Prospek Hubungan As Dan Gerakan Politik Islam.

PROSPEK HUBUNGAN AS DAN GERAKAN POLITIK ISLAM
Oleh:
Yanyan Mochamad Yani

Salah satu isu yang menarik perhatian para pengamat dalam proses pemilihan presiden di
Amerika Serikat (AS) tahun ini adalah bagaimana proyeksi hubungan AS dan gerakan politik
Islam paska pemerintahan AS yang dipimpim George W. Bush Jr. Hal itu perlu secara
saksama dikaji dikarenakan opini publik di AS kini mulai jengah dengan sepak terjang
negaranya di berbagai kancah peperangan di berbagai belahan dunia dalam perang global AS
melawan terorisme. Fakta menunjukkan ternyata “mesin perang” AS banyak berlaga di
kawasan Timur Tengah dan atau di negara-negara yang memiliki jumlah penduduk muslim
dengan gerakan politik Islamnya yang tidak menyukai kehadiran dominasi AS di negaranya.
Lebih lanjut, khalayak juga tampaknya melihat bahwa era dominasi kelompok hawkish di
dalam pemerintahan Amerika Serikat diperkirakan akan segera berakhir dengan lengsernya
Presiden George W. Bush Jr bulan November nanti. Kita mafhum bahwa di masa
pemerintahan Bush kelompok hawkish yang dimotori tiga tokoh utamanya, Dick Cheney
(Wapres), Donald Rumsfeld (mantan Menhan), dan Paul Wolfowitz (mantan Presiden Bank
Dunia)

sangat


berkuasa

untuk

m
emaksakan

kehendaknya

agar

pemerintahan

AS

melaksanakan kebijakan Pax Americana. Inti kebijakan ini yakni keinginan kaum hawkish
tentang

“kekaisaran


Amerika”

yang

meliputi

seluruh

dunia

ata
s dasar

ideologi

internasionalisme Amerika. Salah satu strategi militer untuk mencapai tujuan Amerikanisasi
tersebut didasarkan pada doktrin the best defense is a good offense atau yang lebih dikenal
sebagai doktrin pre-emptive strike.
Doktrin ini ternyata sangat efektif diimplementasikan oleh kelompok hawkish dalam
perang global AS melawan terorisme paska dibomnya World Trade Centre (WTC) di New

York yang dikenal dengan peristiwa tragedi 9/11 tahun 2001. Sejak itu sepak terjang kaum
hawkish tidak terkendali. Dalam menjalankan kebijakannya terutama atas nama memerangi
terorisme Bush dan kaum hawkish seringkali tidak mengindahkan norma-norma hukum dan
hubungan internasional , termasuk melakukan intervensi dan invasi ke negara-negara lain.
Seiring dengan berjalannya waktu kebijakan arogan pemerintahan AS di bawah
kepeminpinan Bush mulai mengendur sejak akhir tahun 2006. Hal itu tidak lepas dari
berhasilnya Partai Demokrat mengambil alih kendali DPR dari kubu tangan Republik. Hasil
pemilihan umum sela di Amerika Serikat Nopember 2006 lalu menunjukkan bahwa Partai
Demokrat meraih kemenangan besar dengan menguasai mayoritas kursi senat. Itu berarti
bahwa di akhir masa pemerintahannya, Bush harus berkompromi dengan dua pilar kekuasaan
1

dalam perpolitikan AS – DPR dan Senat – yang dikuasai oleh Partai Demokrat karena
kepemimpinan nasional di di AS harus datang dari kalangan eksekutif dan juga dari kalangan
legislatif secara bersama-sama (bipartisan).
Saat itu harapan baru muncul di masyarakat internasional. Wajah garang kebijakan luar
negeri unilateral dengan menggunakan instrumen militer yang kerap ditampilkan AS kepada
negara-negara lain, khususnya negara berkembang akan mengendor karena Bush tidak
leluasa lagi mengimplementasikan kebijakannya. Hal itu juga terutama sepanjang sejarah AS
Partai Demokrat kerap lebih mengedepankan kampanye hak-hak asasi manusia, keamanan di

bidang ekonomi dalam negeri serta juga menangani permasalahan-permasalahan ekonomi
internasional. Partai Demokrat “tidak seambisius” menekankan pentingnya persaingan antar
kekuatan dunia (world powers) dalam artian persaingan bernuansa militer.
Dari hasil pemilihan umum sela waktu itu juga muncul kepermukaan opini publik di
kalangan pemilih. Publik menganggap vital kepentingan AS di beberapa bagian dunia, tetapi
sangat selektif sehubungan dengan keterlibatan AS secara langsung. Survei di beberapa
poling di AS memperlihatkan pendapat umum makin peka terhadap pembedaan bentukbentuk keterlibatan internasional, apakah secara militer ataukah secara ekonomi, dalam
kepentingan AS ataukah tidak dalam kepentingannya.
Dengan adanya kepekaan seperti begitu, “bahkan seorang yang tidak sekuasa Presiden
dapat menetapkan warna dan nada yang berarti pada publik, asal saja ia memang konsisten
dan garis kebijaksanaannya sepadan dengan kenyataan”. Dalam budaya politik AS seperti
demikian maka tidaklah mengherankan apabila dengan hanya mengusung isu invasi AS ke
Irak Pemerintahan Bush (baca: Partai Republik) yang saat itu lagi berkuasa dapat dikalahkan
secara telak oleh Partai Demokrat. Sudah menjadi rahasia dunia bahwa alasan yang
dikemukakan oleh Pemerintahan Bush dalam menginvasi Irak tidak konsisten dan garis
kebijaksanaannya tidak sepadan dengan kenyataan.
Tinjauan ke Depan
Secara demikian, dapatlah kita simak bahwa kondisi domestik AS menginginkan adanya
perubahan atas keterlibatan AS di berbagai belahan dunia terutama dalam konteks perang
global AS melawan terorisme yang notabene banyak berseteru dengan negara-negara

berpenduduk muslim (baca: beragama Islam).
Pada titik ini tampaknya AS perlu mengkaji ulang pandangannya mengenai dunia Islam.
Islam adalah agama yang dianut oleh komunitas (umat) yang terdiri dari berbagai bangsa.
Kesatuan umat Islam terefleksikan dalam ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Gerakan politik
Islam secara otomatis terdapat di berbagai belahan dunia. Karena itu sangatlah naïf apabila
AS hanya kerap menghubungkan gerakan politik Islam dengan aksi-aksi kekerasan.
2

Apabila asumsi itu dianut AS, maka hanya akan membenarkan pemahaman bahwa jalan
terbaik di dunia ini hanyalah sekulerisme dan sistem Barat. Padahal, menurut John Obert Voll
dalam tulisannya Relations Among Islamists Groups gerakan politik Islam adalah suatu
gerakan politik, ekonomi, hukum dan kemasyarakatan yang tidak terkungkung di dalam
sistem Barat. Gerakan ini adalah suatu gerakan alternatif tersendiri. Maka itu adanya standar
ganda kebijakan AS selama ini justru akan membuat semakin dalam jurang pemisah antara
kelompok politik Islam dan Barat.
Sejak tahun 1990-an gerakan politik Islam adalah sumber kekuatan dari gerakan-gerakan
perlawanan Islam. Mereka menjadi alternatif dari pemerintahan yang korup dan tidak
kompeten. Misalnya saja, di kalangan mayoritas kekuatan politik Islam di Timur Tengah dan
Dunia Muslim pada umumnya, AS dipandang sebagai penopang utama kekuasaan rezimrezim sekuler yang korup dan menindas rakyat. Gerakan-gerakan politik ini sebenarnya
berada pada atmosfir upaya pembangunan demokrasi di negaranya masing-masing, yang

notabene selaras

dengan kampanye global demokrasi ala AS yakni pembangunan good

governance tetapi dengan suatu proses sistem yang berbeda, yang satu secara islami, dan
lainnya secara sistem Barat.
Melihat makin berkurangnya wibawa AS di kalangan negara-negara muslim tampaknya
sudah saatnya elit pemerintahan AS paska pemerintahan Bush r.J mengkaji ulang
pendekatannya dengan negara-negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Kita mafhum bahwa target utama wilayah perang global melawan terorisme cenderung
merujuk kepada bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim. Indonesia adalah
negara dengan berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Itu berarti, dalam kajian strategi,
sebenarnya Indonesia adalah target sangat utama dalam grand strategy perang semesta AS
melawan terorisme. Assumsi ini diperkuat dengan paparan Douglas J. Feith (Under
Secretary of Defense for Policy) pada tahun 2003 menyampaikan tiga strategi AS dalam
Perang Global Melawan Terorisme (US Strategy in the Global War Against Terrorism) yaitu:
pemecahan dan penghancurkan organisasi teroris dengan menggunakan kekuatan militer
ofensif penuh; perang ide (battle of ideas); dan pembangunan keamanan domestik. Uniknya,
dalam strategi tersebut Turki dan Indonesia secara eksplisit dinyatakan sebagai dua negara

yang diharapkan dapat menjadi model negara Islam moderat ala AS.
Pola baru pemberantasan terorisme tampaknya mutlak perlu dilakukan AS. Jangan
sampai upaya AS untuk mendorong demokratisasi di Timur Tengah dan Dunia Muslim justru
akan menghadapkan AS pada pilihan dilematis. Apakah mendukung penuh demokratisasi
yang dengan sendirinya akan membiarkan kebangkitan kekuatan politik Islam yang justru
3

anti-Barat. Atau, terus mendukung rezim-rezim sekuler pro-Barat yang korup dan menindas
yang justru sebenarnya bertolakbelakang dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Namun, apabila nanti ada kebijakan baru dalam hubungan AS dengan bangsa muslim,
terlepas siapapun pemenang pilpres November nanti apakah Partai Demokrat atau Partai
Republik, kita berharap bahwa pemerintahan baru AS nanti meletakan hubungan
internasionalnya dalam pemahaman kesetaraan. Itu berarti adalah hak setiap bangsa di muka
bumi ini untuk bersikap kepada AS dengan berpijak pada pemahaman “cooperation where
we can; disagreement where we must”.***
==================================================================
Penulis adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

4