Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan (Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan)

(1)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt Of Court) ( Studi Kasus REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. Medan), 2008.

USU Repository © 2009

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI

TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP

PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT)

( STUDI KASUS REG. NO. 1444/ PID.B / 2001/P.N. MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Agus Saleh Saputra Daulay

040200233

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI

TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP

PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT)

( STUDI KASUS REG. NO. 1444/ PID.B / 2001 / P.N. MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Agus Saleh Saputra Daulay 040200233

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair SH, M.Hum NIP. 131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum

2008

Liza Erwina SH, M.Hum NIP. 130 809 557 NIP. 131 835 565

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat dalam memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “ KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PENGADILAN ( CONTEMPT OF COURT ) Studi Kasus Reg. No. 1444/Pid.B/2001/P.N. Medan”. Penulis telah bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, Penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya.

Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku


(4)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuty, MA selaku Dosen Wali dari penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.

4. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.

5. Ibu Nurmalawaty SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih sempurna.

8. Bapak Ahmad Semma, SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan selaku narasumber yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data-data yang berhubungan dengan riset dalam penulisan skripsi yang dilakukan oleh Penulis.

9. Kepada Ayahanda Mhd. Alimin Daulay, dan Ibunda Misrah Rangkuty, Spd., yang dengan penuh semangat dan kasih sayang telah menberikan dukungan kepada Penulis dalam studi Penulis.


(5)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 10. Kepada adinda Penulis Erika Wahyuni Daulay, Arman Rinaldi Daulay, Ahamad Fadly Daulay, dan Ahmad Sadikin Daulay, terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan dan kasih sayang yang telah adinda sekalian berikan.

11. Kepada Keluarga di Medan Penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungannya terutama kepada keluarga tante di Amplas.

12. Kepada Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU periode 2006-2007, terima kasih atas kebersamaan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis untuk menimba ilmu yang tak ternilai harganya dalam kebersamaan kita. 13. Kepada Om Boni selaku Pelatih Kepala Team Sepakbola USU yang telah

memberikan kesempatan kepada Penulis untuk membela Team sepak bola USU di Kompetisi Futsal Kelme Futsalismo, Liga Mahasiswa Sumatera di Padang Sumatera Barat, dan IMT-GT di Medan.

14. Kepada seluruh Skuad Team Sepak bola USU di Kompetisi Futsal Kelme Futsalimo, Skuad Limas USU di Padang, dan Skuad IMT-GT USU di Medan. Terima kasih atas kebersamaan dan kenangannya.

15. Kepada seluruh Stambuk 2004 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kebersamaanya dan dukungannya.

16. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kemajuan di masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di tanah air. Penulis


(6)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap juga berharap agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya pembangunan hukum di tanah air terutama dalam perkembangan hukum pidana.


(7)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……… v

ABSTRAKSI……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………. 1

B. Permasalahan……… 6

C. Tujuan Penelitian……….. 6

D. Manfaat Penelitian……… 7

E. Keaslian Penulisan……… 7

F. Tinjauan Pustaka……….. 8

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana……….. 8

2. Istilah dan Pengertian Contempt of Court……… 11

3. Penegakan Hukum……… 13

G. Metode Penelitian………. 20

H. Sistematika Penulisan……… 23

BAB II PENGATURAN CONTEMPT OF COURT DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A.Pengaturan di dalam KUHP dan KUHAP……… 25

B. Pengaturan di luar KUHP dan KUHAP……… 28

BAB III KARAKTERISTIK TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP PERADILAN ( CONTEMPT OF COURT ) A.Ruang lingkup Contempt of Court………. 30


(8)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN

PELECEHAN TERHADAP PERADILAN

A.Ruang lingkup penegakan hukum……….. 39

B. Penyelenggaraan penegakan hukum……….. 40

C. Penanganan tindakan pelecehan terhadap peradilan…... 41

1. Aparat kepolisian……… 43

2. Aparat kejaksaan………. 44

3. Aparat peradilan……….. 44

a. Kinerja peradilan dalam menangani tindakan pelecehan terhadap peradilan……….. 44

b. Studi kasus……… 47

b.1. Kasus posisi………. 47

b.2. Analisis kasus……….. 70

4. Aparat lembaga pemasyarakatan……….. 74

BAB V UPAYA PENANGGULANGAN CONTEMPT OF COURT A.Upaya Preventif………. 78

B. Upaya Represif……….. 79

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ………. 82

B. Saran……… 88

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

ABSTRAKSI

Reformasi hukum yang menjadi agenda reformasi nasional secara menyuluruh, adalah merupakan bagian integral dari semangat dan motivasi lahirnya reformasi total secara umum. Essensi dari reformasi hukum adalah bagaimana perwujudan prinsip reformasi hukum secara menyeluruh dengan akhir supremasi hukum. Essensi dari supremasi hukum adalah prinsip penegakan hukum dalam semua segi secara tegak dan proporsional.

Agenda reformasi nasional tidak hanya membawa kita ke dalam perubahan yang secara menyeluruh dan bersifat positif. Hal ini dibuktikan dengan masih lemahnya supremasi hukum di tanah air. Apabila kita melihat wajah peradilan ditanah air, maka kita akan melihat rendahnya apresiasi masyarakat terhadap lembaga penegak hukum terutama lembaga peradilan. Sehingga bukanlah hal yang baru, apabila kita melihat pengunjung sidang berteriak-teriak, melempar telur, bertepuk tangan, memakai topeng, dan melempar kursi kearah majelis hakim. Tak jarang terlihat pula pemandangan terjadinya “caci maki” seorang penasihat hukum dengan ketua majelis hakim yang diakhiri dengan pengusiran penasihat hukum tersebut dari ruang persidangan. Tindakan ini merupakan bentuk pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court). Keadaan ini merupakan dampak negatif daripada makna bebas yang disalahartikan.

Penggunaan upaya hukum yakni hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial memegang peranan penting. Dalam upaya penggulangnya tidak terlepas dari proses penegakan hukum dalam mengatasi tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ).


(10)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan dewasa ini telah melahirkan banyak perubahan. Segi-segi sosial kemasyarakatan yang semula dianggap tabu, akibat modernisasi tabu-tabu itu telah dilewati. Bahkan sesuatu yang sebelumnya dianggap wilayah yang tidak mungkin berubah telah mudah berubah dengan sendirinya. Ambil contoh misalnya soal tradisi keagamaan, hubungan sosial masyarakat, praktis politis dan hukum.

Apabila kita melihat dunia peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Maka, hampir setiap hari kita disuguhi dengan berbagai cerita atau berita mengenai praktek peradilan yang tidak memuaskan. Berita-berita mengenai mafia peradilan , suap-menyuap pada setiap langkah peradilan, hakim-hakim yang tidak menjalankan tata cara pemeriksaan dengan benar, dan suasana sidang yang tak ubahnya seperti sebuah tempat tanpa aturan. Padahal peradilan merupakan tempat untuk mencari keadilan yang didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.


(11)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Penegakan hukum telah menjadi ungkapan sehari-hari dikalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pelaku, dan anggota masyarakat biasa. Demikian pula kalangan pers, sangat bersahabat dengan ungkapan ini. Begitu juga ungkapan keadilan, berkeadilan atau lain-lain dengan maksud yang sama pula.

Terdapat kesamaan dari berbagai kalangan tersebut mengenai masalah dan peristiwa penegakan hukum yang selama ini terjadi. Hampir semua ungkapan mengatakan hingga saat ini penegakan hukum masih jauh dari rasa keadilan. Mengapa? Karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang ternyata tidak mampu memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya1

Sehingga bukanlah hal yang baru, apabila kita melihat pengunjung sidang berteriak-teriak, melempar telur, bertepuk tangan, memakai topeng, dan melempar kursi kearah majelis hakim. Tak jarang terlihat pula pemandangan terjadinya “caci maki” seorang penasihat hukum dengan ketua majelis hakim yang diakhiri dengan pengusiran penasihat hukum tersebut dari ruang persidangan

.

2

. Adapun kasus yang paling mencoreng wajah dan wibawa peradilan di Indonesia adalah pembunuhan yang terjadi di ruang sidang pengadilan agama sidoarjo jawa timur, hingga terbunuhnya seorang hakim. Selain itu, pada tahun 1986 Advokat Senior Adnan Buyung Nasution juga pernah terjerat tuduhan pelecehan terhadap lembaga peradilan pada perkara Dharsono dikarenakan komentar-komentarnya di majalah Tempo yang dinilai telah menggiring opini masa pada pengadilan yang berpihak3

1

Bagir Manan ( 2004).Sistem Peradilan Berwibawa ( Suatu Pencarian ). Yogyakarta: FH UII Press Yogyakarta, hal.1. 2

Artikel dari Hukumonline tentang Mematikan Peradilan yang Berwibawa, tanggal 1 Februari 2008

3

Artikel dari Hukumonline tentang Menangkal Pelecehan di Meja Hijau tanggal 1 Februari 2008


(12)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Kurangnya kepercayaan publik ( public trust ) terhadap dunia peradilan merupakan akar dari persmasalahan timbulnya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of

court ). Krisis kepercayaan publik ini sangat berpengaruh terhadap integritas dan

kewibawaan peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan4

Demikian pula terhadap proses peradilan. Akan lebih baik dan sempurna kalau pengamatan proses peradilan tidak hanya sekedar di tujukan pada pengadilan.Proses di pengadilan sebagai perjalanan akhir memang penting, tetapi harus dilihat secara integral bersama-sama komponen penegak hukum lainnya atau unsur peradilan lainnya. Seperti halnya kepolisian. Kejaksaan, advokat, bahkan masyarakat atau individu pencari atau yang mewakili pencari keadilan

.

Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah peradilan. Tetapi, pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan. Sangatlah perlu untuk juga mangamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan di luar proses peradilan. Di luar proses peradilan seperti keimigrasian, bea cukai, perpajakan, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya.

5

Proses peradilan adalah sebuah sistem ( integrated system ). Hakim bukanlah komponen tunggal dalam proses peradilan. Dala perkara perdata, tersangkut pihak-pihak (

parties ) dan penasihat hukum. Dalam perkara pidana tersangkut penyelidik, penyidik,

.

4

Binsar Gultom ( 2006 ). Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia.Medan: Pustaka Bangsa Press , hal.30.

5


(13)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap penuntut, hakim, advokat, dan terdakwa. Segala bentuk hubungan kolusif atau penyuapan dapat terjadi dalam semua tahap atau tingkat hubungan sistem tersebut.

Namun, ketika ada putusan hakim berdasarkan penilaian publik tidak mencerminkan rasa keadilan, maka timbullah reaksi publik. Reaksi yang diakibatkan tidak jarang telah merendahkan wibawa/keluhuran peradilan. Padahal di negeri kita telah jelas diatur tentang kebebasan ( independensi ) hakim dalam membuat suatu putusan. Hal ini secara eksplisit diatur dalam pasal 24 ayat ( 1 ) UUD 1945, pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 32 ayat ( 5 ) Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Tindakan-tindakan pelecehan terhadap peradilan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Namun berbagai tindakan tersebut makin sering terjadi semenjak bergulirnya era reformasi yang lebih bebas. Tindakan dan situasi yang terjadi di persidangan seperti yang disebutkan diatas dapat dikatakan sebagai tindakan Contempt Of Court.

Istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelesan umum UU. No. 14 tahun 1985 tentang MA. Butir 4 alinea ke-4. dalam penjelesan umum UU. No. 14 tahun 1985 diisyaratkan perlunya dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukum dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan kehormatan peradilan.

Apabila kita melihat hukum positif di Indonesia belum ada undang-undang yang secara khusus untuk menjadi payung hukum permasalahan ini. Walaupun hal ini bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga diperlukan suatu langkah yang progresif untuk mengantisipasi hal ini. Usaha penaggulangan kejahatan dnagn menggunakan


(14)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap instrumen hukum pidana pada hakikatnya juga merupakanbagian dari usaha penegakan hukum ( penegakan hukum pidana ). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijkan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum ( law

enforcement policy ).

Penegakan hukum pidana yang rasional, terdiri atas tiga tahap, mencakup tahap formulasi oleh pembentuk undang-undang yang terkait dengan perbuatan pidana berikut sanksinya, tahap aplikasi yang merupakan tahap penerapan oleh kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, dan kehakiman sabagai aparat yang mengadili dan memutuskan, serta tahap eksekusi oleh aparat eksekusi.

Upaya kriminalisasi dapat dilakukan dengan membuat suatu produk hukum dan konsep penegakan hukum terhadap kasus pelecehan terhadap peradilan (contempt of court). Walaupun pada dasarnya bukan hanya produk hukum berupa undang-undang yang dapat dijadikan sebagai suatu solusi untuk permasalah ini. Dimana reformasi birokrasi juga dapat dijadikan sebagai suatu langkah yang baik untuk meningkatkan kepercayaan publik (public

trust) terhadap dunia peradilan di tanah air.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pengadilan ( Contempt of Court ) dengan studi kasus Reg.No. 1444/Pid.B/2001/P.N. Medan.


(15)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Berdasarkan latar belakang tersebut diatas yang menjadi permasalahan adalah : 1. Perbuatan apa sajakah yang dikategorikan sebagai suatu bentuk tindakan

pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court )?

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court )?

3. Bagaimana upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap pengadilan ( contempt of court )?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court );

2. untuk mengetahui penegakan hukum dalam kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court);

3. untuk mengetahui upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua keguanaan tersebut adalah sebagai berikut :


(16)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum pidana serta proses penanganannya, khususnya terhadap masalah terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Selain itu penelitian ini juga di harapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penanggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, advokat ) dalam sistem peradilan pidana ( criminal justice system ). Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menangani kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan, sehingga aparat penegak hukum mempunyai persepsi yang sama.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang kebijakan hukum pidana dalam menaggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) belum pernah dilakukandalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian tentang kebijakan hukum pidana dalam menaggulangi terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan adalah asli karena sesuai dengan asa-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan


(17)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan perumusan dan pendekatan masalah.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Istilah “ kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “ policy “ atau bahasa Belanda “politeik”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “ politik”, oleh karena itu kebijkan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena huku pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendakai dan diperkirakan dapat digunakanuntuk mngekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan6

Senada dengan pernyataan diatas, Solly Lubis juga mengatakan bahwa politik hukum pidana adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa seharusnya berlaku mengatur berbagai kehidupan masyarakat dan bernegara

.

7

Mahfud M.D., juga memberikan definisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal

.

6


(18)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap ini juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu8

Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna

. Dalam konteks ini hukum tidak hanya bisa dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya( pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.

Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana memberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya di masa kini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.

9

1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui;

.

A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan :

2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

7

Solly Lubis (1989). Serba Serbi Politik dan hukum. Bandung: Mandar Maju, hal.19.

8

Mahfud M.D. (1998). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. LP3ES,hal.2.

9


(19)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan10

Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan oleh A. Mulder diatas, maka ruang lingkup kebijkan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan Pidana , serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.

2. Pengertian Contempt of Court .

Contempt of Court adalah suatu mekanisme hukum yang pertama kali timbul

dalam sistem Common Law dengan case law-nya, diantaranya aalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut sejarah, Contempt atau penghinaan merupakan perbuatan dalam menentang setiap perintah langsung raja atau setiap penentangan langsung kepada raja atau perintahnya. Sejak tahun 1742, Inggris telah menerapkan Contempt of Court dengan adanya doktrin pure streams of justice yang dianggap sebagai dasar untuk memberlakukan

Contempt of Court yang selanjutnya pada tahun 1981 diadakan pembaruan dengan

10


(20)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap diterapkannya Contempt of Court Act 198111

Contempt of court is any act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in administration of justice or which ic calculated to lessen its authority or dignity or tending to impede or frustate te administration of justiceor by one who being under court’s authority as a party to a proceeding therein, willfull disobeyes its lawfull order oe fail to comply with an undertaking which he has give

. Amerika Serikat pertama kali diundangkan

Contempt of Court ialah pada tahun 1789.

Pengaturan Contempt of Court dimaksudkan untuk menegakkan dan menjamin proses peradilan berjalan tanpa rongrongan dari berbagai pihak, antara lain pihak yang terlibat dalam proses peradilan, mass media, maupun pejabat pengadilan itu sendiri.

Pengaturan tentang Contempt of Court merupakan upaya hukum untuk membela kepentingan umum dan supremasi hukum agar proses peradilan dapat dilaksanakan dengan sewajarnya dan adil, tanpa diganggu, dipengaruhi atau dirongrong oleh pihak-pihak lain, baik selama proses peradilan berlangsuang di pengadilan maupun di luar gedung pengadilan.

Dalam Black Laws dictionary dijelaskan bahwa:

12

( Terjemahan bebas : Contempt of Court adalah suatau perbuatan yang dipandang mempermalukan, menghalangi atau merintangi pengadilan di dalam penyelenggaraan peradilan, atau dipandang sebagai mengurangi kewibawaan atau martabatnya. Dilakukan oleh orang yang sungguh melakukan suatu perbuatan

.

11

Andi Hamzah dan Bambang Waluyo (1988). Delik-delik Terhadap Pelanggaran Contempt Of court. Jakarta:Sinar Grafika, hal.10.

12


(21)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap yang melanggar secara sengaja kewibawaan atau martabat atau cenderung merintangi atau menyia-nyiakan penyelenggaraan peradilan atau oleh seseorang yang berada dalam kekuasaan pengadilan sebagai pihak dalam perkara di pengadilan itu, dengan sengaja tidak menaati perintah pengadilan yang sah atau tidak memenuhi hal yang ia telah akui )

Sedangkan di Indonesia, istilah Contempt of Court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung butir 4 alinea ke-4, yaitu sebagai berikut :

“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, maka perlu di buat suatu Undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong keweibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal dengan contempt of court.

Berdasarkan defenisi Contempt of Court di atas, maka secara singkat Contempt of

Court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan baik secara aktif maupun pasif, yang

dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan yang dianggap melecehkan atau merongrong kewibawaan peradilan.

3.Pengertian Penegakan Hukum

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto


(22)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum ( yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum ) menjadi kenyataan13

a. masyarakat memerlukan perlindunagn terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penaggulangan kejahatan.

. Secara konsepsional, inti dan dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk mencipta, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum adalah seluruh kegiatan dari penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat maupun ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945. penegakan hukum yang dikaitkan dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tentunya berkaitan dengan masalah penegakan hukum pidana.

Menurut Barda Nawawi, ada 4 ( empat ) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus juga mendapat perhatian dalam penegakan hukum pidana, yaitu :

b. masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahaya seseorang. Oleh karena itu wajar pula, apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mangubah dan mempengaruhi tingkah

13


(23)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap lakunya agar kembali patuh kepada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

c. Masyarakat memerlukan pula perlindunagn terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

d. Masyarakat memerlukan perlindunagn terhadap keseimbangan dan keselarasan berbagai kepentingan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat14

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia terlindungi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Hukum yang telah dilanggar itu dalam hal ini harus ditegakkan.

.

Melalui penegakan hukum ini hukum itu akan menjadi kenyataan. Ada 3 ( tiga )

unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum yaitu kepastian hukum ( rechtsicherheit ) , kemanfaatan ( zweckmassigheit ) dan keadilan ( gerechtigheit )15

14

Barda Nawawi Arief ( 1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, hal.13.

15

Sudikno Mertokusumo ( 1999 ).Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, hal.145.


(24)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Di dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan. Sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound ( 1870-1874 ) salah seorang tokoh Sociological Jurisprudence, hukum adalah as a tool af

sociological engineering disamping as a tool of social control. Politik hukum pidana (

kebijakan hukum pidana ) sebagai slah satu usaha dalam menaggulangi kejahatan, mengejewantah dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari 3 ( tiga ) tahap16

1. Tahap Formulasi

. Adapun tahapan tersebut adalah :

Merupakan tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang baik. Adapun tujuannya adalah untuk memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahapan ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Merupakan tahap penegakan hukum pidana ( tahap penerapan hukum hukum pidana ) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan

16

Muladi dan Barda Nawawi arief (1993).Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana.Bandung:Alumni, hal.173.


(25)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Tahap kedua ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Merupakan tahap penegakan ( pelaksanaan ) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang ( legislatur ) dan nilai-nilai keadilan atau daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses yang rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus dan bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, perundang-undangan yang mantap dan mengejewantahkannya dalam sikap dan tindakan sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup masyarakat. Tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu hukum dan aturannya sendiri17

17

Soerjono Soekanto ( 1983 ). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta:PT.


(26)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement, tetapi juga peace

maintenance. Hal ini karena pada hakikatnya penegakan hukum merupakan proses

penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum adalah mencapai keadilan.

Penegakan hukum dalam suatu negara dilakukan secara preventif dan represif. Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya di berikan pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Penegakan hukum represif dilakukan apabila penegakan secara preventif telah dilakukan, tetapi pelanggaran hukum masih terjadi. Hukum ditegakkan secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasionalnya didukung dan melaui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu sama lain. Namun, tetap berada dalam kerangka penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejasaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan.

Hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan. Setiap ornag mengharapakan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Hukum itu harus berlaku sebagaimana mestinya dan pada dasarnya tidak dibolehkan menyeimpang, fiat justitia et

pereat mundus ( meskipun dunia runtuh, hukum harus ditegakkan ). Hal itulah yang

dinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa sesorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam kepastian hukum. Unsur penegakan hukum lainya adalah


(27)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus dilakukan dengan adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapamencuri harus di hukum, tanpa membedakan siapa yang mencuri. Keadilan bersifat sebaliknya yaitu bersifat subjektif. Individualistis, dan tidak menyamaratakan. Adil menurut pandanagan seseorang berbeda dengan pandangan orang lain.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. faktor hukum itu sendiri, misalnya undang-undang.

b. faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup18

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya. Oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.

.

18


(28)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Unsur-unsur yang terkait dalam menegakkan hukum tidak hanya diperhatikan satu unsur saja. Tidak hanya memperhatikan kepastian hukum, dan unsur-unsur lain dikorbankan. Demikian pula apabila yang diperhatiakan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Proses dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus diperhatikan secara proporsional seimbang.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang menggabungkan antara penelitaian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis ( penelitian hukum empiris)19

Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris

. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

20

Penelitian hukum sosiogis mempunyai istilah lain yaitu penelitian hukum empiris dan dapat disebut penelitian lapangan. Penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer. Data primer adalah data yang didapat langsung dari penelitian lapangan.

.

19


(29)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Dalam prakteknya dpat dilakukan dengan melalui pengamatan, wawancara atau dengan penyebaran kuesioner21

2. Lokasi Penelitian .

Berdasarkan hal di atas, jika dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi maka dalam permasalahan nomor dua dan tiga lebih cenderung kepada penelitian hukum sosiologis. Sedangkan permasalahan yang pertama dapat dilakukan dengan melakukan penelitian yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi ini dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan tindkan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), penegakan hukum pidana terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) serta bagaimana upaya penanggulangannya.

Penelitian hukum sosilogis dilakukan di lakukan dengan melakukan penelitian terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

Penelitian ini dilakukan dilakukan di Pengadilan Negeri Medan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan tempat kejadian perkara ( locus delicti ) tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ) terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan.

Selain pertimbangan tersebut lokasi penelitian dapat dijadikan sebagai tempat yang tepat untuk memberikan data dan informasi yang lengkap terkait kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

20


(30)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 3. Metode Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Namun penelitian ini menekankan pada data sekunder, sedangkan data primer lebih bersifat penunjang dan pelengkap dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan hakim yang berkaitan dengan penelitaian ini.

b. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara mendalam ( indepth

interview ) dengan menggunakan pedoman wawancara ( interview guide ) .

Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data primer sebagai pelengkap bahan kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan hakim di Pengadilan Negeri Medan.

4. Analisis Hasil

21


(31)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan hasil wawancara dioleh dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :

a. menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum ( konseptualisasi )yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tercebut;

b. mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana dalam kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court );

c. menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

c. menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undngan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

H. Sistematika Penulisan

Pada penulisan penelitian ini agar tidak menyimpang dari permasalahan yang akan diuraikan, maka secara garis besar gambaran isi di dalam skripsi ini terdiri atas 6 ( enam ) bab dan sub bab yang akan diuraikan sebagai berikut :

Bab I tentang Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang pemilihan judul, permasalahan yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.


(32)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Bab II tentang pengaturan contempt of court dalam hukum positif Indonesia. Bab ini berisi tentang ketentuan hukum yang menjadi dasar pengaturan tindakan pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court ) dalam hukum di Indonesia.

Bab III tentang karakteristik tindakan pelecehan terhadap pengadilan ( contempt of

court ). Bab ini berisi tentang ruang lingkup tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), dan bentuk serta jenis tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

Bab IV tentang penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Bab ini berisi tentang pengertian penegakan hukum, ruang lingkup penegakan hukum, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum terkait kasus tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ), serta analisis kasus.

Bab V tentang upaya penaggulangan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Bab ini berisi tentang upaya penaggulangan terjadinya kejahatan yaitu upaya preventif dan upaya represif.

Bab VI tentang penutup. Bab ini merupakan perumusan suatu kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, serta merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan pada penulisan skripsi ini. Bagian saran menguraikan saran dari penulis untuk masalah yang ada dalam skripsi ini sehingga dapat dijadikan sebagai bakhan referensi dalam praktik.


(33)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

BAB II

PENGATURAN CONTEMPT OF COURT DALAM

HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Pengaturan dalam KUHP dan KUHAP

Di lapangan hukum pidana Indonesia dikenal adanya kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP ) yang berfungsi sebagai ketentuan materil. Sedangkan, dalam pelaksaanya


(34)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap di dasarkan kepada ketentuan yang tekandung dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP ). Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP ) merupakan induk dari kitab hukum pidana yang hingga kini tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang di Indonesia lahir pada zaman ( zietgeist ) liberalos individual dan rasionalisme abad ke-19 di Eropa. Dari wujud aslinya, Wetboek Van Straftrechts, mulai berlaku di Belanda pada tahun 1886, kemudian tanggal 15 oktober 1915 lewat titah Raja belanda diusulkan diberlakukan di Indonesia. Di Indonesia dikenal dengan nama Wetboek Van

Straftrechts Voor Netherlandesch Indie.

Dalam kaitanya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan (contempt of court ), maka kita harus melihat sejarah daripada contempt of court. Dalam sejarahnya, contempt

of court prana hukum muncul dari negara common law yang kebanyakan menganut adversary system, yaitu sistem hukum dimana dalam pemeriksaan pemeriksaan

dipersidangan hakim lebih bersifat pasif atau dapat diibaratkan hakim hanya sebagai wasit saja. Sistem ini lebih bertumpu kepada kemampuan para pihak dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing. Konsekuensi dari sistem ini adalah terbatasnya kekuasaan hakim dalam ruang persidangan. Untuk mengimbangi hal inilah, maka negara yang menganut adversary system mengatur contempt of court dalam suatu perturan perundang-undangan.

Sedangkan kebanyakan negara Civil Law termasuk Indonesia menganut sistem

inquisitorial system ( non adversary sytem ) dimana dalm proses peradilan penemuan fakta,

kesalahan, hukum dan hukuman merupakan pendelegasian wewenang saja. Sehingga dalam persidangan, hakim adalah pemeimpin dan menjaga tata tertib persidangan. Oleh sebab itu


(35)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam persidangan harus dengan seizin hakim. Kekuasaan hakim yang besar ini diberikan melalui kitabundang-undang hukum pidana ( KUHP ) dan hukum acaranya ( KUHAP ).

Padmo Wahjono berpendapat bahwa di Indonesia perlindunagn terhadap pengadilan sehingga dapat mencegah ( preventif ) dan menghukum ( represif ) setiap usaha untuk mencemarkan nama baik berupa gangguan, hambatan, tantangan maupun ancaman sudah ada pengaturannya, yaitu dalam KUHP dan KUHAP22

Dalam ketentuan pasal yang terdapat di KUHP dan KUHAP ada beberapa perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan Contempt of Court. Adapun ketentuan pasal tersebut adalah

.

23

1. Ketentuan dalam KUHP :

 Pasal 207 : lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia

 Pasal 208 : menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum

 Paal 209 : memberi atau menjanjikan sesuatau kepada seseorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak

22

Padmo wahjono( 1986). Contempt of Court dalam Peradilan di Indonesia, Hukum dan Pembangunan, hal.336.

23


(36)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap berbuat esuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajubannya

 Pasal 210 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, penasihat atau adviseur

 Pasal 211 : memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah  Pasal 212 : melawan sorang pejabat yang seang menjalankan tugas

yang sah

 Pasal 216 : tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu  Pasal 217 : menimbulkan kegaduhan dalam ruang persidangan

2. Ketentuan dalam KUHAP  Pasal 217

1. Hakim ketua sidang yang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan

2. Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat

 Pasal 218

1. Dalam ruang persidangan siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan


(37)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 2. Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan

martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang tas perintahnya yang bersangkuatan dikeluarkan dari ruang sidang

3. Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak menutup kemugkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya

B. Pengaturan di luar KUHP dan KUHAP

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelaan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4. Dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 disyaratkan perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingakah laku, sikap, ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan pejabat peradilan.

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama ( SKB ) No : M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 tentang Tata cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 tahun itu telah terlaksana tetapi tidk sesuai dengan yang diharapkan,


(38)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap yauitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur tentang

Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.

Selain itu, dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Propenas kembali disebutkan bahwa pembuatan undang-undang tentang Contempt of Court menjadi bagian matriks kebijakan hukum tahun 2002.

Disamping ketentuan tersebut Menteri Kehakiman melalui keputusannya No.01/M.01.PW.07.03Th.1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP menyinggung tentang kemungkinan adanya Contempt of Court, sehingga perlu diberikannya kewenangan bagi hakim yang memeriksa perkara di persidangan untuk menjaga ketertiban selama berlangsung sidang.

Dalam keputusan ini dikatakan bahwa KUHAP mengisyaratkan adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan. Hal ini mencerminkan asaa demokrasi di bidang pengadilan dan tidak dapat dilepaskan dari fungsi pers untuk mengadkan pemveritaan, reportase tentang jalannya peradilan. Pada sidang peradilan yang terbuka inilah dilaksanakan pemeriksaan yang seobyektif-obyektifnya dan dihadiri oleh khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan.


(39)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

BAB III

KARAKTERISTIK TINDAKAN PELECEHAN TERHADAP

PERADILAN

( CONTEMPT OF COURT )

A. Ruang Lingkup Contempt of Court

Apabila dihubungkan dengan pengertian Contempt of Court sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka pengertian Contempt of Court terutama tertuju pada wibawa , martabat, dan kehormatan badan peradilan. Nuamun karena Badan atau Lembaga Peradilan adalah sesuatu yang abstrak ( dianggap sebagai sesuatu yang konkrit karena mempunyai fisik walaupun benda mati ), maka ketiga hal tersebut diatas ditujukan kepada :

a. manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut; b. hasil buatan lembaga tersebut;


(40)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pada kedua hal terakhir sebenarnya tidak dapat dikatakan secara harfiah memiliki wibawa, martabat, dan kehormatan. Lebih tepat apabila dikatakan kedua hal tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar apabila terjadi suatu Contempt of Court terhadapnya.

Selanjutnya, pengertian Contempt of Court ini dapat diberlakukan kepada siapa saja baik secara individu atau bersama-sama. Pengertian tersebut tidak hanya terbatas kepada pencari keadilan, terdakwa, penasihat hukum, saksi, pers, atau orang yang hadir dalam persidangan saja, tetapi juga aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim.

B. Bentuk Contempt of Court

Akibat luasnya ruang lingkup dan variasi Contempt of Court, maka tidak mudah untuk menjelaskan bentuk Contempt of Court. Hal in disebabkan selau berkembangnya

Contempt of court dari masa ke masa dan dari kasus ke kasus.

Menurut Oemar Seno Adji terdapat 5 ( lima ) bentuk konstitutif dari Contempt of

Court, yaitu24

1. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap peradilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi ( sub judice rule ). Sub judice rule adalah suatu usaha berupa perbuatan, atau sikapyang ditujkan ataupun pernyataan secra lisan apalagi secara tulisan, yang nantinya menjadi persoalan pers dan aspek hukumnya untuk dapat mempengaruhi suatu putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.


(41)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 2. Tidak memenuhi perintah peradilan ( disobeying a court order ). Disobeying

court order suatu perbuatan yang tidak memenuhi printah pengadilan ataupun yang

merendahkan otoritas , wibawa atau keadilan dari pengadilan. Unsur ini umumnya terdiri atas perbuatan dari pihak lain dari pada yang dimintakan, dituntut dari padannya , ataupun tidak melakukan perbuatan apa yang diperintahkan atau diminta oleh proses tidak dalm kernagka “ Contempt of Court “ khususnya yang mengenai bentuk disobeying court’s order terdapat dalam KUHP suatu ketentuan pidana yang mungkin dapat dikategorisasi sebagai suatu tak pematuahan terhadap perintah perngadilan.

3. Mengacaukan peradilan ( obstructing justice ) . Obstruction justice merupakan suatu perbuatan yang ditujukan terhadap, ataupun yang mempunyai efek memutarbalikan, mengacaukan fungsi normal dan kelancaran suatu proses judisial. Obstruction justice, apabila dilihat sebagai suatu perbuatan adlah ebagai pengurangan kebaikan, fairness, ataupun efficiency dari suatu proses. Sedangkan disruption lebih merupakan suatu tantangan langsung dan fisik.

4.Menyerang integritas dan impartialitas peradilan ( scandalizing the court ).

Scancalizing the court adalah pernyataan di luar pengadilan dan sering merupakan

publikasi yang mengandung suatu lapangan yang luas mengenai situasi. Scandalizing the

court merupakan tipe lain dari misbehaving in court atupun disrupsi dalam pengadilan. Hal

demikian terjadi, apabila ia merupakan hasil dari bahasa yang merupakan penghinaan ringan terhadap pengadilan ataupun serangan terhadap impartialitas selama proses berjalan.

24

Oemar Seno Adji, Contempt of Court suatu pemikiran, prasaran dalam Seminar tentang Contempt of Court tanggal 24 Maret 1986 di Jakarta, hal.28


(42)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

Scancalizing the court meliputi pernyataan yang menjengkelkan, mengandung

kata-kata penyalahguanaan ataupun ucapan yang mengandung penghinaan. Semua perbuatan tersebut ditujukan terhadap hakim ataupun pernyataan yang meragukan impartialitas dari hakim tersebut. Tujuan dari tipe scancalizing the court adalh untuk mengadakan perlindungan terhadap reputasi peradilan, obyektifitas ataupun kejujuran dari peradilan itu sendiri. Selain itu, scancalizing the court, juga bermaksud untuk mengadakan promosi, menganjurkan suatu kepercayaan umum pada berbagai institusi judisial.

5. Tidak berkelakuan baik dalam pengadilan ( misbehaving in court ) .

Misbehaving in court adalah tiap perbuatan isyarat ( gesture ) ataupun kata-kata yang

merupakan rintangan ataupun mengadakan obstruksi terhadap aliran ( flow ) normal dan harmonis dari proses di persidangan. Contempt of Court yang terjadi karena adanya

misbehaving in court memenuhi dua fungsi yang berlainan. Pertama, secara meniadakan,

mengadakan eliminasi terhadap kekisruhan ( nuisance ) dengan mengadakan restorasi ketertiban dan menjamin fungsionering yang lancar dari pemeriksaan judisial. Kedua, fungsinya lebuh bersifat judicial represif untuk dapat menghukum dan atau memidanakan orang yang melakukan perbuatan yang tidak patut di puji dan harus ditegur.

Pada dasarnya Contempt of Court merupakan suatu istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan ( atau tidak berbuat ) yang pada hakikatnya bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya.

Istilah Contempt of Court dikatakan merupakan istilah umum (


(43)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

1. Civil Contempt

Merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan (

disobedience to the judgements and orders of courts ). Oleh karena itu, dapat dikatakan

sebagai bentuk perlawanan/ pelanggaran terhadap pelaksanaan atau penegakan hukum ( an

offence against the enforcement of justice). Adapun sanksi yang dikenakan terhadap bentuk civil contempt ini adalah bersifat paksaan ( coercive nature ).

3. Criminal Contempt

Merupakan bentuk perbuatan yang bertujuan mengganggu atau menghalangi penyelenggaraan peradilan yang seharusnya ( acts tending to hinder or to obstruct the due

administration of justice ). Oleh karena itu secara singkat sering disebut sebagai an offence against the administrations of justice. Adapun sanksi yang dikenakan terhadap bentuk criminal contempt ini bersifat penghukuman / pidana ( punitive nature ). Adapun

bentuk-bentuk criminal contempt dapat diklasifikasikan bermacam-macam, antara lain sebagai berikut 25

25

Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992).Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni,hal.209.

:

a. Gangguan dimuka atau di dalam ruang persidangan ( Contempt in face of the

Court, Direct Contempt, Contemptin Facie )

sekalipun istilahnya Contempt in face of the Court, namun masalhnya bukan apakah martabat pengadilan ( the dignity of the court ) telah diserang atau dilanggar, tetapi apakah proses pengadilan terganggu atau tidak. Tujuannya bukanlah untuk menunjang atau melindungi martabat hakim, tetapi untuk melindungi hak-hak masyarakat umumdengan memberikan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan tidak terganggu.


(44)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Bentuk-bentuk gangguan yang termasuk direct contempt ini dapat berupa kata-kata atau perbuatan, misalnya :

- mengeluarkan kata-kata mengancam ( threatening language ) atau serangan fisik ( phisical attack ) kepada hakim, anggota juri, advokad, saksi dan sebagainya;

- saksi yang tidak datang atas perintah pengadilan, tidak mau menjawab pertanyaan ( kecuali mempunyai hak tolak ) menolak untuk disumpah atau tidak mau meniggalakan ruangan sidang atas perintah hakim;

- terdakwa yang secara langsung menghina hakim.

Apabila dilihat aspek yuridisnya menurut KUHP Indonesia, serangan fisik terhadap pejabat dapat diidentikkan dengan pasal 212 KUHP ( dengan kekerasan melawan pejabat; dikenal dengan istilan danga ) dan pasal 356 KUHP ( penganiayaan terhadap pejabat ) dan apabila mengguanakan ancaman dimasukkan pasal 211 KUHP ( memaksa pejabat dengan kekerasan atau ancaman kekerasan ) atau ditujukan kepada seorang saksi maka dapat dikenakan pasal 336 KUHP.

Menimbulkan kegaduhan di dalam runag sidang atau tidak mau meniggalkan ruang sidang atas perintah hakim/pejabat yang berwenag dapat diidentikkan dengan pasal 217 atau 168 KUHP. Sedangkan saksi yang tidak memenuhi kewajiban, dapat diidentikkan dengan pasal 224 atau 522 KUHP. Penghinaan terhadap hakim dapat diidentikkan dengan pasal 316 KUHP ( penghinaan terhadap pejabat ).

b. Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak ( Acts calculated to prejudice the fair trial )


(45)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Perbuatan yang termasuk dalam bentuk ini adalah yang terjadi di luar pengadilan. Oleh karena itu sering disebut contempt out of court atau indirect contempt. Dalam hal ini termasuk melakukan pengancaman, intimidasi, penyuapan atau mencoba mempengaruhi dengan cara lain terhadap para hakim, juri, saksi dan sebagainya.

Mempengaruhi dengan cara lain itu termasuk :

- melakukan komunikasi pribadi dengan hakim untuk mempengaruhi putusannya;

- mengomentari disurat kabar, majalah dan sebagainya suatu kasus yang sedang menuggu keputusan;

- menginformasikan atau mempublikasikan sesuatu yang sifatnya memihak untuk mempengaruhi keputusan.

Dalam kasus-kasus di atas tidak perlu dibuktikan, bahwa proses peradilan dalam kenyataannya betul-betul terpengaruh atau memihak. Khusus mengenai upaya mempengaruhi fair trial lewat pemberitaan atau publikasi, bentuk criminal contempt ini dikenal dengan istilah violation of the sub judice rule. Yang dimaksud dengan sub judice

rule adalah suatu aturan umum ( general rule ) yang menyatakan, bahwa tidak

diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas atau tidak memihak untuk suatu kasus tertentu.

Aspek yuridis dari criminal contempt bentuk kedua ini, dapat juga antara lain diidentikkan dengan pasal 209 KUHP ( penyuapan pejabat ) dan pasal 210 KUHP ( untuk penyuapan terhadap hakim ).


(46)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

c. Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi peradilan ( scandalizing the court )

Scandalizing the court merupakan bentuk contempt of court yang terjadi di luar

pengadilan. Tetapi yang lebih khusus ditujukan untuk menurunkan wibawa hakim/pengadilan, misalnya dengan mempublikasikan kritik atau tuduhan di surat kabar mengenai penyalahgunaan atau perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang tidak patut dilakukan oleh hakim. Misalnya menuduh hakim telah menyalahguanakan hukum pembuktian, telah berpihak atau telah mendapat tekanan-tekanan dari pihak luar. Kritik-kritik terhadap pengadilan dapat tidak merupakan contempt of court apabila merupakan kritik yang cukup beralasan ( reasonable criticism ) atau dikemukakan berdasarkan argumen yang masuk akal.

d. Mengganggu pejabat pengadilan ( Obstructing court officer )

Perbuatan ini termasuk contempt of court apabila terjadi di luar pengadilan, misalnya dengan menyerang/memukul atau mengancam hakim, jaksa atau juru sita setelah meniggalkan ruang sidang. Dalam hukum positif di Indonesia perbuatan ini dapat diidentikkan dengan ketentuan dalam pasal 214, 216, 356 KUHP.

d. Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses pengadilan berjalan ( Revenge for acts done in the course of litigation )

Perbutan yang termasuk dalam bentuk ini adalah pada dasarnya ditujukan pada saksi yang telah memberikan kesaksiannya di muka sidang. Perbutannya juga dapat dengan memukul/menyerang atau mengancam saksi tersebut ( misalnya akan dipecat dari kedudukan atau jabatannya ).


(47)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap e. Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan ( Breach of duty by an offecer

of the court )

Menurut Prof. Nico Keijzer, pelanggaran kewajuban oleh the king’s officer merupakan the oldest form of contempt. Termasuk bentuk pelanggaran ini misalnya petugas penjara/lembaga pemasyarakatan yang menahan dokumen atau surat-surat dari nara pidana yang dikirim ke pembelanya atau ke pejabat pengadilan. Secara teoritis menurut Keijzer, pelanggaran kewajiban inipun dapat dilakukan oleh para hakim. Namun sepengatuhuannya belum pernah ada hakim yang dipersalahkan karena contempt of court.

Erat hubungannya dengan masalah pelanggaran terhadap kewajuban menyimpan rahasia. Oleh karena itu publication of information that is not to be inclosed ( mempublikasikan informasi yang bersifat rahasia/tidak boleh diungkapkan juga termasuk

contempt of court.

f. Pelanggaran oleh pengacara ( contempt of court by advocates )

Bebrapa contoh contempt of court yang dilakukan oleh pengacara di negara

common law system, antara lain :

- A dan B bersama-sama melakukan perampokan. A pergi membawa hasil rampokanya. B menuntut bagiannya ke pengadilan lewat pengacarannya. Oleh pengadilan pengacara B dinyatakan melakukan contempt of court karena mengajukan tuntutan yang memalukan atau tidak sopan/kurang ajar (

scandalous and impertinent claim );

- Pengacara yang dengan sengaja mengajukan pernyataan tertulis yang palsu ke pengadilan;


(48)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN

PELECEHAN TERHADAP PERADILAN

( CONTEMPT OF COURT )

A. Ruang lingkup penegakan hukum

Untuk sedikit memperluas cakrawala, akan lebih baik pembicaraan mengenai penegakan hukum atau menegakkan hukum ( law enforcement ) didahului dengan tinjauan bersama terhadap fungsi membuat hukum ( law making ), dan fungsi menjalankan hukum atau melaksanakan hukum ( law applying ). Dalam kenyataan, fungsi membuat, menjalankan, dan melaksanakan hukum berjalan tumpang tindih ( overlapping ). Bahkan yang satu merupakan fungsi dari yang lain26

26

Bagir Manan. Op.Cit.,hal.29


(49)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Hukum dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada hukum yang dapat dijalankan kalau hukumnya tidak ada. Agar hukum dapat dijalankan, atau ditegakkan harus terlebih dahulu ada hukum.Penegakan hukum adalah sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut. Secara konsepsional, inti dan dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk mencipta, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

B. Penyelenggaraan penegakan hukum

Pada prinsipnya penegakan hukum bukanlah merupakan fungsi dari peradilan saja, apalagi fungsi dan proses di pengadilan saja. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah peradilan, tetapi pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum. Selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan, sangatlah perlu untuk juga mengamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan di luar proses peradilan di samping pengadilan.

Demikian pula halnya terhadap proses peradilan. Akan lebih baik dan sempurna kalau pengamatan proses peradilan tidak hanya sekedar ditujukan terhadap proses peradilan. Proses di pengadilan sebagai perjalanaan akhir penegakan hukum memang penting, tetapi harus dilihat secara integral bersama-sama komponen atau unsur peradilan


(50)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap lainnya yaitu kepolisian, kejaksaan, advokat, bahkan masyarakat atau individu pencari keadilan. Sudah lama dibicarakan mengenai integrated judicial system atau integrated

criminal juctice system27

C.Penanganan tindakan pelecehan terhadap peradilan

. Selain belum ada bentuk-bentuk dan tatanan mewujudkannya, dalam berbagai wacana kita sering terlepas dari konsep tersebut.

Sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menaggulangi masalah kejahatan. Sistem peradilan pidana mempunyai komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana. Peranan aparat penegak hukum sangat besar dalam upaya penanganan terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ).

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

3. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya28

Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.

.

27

Ibid.,hal.35

28

Mardjono Reksodiputro ( 1994 ). Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam HAM dan SPP. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal. 84.


(51)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat29

29

Sudarto ( 1981 ). Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung: Alumni, hal.121.

.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.


(52)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sistem lainnya. Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum30

1. Penanganan Oleh Aparat Kepolisian

.

30

Muladi( 1995 ). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP Semarang, hal. 16.


(53)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat sangat berperan penting dalam melakukan penertiban terhadap bebagai tindakan pelecehan terhadap peradilan31. Kepolisian sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum harus dapat bergerak cepat dan tanggap terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi di wilayahnya karena tugas utama kepolisian adalah untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat32

2. Penanganan Oleh Aparat Kejaksaan

. Polisi mempunyai peran penting dalam hal melakukan penyelidikan terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of cour ).

Lembaga kejaksaan dalam sitem peradilan pidana yang terpadu merupakan salah satu subsistem. Undang-undang terakhir yang mengtur tentang Kejaksaan adalah UU. No.5 Tahun 1991. dalam UU No. 5 Tahun 1991, diatur mengenai bagaimana lembaga kejaksaan dalam memerankan dirinya menjadi salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bertugas dalam melakukan penuntutan33

3. Penanganan Oleh Aparat Peradilan

. Dalam kaitannya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt

of Court ) jaksa berperan dalam melakukan penuntutan di depan pengadilan.

a. Kinerja Peradilan dalam Menangani Tindakan Pelecehan Terhadap Peradilan ( Contempt of Court )

31

Pasal 2 UU. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI

32

Irwan Suwarto ( 2003 ). Polri dan Dinamika Ketatanegaraan Indonesia. Padang: Ekaakti Press, hal.134.

33


(54)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas identik dengan sistem kekuasaan kehakiman yang pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum. Bekerjanya sistem peradilan pidana atau sistem kekuasaan kehakiman yang dikenal dengan istilah “Criminal

Justice System” melalui tahap yang cukup panjang. Lembaga peradilan bertugas untuk

memberikan putusan yang adil terhadap setiap kasus yang mereka tangani baik perdata maupun pidana34

1. Kurangnya kepercayaan publik terhadap peradilan dan hakim

. Sistem peradilan pidana ( Criminal Justice System ) secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Dalam kaitanya dengan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of

Court ), penulis telah melakukan wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Medan.

Adapun tujuan dari wawancara yang dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana proses penegakan hukum terhadap tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Narasumber yang ditemui oleh penuis berpendapat bahwa ada beberapa faktor kumulatif penyebab terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan yaitu :

2. Belum adanya suatu aturan yang baku tentang sejauh mana perbuatan yang dapat dikategorikan sebgai suatu tindakan pelecehan terhadap peradilan (

contempt of court ).

3. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya hukum

34

Barda Nawawi Arief (1996 ). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penagguulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 37.


(55)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap 4. Masyarakat salah mengartikan makna dari reformasi35

Narasumber mengatakan perlu adanya suatu langkah progresif untuk membuat

suatu aturan yang spesifik untuk mengatur tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Dalam menjatuhkan putusan terhadap tindakan pelecehan terhadap

peradilan ( contempt of court ), didasarkan kepada KUHP yang dikualifikasikan dan didasarkan kepada fakta yang ada. Hal ini diakibatkan belum adanya aturan baku dan batasan yang spesifik tentang pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Narasumber mencontohkan kasus dengan register No. 1444/Pid.b/PN Medan yang menjadi objek studi kasus dalam penelitian ini. Berdasarkan fakta yang diajukan dipersidangan, terdakwa hanya terbukti melakukan pengrusakan barang di Pengadilan Negeri Medan. Narasumber juga menyoroti tentang perlunya pengamanan sidang. Sehingga integritas dan martabat peradilan dapat dijaga. Selain itu, pengawasan tehadap putusan dan kinerja hakim perlu dilakukan baik secara internal maupun eksternal

36

Institusi peradilan merupakan pihak yang berperan memutuskan hukuman atau pidana yang akan dijatuhkan terhadap suatu kasus yang terjadi. Hakim sebagai pihak yang intelektual sangat berperan penting dalam memutuskan suatu perkara, karena dalam memutuskan suatu perkara, hakim harus berpegang kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku selain daripada keyakinan hakim itu sendiri. Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang itu, dimana putusan tersebut diucapakan di persidangan yang bertujuan untuk menghakimi atau menyelesaikan

.

35

Wawancara dengan Bapak Ahmad Semma SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 6 Maret 2008.


(56)

Agus Saleh Saputra Daulay : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindakan Pelecehan Terhadap suatu perkara37. Suatu konsep putusan ( tertulis ) tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan apabila belum diucapkan hakim di muka persidangan di pengadilan.

Hakim seharusnya tidak sekedar menjalankan sistem hukum acara ( kepastian hukum ), tetapi hakim harus mampu menyelesaikan persoalan hukum dengan jaminan mendapat keadilan bagi pencari keadilan.

b. Studi Kasus b.1. Kasus Posisi

36

Wawancara dengan Bapak Ahmad Semma SH, Hakim di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 6 Maret 2008

37

Sidik Sunaryo ( 2005 ). Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press, hal. 29

P U T U S A N

NO. 1444 / Pid. B / 2001 / P.N. Medan

DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa :

Nama lengkap : Hotman Sihombing alias Putun Tempat lahir : Medan


(1)

Berdasarkan hasil penelitian dalam penulisan skripsi yang telah penulis uraikan dalam kesimpulan di atas, maka penulis juga mempunyai saran-saran dan harapan yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana dalam upaya penaggulangan tindakan pelecehan terhadap peradilan ( contempt of court ). Adapun saran-saran dari penulis akan diuraikan dalam poin-poin sebagai berikut :

1. Sebaiknya perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur tentang tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Pengaturan tentang tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contemp of Court ) harus dibuat dalam suatu Undang-undang tersendiri. Hal ini diperlukan sebagai suatu langkah progresif dalam proses penegakan hukum di tanah air. Adapun pertimbangan utama adalah karena selama ini menjadi suatu kendala bagi aparat penegak hukum dalam menangani tindakan pelecehan terhadap peradilan ( Contempt of Court ). Belum adanya suatu batasan yang jelas karena pengaturan yang ada sekarang masih bersifat umum seperti yang diatur dalah KUHP.

2. Aparat penegak hukum diharapkan meningkatkan profesionalisme dan segera melakukan reformasi birokrasi dari segi internal. Khususnya lembaga peradilan, sangat sensitif terhadap protes dan reaksi atas kinerjanya terutama dalam menangani kasus-kasus yang penting. Hal ini dapat kita lihat seperti putusan dari lembaga peradilan dalam kasus Adelin Lis di Medan. Kinerja aparat penegak hukum merupakan suatu aspek penting dalam proses penegakan hukum.

3. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat merupakan aspek penting dalam proses penegakan hukum ( law enforcement ). Tanpa adanya budaya hukum yang baik dari masyarakat ( legal


(2)

culture), perundang-undangan yang baik ( legal substance) dan aparat penegak hukum yang profesional ( legal structure ) tidak dapat befungsi dengan baik. Peningkatan kesadaran masyarakat merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan terhadap terjadinya tindakan pelecehan terhadap peradilan.

4. Apabila kita melihat akar permasalahan timbulnya tindakan pelecehan terhadap peradilan adalah karena kurang puasnya masyarakat terhadap badan peradilan yang di konkritisasi dari bentuk putusan yang dihasilkan. Ketidakpuasan ini berdampak kepada rendahnya rasa hormat masyarakat terhadap peradilan. Sehingga perlu adanya suatu bentuk pengawasan baik secara internal maupun eksternal terhadap lembaga peradilan. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan yang dibuat oleh hakim terhadap suatu perkara di pengadilan. Pengujian ini dapat dilakukan secara internal ataupun oleh sebuah lembaga independen yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam hal ini.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Arief, Nawawi, Barda ( 1996 ).Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.


(3)

Arief, Nawawi, Barda ( 1996 ). Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penaggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Aspandi, Ali ( 2002 ). Menggugat Sistem Peradilan Indonesia yang Penuh Ketidakpastian. Surabaya : LeKSHI dan Luthfansah Mediatama.

Bungin, Burhan ( 2003 ). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Raja Garfindo Persada.

Bryan A. Garner ( 1999). Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, West Publishing Co.

Chazawi, Adami ( 2002 ). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Grafindo. Effendy, Marwan ( 2005 ). Kejaksaan RI. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gultom, Binsar ( 2006 ). Pandangan Seorang Hakim Penegakan Hukum di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Hamzah, Andi., Bambang Waluyo ( 1989 ).Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan ( Contempt of Court ). Jakarta: Sinar Grafika. Lubis, Solly ( 1989 ). Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung: Mandar Maju. Manan, Bagir ( 2005 ). Sistem Peradilan Berwibawa ( Suatu Pencarian ).

Yogyakarta: FH UII Press.

Mardjono Reksodiputro( 1994 ). Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi ). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Mertokusumo, Soedikno ( 1999 ). Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty

Moleong, Lexy ( 1999 ). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muladi( 1995 ).Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Muladi ( 1997 ). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit UNDIP.

Muladi, Barda Nawawi Arief ( 1992 ). Teori-Teori Kebijakan dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Muladi, Barda Nawawi Arief ( 1992 ). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.


(4)

Soedarto ( 1981 ). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: alumni

Soedarto ( 1983 ). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.

Soekamto, Soedjono ( 1983 ). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soekamto, Soerjono ( 1986 ). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soenaryo, Sidik ( 2005 ). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM

Press.

Waluyo, Bambang ( 1996 ). Penelitian Hukum dalam Praktek

. Jakarta: Sinar Garafika.

II. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang RI No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan

Undang-undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 tentang Prog. Pembangunan nasional Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP )

Kitab Undang-undang Hukum Acara Hukum Pidana ( KUHAP ) III. Internet

http:// pemantauperadilan.com


(5)

(6)