Pengaturan Tindak Pidana Yang Menghambat Proses Peradilan (Contempt Of Court) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.

(1)

PENGATURAN TINDAK PIDANA YANG MENGHAMBAT PROSES

PERADILAN (CONTEMPT OF COURT) DALAM SISTEM HUKUM PIDANA

INDONESIA ABSTRAK

Perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan manusia. Demikian

juga perkembangan sosial mempengaruhi perkembangan kejahatan. Adapun Salah satunya, yaitu perbuatan yang dianggap merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan terhadap peradilan. Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court. Rancangan Undang-Undang KUHP, di dalam perumusannya mencoba menerapkan kebijakan kriminalisasi perbuatan Contempt of Court. Istilah Contempt of Court dikenal dalam sistem Common Law, di mana dalam Rancangan KUHP Indonesia istilah tersebut diterjemahkan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan. Tulisan ini membahas apakah tindakan Contempt of Court perlu dikriminalisasi.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif merupakan suatu penelitian bersifat deduktif. Bahan-bahan hukum yang digunakan antara lain bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer terdiri dari penjelasan undang, Rancangan undang-undang KUHP dan literatur-literatur, kajian akademis, tesis-tesis. Metode pendekatan yuridis normatif bertujuan untuk mengetahui pengertian Contempt of Court dan

mengkaji kriminalisasi terhadap tindakan Contempt of Court, serta urgensitas

Contempt of Court dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Penulis menyimpulkan bahwa pengertian tindakan Contempt of Court adalah

segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat menghilangkan sifat sakral dari suatu peradilan dan merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan

badan peradilan. Dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat dikriminalisasi

sehingga perlu diatur dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana indonesia. Dalam penegakkan hukumnya harus berdasarkan asas legalitas sehingga perlu adanya pengesahan undang-undang. Tetapi, sebelum dilakukannya pengesahan maka harus ada pembenahan dalam pasal karena tidak semua pasal dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana tersebut dapat dikriminalisasi.


(2)

REGULATIONS FOR THE CRIMINAL ACT OF OBSTRUCTING THE COURSE OF JUSTICE (CONTEMPT OF COURT) IN THE INDONESIAN

CRIMINAL LAW SYSTEM ABSTRACT

Social developments may affect the various patterns of human action. By the same token, social growth may well have an impact on the development of crime. It so happens that one of these criminal acts consists of certain behavior that disparages and undermines the authority, dignity and honor of the judicature. This form of crime is generally referred to as Contempt of Court. The parliamentary draft for the Criminal Code (KUHP) attempts to apply the policy of criminalization in its formulization of the criminal act known as Contempt of Court. The legal term Contempt of Court has been known in the Common Law system, where the term is interpreted (in the draft or Parliamentary Bill for the Indonesian Criminal Code mentioned above) as a criminal offense against the legal process or in broader terms, the actual course of justice. This research study discusses the issue of whether the criminal act defined as Contempt of Court is in need of criminalization or not.

The method used consists of the juridical-normative research method. This particular method can be classified as a deductive form of research. Among others, the legal sources and materials used include primary legal sources consisting of legislative regulations, while the secondary ones comprise library materials that contain information in primary references made up of clarifications of laws and ordinances, drafts (bills) for laws that fall under the Criminal Code, and various sources from the available literature, academic studies and theses on the subject. The juridical-normative approach aims to establish the correct interpretation of Contempt of Court and investigates its criminalization in order to determine the degree of its urgency in the draft or Parliamentary Bill for the Indonesian Penal Code. Upholding the law must be based on the principle of legality, so there is an obvious need for legalization of the laws involved. However, before this step is to be taken, the related sections (legal articles) dealing with this particular issue must be adjusted and improved, for as a matter of fact, not all sections in the proposal mentioned above can be subjected to criminalization.

Key words: Criminalization, Contempt of Court, Indonesian Criminal Law System


(3)

Halaman Judul ………... i

Halaman Pernyataan Keaslian ……… ii

Halaman Persetujuan Skripsi ……… iii

Halaman Pengesahan Pembimbing ………... iv

Halaman Persetujuan Panitia Sidang ………. v

Abstrak ……….. vi

Abstract ………. vii

Kata Pengantar ……….. viii

Daftar Isi ……… x

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Identifikasi Masalah ………. 13

C. Tujuan Penelitian ……….. 13

D. Kegunaan ……….. 13

E. Kerangka Pemikiran ……….. 14

F. Metode Penelitian ……….. 17

G. Sistematika Penulisan ……… 20

BAB II SISTEM HUKUM PIDANA DAN PERADILAN PIDANA INDONESIA ………. 22 A. Pengertian & Asas Hukum Pidana ……….. 22

B. Sifat Publik dari Hukum Pidana, Tujuan Hukum Pidana dan Peradilan Pidana Indonesia ………. 29 C. Tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit ……….. 37

D. Jenis-Jenis Perbuatan Pidana ………. 40

E. Pembaharuan Hukum Pidana Materil Indonesia (KUHP)……….. 43 BAB III CONTEMPT OF COURT DAN PERKEMBANGANNYA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA ………. 49 A. Sejarah dan Pengertian Contempt of Court ……….. 49

B. Jenis dan Bentuk Contempt of Court ……… 53

C. Perkembangan Pengaturan Contempt of Court dalam

Sistem Hukum Indonesia ……….

65

BAB IV PENGATURAN TINDAK PIDANA YANG

MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT

OF COURT) DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA ………...……

72 A. Contempt of Court dalam Perspektif Sistem Hukum


(4)

BAB V PENUTUP ………. 101

A. Kesimpulan ……… 101

B. Saran ………. 103

DAFTAR PUSTAKA ……… 104


(5)

DATA PRIBADI

Nama : MAGDALENA ZEBUA

Alamat : Jalan Surya Sumantri No. 68 A

Nomor Telepon : 081370675076

Email : zebuamagda@gmail.com

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat,Tanggal Kelahiran : Gunungsitoli, 05 Desember 1990

Agama : Kristen Protestan

RIWAYAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Jenjang Pendidikan :

2010 - sekarang Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung

2005 - 2008 SMA N 3 Plus Ya’ahowu Gunungsitoli,Nias

2002 - 2005 SMP N 3 Gunungsitoli,Nias

1996 - 2002 SD N 05 Gunungsitoli, Nias

Pendidikan Non Formal / Training – Seminar/Perlombaan

1. Seminar Ketatanegaraan Dalam Konstitusi yang diselenggarakan oleh: Fakultas

Hukum Universitas Kristen Maranatha, Jumat-Sabtu, 29-30 April 2011.

2. Seminar Nasional Problematika Hukum Dalam Implementasi Bisnis Dan

Investasi (perspektif Multidimensi), yang diselenggarakan pada 24 November 2011.


(6)

4. Lomba Debat Internal “Piala Dekan” Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2012.

5. Seminar Pendidikan Profesi Hukum “Implikasi Profesi Hukum Terhadap

Pembangunan Bangsa”, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 17,14,dan 31 Maret 2012.

6. Seminar Nasional “Penegakkan Hukum dan Upaya Pencegahan Terhadap

Kejahatan Perbankan”, yang diselenggarakan senat mahasiswa sekolah tinggi hukum bandung, 16 juni 2011.

7. Seminat nasional Call For Paper, “Problematika Hukum dalam Implementasi

Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakan fakultas hukum universitas Kristen maranatha, 24 November 2011.

8. Seminar “Go Green with Information Technology” yang diselenggarakan

Fakultas Teknologi Informasi, 17 maret 2009.

PENGALAMAN ORGANISASI

2011- sekarang Tim Debat Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha

2011 – 2012 Bagian Aspirasi Mahasiswa di Badan Perwakilan Mahasiswa

Fakultas hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2011-2012

2011 – 2012 Asisten Laboratorium Hukum Universitas Kristen Maranatha

2008-sekarang PMK IT

Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.


(7)

A. Latar Belakang

Berdasarkan fungsinya, kaidah hukum dibedakan menjadi kaidah hukum materil dan kaidah hukum formil. Pengertian kaidah hukum materil adalah kaidah hukum yang mengatur tentang isi hubungan antar manusia atau yang menetapkan perbuatan atau perilaku apa yang diharuskan atau dilarang atau diperbolehkan, termasuk akibat-akibat hukum dan ancaman-ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

Kaidah hukum materil disebut juga sebagai hukum substantif. Kaidah hukum formil adalah kaidah hukum yang mengatur tata cara yang harus ditempuh dalam mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materil, khususnya upaya penyelesaian perselisihan melalui pengadilan. Hukum formil disebut juga sebagai hukum prosedural atau hukum acara.

Kaidah hukum materil dan kaidah hukum formil sangat erat hubungannya. Kaidah hukum materil menggantungkan peran atau fungsinya kepada hukum formil. Hukum materil dapat berfungsi dengan baik apabila hukum formil mampu secara baik untuk melaksanakan fungsinya dalam mempertahankan hukum materil. Sementara hukum formil dapat dikatakan


(8)

sebagai hukum yang baik apabila hukum materil dapat dipertahankan dan dijalankan sebaik-baiknya.

Dalam lingkup hukum pidana dikenal hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Antara hukum pidana materil dan hukum pidana formil hubungannya sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Hukum pidana formil tidak mungkin ada tanpa adanya hukum pidana materil, sebaliknya hukum pidana materil akan kehilangan maknanya tanpa keberadaan hukum pidana formil.

Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat dipidana dan ketentuan mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum pidana yang mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat perlengkapannya

melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.1

Perkembangan kondisi sosial mempengaruhi perkembangan substansi hukum dalam sumber hukum formil (perundang-undangan). Sumber hukum materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi atau pandangan keagaamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan

internasional, keadaan geografis.2

1

Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. Yogyakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 52. 2


(9)

Menurut Saut P. Panjaitan, sumber hukum materil yaitu faktor-faktor atau kenyataan-kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor idiil dan faktor sosial masyarakat. Faktor idiil adalah faktor yang berdasarkan kepada cita masyarakat akan keadilan. Sedangkan faktor sosial masyarakat tercemin dalam bentuk struktur ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, tata hukum negara lain, agama dan kesusilaan

dan kesadaran hukum.3

Jenis-jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, terdapat dalam substansi hukum materil. Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan-perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan. Pelanggaran (wetdelichten) adalah perbuatan-perbuatan yang oleh

masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang

merumuskannya sebagai delik.4

3

Saut P. Panjaitan. Dasar-dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, dan Sistematika). Universitas Sriwijaya, Palembang , 1998, hlm. 145-146.

4

Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang, UMM Press, 2008, hlm. 117-118.


(10)

Perkembangan dan perubahan sosial suatu masyarakat merupakan suatu hal yang normal, justru dikatakan tidak normal jika tidak terjadi perubahan. Demikian juga dengan hukum yang digunakan oleh suatu bangsa merupakan cerminan dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Hukum sebagai tatanan kehidupan yang mengatur pergaulan masyarakat dengan segala peran dan fungsinya akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial

yang melingkupinya.5

Perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan merubah konsepsi mengenai kejahatan dalam hukum pidana. Hukum pidana sendiri merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan, sementara kejahatan itu sendiri merupakan akibat dari perubahan dan perkembangan sosial. Hukum pidana akan dirasa tidak memiliki manfaat yang berarti jika ia hanya berkutat dengan konsep, asas, dan teori yang dibuat untuk

menanggulangi berbagai fenomena sosial destruktif masa lalu.6 Dalam

perkembangannya, perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan manusia salah satunya adalah perbuatan yang dianggap merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan terhadap peradilan dunia. Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court.

Rancangan Undang-Undang KUHP Indonesia, di dalam perumusannya mencoba menerapkan kebijakan kriminalisasi. Salah satu tindakan yang

5

Abdul Manan. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 77. 6


(11)

dikriminalisasi adalah tindakan Contempt of Court. Istilah Contempt of Court dikenal dalam sistem Common Law, dimana dalam Rancangan KUHP Indonesia istilah tersebut diterjemahkan sebagai tindak pidana terhadap proses

peradilan. Pada awalnya tujuan diaturnya Contempt of Court adalah untuk

melindungi kekuasaan lembaga-lembaga umum atau istimewa, administrasi peradilan dan pengadilan. Contempt of Court dipandang sebagai suatu kejahatan khusus, sehingga orang yang melakukan tindak pidana Contempt of Court dijatuhi hukuman yang keras dan bersifat memaksa.

Di Indonesia istilah Contempt of Court baru dikenal pada tahun 1985

dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam Penjelasan Umum butir 4, yang disebutkan :

“untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.”7

Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa pengertiannya tertuju pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Namun karena suatu lembaga adalah suatu yang abstrak, maka ketiga hal tersebut yaitu wibawa, martabat dan kehormatan tertuju pada :

7

Wahyu Wagiman. Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri . hlm. 8, Hal ini dapat diketahui dari seminar tentang Contempt of Court yang diselenggarakan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada maret 1987, Hukum online, 19 Maret 2005, “Diusulkan UU Contempt of Court untuk Lindungi Hakim”.


(12)

a. Manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut;

b. Hasil buatan lembaga tersebut;

c. Proses kegiatan dari lembaga tersebut;8

Oleh karena itu, apabila terdapat perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang ditujukan terhadap tiga hal tersebut di atas, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court) .

Adapun beberapa rumusan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court) yang dimasukkan ke dalam

RUU KUHP, antara lain :9

1. Penasihat hukum yang dalam pekerjaannya memberikan bantuan hukum,

mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya, sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan yang dibantunya.

2. Penasihat hukum yang dalam pekerjaannya memberikan bantuan hukum

untuk memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru

8

Padmo Wahyono. Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia, dalam era Hukum No.1 Tahun I November 1987. hlm 22.

9

Wahyu Wagiman. Contempt Of Court Dalam Rancangan KUHP Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2. hlm.18, Hal ini dapat diketahui dari seminar tentang Contempt of Court yang diselenggarakan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada maret 1987, Hukum online, 19 Maret 2005, “Diusulkan UU Contempt of Court untuk Lindungi Hakim”.


(13)

bahasa, penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.

3. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau

pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana itu untuk orang lain.

4. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas

peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu proses sidang peradilan.

5. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan

dilakukannya publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.

6. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana

terorisme, korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan.

Sedangkan ketentuan lainnya merupakan ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang sudah ada dalam KUHP yang saat ini berlaku, seperti dalam ketentuan :

1. Pasal 210 KUHP :


(14)

2. Pasal 216 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalang - halangi penyidikan.

3. Pasal 217 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menimbulkan kegaduhan dalam sidang.

4. Pasal 221 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menyembunyikan tersangka.

5. Pasal 222 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalangi otopsi.

6. Pasal 223 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu meloloskan atau membantu meloloskan terpidana.

7. Pasal 224 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan.

8. Pasal 225 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi surat perintah untuk menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan.


(15)

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menarik suatu barang yang disita serta menghancurkan dan merusak barang yang disita sehingga tidak dapat dipakai.

10.Pasal 232 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu merusak penyegelan suatu benda.

11.Pasal 233 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghancurkan atau menghilangkan barang–barang yang digunakan.

12.Pasal 317 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu melakukan pengaduan atau pemberitahuan palsu tentang seseorang.

13.Pasal 417 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menggelapkan, menghancurkan barang sehingga tidak dapat dipakai lagi.

14.Pasal 522 KUHP :

Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan sebagai saksi, ahli atau juru bahasa.

Tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan melawan hukum sehingga dipandang perlu diatur lebih spesifik.


(16)

Di Indonesia sering terjadi peristiwa di mana terdakwa menghambat proses beracara di Pengadilan. Contoh kasus yang menghambat proses persidangan antara lain :

1. Kasus Nunun Nurbaetie (Kasus Cek Pelawat)

Dalam kasus ini, terdakwa pura-pura sakit lupa akut sehingga proses persidangan ditunda dan pada akhirnya Nunun tertangkap di sebuah

rumah di kawasan Saphan Sun, Bangkok, Thailand. 10 Tindakan

berpura-pura sakit lupa akut merupakan tindakan yang menghambat proses persidangan.

2. Kasus Nenek Leona (Kasus penipuan dan penggelapan terkait jual-beli tanah dengan pengusaha Jakarta Putra Masagung)

Dalam kasus ini, terdakwa berpura-pura sakit dan sidang ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Proses persidangan berlarut-larut dan

sidangnya sering ditunda karena dalih sakit.11 Tindakan berpura-pura sakit

merupakan tindakan yang menghambat proses persidangan.

3. Kasus Angelina Sondakh (Kasus korupsi pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan kementrian Pendidikan Nasional)

10

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/12/12/lw32it-nunun-kembali-jalani-pemeriksaan-di-kpk diakses tanggal 12 desember 2011

11

http://telingalebar.blogspot.com/2012/08/sidang-perkara-nenek-leona-dilanjutkan.html pada tanggal 2 agustus 2012


(17)

Dalam kasus ini, terdakwa memberikan keterangan palsu dengan mengaku tidak memiliki HP Nokia yang merupakan barang bukti adanya percakapan dengan tersangka lainnya Mindo Rosalina Manulang. Dalam pengakuannya Angie mengakui HP-nya rusak karena tercebur kekolam. Dalam kesaksian Angie ini membantah dirinya melakukan komunikasi dengan Rosa. Dengan adanya hal tersebut , maka hal itu dapat

menghambat proses persidangan.12 Tindakan terdakwa memberikan

keterangan palsu merupakan tindakan yang menghambat proses persidangan.

4. Kasus Kerusuhan 1 Mei 2008

Dalam kasus ini, dalam sidang lanjutan ratusan anggota FPI berdatangan di pengadilan negeri Jakarta pusat. Beberapa anggota FPI tampak berusaha mendobrak pintu pagar pengadilan negeri yang sengaja

ditutup.13 Tindakan membuat kerusuhan merupakan tindakan yang

menghambat proses persidangan.

Fakta di atas menunjukkan masih kurang penghargaan dan penghormatan terhadap lembaga peradilan. Perlunya pengaturan kriminalisasi tindakan Contempt of Court di Indonesia, supaya lembaga peradilan menjadi lembaga yang terhormat dan bermartabat. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

12

http://www.merdeka.com/artis/barang-bukti-kasus-angie-dilempar-keanu-ke-kolam.html diakses pada hari Rabu, 15 Februari 2012.

13

http://akuindonesiana.wordpress.com/2008/10/10/persidangan-kasus-kerusuhan-1-mei-berlangsung-tegang-setelah-pada-persidangan-yang-lalu-front-pembela-islam-melakukan-contempt-of-court/ pada tanggal 10 oktober 2008


(18)

tentang Mahkamah Agung, terutama penjelasan Umum butir 4 yang menyatakan bahwa :

“untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.”

Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan bebas, mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri yaitu pengadilan.

Peradilan atau pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Penting, karena bertugas untuk menegakkan hukum yang diharapkan selaras dengan keadilan. Terhormat, karena diisi oleh orang-orang yang dipercaya dapat menjamin penegakan hukum. Namun belakangan ini institusi ini menjadi pudar, bersamaan dengan perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang menyelewengkan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa saat pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terdapat


(19)

situasi yang kurang kondusif dalam praktek peradilan di Indonesia yang menuntut perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan. Situasi ini ditanggapi oleh para hakim, dengan mengajukan ide ataupun usulan mengenai perlunya dibentuk suatu undang-undang atau aturan khusus yang dapat memberikan perlindungan terhadap para hakim dalam

menjalankan tugasnya.14

Tindakan-tindakan tersebut aturannya sudah ada, tetapi tersebar di berbagai Undang-undang misalnya keterangan palsu, penyuapan oleh penegak

hukum, kerusuhan dan lain sebagainya. Tindakan Contempt of Court diatur

khusus untuk menghormati martabat pengadilan.

Peneliti tertarik membahas permasalahan apakah tindakan Contempt of

Court dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat dikriminalisasikan dan perlu diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang dimaksud Contempt of Court menurut sistem hukum Indonesia?

2. Apakah tindakan Contempt of Court dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana?

3. Apa yang menjadi urgensi pengaturan tindakan pidana yang menghambat

proses peradilan (Contempt of Court) dalam sistem hukum Indonesia?

14

Wahyu Wagiman. Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2., op. cit hlm. 19


(20)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji secara komprehesif mengenai Contempt of Court menurut

sistem hukum Indonesia.

2. Mengkaji kualifikasi tindakan Contempt of Court sebagai tindak pidana.

3. Mengkaji urgensi tindakan Contempt of Court dalam Rancangan

Undang-Undang KUHP.

D. Kegunaan

1. Memberikan gambaran dan pemahaman secara komprehesif tentang

Contempt of Court dalam sistem hukum Indonesia.

2. Memberikan gambaran dan pemahaman kualifikasi tindakan Contempt of

Court sebagai tindak pidana dalam sistem hukum Indonesia.

3. Memberikan gambaran dan pemahaman urgensi tindakan Contempt of

Court dalam Rancangan Undang-Undang KUHP.

E. Kerangka Pemikiran

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Suatu delik atau tindak pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia memiliki akibat pada masyarakat umum (publik) yaitu meresahkan sehingga tidak dapat dibiarkan. Terjadinya delik mengganggu ketenangan hidup, keamanan dan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena menyangkut kepentingan hidup orang banyak, maka hukum pidana memiliki


(21)

sifat publik.15 Dengan demikian, tujuannya berkaitan erat dengan masalah yang diteliti oleh penulis.

Teori Negara hukum formil, menurut Imannuel Kant Negara hukum

formil yaitu Negara yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara hukum formil disebut juga “Negara Demokrasi” yang

berlandaskan kepada Negara hukum.16 Di dalam implementasi pembentukkan

hukum harus ada pengesahan dasar hukumnya.

Penanggulangan kejahatan dilakukan dengan mendayagunakan hukum pidana dengan melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai ancaman sanksi pidananya melalui suatu kebijakan. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan kriminalisasi. Joko Prakorso dengan mengutip pendapat Sudarto mengatakan, bahwa kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa

pidana. 17

Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa kriminalisasi dapat

diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan perbuatan apa yang akan dilarang karena membahayakan atau merugikan, dan sanksi apa yang akan

15

Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Cetakan kedua 2012. Hlm 6. 16

Yesmil Anwar,Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep,Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Widya padjadjaran. 2009, hlm 117-118.

17


(22)

dijatuhkan, maka sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai proses

penegakannya.18

Berdasarkan pengertian kriminalisasi di atas, ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu, tetapi juga berkaitan dengan pemberatan sanksi pidana

terhadap tindak pidana yang sudah ada. 19

Setiap negara menginginkan adanya ketertiban dan ketentraman serta keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia sangatlah penting. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi.

Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja disebutkan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga

18

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Penal, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 154.

19

Paul Cornili, “Criminality dan Deviance in a Changing World”, Ceramah pada Kongres PBB IV 1970 mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offender, sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan (Studi terhadap Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal, dan Pencucian Uang), Disertasi, Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 54.


(23)

termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu

dalam kenyataan di masyarakat.20

Asas hukum pidana Indonesia yaitu asas nulla poena,sine lege yang artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan. Dengan asas ini, suatu perbuatan seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak ada aturan hukum yang diatur di dalam Undang-undang. Asas ini juga disebut asas legalitas. Dalam asas legalitas dikenal asas lex certa artinya pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana. Pembuat undang-undang harus mendefenisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta).

Untuk menegaskan apakah Contempt of Court merupakan tindak pidana, berdasarkan asas legalitas, suatu rumusan delik harus tertulis dalam peraturan perundang-undangan sehingga perlu dikaji apakah Contempt of Court perlu dikriminalisasikan atau tidak.

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian senantiasa digunakan cara kerja. Cara kerja adalah langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisis, menjawab dan memecahkan masalah dalam penelitian. Cara kerja inilah yang dikategorikan

20

Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bina Cipta, 1972, hlm. 11.


(24)

sebagai metode penelitian. Adapun penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan perbandingan hukum.

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan yang bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya.

Menggunakan metode perbandingan hukum berdasarkan penelitian

terhadap hukum dari berbagai negara dengan teknik perbandingan.21

Bermacam hal yang berhubungan dengan pembuatan, pengaplikasian dan administrasi hukum juga ditemukan dalam metode ini sebagai suatu garis pedoman, alat dalam kecakapan bekerja dan sebuah rancangan pada situasi dimana sistem tersebut dapat dibangun pada bidang masing-masing dengan memperbandingkan hukum di negara mereka dengan sistem hukum lainnya.

21


(25)

2. Penelitian Yuridis Normatif dan Perbandingan Hukum menggunakan data sekunder, terdiri dari :

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan

ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai gagasan atau ide. Bahan hukum primer ini mencakup peraturan perundang-undangan antara lain, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Rancangan Undang-undang KUHP.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang bahan primer, terdiri atas penjelasan undang-undang, rancangan undang-undang KUHP dan literatur-literatur, kajian akademik, tesis-tesis tentang tindakan Contempt of Court dalam sistem hukum pidana Indonesia, bahan-bahan seminar, simposium dan diskusi panel.

3. Langkah-langkah Penelitian

Langkah penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan menunjuk pada suatu cara memperoleh data yang diperlukan, dengan menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan.

4. Sifat Penelitian

Penelitian skripsi ini bersifat Preskriptif, yaitu dengan menggambarkan ilmu hukum itu sendiri yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai


(26)

keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif di mana suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau acara harus juga berpegang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum yang bersifat preskriptif akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar dan cara tersebut. Hasil dari studi tersebut berupa

preskripsi-preskripsi.22 Sehingga dari penelitian yang bersifat preskriptif ini dapat

menemukan standard an cara agar mencapai dari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.

5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum diperoleh dari berbagai sumber. Bahan hukum yang diperoleh keseluruhannya dikumpulkan baik berupa buku, literatur, makalah ataupun jurnal.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini sistematika penyajian yang disusun oleh peneliti diuraikan sebagai berikut :

22


(27)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : SISTEM HUKUM DAN PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Bab ini akan menguraikan tentang pengertian & asas hukum pidana, sifat publik hukum pidana dan tujuan hukum pidana, tindak pidana atau strafbaar feit, jenis-jenis perbuatan pidana, pembaharuan hukum pidana materil Indonesia (KUHP), dan kebijakan kriminal & kebijakan hukum pidana serta peradilan pidana di Indonesia.

BAB III : CONTEMPT OF COURT

Bab ini akan menguraikan tentang Contempt of Court yang

akan diuraikan sejarah, Negara yang mengatur tentang Contempt of Court, aturan apa saja yang diatur dalam Contempt of Court.


(28)

Bab ini akan menguraikan pembahasan alternatif pemecahan masalah. Argumen-argumen yang disertai dengan bukti misalnya berupa matriks, bagan, dan sebagainya.

BAB V : PENUTUP


(29)

A. Kesimpulan

1. Pengertian Contempt of Court di Indonesia tidak diklasifikasikan sebagai

Civil Contempt, Criminal Contempt, Direct Contempt, dan Indirect Contempt. Dalam sistem Indonesia Contempt of Court merupakan perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of judiciary). Contempt of Court juga dapat diartikan sebagai perbuatan baik secara aktif maupun pasif yang dilakukan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan yang dianggap merendahkan dan merongrong

kewibawaan peradilan. Sehingga, Contempt of Court dalam Sistem

Hukum Indonesia merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat menghilangkan sifat sakral dari suatu peradilan dan merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.

2. Bahwa tindakan Contempt of Court dikategorikan sebagai tindak pidana

karena perbuatan tersebut meresahkan sistem peradilan di Indonesia. Pada kenyataannya telah banyak terjadi kasus Contempt of Court dalam proses


(30)

peradilan. Dari rincian tindak pidana yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa tidak semua pasal dapat dijadikan sebagai tindak pidana. Beberapa alasan, penulis berpendapat tidak semua pasal dapat dijadikan sebagai tindak pidana antara lain :

a. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP masih bersifat hukum privat

(perdata), misalnya pada pasal 328 butir (a) RUU KUHP. Dalam pasal ini, seharusnya advokat sudah mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan maka kesepakatan ini sudah diketahui kedua belah pihak.

b. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP terdapat pasal yang kurang

memberi kejelasan secara melawan hukum.

c. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP bertentangan dengan asas atau

prinsip hukum lain misalnya hak asasi manusia.

Jadi, penulis berpendapat tidak semua pasal dijadikan sebagai tindak pidana sehingga perlu ada pembenahan dalam pasal-pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.

3. Contempt of Court perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dengan alasan antara lain :

a. Tindakan Contempt of Court memenuhi syarat-syarat untuk

dikriminalisasi yakni : perbuatan yang dapat meresahkan, merongrong wibawa peradilan, tidak menghormati proses peradilan dan dapat mengancam keamanan dalam suatu proses persidangan.


(31)

b. Pembatasan untung atau rugi diaturnya Contempt of Court dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yakni biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pengaturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku tindakan tersebut seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

B. Saran

1. Kebijakan pemerintah untuk menegakkan Contempt of Court terutama

dalam penerapan sanksi bagi pelaku.

2. Peraturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang

Kitab Hukum Pidana harus dibenahi karena terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.


(32)

A.Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.

Barda Nawawi Arief. Kebijakan-kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.

Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.

Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.

Bushar Muhamad. Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. PT. Pradnya Paramita 1986.

Koentjaraningrat. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi dalam BPHN, Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta 1986.

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Sinar Grafika 2009 .

M. Abdul Kholiq. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 2002.


(33)

Moeljatno. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta 2008.

Muladi & Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni 1992.

Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni 1992.

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika 2011.

M. Sholehuddin. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Raja Garfindo Persada 2004.

P.A.F. Lamintang. S.H. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. P.T. Citra Aditya

Bakti 1997.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana 2010.

Romli Atmasasimita. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Putra Bardin 1996. Soerjono Soekanto. Kriminologi : “Suatu Pengantar”. Ghalia Indoesia 1981 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru 1983. Sudarto. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip 1990. Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.

Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung 1962.

Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &

Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia). Widya Padjadjaran 2009.

Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjadjaran 2009.


(34)

Jurnal Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana.

Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.

Internet :

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-terdakwa-dan-tersangka_15.html

http://tugas2kuliah.wordpress.com/2011/11/29/pembuktian-pidana-melalui-short-message-service-berdasarkan-kuhap/


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengertian Contempt of Court di Indonesia tidak diklasifikasikan sebagai

Civil Contempt, Criminal Contempt, Direct Contempt, dan Indirect

Contempt. Dalam sistem Indonesia Contempt of Court merupakan

perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of

judiciary).Contempt of Court juga dapat diartikan sebagai perbuatan baik

secara aktif maupun pasif yang dilakukan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan yang dianggap merendahkan dan merongrong kewibawaan peradilan. Sehingga, Contempt of Court dalam Sistem Hukum Indonesia merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat menghilangkan sifat sakral dari suatu peradilan dan merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan. 2. Bahwa tindakan Contempt of Court dikategorikan sebagai tindak pidana

karena perbuatan tersebut meresahkan sistem peradilan di Indonesia. Pada kenyataannya telah banyak terjadi kasus Contempt of Court dalam proses


(2)

peradilan. Dari rincian tindak pidana yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa tidak semua pasal dapat dijadikan sebagai tindak pidana. Beberapa alasan, penulis berpendapat tidak semua pasal dapat dijadikan sebagai tindak pidana antara lain :

a. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP masih bersifat hukum privat (perdata), misalnya pada pasal 328 butir (a) RUU KUHP. Dalam pasal ini, seharusnya advokat sudah mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan maka kesepakatan ini sudah diketahui kedua belah pihak.

b. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP terdapat pasal yang kurang memberi kejelasan secara melawan hukum.

c. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP bertentangan dengan asas atau prinsip hukum lain misalnya hak asasi manusia.

Jadi, penulis berpendapat tidak semua pasal dijadikan sebagai tindak pidana sehingga perlu ada pembenahan dalam pasal-pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.

3. Contempt of Court perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum

Pidana dengan alasan antara lain :

a. Tindakan Contempt of Court memenuhi syarat-syarat untuk dikriminalisasi yakni : perbuatan yang dapat meresahkan, merongrong wibawa peradilan, tidak menghormati proses peradilan dan dapat mengancam keamanan dalam suatu proses persidangan.


(3)

108

b. Pembatasan untung atau rugi diaturnya Contempt of Court dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yakni biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya

cost pengaturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan

Undang-undang Kitab Hukum Pidana, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku tindakan tersebut seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

B. Saran

1. Kebijakan pemerintah untuk menegakkan Contempt of Court terutama dalam penerapan sanksi bagi pelaku.

2. Peraturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana harus dibenahi karena terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.


(4)

A.Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.

Barda Nawawi Arief. Kebijakan-kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.

Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.

Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.

Bushar Muhamad. Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. PT. Pradnya Paramita 1986.

Koentjaraningrat. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi dalam BPHN,

Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta

1986.

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali (Edisi Kedua). Sinar Grafika 2009 .

M. Abdul Kholiq. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 2002.


(5)

110

Moeljatno. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta 2008.

Muladi & Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni 1992.

Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni 1992.

Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika 2011.

M. Sholehuddin. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track

System dan Implementasinya. Raja Garfindo Persada 2004.

P.A.F. Lamintang. S.H. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. P.T. Citra Aditya Bakti 1997.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana 2010.

Romli Atmasasimita. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Putra Bardin 1996. Soerjono Soekanto. Kriminologi : “Suatu Pengantar”. Ghalia Indoesia 1981 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru 1983. Sudarto. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip 1990. Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.

Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung 1962.

Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &

Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia). Widya

Padjadjaran 2009.

Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjadjaran 2009.


(6)

Jurnal Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana.

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.

Internet :

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-terdakwa-dan-tersangka_15.html

http://tugas2kuliah.wordpress.com/2011/11/29/pembuktian-pidana-melalui-short-message-service-berdasarkan-kuhap/