 4.3 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 44

Tabel 4.4 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Status Sosial Ekonomi 45 Tabel 4.5 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Dukungan Sosial Dalam Bentuk Perhatian ... 45

Tabel 4.6 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Psychological Well Being ... 46

Tabel 4.7 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Self Acceptance ... 47

Tabel 4.8 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Positive Relation with Others ... 47

Tabel 4.9 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Autonomy ... 48

Tabel 4.10 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Environmental mastery ... 48

Tabel 4.11 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Purpose in Life ... 49

Tabel 4.12 Frekuensi Kategori Tanggapan Responden Tentang Variabel Personal Growth ... 49


(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran ... 19 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 35


(9)

xvi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kisi-kisi Alat Ukur Psychological Well-Being ... L-1 Lampiran 2 : Kuesioner Psychological Well-Being ... L-11 Lampiran 3 : Hasil Reliabilitas ... L-23 Lampiran 4 : Identitas Subjek Penelitian ... L-23 Lampiran 5 : Skor Total PWB dan Dimensi-dimensi PWB ... L-26 Lampiran 6 : Derajat PWB dan Dimensi-dimensinya ... L-27 Lampiran 7 : Hasil Perhitungan Tabulasi Silang ... L-28 Lampiran 8 : Surat Keterangan Pengambilan Data ... L-45


(10)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia yang terlahir di dunia akan melewati proses pertumbuhan yaitu dari bayi menjadi anak-anak, berlanjut menjadi remaja, dewasa dan akhirnya menjadi tua (lanjut usia). Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun (Wijayanti, 2008). Batasan usia lansia menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Beberapa tokoh dari negara barat mengemukakan bahwa lansia adalah individu yang berada pada usia lebih dari 65 tahun dan dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu lansia muda (65 sampai 74 tahun), lansia tua (75 sampai 84 tahun) dan lansia tertua (85 tahun ke atas) (Papalia & Feldman, 2014)

Pada lansia terjadi perubahan-perubahan yang tidak terelakkan dan kondisi yang tidak mungkin dikembalikan. Perubahan pada lansia ditandai dengan adanya perubahan fisik, terdapat masalah mental dan perilaku serta perubahan kognitif (Papalia & Feldman, 2014)

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia antara lain kulit cenderung lebih pucat dan kurang elastis, karena lemak dan otot menyusut maka kulit cenderung keriput, muncul varises dibagian kaki, rambut menjadi abu-abu kemudian putih dan menjadi lebih tipis. Terjadi penurunan fungsi indera penglihatan dan pendengaran. Lansia juga menjadi pendek dan bungkuk karena terjadi penyusutan tulang. Berkurangnya kekuatan, ketahanan dan keseimbangan tubuh, serta kecenderungan memiliki waktu tidur yang lebih sedikit dan jarang bermimpi. Lansia mengalami


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

masalah mental dan perilaku yaitu terjadinya penurunan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh perubahan fisiologis yang memengaruhi aktivitas sehari-hari (demensia) dan penyakit Alzheimer. Perubahan juga terjadi pada kognitif lansia, yaitu penurunan pada sistem saraf pusat yang memengaruhi kecepatan dalam memroses informasi dan kapasitas memori menjadi lebih tidak efisien sehingga lansia menjadi pikun. (Papalia & Feldman, 2014)

Penuaan tidak semuanya buruk. Menurut Erikson, seseorang yang memasuki masa lanjut usia merupakan individu yang berhasil melewati tugas-tugas perkembangannya (Erikson, 1989). Lansia juga menjadi bijaksana, mempunyai banyak pengalaman dan pandangan karena sudah melewati banyak fase kehidupan, serta lansia yang kaya akan pengalaman akan memiliki keyakinan untuk mengajar, membimbing dan membantu anak-anak dan cucu-cucu mereka (Golman, 1988). Selain itu lansia juga mempunyai waktu untuk mengevaluasi tentang kehidupan terdahulu (Fleming, 2004).

Di samping terjadi perubahan-perubahan pada diri lansia, ternyata setiap tahunnya terjadi peningkatan pada jumlah lansia. Indonesia memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam percepatan penambahan lansia di dunia. Pada tahun 1971 jumlah lanjut usia di Indonesia sebanyak 5,3 juta jiwa (4,48%) dari jumlah total penduduk Indonesia, pada tahun 2000 meningkat menjadi 14,4 juta jiwa (7,18%) dan pada tahun 2020 diperkirakan 28,8 juta jiwa (11,34%) (Yenny & Herwana, 2012). Menurut data dari Badan Gerontologi Medik Indonesia, pada tahun 2015 jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 36 juta orang atau 11,34% dari populasi penduduk (Bandungkab, 2013).

Salah satu kota dengan jumlah lansia yang tinggi adalah Kota Bandung. Jumlah lansia di Kota Bandung semakin tinggi dilihat dari angka harapan hidup yang


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha

meningkat. Dari data, Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kota Bandung pada 2006 tercatat pada angka 66,98 tahun, tahun 2007 naik menjadi 67,33 tahun, tahun 2008 naik lagi 68,42 tahun, tahun 2009 menjadi 68,94 tahun, tahun 2010 menjadi 69,40 tahun. Pada tahun 2011 naik lagi menjadi 70,06 dan tahun 2012 menjadi 70,28 tahun (Bandungkab, 2013).

Melihat jumlah lansia yang terus meningkat, pemerintah melihat ini sebagai hal yang mengkhawatirkan. Untuk itu pemerintah melakukan upaya-upaya yaitu dengan mempersiapkan agar lansia sehat, mandiri dan produktif dalam jangka waktu yang panjang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya (Indira, 2012). Selain itu, lansia memerlukan perhatian yang lebih. Lansia membutuhkan pihak-pihak yang dapat memahami kemauan, kebutuhan, tuntutan akan fasilitas, serta sarana dan prasarana yang mereka butuhkan (Wijayanti, 2008).

Salah satu pihak penyedia jasa yang dapat memberikan pelayanan tersebut adalah panti jompo, namun di Indonesia menitipkan orang tua di panti jompo belum menjadi kebiasaan yang umum dan dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Seorang anak diharapkan akan membalas budi orang tuanya dengan merawat dan memelihara mereka ketika tua. Anak yang menitipkan orang tuanya di panti jompo seringkali dianggap tidak peduli lagi pada orang tua. Sementara bagi orang tua sendiri merasa tidak diinginkan lagi, merasa kesepian dan tidak berguna lagi. Selain itu dengan tinggal di panti jompo, semakin memperkuat kesan bahwa diri mereka sudah tua, merepotkan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Selain itu keberadaan lansia di panti dengan berbagai karakter dapat memunculkan berbagai ragam problematika (Wardani, 2015).

Pandangan masyarakat yang seperti itu perlu diiluruskan karena keberadaan para lansia di panti jompo memiliki sisi positif. Panti jompo dapat membuat lansia


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

memiliki “keluarga”, lansia dapat menemukan teman yang relatif seusia dan dapat berbagi cerita. Panti juga memberikan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan juga memberikan fungsi positif lain, yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan sebagai pengisi waktu luang. Terdapat juga pemberian bimbingan sosial, bimbingan mental spiritual serta rekreasi, penyaluran bakat dan hobi dan senam. Para lansia juga mendapatkan fasilitas serta kemudahan-kemudahan atau aksesibilitas lainnya, termasuk pendampingan petugas sosial. Mereka juga dapat menjalani kehidupan bersama teman seusia sehingga dapat menghilangkan kesepian. Bahkan ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi masa lalu (Wardani, 2015).

Kota Bandung sebagai kota dengan jumlah lansia cukup tinggi memiliki beberapa panti jompo swasta, salah satunya yaitu Panti Jompo “X”. Berdasarkan wawancara peneliti dengan pengurus panti didapatkan informasi bahwa sebagian besar lansia di Panti Jompo “X” ini dititipkan oleh keluarganya dan setelah dititipakan pihak keluarga jarang untuk berkunjung. Ada juga beberapa yang didasarkan atas keinginan lansia itu sendiri dan didatangkan oleh dinas sosial. Syarat untuk dapat tinggal di panti ini adalah lansia yang berusia 60 tahun dan masih mandiri, sehingga dapat melakukan semua kegiatannya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.

Panti Jompo “X” sebagai tempat singgah para lansia tersebut memiliki visi menjadikan lansia yang sejahtera dan merasa berharga. Oleh karena itu pengurus sering menghibur dengan menjelaskan kepada lansia bahwa dengan berada di panti jompo bukan berarti lansia sudah tidak dihargai lagi keberadaannya tetapi lebih membuat lansia mempunyai banyak waktu untuk beristirahat dan berkumpul dengan sesama lansia sehingga tidak merasakan kesepian di rumah. Jika lansia tetap merasa


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha

sedih dan terlihat murung, pengurus panti berusaha menghubungi pihak keluarga atau anak, meminta dengan sangat agar mau meluangkan waktu untuk menjenguk orang tua mereka. Ada beberapa anak yang mengatakan tidak bisa sama sekali menjenguk karena kesibukan, tetapi ada juga yang mau datang meskipun hanya sebentar.

Pihak Panti Jompo “X” juga memiliki misi, yaitu membantu memberikan kegiatan positif untuk mengisi waktu luang lansia agar lansia dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, sosial dan memberikan kesempatan pada lansia untuk berkarya. Panti menyediakan fasilitas dan kebutuhan untuk lansia berupa jaminan makanan yang bergizi, jam olahraga ringan namun menyehatkan dan lingkungan yang bersih sehingga lansia terhindar dari wabah penyakit. Pada hari-hari besar, panti mengadakan acara keagamaan, dalam acara ini lansia didorong untuk ikut andil dalam pelayanan dan juga diadakan lomba-lomba untuk para lansia. Untuk menunjang kebutuhan lansia berkarya, panti tidak menyediakan kegiatan khusus, tetapi pengurus panti membantu lansia jika ingin membuat suatu karya dengan membelikan bahan peralatan seperti untuk benang dan jarum untuk menyulam.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus di Panti Jompo “X”, hingga tahun 2015 panti jompo tersebut dihuni oleh 80 lansia yang terdiri dari 56 nenek dan 24 kakek yang sebagian besar berusia di atas 60 tahun. Panti jompo “X” ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian perumahan dan sal. Bagian perumahan dihuni oleh 48 lansia, di mana satu kamar dihuni oleh 4-5 lansia. Bagian ini dihuni oleh lansia yang mandiri, sedangkan di sal yang dihuni oleh 32 lansia. Sal merupakan tempat perawatan bagi lansia yang sakit dan sudah tidak mampu untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Untuk membantu keperluan lansia, panti dibantu oleh 38 orang yang meliputi 6 orang pengurus, 15 orang pegawai dalam yaitu pegawai yang tinggal


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

di panti dan 17 pegawai luar yaitu pegawai yang tidak tinggal di panti. Untuk melayani kebutuhan lansia dan memantau kesehatannya, panti menyediakan seorang dokter yang rutin berkunjung setiap satu minggu sekali dan 3 tenaga perawat yang merawat 24 jam dengan sistem shift. Pegawai dan perawat tersebut hanya melayani lansia di sal, maka lansia di perumahan diharapkan dapat mandiri. Sistem pembayaran di Panti Jompo “X” ini terdapat pembagian, yaitu bagi yang menengah ke atas seluruh biaya ditanggung oleh keluarga, untuk yang menengah biaya sebagian ditanggung keluarga lalu sebagian lagi diberlakukan subsidi silang, sedangkan yang menengah ke bawah tidak dipungut biaya, biasanya untuk membiayai lansia di golongan menengah ke bawah didapatkan melalui sumbangan-sumbangan dan subsidi silang.

Berdasarkan wawancara dengan 3 orang lansia yang tinggal di perumahan didapatkan informasi bahwa secara formal panti jompo “X” ini tidak memiliki program kegiatan secara tertulis karena menyesuaikan kemampuan fisik lansia. Ketiga lansia mengatakan bahwa panti memiliki kegiatan-kegiatan yang disarankan yaitu lansia diharapkan bangun pagi dan mengikuti doa pagi, berolahraga, mandi pagi, berjalan-jalan atau melakukan kegiatan apapun baik di dalam maupun di luar panti dengan izin panti sambil menunggu jam makan siang. Kegiatan siang yang dilakukan adalah makan siang istirahat sampai sore dan mandi sore. Kegiatan malam yang dilakukan adalah makan malam, doa malam dan istirahat malam. Namun mereka mengatakan tidak terlalu menyukai olahraga ataupun jalan-jalan, mereka lebih memilih untuk duduk-duduk didepan kamar, tidur-tiduran di dalam kamar, melamun, menonton televise, mendengarkan radio atau berbincang-bincang dengan sesama lansia. Meskipun terkadang merasa bosan tetapi tidak ada keinginan untuk melakukan kegiatan lainnya karena bagi mereka banyak bergerak akan membuat


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha

mereka lelah dan sakit. Lansia juga merasa diri mereka sudah terlalu tua untuk ikut atau melakukan kegiatan-kegiatan. Selain itu mereka juga diharapkan dapat melakukan segala kegiatan secara mandiri dari makan, mandi, mengingat jadwal minum obat, waktu untuk kontrol kesehatan ke rumah sakit dan pergi ke rumah sakit. Namun saat mereka membutuhkan bantuan mereka bisa meminta bantuan kepada pegawai dan pengurus panti. Menurut mereka juga dulu Panti Jompo “X” memiliki banyak kegiatan, seperti kegiatan potong rambut gratis, pemeriksaan kesehatan dan kunjungan-kunjungan dari gereja maupun mahasiswa, namun sekarang sudah tidak lagi. Kegiatan yang masih aa ampai sekarang hanya menerima kunjungan-kunjungan saja.

Berdasarkan wawancara dengan lansia lainnya didapatkan informasi tentang alasan lansia berada di panti jompo adalah anak-anak yang menitipkan mereka karena tidak mau untuk merawat/mengurus mereka, anak-anak tidak memiliki banyak waktu untuk berada di rumah karena banyak kesibukan dan anak-anak ingin orang tuanya mempunyai teman yang seumuran sehingga tidak bosan atau kesepian. Ada juga lansia yang memilih untuk tinggal di panti jompo berdasarkan keinginannya sendiri karena merasa bosan dan kesepian berada dirumah karena keadaan rumah yang sering kososng, lansia tidak ingin mengganggu kehidupan rumah tangga anaknya karena telah memiliki keluarga masing-masing. Menurut lansia yang masih memiliki keluarga terkadang ada perasaan rindu akan kehadiran anak dan cucu. Ada juga beberapa lansia yang merasa sedih, kecewa dan merasa tidak diinginkan.

Menurut Erikson, masa lansia merupakan masa yang penting karena ini adalah masa terakhir di mana lansia harus bersiap untuk meninggalkan dunia. Pada masa ini fase yang dikembangkan lansia adalah integritas ego/kebijaksanaan versus


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

keputusasaan. Masalah pokok lansia yaitu menghadapi perubahan siklus kehidupan dan menghadapi kematian. Pada fase ini lansia melakukan cerminan bagaimana lansia merasa puas dengan hidupnya sendiri, melihat hidupnya sebagai salah satu langkah maju yang bernilai dan bermakna dalam kaitannya dengan sekian banyak kehidupan orang lain. Jika lansia berhasil dalam melewati fase ini berarti lansia dapat merasa gembira dan toleran terhadap dirinya dan berhasil mencapai kebijaksanaan. Sebaliknya, jika tidak berhasil melewati fase ini, akan timbul rasa sesal, rasa muak dan putus asa (Erikson, 1989).

Agar lansia dapat menjalani dan melewati setiap kendala yang dihadapinya, diperlukan pemikiran dan penilaian positif yang berasal dari lansia itu sendiri. Penilaian positif ini nantinya dapat membantu lansia untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman hidup, merasakan kepuasan dan kesejahteraan dalam hidupnya atau yang disebut dengan Psychological Well-Being (Ryff C. D., 1989).

Menurut Ryff, Psychological Well-Being adalah suatu variabel psikologis yang mengukur tentang kondisi sejahtera (well-being) seorang individu dalam hidupnya. Ryff juga menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dalam pengalaman hidupnya (Ryff C. D., 1989).

Untuk mengetahui gambaran Psychological Well-Being lansia di Panti Jompo “X” dapat dilihat melalui 6 dimensi Psychological Well-Being yaitu self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan personal growth. Berdasarkan survey awal terhadap 8 lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung diperoleh gambaran sebagai berikut.


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan dimensi self-acceptance, sebesar 75% dapat menerima keadaan diri yang harus menghabiskan sisa kehidupan didalam panti jompo serta menerima dan mensyukuri setiap perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang kehidupannya dan 25% menghayati bahwa saat ini mereka merasa sebagai orang yang dibuang dan diacuhkan oleh keluarga. Lansia yang tidak dapat menerima dirinya sering mengeluh, baik itu tentang dirinya maupun keadaan yang dihadapi saat ini.

Pada dimensi positive relation with others, 62,5% memiliki hubungan yang hangat dan dapat terbuka dengan sesama lansia maupun pengurus panti, serta mau untuk menolong sesama lansia. Sebanyak 37,5% sulit untuk berkomunikasi dan merasa kurang nyaman saat berinteraksi dengan sesama lansia maupun pengurus panti.

Dimensi autonomy menunjukkan bahwa seluruh lansia atau 100% memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Lansia juga mampu untuk menentukan kegiatan apa yang mampu dilakukan dalam mengisi waktu selama di panti.

Berdasarkan dimensi environmental mastery, sebesar 62,5% masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari dan mengikuti beberapa acara yang diadakan di panti. Sedangkan sebesar 37,5% kurang aktif dalam kegiatan panti dan memilih untuk menyendiri.

Dimensi purpose in life menunjukkan sebesar 75% merasa bahwa semua tujuan hidup sudah tercapai, kini adalah waktu untuk mempersiapkan diri menghadap Sang Pencipta. Sebanyak 25% merasa kecewa akan hidup dan keluarganya, kini mereka tidak tau apa yang harus mereka lakukan.

Berdasarkan dimensi personal growth, seluruh lansia atau sebesar 100% mengatakan bahwa sebagian besar waktu dihabiskan untuk beristirahat, melamun,


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

menonton televisi, duduk-duduk dengan sesama lansia dan berbincang-bincang. Lansia tidak mengupayakan dirinya untuk mengerjakan atau membuat beberapa kegiatan di panti jompo yang dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Dari hasil uraian survei awal, terlihat bahwa Psychological Well-Being yang dihayati oleh lansia di panti jompo “X” Kota Bandung berbeda-beda berdasarkan 6 dimensi Psychological Well-Being.

Berdasarkan paparan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dengan melihat gambaran dari keenam dimensi Psychological Well-Being.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Mengetahui Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Psychological Well-Being yang dimiliki lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dilihat dari gambaran keenam dimensi Psychological Well-Being, di antaranya self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life.


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori-teori psikologi, yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Psychological Well-Being pada lansia khususnya di Kota Bandung.

2. Memberikan masukan kepada peneliti lain yang memiliki minat melakukan penelitian lanjutan mengenai Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo lainnya di Indonesia.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi mengenai gambaran Psychological Well-Being yang dimiliki oleh lansia di Panti Jompo “X” kepada pengurus Panti Jompo “X” Kota Bandung, agar dapat menjadi acuan bagi pihak pengurus Panti Jompo “X” Kota Bandung dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh para lansia.

1.5 Kerangka Pikir

Masa menjadi lanjut usia merupakan salah satu tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu. Masa ini merupakan masa akhir suatu kehidupan. Pada akhir masa kehidupan, setiap manusia mengalami perubahan yaitu terjadinya perubahan fisik serta terdapat masalah-masalah mental dan perilaku serta perubahan kognitif (Papalia & Feldman, 2014). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung adalah terjadinya penurunan fungsi indera-indera mereka, kulit mulai keriput, berubahnya warna rambut dan berkurangnya ketahanan serta kekutan tubuh sehingga rentan terhadap penyakit. Adapun masalah mental dan perilaku yang terjadi adalah terjadi penurunan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh perubahan fisiologis yang memengaruhi aktivitas sehari-hari (demensia) dan


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

penyakit Alzheimer. Perubahan juga terjadi pada kognitif mereka, yaitu penurunan sistem syaraf yang memengaruhi kecepatan memroses memori dan kapasitas memori, sehingga mereka menjadi pikun (Papalia & Feldman, 2014).

Tidak hanya terjadi perubahan-perubahan dalam diri mereka, tetapi pada masa ini mereka juga harus melewati fase integritas ego/kebijaksanaan versus keputusasaan. Jika mereka berhasil melewati fase ini maka mereka akan mencapai kebijaksanaan, sebaliknya saat mereka gagal dalam fase ini maka akan timbul keputus asaan (Erikson, 1989).

Namun menjadi tua bukan sesuatu hal yang selalu buruk. Saat usia terus bertambah maka lansia menjadi bijaksana serta memiliki banyak pegalaman dan pandangan tentang kehidupan (Golman, 1988). Agar mereka dapat menjalani kehidupannya dan melewati kendala yang dihadapi, diperlukan pemikiran dan penilaian yang positif. Penilaian positif inilah yang nantinya dapat membantu mereka untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman hidup, merasakan kepuasan dan kesejahteraan hidup atau yang disebut Psychological Well-Being (Ryff C. D., 1989).

Psychological Well-Being adalah suatu variabel psikologis yang mengukur tentang kondisi sejahtera (well-being) lansia dalam hidupnya. Ryff juga menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan lansia mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh lansia sebagai hasil dalam pengalaman hidupnya. Untuk mengevaluasi dan menilai diri serta kualitas hidup lansia secara keseluruhan maka dapat dilihat gambarannya melalui 6 dimensi yang dikemukakan oleh Ryff yaitu self-acceptance (penerimaan diri), positive relation with others (hubungan positif dengan orang lain), autonomy (mandiri), environmental mastery (penguasaan


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha

lingkungan), purpose in life (tujuan hidup) dan personal growth (pertumbuhan pribadi) (Ryff C. D., 1989).

Dimensi pertama adalah self-acceptance (penerimaan diri) mencerminkan kemampuan lansia untuk menerima diri, mengatur dan menerima semua aspek yang baik dan buruk dalam dirinya, serta dapat melihat masa lalu sebagai hal yang positif. Lansia yang memiliki skor penerimaan diri yang tinggi dapat mengatur dan menerima semua aspek yang baik dan buruk dalam dirinya, serta dapat melihat masa lalu dengan perasaan yang positif, sehingga jika saat ini harus berada dipanti jompo lansia dapat menerima keadaan tersebut. Contohnya lansia dapat mengenali dan menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, serta dapat menerima keadaan diri yang harus menghabiskan sisa kehidupan didalam panti jompo meskipun tidak dikunjungi oleh keluarga. Sebaliknya lansia yang memiliki skor penerimaan diri yang rendah memiliki ketidakpuasan yang besar pada dirinya tentang keberadaannya dipanti jompo, lansia tidak merasa nyaman dengan keadaan yang telah terjadi di masa lalunya dan fokus pada beberapa kualitas hidupnya serta ingin mengubahnya. Contohnya lansia merasa sebagai orang yang dibuang dan diacuhkan oleh keluarga. Mereka juga belum bisa menerima keadaan mereka di panti jompo, ada perasaan kecewa terhadap keluarga yang menitipkan mereka ke panti jompo. Mereka juga sering mengeluh tentan keadaan mereka saat ini.

Dimensi kedua adalah hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others) mencerminkan kemampuan lansia untuk menjalin hubungan yang hangat, saling mempercayai dan saling mempedulikan kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain. Lansia yang memiliki skor hubungan positif dengan orang lain yang tinggi memiliki kehangatan, puas akan dirinya sendiri, jujur dalam menjalin hubungan dengan sesama lansia dipanti jompo. Lansia yang memikirkan well-being


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha

orang lain, memiliki kemampuan untuk berempati, afeksi dan keakraban, serta adanya pemahaman untuk saling memberi dan menerima. Contohnya lansia dapat membangun relasi yang positif dengan orang-orang di panti. Lansia juga mampu untuk membantu sesama lansia yang membutuhkan bantuan saat ada yang sakit, saling berbagi cerita tentang pengalaman terdahulu serta saling menguatkan jika ada lansia yang rindu akan keluarganya. Para lansia juga akrab dengan pengurus panti dan sering bercanda jika ada pengurus panti yang lewat dihadapan mereka.

Sebaliknya lansia yang memiliki skor hubungan positif dengan orang lain yang rendah adalah lansia yang tertutup, tidak jujur dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk menjalin hubungan yang hangat, sulit terbuka dan tidak memikirkan well-being orang lain. Lansia juga merasa terisolasi dan frustrasi dengan hubungan sosialnya. Lansia yang seperti ini tidak ingin menjalin komitmen penting dengan orang lain yang berada di panti jompo. Contohnya lansia merasa kurang nyaman saat berelasi dengan lansia dan pengurus panti. Lansia lebih senang sendiri didalam kamar, melamun, duduk sendirian didepan kamar dan beberapa ada yang pergi bersama saudara. Lansia juga cenderung pasif dan lebih memilih untuk merawat diri mereka secara mandiri. Hubungan lansia dengan keluarga juga tidak baik karena lansia merasa kesal ditempatkan di panti jompo.

Dimensi ketiga adalah otonomi (autonomy), yaitu kemampuan lansia untuk mandiri, dapat menentukan yang terbaik untuk dirinya dan tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting. Lansia yang memiliki skor otonomi yang tinggi mampu mengambil keputusan sendiri, tidak tergantung dan mampu mengevaluasi diri dengan standar personal. Contohnya meskipun sudah lanjut usia, mereka merasa bahwa mereka adalah pribadi yang mampu untuk mandiri dan tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha

(sesama lansia, pengurus panti atau keluarga) saat akan mengambil keputusan. Lansia juga mampu untuk menentukan kegiatan yang terbaik bagi dirinya untuk mengisi waktu dihari tua mereka meski tanpa anak dan keluarga. Sebaliknya lansia yang memiliki skor otonomi yang rendah fokus pada harapan orang lain, ketergantungan pada orang lain dan memberikan penilaian sebelum memutuskan hal penting. Contohnya lansia tergantung dan sangat membutuhkan sesama lansia atau pengurus panti untuk menghibur, selalu ingin bertemu dengan keluraga dan mengalami kebingungan dalam melakukan sesuatu.

Dimensi keempat adalah penguasaan lingkungan (environmental mastery), yang menggambarkan suatu perasaan kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar diri dan lansia mampu memberikan bantuan bagi orang lain serta berpartisipasi dalam aktivitas di lingkungannya dan mengendalikannya. Lansia yang memiliki skor penguasaan lingkungan yang tinggi berkompeten dan memiliki penguasaan yang baik dalam mengontrol lingkungan dan aktivitas di luar diri serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya. Contohnya lansia dapat melakukan dan menentukan kegiatan sehari-hari secara mandiri serta mau untuk mengikuti kegiatan dipanti seperti ibadah dan menerima kunjungan. Lansia melakukan kegiatan yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan diri sehingga tidak menyebabkan kelelahan. Sebaliknya lansia yang memiliki skor penguasaan lingkungan yang rendah merasa sulit untuk mengatur hidupnya sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah situasi di sekelilingnya, tidak peduli pada sekitar dan kehilangan kontrol diri. Contohnya lansia kurang aktif dalam kegiatan panti, mereka hanya diam didalam kamar atau hanya melihat lansia lainnya saat melakukan kegiatan bersih-bersih atau olahraga. Jika ada acara atau kunjungan biasanya mereka


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha

jalan-jalan sendiri disekitar tempat acara di panti atau hanya sekedar melihat tetapi tidak mau bergabung.

Dimensi kelima adalah tujuan hidup (purpose in life), yaitu kemampuan lansia untuk memiliki tujuan dan arah yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknan hidupnya. Lansia yang memiliki skor tujuan hidup yang tinggi memiliki tujuan dan arah dalam hidupnya, mampu memberikan makna pada hidupnya baik masa lalu, kini dan yang akan datang serta mempunyai perasaan menyatu, seimbang dan terintegrasi. Contohnya lansia merasa bahwa apa yang mereka alami dalam hidup selama ini, hingga sampai berada di panti jompo adalah jalan yang terbaik yang dapat dapat ditempuh dan tidak merasa menyesal terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi. Bagi lansia semua tujuan hidup sudah tercapai sehingga tidak ada lagi tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk kedepannya, mereka juga merasa kini adalah waktu untuk beristirahat serta mempersiapkan yang terbaik untuk menghadap Sang Pencipta. Sebaliknya lansia yang memiliki skor tujuan hidup yang rendah tidak mempunyai tujuan, arah dan makna dalam hidupnya, tidak mampu memberikan makna pada hidupnya baik masa lalu, kini dan yang akan datang serta tidak mempunyai perasaan menyatu, seimbang dan terintegrasi. Contohnya lansia melewati hidup hanya dengan menjalani hari demi hari tanpa ada tujuan yang jelas dan merasa perjalanan hidupnya adalah sesuatu yang sia-sia. Mereka tidak dapat melihat hal yang bermakna dari pengalaman masa lalu dan berharap untuk segera kembali kepada Sang Pencipta.

Dimensi keenam adalah pertumbuhan pribadi (personal growth), yaitu kemampuan lansia untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam hidup yang berlangsung dalam dirinya dan mampu mengembangkan potensinya. Lansia yang memiliki skor pertumbuhan pribadi yang tinggi memiliki pandangan bahwa


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha

dirinya selalu berkembang, beradaptasi pada pengalaman baru, memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri. Contohnya lansia merasa ada perubahan dalam kehidupan lansia, baik itu kemampuan fisik mereka saat ini yang tidak seoptimal saat muda dulu dalam mengerjakan berbagai tugas sehari-hari di panti jompo, tetapi tetap mengusahakan untuk mengerjakan sesuatu hal seperti mencuci baju sendiri, memasak, membuat kue, meskipun saat mengerjakannya membutuhkan bantuan. Sebaliknya lansia yang memiliki skor pertumbuhan pribadi yang rendah yang merasa hidupnya berhenti (stagnation), tidak mampu berkembang, tidak mampu beradaptasi pada pengalaman baru dan tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri. Contohmya lansia juga tidak mengusahakan dirinya untuk melakukan kegiatan seperti menyulam atau mengembangkan kreatifitas karena merasa diri sudah tidak mampu lagi untuk melakukan apapun dan lansia tidak mampu beradaptasi dengan perubahan serta tidak mampu mengembangkan potensi hanya memilih untuk berdiam diri di kamar, melamun, duduk-duduk dan berbincang-bincang dengan sesama lansia.

Keenam dimensi tersebut menunjukkan gambaran dan derajat masing-masing yang tidak dapat dilepaskan antara satu dimensi dengan dimensi yang lainnya. Selain 6 dimensi tersebut Psychological Well-Being juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya, yaitu faktor sosiodemografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi serta faktor dukungan sosial.

Faktor usia akan memengaruhi pada dimensi environmental mastery, personal growth dan purpose in life (Ryff & Keyes, 1995). Dimensi environmental mastery akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Mereka tahu bahwa kondisi mereka tidak seprima saat muda, sehingga mereka mulai membatasi kegiatan yang dapat membuat mereka merasa lelah. Mereka lebih


(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

memilih untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dengan sesama lansia. Namun masih ada beberapa kegiatan yang dapat dikerjakan secara mandiri, seperti mandi, makan dan mengambil keputusan. Selain itu ada pula dimensi yang mengalami penurunan, yaitu personal growth dan purpose in life. Mereka merasa semua tujuan hidup sudah tercapai dan kini adalah masa untuk beristirahat sehingga tidak ada lagi tujuan-tujuan untuk kedepannya. Melihat keterbatasan yang ada dalam diri mereka, maka lansia tidak mengusahakan untuk mengembangkan diri, seperti menyulam atau aktif dalam kegiatan keagamaan karena menurut mereka kegiatan tersebut sudah tidak mampu lagi mereka lakukan.

Faktor jenis kelamin, dikatakan oleh Ryff bahwa khususunya pada dimensi positive relation with others pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (Ryff C. D., 1995). Lansia yang berjenis kelamin perempuan dalam menjalin relasi dengan sistem sosial dapat menjadi lebih akrab, mereka dapat berbagi cerita dengan sesama lansia perempuan lainnya, dibandingkan lansia yang berjenis kelamin laki-laki. Lansia yang berjenis kelamin laki-laki biasanya menghabiskan waktu untuk mendengar radio atau hanya duduk-duduk sendirian.

Faktor sosial ekonomi meliputi pendidikan dan status sosial, hal ini turut memengaruhi Psychological Well-Being. Menurut Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez, 2002) lansia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, seperti pernah duduk di bangku sekolah memiliki Psychological Well-Being yang lebih baik juga dibandingkan dengan yang tidak sekolah. Penelitian Ryff (2001) dampak tingkat ekonomi pada tingkat well-being menunjukkan hubungan yang jelas antara tingkat sosial ekonomi dan beberapa dimensi Psychological Well-Being, seperti self-acceptance, purpose in life dan personal growth (Lopez, et al., 2010). Lansia yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi lebih mampu untuk menerima diri


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha

dan memiliki tujuan dalam menjalani sisa hidupnya di panti jompo sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimiliki meskipun keadaan tubuh tidak sebaik dulu.

Faktor dukungan sosial didefinisikan sebagai pemberian rasa nyaman, kepedulian dan harapan atau pemberian bantuan kepada lansia, yang bisa diperoleh dari pasangan, keluarga, teman atau organisasi kemasyarakatan (Cobb, 1976). Lansia yang memiliki dukungan sosial yang memadai seperti dari keluarga, teman dan lingkungan panti dapat membuat lansia merasa dirinya dicintai, dipedulikan, dan dihargai sehingga dapat membantu meningkatkan Psychological Well-Being.

Berdasarkan keenam dimensi dan berbagai faktor yang memengaruhi Psychological Well-Being lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dapat dijelaskan pula melalui bagan sebagai berikut:

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Lansia di Panti

Jompo “X” Kota Bandung

Psychological Well-Being

Tinggi

Rendah Dimensi:

1. Self-acceptance 2. Positive relations with

others 3. Autonomy

4. Environmental mastery 5. Personal growth 6. Purpose in life Faktor –faktor:

1. Faktor

sosiodemografi (Usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi) 2. Dukungan sosial


(29)

20

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi Penelitian

1. Skor Psychological Well-Being para lansia di Panti Jompo “X” dapat diukur melalui 6 dimensi yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life dengan skor yang bervariasi.

2. Dimensi Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin dan status sosial ekonomi), serta dukungan sosial.


(30)

61

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil pnelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung sebagian besar menunjukkan

Psychological Well-Being yang tinggi.

2. Psychological Well-Being pada dimensi self-acceptance, positive relation with others, environmental mastery dan purpose in life termasuk dalam kategori tinggi. Adapun pada dimensi autonomy dan personal growth kategori rendah.

3. Faktor sosiodemografis meliputi usia, faktor sosial ekonomi dan dukungan sosial mempunyai keterkaitan dengan Psychological Well-Being.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo, dapat melakukan penelitian dengan membandingkan Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo yang berbeda.


(31)

62

Universitas Kristen Maranatha

2. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo, dapat mempertimbangkan untuk mengorelasi dengan variabel lain.

5.2.2 Saran Praktis

1. Pihak Panti Jompo “X” dapat mempertahankan lansia yang menunjukkan Psychological Well-Being tinggi dan memberikan perhatian, bimbingan, dan dukungan kepada lansia yang menunjukkan Psychological Well-Being rendah dengan membuat program dan meningkatkan fasilitas panti, serta mengupayakan agar program dan fasilitas tersebut diberlakukan.

2. Bagi keluarga diharapkan untuk tetap memberikan dukungan sosial yaitu dengan menjaga komunikasi dengan para lansia, jika tidak bisa untuk berkunjung secara rutin, diharapkan untuk tetap memerhatikan melalui telepon.

3. Bagi para lansia yang memiliki Psychological Well-Being tinggi agar mau terus aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh panti, sehingga dapat lebih produktif, serta mengajak sesama lansia lainnya untuk aktif pula dalam kegiatan yang diadakan oleh panti.


(32)

63

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Cobb, S. (1976). Social Support as a Moderator of Life Stress. Journal of Psychosomatic Medicine.

Erikson, E. H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia. Guilford. (1956). Fundamental Statistic in Psychology and Education. New York:

McGraw-hill.

Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Hurlock, E. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi Berbasis Keagamaan di Jakarta. INSAN Vol. 13.

Kaplan, R. M., & Dennis. P, S. (2009). Psychological Testing: Principles, Applications and issue. USA: Wadsworth.

Lopez, J., Hidalgo, t., Bravo, B., Martinez, I., Pretel, F., Postigo, J., & Rabadan, F. (2010). Psychological Well-Being, Assessment Tools and Related Factors. Psychological Well-Being, 77-113.

Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia: Experience Human Development. In D. E. Papalia, & R. D. Feldman, Menyelammi Perkembangan Manusia: Experience Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is it? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57,No. 6, 1069-1081.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 69, 719-727. Wijayanti. (2008). Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia terhadap Kondisi Sosial

Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Candisari. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman.


(33)

64

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Bandungkab. (2013, november 3). Tahun 2025 Jumlah Lansia akan Mencapai 36 Juta Orang. Retrieved from bandungkab.go.id: www.bandungkab.go.id/arsip/3290/tahun-2025-jumlah-lansia-akan-mencapai-36-juta-orang, diakses 31 Agustus 2014.

Fleming, J. S. (2004). swppr.org. Retrieved from Erikson's Psychological Development Stages: http://swppr.org/textbook/ch%209%20erikson.pdf, diakses 31 Agustus 2015.

Golman, D. (1988, June 14). Erikson, in His Own Old Ages, Expands His View of Life. Retrieved from nytime: www.nytimes.com/1988/06/04/science/erikson-in-his-own-old-age-expands-his-view-of-life.html?pagewanted=all, diakses 31 Agustus 2015.

Indira, P. (2012, April 17). Beban Ketergantungan Lansia Mengkhawatirkan.

Retrieved from kompas.com:

http://health.kompas.com/read/2012/04/17/18571099/beban.ketergantungan.lan sia.mengkhawatirkan, diakses 23 November 2015.

Wardani, D. (2015, Januari 20). satuharapan.com. Retrieved from Menitipkan Orang Tua di Panti Wreda?: www.satuharapan.com/read-detail/read/menitipkan-perawatan-orang-tua-di-panti-wreda, diakses 12 November 2015.

Yenny, & Herwana, E. (2012, april). Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. Retrieved from univmed.org: http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny.pdf, diakses 31 Agustus 2014.


(1)

Universitas Kristen Maranatha dan memiliki tujuan dalam menjalani sisa hidupnya di panti jompo sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimiliki meskipun keadaan tubuh tidak sebaik dulu.

Faktor dukungan sosial didefinisikan sebagai pemberian rasa nyaman, kepedulian dan harapan atau pemberian bantuan kepada lansia, yang bisa diperoleh dari pasangan, keluarga, teman atau organisasi kemasyarakatan (Cobb, 1976). Lansia yang memiliki dukungan sosial yang memadai seperti dari keluarga, teman dan lingkungan panti dapat membuat lansia merasa dirinya dicintai, dipedulikan, dan dihargai sehingga dapat membantu meningkatkan Psychological Well-Being.

Berdasarkan keenam dimensi dan berbagai faktor yang memengaruhi Psychological Well-Being lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dapat dijelaskan pula melalui bagan sebagai berikut:

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Lansia di Panti

Jompo “X”

Kota Bandung

Psychological Well-Being

Tinggi

Rendah Dimensi:

1. Self-acceptance 2. Positive relations with

others 3. Autonomy

4. Environmental mastery 5. Personal growth 6. Purpose in life Faktor –faktor:

1. Faktor

sosiodemografi (Usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi) 2. Dukungan sosial


(2)

20

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

1. Skor Psychological Well-Being para lansia di Panti Jompo “X” dapat diukur melalui 6 dimensi yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life dengan skor yang bervariasi.

2. Dimensi Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin dan status sosial ekonomi), serta dukungan sosial.


(3)

61

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil pnelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Lansia di Panti Jompo “X” Kota Bandung sebagian besar menunjukkan

Psychological Well-Being yang tinggi.

2. Psychological Well-Being pada dimensi self-acceptance, positive relation with others, environmental mastery dan purpose in life termasuk dalam kategori tinggi. Adapun pada dimensi autonomy dan personal growth kategori rendah.

3. Faktor sosiodemografis meliputi usia, faktor sosial ekonomi dan dukungan sosial mempunyai keterkaitan dengan Psychological Well-Being.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo, dapat melakukan penelitian dengan membandingkan Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo yang berbeda.


(4)

62

Universitas Kristen Maranatha 2. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

Psychological Well-Being pada lansia yang tinggal dipanti jompo, dapat mempertimbangkan untuk mengorelasi dengan variabel lain.

5.2.2 Saran Praktis

1. Pihak Panti Jompo “X” dapat mempertahankan lansia yang menunjukkan Psychological Well-Being tinggi dan memberikan perhatian, bimbingan, dan dukungan kepada lansia yang menunjukkan Psychological Well-Being rendah dengan membuat program dan meningkatkan fasilitas panti, serta mengupayakan agar program dan fasilitas tersebut diberlakukan.

2. Bagi keluarga diharapkan untuk tetap memberikan dukungan sosial yaitu dengan menjaga komunikasi dengan para lansia, jika tidak bisa untuk berkunjung secara rutin, diharapkan untuk tetap memerhatikan melalui telepon.

3. Bagi para lansia yang memiliki Psychological Well-Being tinggi agar mau terus aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh panti, sehingga dapat lebih produktif, serta mengajak sesama lansia lainnya untuk aktif pula dalam kegiatan yang diadakan oleh panti.


(5)

63

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Cobb, S. (1976). Social Support as a Moderator of Life Stress. Journal of Psychosomatic Medicine.

Erikson, E. H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia. Guilford. (1956). Fundamental Statistic in Psychology and Education. New York:

McGraw-hill.

Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Hurlock, E. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-Being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi Berbasis Keagamaan di Jakarta. INSAN Vol. 13.

Kaplan, R. M., & Dennis. P, S. (2009). Psychological Testing: Principles, Applications and issue. USA: Wadsworth.

Lopez, J., Hidalgo, t., Bravo, B., Martinez, I., Pretel, F., Postigo, J., & Rabadan, F. (2010). Psychological Well-Being, Assessment Tools and Related Factors. Psychological Well-Being, 77-113.

Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia: Experience Human Development. In D. E. Papalia, & R. D. Feldman, Menyelammi Perkembangan Manusia: Experience Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is it? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57,No. 6, 1069-1081.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 69, 719-727. Wijayanti. (2008). Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia terhadap Kondisi Sosial

Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Candisari. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman.


(6)

64

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Bandungkab. (2013, november 3). Tahun 2025 Jumlah Lansia akan Mencapai 36 Juta Orang. Retrieved from bandungkab.go.id: www.bandungkab.go.id/arsip/3290/tahun-2025-jumlah-lansia-akan-mencapai-36-juta-orang, diakses 31 Agustus 2014.

Fleming, J. S. (2004). swppr.org. Retrieved from Erikson's Psychological Development Stages: http://swppr.org/textbook/ch%209%20erikson.pdf, diakses 31 Agustus 2015.

Golman, D. (1988, June 14). Erikson, in His Own Old Ages, Expands His View of Life. Retrieved from nytime: www.nytimes.com/1988/06/04/science/erikson-in-his-own-old-age-expands-his-view-of-life.html?pagewanted=all, diakses 31 Agustus 2015.

Indira, P. (2012, April 17). Beban Ketergantungan Lansia Mengkhawatirkan.

Retrieved from kompas.com:

http://health.kompas.com/read/2012/04/17/18571099/beban.ketergantungan.lan sia.mengkhawatirkan, diakses 23 November 2015.

Wardani, D. (2015, Januari 20). satuharapan.com. Retrieved from Menitipkan Orang Tua di Panti Wreda?: www.satuharapan.com/read-detail/read/menitipkan-perawatan-orang-tua-di-panti-wreda, diakses 12 November 2015.

Yenny, & Herwana, E. (2012, april). Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. Retrieved from univmed.org: http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny.pdf, diakses 31 Agustus 2014.