KEBANGKITAN GERAKAN POLITIK ISLAM DALAM

Intisari

Kebangkitan gerakan politik Islam dalam persepsi Amerika Serikat dipa ndang sebagai sebuah ancaman. Potensi ancaman tersebut muncul dalam persepsi Amerika Serikat terhadap fenomena kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah berupa bermunculannya berbagai macam kelompok-kelompok militant Jihad Islam yang berkeinginan untuk menegakkan negara Islam di Suriah, terkhusus di antara mereka adalah Jabhat al-Nusra. Kajian ini berfokus pada sebuah upaya untuk menjelaskan mengenai alasan yang menyebabkan Amerika Serikat mempersepsikan kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah sebagai sebuah ancaman. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif dengan pengumpulan data melalui kajian pustaka. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep gerakan politik Islam dan perspektif konstruktivisme sebagai kerangka dasar berfikir. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi ancaman AS terhadap gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah merupakan konstruksi realitas sosial yang muncul dari states of mind Amerika Serikat ketika mempersepsikan keamanan dan ancaman itu sendiri, yang selanjutnya ditimbulkan oleh perbedaan antara dua identitas yang berlawanan serta benturan kepentingan yang berbeda. Identitas konstruksi amerika Serikat adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kebebasan dan hak azasi manusia, sekaligus juga negara adidaya global yang memiliki tanggung jawab memelihara stabilitas kawasan Timur Tengah dari ancaman ekstremisme yang diakibatkan oleh gerakan politik Islam yang berujung pada terorisme domestik dan internasional. Sementara, fenomena gerakan politik Islam di Suriah menunjukkan adanya tuntutan yang aktif dan dukungan terhadap keyakinan, preskripsi, hukum-hukum yang berasal dari karakter dan identitas Islam, dimana kelompok Jabhat al-Nusra berkeinginan untuk menegakkan negara Islam yang selanjutnya dimasukkan oleh Amerika Serikat ke dalam daftar organisasi teroris.

Kata Kunci : Kebangkitan, Gerakan Politik Islam (Jabhat al-Nusra), Persepsi Amerika Serikat, Pergolakan Suriah, Perspektif Konstruktivisme

A. Pendahuluan

Sejak penghujung tahun 2010 hingga awal 2011, kawasan di Afrika Utara dan Timur Tengah mulai mengalami sebuah pergolakan yang dikenal dengan peristiwa “Arab Spring”. Peristiwa tersebut jika diartikan secara literal, bermakna musim semi Arab.

Namun, secara istilah merujuk pada sebuah pemahaman tentang kebangkitan dunia Arab atau pemberontakan yang dimulai dari Tunisia pada musim semi, Desember 2010. Arab Spring telah terjadi di Tunisia sejak 18 Desember 2010, kemudian menyusul Mesir, Aljazair, Libya, Yaman, Suriah, serta Bahrain.

Peristiwa Arab Spring ini pada awalnya menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam bentuk kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan berbagai macam media sosial. Tujuannya adalah untuk menggulingkan, menurunkan, melengserkan, serta menjatuhkan para pemimpin negara karena telah bertindak diktator, otoriter, korup, dan menindas rakyat dalam memimpin. Bentuknya adalah rakyat turun ke jalan melakukan aksi massa yang berupa demonstrasi dan protes terhadap pemerintah, sekaligus menuntut presiden turun dari jabatannya.

Suriah merupakan salah satu dari negara Arab yang terkena hempasan Arab Spring, serta memiliki keunikan dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan Timur Tengah yang mengalami proses pergolakan Arab Spring. Dari segi korban, jumlahnya jauh lebih besar daripada revolusi yang terjadi di negara-negara Arab lainnya, jumlah korban tewas di Suriah mencapai 90 ribu orang, PBB serta AS memperkirakan lebih dari 750 ribu warga Suriah telah meninggalkan negaranya. Sedangkan sekitar 2,5 juta lainnya

kehilangan rumah. 1 Dari segi waktu, apa yang terjadi di Suriah membutuhkan waktu yang relatif lama, karena pada faktanya aksi saling tembak antara pasukan pemerintah yang

loyal terhadap Presiden Assad melawan para milisi bersenjata yang berjuang untuk perubahan di Suriah masih terus berlanjut. Sementara Bashar al-Assad masih berhasil mempertahankan kekuasaannya sejak digoyang oleh pihak oposisi pada Februari 2011.

Awalnya gerakan protes di Suriah hanya dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi yang secara terus menerus muncul di Suriah dengan tuntutan untuk melengserkan Bashar al- Assad. Namun, selanjutnya berkembang menjadi pemberontakan nasional yang berujung pada konflik bersenjata internal di Suriah. Bahkan, berkembang menjadi gerakan berorientasi politik dengan munculnya berbagai macam gerakan-gerakan yang ingin mengambil alih kekuasaan dengan cara menggulingkan Assad.

Perkara yang menarik bagi penulis adalah pergolakan di Suriah mengundang kekuatan tempur dari para mujahidin yang berkeinginan untuk menegakkan negara Islam dalam bentuk kekhilafahan Islam. Mereka berasal dari berbagai macam wilayah di Jazirah Arab, bahkan ada yang berasal dari Kaukasus dan Eropa. Hal tersebut setidaknya memberi tanda bahwa terdapat kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, dalam bentuk bermunculannya berbagai macam bentuk gerakan-gerakan perlawanan yang menginginkan agar Suriah pasca Assad adalah sebuah negara Islam yang tegak di atas dasar Islam.

Menguatnya gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah dapat dilihat dari munculnya berbagai macam kelompok-kelompok jihad Islam yang berkeinginan untuk melengserkan dan mengambil alih kekuasaan Suriah atas Assad, salah satu diantara mereka adalah kelompok Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra). Kelompok ini disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Al-Qaeda, mereka merupakan kelompok yang sangat solid dan kuat, bahkan berhasil merebut beberapa lokasi strategis milik rezim Assad, diantaranya adalah Idlib dan Aleppo, bahkan konsentrasi mereka sedang mengarah ke

ibukota Suriah, yakni Damaskus. 2 Jabhat al-Nusra merilis video yang disebarluaskan melalui internet, dengan berisi

pernyataan bahwa mereka akan membawa hukum Allah kembali ke tanah-Nya. Selain itu, Jabhat al-Nusra bersama dengan sejumlah kelompok pejuang Islam mendeklarasikan

1 http ://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/15/mi8fec-menlu-as-korban-tewas-suriah-

capai-90-ribu-jiwa, diakses pada 12 Mei 2013. 2 Mujiyanto, 2013 : Tahun berdirinya Khilafah ?, Media Umat Edisi 96, 4-17 Januari 2013, Hal. 4

Brigade Koalisi Pendukung Khilafah. 3 Amerika Serikat menyebut mereka sebagai ‘kaum ekstrimis” dan menjadikan Jabhat al-Nusra dinyatakan sebagai organisasi teroris, melalui

dimasukkannya Jabhat al-Nusra ke dalam list organisasi terorisme. 4 Obama dalam kunjungannya ke Timur Tengah pada sebuah konferensi pers

bersama Raja Abdullah II dari Yordania menyampaikan peringatannya tentang bahaya Suriah pasca-Assad yang digambarkan sebagai skenario mimpi buruk di mana lembaga- lembaga negara Suriah hancur dan negara terpecah ke dalam sektarianisme, serta

kelompok Islam mengisi kesenjangan. 5 Obama memiliki kekhawatiran terhadap prospek kelompok jihadis Islam yang mampu beroperasi secara bebas di Suriah. Obama

beranggapan bahwa kaum ekstremis di Suriah tidak memiliki banyak hal yang dapat mereka tawarkan untuk membangun Suriah, namun mereka sangat baik memanfaatkan situasi konflik yang sedang berlangsung. Para analis kebijakan luar negeri di Washington berpendapat jika kaum Islam mengisi kevakuman kekuasaan hal ini bisa menimbulkan ancaman tidak hanya bagi Israel namun juga bagi negara-negara tetangga seperti Yordania

dan Libanon. 6 Termasuk pula ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat secara umum di kawasan Timur Tengah.

Dalam tulisan ini, penulis sangat tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah, utamanya terkait dengan salah satu kelompok dari barisan pejuang Islam, yakni Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) yang dimasukkan oleh Amerika Serikat ke dalam list organisasi teroris dan di klaim sebagai organisasi yang merupakan cabang dari Al-Qaeda di Suriah. Fokus dari tulisan ini bertumpu pada upaya umtuk memberikan sebuah konstruksi penjelasan mengenai alasan yang menyebabkan Amerika Serikat mempersepsikan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, khususnya kelompok Jabhat al-Nusra sebagai sebuah ancaman, sehingga dimasukkan kedalam list organisasi terorisme.

B. Kerangka Dasar Berfikir

Kajian ini menggunakan beberapa kerangka dasar berfikir yang dipergunakan untuk keperluan analisis, diantaranya adalah konsep gerakan politik Islam yang nantinya akan menggambarkan apa sebenarnya yang disebut dengan gerakan politik Islam dalam tulisan ini. Selanjutnya, kerangka teoritik yang berbasis pada perspektif konstruktivisme dalam upaya untuk menjelaskan tentang persepsi aktor yang dibentuk oleh identitas, ide, dan norma-norma yang dimilikinya.

1. Gerakan Politik Islam, Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra)

Gerakan Politik Islam sering pula disebut sebagai “Political Islam”, Joel Beinin dan Joe Stork dalam bukunya yang berjudul “Political Islam : Essays from Middle East

Report” mengungkapkan bahwa istilah yang dipergunakan adalah Political Islam bukan Islam Fundamentalis, mengingat fundamentalisme tidak sesuai untuk gerakan politik

3 Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasional, Depok : Pustaka Iman, Cetakan 1, Juni 2013, hal. 114-118

4 http://hizbut.tahrir.or.id/2013/04/30/faktor-islam-pada-revolusi-suriah-menyulitkan-amerika/, di akses pada 30 April 2013

5 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/24/obama -khawatirkan-berkuasanya-kelompok-islam-pasca-assad-di- suriah/, di akses pada 09 April 2013.

6 Ibid

Islam, karena fundamentalisme berasal dari gerakan Kristen Protestan pada awal abad ke-

20 untuk meyakinkan bahwa Injil merupakan firman Tuhan, sedangkan gerakan politik Islam tidak ada satu pun yang menyangsikan bahwa Al- Qur’an sebagai kumpulan firman Tuhan.

Gerakan Politik Islam didefenisikan sebagai gerakan politik yang menggunakan Al- Qur’an dan Hadist sebagai dasar gerakan mereka. 7 Ada beberapa cara menyebut Jabhat al-

Nusra atau Front al-Nusra, dalam bahasa Arab disebut Jabhat an-Nusrah li-Ahl ash-Sham yang berarti Front Pendukung untuk warga Levant/Syam. Karena pertimbangan kelaziman bahasa Arab yang biasa diadopsi ke dalam bahasa Indonesia maka penelitian ini menggunakan nama Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra).

Gerakan politik Islam biasanya akan muncul dalam keadaan negara menjadi sekuler, sementara sebagian besar penduduknya mempunyai akar Islam yang kuat, penguasa terlalu dekat dengan Barat, masyarakat Islam dimarginalkan di negara yang sebagian besar beragama Islam. 8 Gerakan politik Islam ini mempunyai agenda untuk

menerapkan syariah Islam dan konsep-konsep politik Islam dalam lingkup negara, menentang pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara yang dianggap sebagai sekularisme, dan melawan segala bentuk penjajahan serta penindasan kepentingan Islam, khususnya di negara yang mayoritas beragama Islam. Selain itu, juga terkadang jalur

kekerasan sering dipilih oleh gerakan politik Islam untuk mewujudkan tujuannya. 9

2. Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivis mengklaim bahwa orang bertindak di dunia sesuai dengan persepsi mereka tentang dunia itu, dan bahwa dunia “nyata” atau “obyektif” membentuk persepsi

itu. Persepsi ini, muncul dari identitas yang dibentuk oleh pengalaman dan norma-norma sosial yang berubah. Begitu orang tahu “siapa mereka”, maka mereka dapat memahami kepentingannya dan membuat kebijakan-kebijakan yang melayani kepentingan mereka. 10

Kaum konstruktivis memandang pembentukan identitas sebagai proses penting dan dinamis. Bagi kaum konstruktivis, kepentingan tidak inheren atau ditentukan sebelumnya, melainkan dipelajari melalui pengalaman dan sosialisasi. Kaum konstruktivis memandang para aktor bersifat sosial dalam arti ide-ide dan norma-norma mereka berkembang dalam konteks sosial. Akibatnya identitas berubah seiring waktu selama interaksi dan berkembangnya keyakinan dan norma serta akibatnya begitu juga dengan kepentingan. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa ide-ide dan norma-norma kolektif memainkan

peran utama dalam memproduksi identitas dan kepentingan. 11 Kaum Konstruktivis percaya bahwa cara orang mendefenisikan dirinya membentuk

cara mereka bertindak, mereka fokus pada faktor-faktor obyektif seperti norma-norma, ide-ide, dan nilai-nilai. Konstruktivisme mengembangkan konsep pilihan yang secara

7 Joel Beinin dan Joe Stork, Political Islam : Essays from Middle East Report, University of California Press, 1997, hal.3

8 Siti Mutiah Setiawati, Mekanisme Consociational dalam Penyelesaian Konflik Internal Lebanon, Yogyakarta : Elmatera Publishing, 2010, hal.41

9 Ibid, hal. 196-197. Lihat juga dalam Siti Mutiah Setiawati, Kekuatan Gerakan politik Islam di Timur tengah dari Iran Hingga Al-Jazair, laporan penelitian FISIPOL UGM, 2003, hal. 6-7

10 John Gerard Ruggie, Constructing the World Polity (New York : Routledge, 1998). Lihat juga dalam Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty, Introducting to Global Politics (Edisi Indonesia :

Pengantar Politik Global), Bandung, Nusa Media : 2012, Hal. 41-42 11 Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty, Ibid, Hal. 42 Pengantar Politik Global), Bandung, Nusa Media : 2012, Hal. 41-42 11 Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty, Ibid, Hal. 42

C. Metode Penelitian

Berkaitan dengan metode penelitian, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan metode eksplanatif. Pendekatan ini penulis gunakan untuk menjelaskan tentang alasan yang menyebabkan munculnya persepsi ancaman dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari buku-buku, jurnal, laporan tertulis, website, koran online, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menelusuri berbagai dokumen tertulis yang berkaitan dengan buku-buku, laporan, jurnal, website, koran dan sebagainya. Data yang terkumpul selanjutnya akan dianalisis dengan teknik analisis kualitatif, dimana penulis akan menjelaskan dan menggambarkan permasalahan berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang telah diperoleh untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

D. Hasil dan Pembahasan

Gelombang Arab Spring yang bermula dari Tunisia, akhirnya dirasakan juga oleh Suriah yang berujung pada munculnya pergolakan besar-besaran oleh rakyat hingga konflik bersenjata di Suriah. Mereka menuntut mundurnya Bashar al-Assad dari tampuk kekuasaan karena sikapnya yang diktator dalam memerintah. Hal yang menarik dalam pergolakan di Suriah adalah pergolakan tersebut tidak hanya menarik kekuatan dari negara-negara besar, tetapi juga kekuatan tempur dari para mujahidin. Para mujahidin tersebut sangat dipengaruhi oleh semangat jihad dan persatuan Islam, bahkan mereka bercita-cita untuk mendirikan negara Islam dalam bentuk kekhilafahan Islam, bukan lagi

sekedar negara nasionalis sekuler yang demokratis. 13 Fenomena tersebut menunjukkan kecenderungan bagi kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah.

Utamanya melalui munculnya gerakan politik Islam “Jabhat al-Nusra” yang berhasil bersama sejumlah kelompok islamis lainnya mendeklarasikan Brigade Koalisi Pendukung

Khilafah. Konsep Khilafah merupakan konsep politik dalam Islam yang menginginkan tegaknya pemerintahan Islam dan sangat menentang demokrasi. 14

12 Walter Carlsnaes, Thomas Risse, & Beth A. Simmons, Handbook of International Relations (Edisi Indonesia : Handbook Hubungan Internasional), Bandung : Penerbit Nusa Media, 2013, Hal. 627-628

13 R. Armando, Jifara Sniper Wanita di Perang Suriah “Memadukan Kesabaran, Kecepatan, dan Kecerdasan”, Jakarta Timur : RAS (Penebar Swadaya Group), 2013, hal. 22

14 Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 97-98, 114-115

Perkara tersebut mendapat respon dari Amerika Serikat yang mempersepsikan kebangkitan gerakan politik Islam di Suriah sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi Amerika Serikat. Atas dasar itu, Amerika Serikat memasukkan kelompok Jabhat al-Nusra kedalam daftar kelompok terorisme. Tulisan ini berangkat dari sebuah hipotesis awal bahwa kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah sangat mempengaruhi persepsi Amerika Serikat yang mewujud dalam bentuk persepsi ancaman berupa dimasukkannya Jabhat al-Nusra ke dalam list organisasi teroris. Perkara tersebut dipandang sebagai konstruksi realitas sosial dengan menekankan pada peran ide-ide dan norma-norma kolektif yang memproduksi perbedaan antara dua identitas yang saling berlawanan dan berupa kepentingan yang berbeda. Identitas konstruksi Amerika adalah identitas sebagai bangsa Amerika yang merupakan masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan hak azasi manusia, sementara gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah yang diwakili oleh Jabhat al-Nusra menunjukkan adanya sebuah gerakan politik yang berkeinginan untuk menerapkan syariah Islam dan konsep-konsep politik Islam dalam lingkup negara dengan didasarkan pada karakter dan identitas Islam. Sebagai negara adidaya global Amerika Serikat memiliki tanggung jawab untuk melindungi pemerintah-pemerintah yang bersahabat, sekaligus menjaga kawasan Timur Tengah dari ancaman “kaum ekstremis” yang semakin meningkat dengan adanya gerakan-gerakan politik Islam yang dapat berujung pada terorisme internasional maupun domestik.

1. Kebangkitan Gerakan Politik Islam dalam pergolakan di Suriah

Pergolakan yang terjadi di Suriah dianalisis sebagai bagian dari Arab Spring yang membawa gelombang demokratisasi di negara-negara Arab yang terlalu lama hidup di bawah rezim yang otoriter dan tidak demokratis, yakni rezim Assad. Namun, analisis terkait gelombang demokratisasi tersebut menjadi terbantahkan ketika sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) tiba-tiba merilis sebuah pengumuman yang membuat banyak pengamat konflik Suriah menjadi terkejut. Kelompok Jabhat al-Nusra melakukan deklarasi yang dilaksanakan pada 20 November 2012, bersama sejumlah kelompok pergerakan Islam lainnya mereka mendeklarasikan Brigade Koalisi Pendukung Khilafah. Nama kelompok-kelompok yang tergabung dalam deklarasi tersebut, yaitu Jabhat al-Nusra, Ahrar al-Sham Kataeb, Liwaa al-Tawhiid, Ahrar Souria, Halab al-Shahba, Harakah al-Fajr al-Islamiia, Dar al- Ummah, Liwa’a Jaish Muhammad, Liwa’a Jaish Muhammad, Liwa’a al - Nasr, Liwa’a Dar al -Islam, dan

lain-lain. 15 Para pejuang Islam yang tergabung dalam berbagai macam pergerakan Islam

tersebut memiliki visi yang sangat jelas yakni mereka menginginkan penegakan Khilafah. Konsep Khilafah sendiri merupakan sebuah konsep pemerintahan islam yang menentang demokrasi Barat, yang berusaha mempersatukan seluruh kaum Muslimin yang ada di dunia. Kekuatan spirit jihad dan persatuan Islam sangat mempengaruhi semangat para pejuang Islam yang menyebut diri mereka sebagai mujahidin dalam pergolakan Suriah. Terlebih lagi dengan adanya sejumlah hadist-hadist yang menceritakan tentang keutamaan Syam (Suriah termasuk didalamnya). Kelompok jihad Islam yang paling kuat dan solid di antara yang lainnya adalah Jabhat al-Nusra. Berbagai media Islam dengan penuh semangat

15 Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 98 15 Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 98

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dalam pergolakan di Suriah terdapat kecenderungan bangkitnya gerakan politik Islam. Beberapa penulis Timur Tengah sering menyebut gerakan politik Islam sebagai political Islam karena gerakan ini sifatnya sementara dan tujuan politiknya sangat menonjol. Gerakan ini menggunakan dasar Al- Qur’an dan Hadist serta teks-teks keagamaan lainnya dalam menjustifikasikan tindakan

dan pendirian mereka. Secara umum, kecenderungan dari gerakan-gerakan politik Islam di Timur Tengah antara lain dapat dilihat dari keinginan mereka untuk menegakkan Syariah Islam, dan terkadang tindakan kekerasan juga menjadi sebuah jalan yang diambil oleh beberapa gerakan politik Islam untuk meraih tujuan politik mereka. Dalam konteks ini, Syariah islam dimaknai sebagai seperangkat hukum dan peraturan Islam, dimana dalam keyakinan Islam dipercayai bahwa Islam tidak hanya sekedar agama yang mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tetapi peraturan seluruh kehidupan atau

a total way of life sehingga seluruh kehidupan manusia harus disesuaikan dengan aturan-aturan dari Tuhan. 16

Kebangkitan gerakan politik Islam di Suriah tersebut, selanjutnya dipersepsi oleh Amerika Serikat sebagai sebuah ancaman, hal tersebut dilakukan dengan dipergulirkannya kembali isu tentang terorisme ataupun ekstremisme Islam. Wacana terorisme yang dipergulirkan tersebut kembali memunculkan isu tentang keamanan kawasan Timur Tengah yang terancam oleh eksistensi kelompok terorisme, mengingat salah satu tujuan politik luar negeri Amerika Serikat terhadap kawasan Timur Tengah adalah terciptanya suatu bentuk stabilitas kawasan yang terancam oleh kelompok ekstremisme Islam. Salah satu gerakan politik Islam yang muncul dalam pergolakan di Suriah adalah Jabhat al- Nusra (Front al-Nusra) yang dimasukkan kedalam daftar terorisme oleh Amerika Serikat serta disebut-sebut memiliki afiliasi politik dengan Al-Qaeda, mereka juga dinilai sebagai kelompok yang paling solid dan kuat dalam pertempuran yang terjadi di Suriah untuk menumbangkan Bashar al-Assad.

2. Sekilas tentang Jabhat al-Nusra dan Kemunculannya dalam Pergolakan Suriah

Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) adalah kelompok ekstremis Sunni dalam pergolakan di Suriah yang berbasis dan menganut ideologi jihad global al-Qaeda. Pada akhir tahun 2011, al-Qaeda di Irak (AQI) dikirim ke operasi Suriah untuk tujuan membangun Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra) untuk melawan rezim Presiden Bashar al- Assad. Kelompok ini mengumumkan kehadirannya di Suriah dalam sebuah pernyataan video yang disebarluaskan melalui YouTube pada Januari 2012. Pada awal April 2013, kelompok Jabhat al-Nusra berjanji setia kepada pemimpin al-Qaeda yakni Ayman al- Zawahiri dan dikonfirmasi bahwa kelompok tersebut telah menerima dana dan bekerjasama dengan AQI. Kelompok ini telah menerima dukungan langsung dari forum ekstremis secara online sesuai dengan al-Qaeda dan salafi/tokoh jihad terkemuka. Sebelumnya, Jabhat al-Nusra telah berusaha untuk mengecilkan ideologi ekstremis dan

16 Siti Muti’ah Setiawati, Mekanisme Consociational dalam Penyelesaian Konflik Internal Lebanon, Yogyakarta : Elmatera Publishing, 2010, hal.196-197 16 Siti Muti’ah Setiawati, Mekanisme Consociational dalam Penyelesaian Konflik Internal Lebanon, Yogyakarta : Elmatera Publishing, 2010, hal.196-197

AQI di bawah bendera “Negara Islam Irak dan Suriah”. Pada awal April 2013, Abu Muhammad al-Jaulani berjanji setia kepada pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri dan

menyangkal pengetahuan tentang merger dengan AQI, yang pada intinya menolak atas Deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam. 18

Terkait dengan deklarasi “Negara Islam Irak dan Suriah” atau yang biasa juga disebut dengan “Islamic State in Iraq and al-Sham / Syria (ISIS)”, Al-Jaulani kemudian

menjawab deklarasi tersebut dengan merilis video berisi rekaman suaranya. Antara lain, Al-Jaulani mengatakan tidak diajak berkonsultasi terkait rencana penyatuan perjuangan tersebut. Namun, Al-Jaulani juga tidak secara tegas menentangnya. Ia hanya mengatakan bahwa pengumuman penyatuan itu prematur dan kelompoknya akan terus menggunakan nama Jabhat al-Nusra. Meski Al-Jaulani menginformasikan bahwa Jabhat al-Nusra memiliki hubungan yang erat dengan AQI dan mengungkapkan terima kasih atas bantuan uang dan pasukan yang diberikan AQI kepada Jabhat al-Nusra, serta menyatakan kesetiaannya pada Ayman Al-Zawahiri, dia juga berusaha menegaskan bahwa Jabhat al-

Nusra adalah murni perjuangan jihad rakyat Suriah. 19

3. Strategi dan Persepsi Amerika Serikat terhadap Gerakan Politik Islam “Jabhat al- Nusra”

Bahasan pada bagian ini menekankan pada strategi dari Amerika Serikat dalam menghadapi pergolakan yang terjadi di Suriah dan persepsi-Nya terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, terutama terhadap kelompok Jabhat al-Nusra. Pemaparan ini penting sebagai sebuah upaya untuk mengetahui tentang strategi dan persepsi yang terbangun dalam pandangan Amerika Serikat mengenai fenomena kebangkitan gerakan politik Islam di Suriah, utamanya tentang kelompok Jabhat al-Nusra yang dimasukkan oleh Amerika Serikat dalam daftar kelompok terorisme.

3.1. Strategi Amerika Serikat dalam Pergolakan di Suriah

Terkait dengan strategi dari Amerika Serikat dalam pergolakan yang terjadi di Suriah, maka langkah yang ditempuh adalah upaya diplomasi dan kemanusiaan untuk menyelesaikan krisis pergolakan tersebut. Pidato yang disampaikan oleh Obama pada akhir Agustus 2013 memberikan sebuah sinyal bahwa Amerika Serikat akan mengambil tindakan militer terhadap rezim Bashar al-Assad yang dianggap sebagai penguasa diktator dan meminta kongres untuk melakukan voting terkait dengan usulan tersebut. Namun, pada awal September Obama meminta kepada para pimpinan Kongres untuk menunda pemungutan suara yang akan memberikan wewenang penggunaan kekuatan senjata atas Suriah dan memilih untuk terus menempuh jalur diplomatik. Pada pidatonya saat ini,

17 http://www.nationalsecurity.gov.au/Listedterroristorganisations/Pages/Jabhatal-Nusra.aspx, diakses pada

05 Januari 2015 18 http://www.nationalsecurity.gov.au/Listedterroristorganisations/Pages/Jabhatal-Nusra.aspx, diakses pada

05 Januari 2015. 19 Dina Y. Sulaeman, ibid, hal. 132

Obama menjelaskan bahwa selama beberapa hari terakhir, terlihat adanya tanda-tanda kemajuan. 20 Jalur diplomatik yang dimaksud Obama adalah Konferensi Jenewa dua yang dilangsungkan awal tahun 2014 yang tujuan utamanya untuk mencari solusi politik bersama untuk krisis Suriah, selain juga mengenai solusi kemanusiaan tentunya. 21

Sebenarnya, konferensi Jenewa yang membahas tentang persoalan Suriah ini telah dua kali dilakukan, konferensi yang pertama dilaksanakan pada 30 Juni 2012 dan menghasilkan ide pembentukan pemerintahan transisi di Suriah yang diisi oleh perwakilan masing-masing kelompok yang bertikai, baik dari rezim Assad maupun Oposisi Suriah. Pemerintahan yang sementara tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan pemilu dalam waktu dekat. 22

Konferensi Jenewa pertama tersebut diikuti oleh lima negara anggota tetap DK PBB serta beberapa negara Timur Tengah yang berakhir buntu, alasannya adalah dua negara yang berada dalam anggota tetap DK PBB, yakni Rusia dan China menolak ide dibentuknya pemerintahan transisi tersebut. Selain itu, perlu kajian mendalam mengusulkan tercapainya pemerintahan transisi bersama dari kubu oposisi yang menyatu dengan kubu rezim Assad yang selama ini telah membantai sanak keluarga mereka.

Dua tahun berselang, AS dan Rusia menggagas kembali konferensi Jenewa lanjutan, mencarikan solusi untuk konflik Suriah yang sedang berlangsung kurang lebih tiga tahun. Konferensi yang digelar pada 22 Januari 2014 di Jenewa, Swiss ini membawa misi besar, yakni menghadirkan kubu oposisi Suriah dan pihak rezim Assad dalam satu meja perundingan. Sayangnya, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan, jika tidak dianggap sebagai sebuah kegagalan, kecuali kesepakatan untuk

memerangi Al-Qaeda di Suriah. 23 Setidaknya ada beberapa strategi yang dilakukan Barat agar revolusi di Suriah tidak

membahayakan kepentingan mereka, strategi tersebut antara lain adalah 24 :

1. Mengamankan senjata kimia dan senjata berbahaya lainnya yang dimiliki rezim Assad

2. Melacak pejuang asing dan menghambat kedatangan mereka

3. Mengganggu aliran dana untuk kelompok jihadis di Suriah

4. Meningkatkan kemampuan intelijen di semua bidang

5. Melemahkan kekuatan faksi-faksi Islam dengan berbagai cara

6. Memfasilitasi dan mendukung penuh kelompok oposisi sekular baik senjata maupun pendanaan.

Strategi-strategi tersebut mempunyai nilai yang sangat penting bagi Amerika Serikat, karena Suriah merupakan tempat dimana AS mempertaruhkan kredibilitas mereka di mata dunia internasional, terkhususnya menyangkut permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Selain mengancam kredibilitas AS, krisis Suriah secara tidak langsung akan menjadi ancaman keamanan serius bagi Amerika Serikat di masa yang

20 https://drive.google.com/file/d/0B-tDz9EOcq2lLVAzekxLUng5QUU/edit?pli=1, diakses pada 28 Desember 2014

21 Ibid 22 http://www.dakwatuna.com/2014/01/24/45229/konferensi-jenewa-ii-dan-impian-perdamaian-

suriah/#axzz3OUa99dVr, diakses pada 11 Januari 2015 23 https://drive.google.com/file/d/0B-tDz9EOcq2lLVAzekxLUng5QUU/edit?pli=1, diakses pada 28

Desember 2014 24 Ibid Desember 2014 24 Ibid

dari gerakan jihad global untuk menyerang Barat, terkhusus AS. 25

Tampaknya yang terpenting dari semua itu adalah untuk menjamin keamanan bagi kolega penting Amerika Serikat, yakni bangsa Yahudi. Ini mengingat bahwa Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan dapat dipastikan bahwa jika Suriah jatuh ke tangan jihadis, maka Israel akan menjadi target utama, seperti yang sering dipropagandakan oleh

jihadi di berbagai media. 26

3.2. Persepsi Ancaman AS terhadap Gerakan Politik Islam “Jabhat al-Nusra”

Kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dalam bentuk bermunculannya berbagai macam kelompok-kelompok milisi jihad Islam yang berkeinginan untuk menegakkan negara Islam dipersepsikan oleh Amerika Serikat sebagai sebuah ancaman. Hal itu setidaknya dapat kita buktikan melalui fakta dimasukkannya Jabhat al-Nusra – yang merupakan kelompok paling solid dan kuat di antara kelompok- kelompok jihad lainnya – ke dalam daftar kelompok teroris pada akhir tahun 2012, dan memang isu tentang terorisme ini telah mencuat sejak awal tahun 2012. Dalam wawancara dengan BBC pada 26 Februari 2012, Menlu AS yang menjabat saat itu yakni Hillary Clinton, mengakui bahwa Al-Qaeda berada di Suriah,

“Kita memiliki sejumlah aktor yang sangat berbahaya di kawasan, Al -Qaeda, Hamas, dan mereka yang ada dalam daftar teroris kami, tentu saja, mendukung,

[atau] mengaku mendukung oposisi [di Suriah]”. 27 Dalam konteks Suriah, berdasarkan laporan PBB dan laporan dari media massa

Barat disebutkan adanya aksi terorisme di Suriah yang mengindikasikan banyaknya pihak yang terlibat dalam konflik Suriah, antara lain, tentara pemerintah, kelompok oposisi bersenjata, aktivis oposisi (yang tidak angkat senjata), dan kelompok teroris (karena kelompok oposisi bersenjata menolak mengaku berada di kubu yang sama dengan kelompok teroris). Banyaknya pihak yang terlibat dalam konflik Suriah menyebabkan AS yang semula menutup-nutupi fakta soal suplai dana dan senjata kepada pihak oposisi akhirnya “menyesalkan” mengapa sebagian besar senjata itu justru jatuh ke “pihak yang tidak mereka inginkan”. Kesimpulan itu diambil setelah Presiden Obama dan pejabat senior lainnya menelaah laporan rahasia terkait konflik Suriah. Hal itu diberitakan New York Times 14 Oktober 2012,

“Kelompok oposisi yang terbanyak menerima bantuan sen jata justru mereka yang kami tidak inginkan untuk memilikinya”, kata seorang pejabat AS.

AS tidak mengirim senjata secara langsung kepada oposisi Suriah. AS menyediakan bantuan intelijen dan bantuan lainnya untuk pengapalan senjata - senjata bekas seperti pistol dan granat ke Suriah, terutama dilakukan dari Arab

25 Ibid 26 Ibid 27 http://newsrescue.com/clinton-on-bbc-alqaeda-hamas-supporting-syria-opposition-a-team-with-

usa/#ixzz2ObEFb9X4. Lihat juga dalam Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 133

Saudi dan Qatar. Laporan tersebut mengindikasikan bahwa pengapalan (senjata) dari Qatar khususnya, sebagian besar jatuh ke tangan kelompok Islam garis

keras. 28 Setelah itu, sekitar 11 Desember 2012 Juru Bicara Gedung Putih, Victoria Nuland, menyatakan bahwa Jabhat al-Nusra adalah organisasi yang memiliki hubungan dengan Al- Qaeda dan karenanya AS melarang segala bentuk bantuan terhadap kelompok ini. Alasan

AS, sejak November 2011, Jabhat al-Nusra telah mengaku bertanggung jawab atas 600 serangan, termasuk lebih dari 40 serangan bunuh diri dan peledakan dengan bom rakitan

di kota-kota Damaskus, Aleppo, Hamah, Dara, Homs, Idlib, dan Dayr al-Zawr. 29 Pada bulan Maret 2013, ketika perlawanan senjata yang dilakukan kelompok

mujahidin tidak bisa lagi ditutup-tutupi, dan fakta bahwa Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris melalui tangan Qatar dan Arab Saudi sejak awal sudah menyuplai dana dan senjata, serta fenomena datangnya pasukan jihadis lain dari berbagai negara Arab ke Suriah sudah terungkap, termasuk pula kedatangan para mujahidin dari Irak yang memiliki afiliasi dan latar al-Qaeda yang selanjutnya membentuk Jabhat al-Nusra di bawah pimpinan Abu Muhammad al-Jaulani, maka Obama mengeluarkan statemen berikut ini,

“Sesuatu sudah pecah di Suriah dan tidak bisa disusun kembali secara sempurna, bahkan setelah Assad pergi. Tetapi, kita bisa memulai proses untuk maju kearah

yang lebih baik dan untuk itu, persatuan oposisi sangat penting”. 30 Selain itu, Obama mengkhawatirkan prospek kelompok jihadis Islam yang mampu

beroperasi secara bebas di Suriah. Obama menegaskan bahwa kaum ekstremis tidak terlalu banyak dapat menawarkan pembangunan bagi Suriah, namun mereka dapat dengan baik memanfaatkan situasi hingga mereka mampu mengisi kesenjangan. Isu seputar senjata kimia Suriah juga memperoleh respon dari Amerika Serikat, ketakutan yang menghinggapi Amerika Serikat adalah adanya sebuah kekhawatiran bahwa senjata kimia tersebut akan jatuh kepada kalangan kelompok terorisme yang merupakan ekstremisme Islam, yang juga sementara terlibat dalam pertempuran di Suriah. Dimana kekhawatiran bahwa ketika senjata kimia tersebut jatuh ke tangan ekstremisme Islam, maka akan berdampak terhadap keamanan nasional Suriah dan juga negara-negara tetangga Suriah serta kawasan timur Tengah secara keseluruhan, tentunya juga terhadap kepentingan Amerika Serikat di kawasan tersebut.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Amerika Serikat mempersepsikan kebangkitan gerakan politik Islam yang terjadi dalam pergolakan di Suriah sebagai sebuah ancaman yang harus diwaspadai. Sifat ancaman tersebut muncul dari karakter Islam yang dimiliki oleh gerakan politik Islam semacam Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra), yang berkeinginan untuk menegakkan negara Islam dalam format Khilafah Islam dan menentang solusi demokrasi yang ditawarkan oleh Barat. Proses pembentukan persepsi ancaman serta alasan dibalik kemunculan persepsi ancaman inilah yang akan dibahas secara lebih mendalam pada bagian selanjutnya.

28 http://nytimes.com/2012/10/15/world/middleeast/jihadists-receiving-most-arms-sent-to-syrian- rebels.html?pagewanted=all. Lihat juga dalam Dina Y. Sulaeman, ibid, hal. 118-119

29 http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2012/12/201759.htm. Lihat juga dalam Dina Y. Sulaeman, ibid, hal. 118 30 http://www.guardian.co.uk/world/2013/mar/22/obama-syria-assad-syria-extremists. Lihat juga dalam,

Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal.166

4. Konstruksi Ancaman dan Peran Identitas dalam Membentuk Persepsi Amerika Serikat terhadap Gerakan Politik Islam “Jabhat al-Nusra”

Kajian pada bagian ini, secara lebih spesifik dan mendalam akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan persepsi ancaman yang berasal dari Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah, dalam hal ini kelompok Jabhat al-Nusra yang dimasukkan oleh AS ke dalam daftar kelompok terorisme dan juga alasan yang menjadi penyebab munculnya persepsi ancaman AS terhadap Jabhat al-Nusra, yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang dimiliki oleh Amerika Serikat.

Konstruktivisme sebagai sebuah perspektif dalam hubungan internasional akan sangat berguna disini untuk menjelaskan tentang bagaimana proses konstruksi ancaman dalam persepsi Amerika Serikat terbentuk dan juga tentang peran identitas sebagai sebuah instrument yang sangat penting untuk memahami kepentingan, yang akan mengungkap tentang penyebab dibalik kemunculan persepsi ancaman tersebut, sehingga mampu untuk diurai tentang alasan dari Amerika Serikat mempersepsikan kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah sebagai sebuah ancaman, dalam hal ini gerakan politik Islam tersebut diwakili oleh Jabhat al-Nusra yang dimasukkan oleh Amerika Serikat ke dalam daftar kelompok terorisme.

Untuk memudahkan memahami bahasan ini, maka pembahasannya akan dibagi kedalam dua buah bagian, yakni bagian pertama akan membahas tentang proses pembentukan konstruksi ancaman dalam persepsi Amerika Serikat terhadap kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan di Suriah. Selanjutnya, adalah bagian kedua yang akan membahas mengenai identitas dan perannya dalam rangka memunculkan persepsi Amerika Serikat ketika memandang kebangkitan gerakan politik Islam di Suriah.

4.1. Pembentukan Konstruksi Ancaman dalam Persepsi Amerika Serikat terhadap Gerakan Politik Islam “Jabhat al-Nusra”

Kondisi aman bagi sebuah negara sangat terkait dengan konsep keamanan nasional yang senantiasa menjadi kepentingan yang harus dipenuhi oleh negara dalam rangka menjamin stabilitas serta kelangsungan eksistensinya. Namun, sejalan dengan konsep ancaman yang sangat bersifat subjektif, maka konsep keamanan nasional pada hakekatnya adalah merupakan sebuah states of mind yang berasal dari sekelompok manusia yang

mengikatkan dirinya kedalam sebuah entitas politik yang disebut dengan negara. 31 Apa yang disebut dengan states of mind tersebut, ternyata tidak datang dengan sendirinya

(given) yang berasal dari basis material dan kapabilitas nasional yang dimiliki oleh sebuah negara sebagaimana yang tertuang dalam kekuatan militer dan dukungan unsur-unsur

nasional lainnya, melainkan states of mind muncul ketika sebuah negara mempersepsikan keamanan dan ancaman itu sendiri.

Ancaman itu sendiri merupakan hasil dari sebuah konstruksi dari masing-masing negara. Dalam hal ini, sebuah ancaman harus dipahami sebagai “ancaman untuk siapa” dan “ancaman dari apa”. Ancaman ini juga merupakan sebuah perkara yang bersifat

kompleks, sehingga sesuatu yang dirasakan dan dipersepsikan oleh sebuah negara merupakan suatu ancaman, maka belum tentu dianggap pula sebagai ancaman oleh negara

31 Alexius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008, hal. 140 31 Alexius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008, hal. 140

Dalam hal ini, ancaman yang terkait dengan keamanan merupakan sebuah konstruksi dari sebuah negara dalam pola hubungan internasional. Konstruksi ini akan membimbing sebuah negara dalam membuat kebijakan dan perilaku dalam melakukan hubungan sosial dengan pihak lain, baik yang bersifat kooperatif maupun konfliktif terkait

dengan konstruksi ancaman tersebut. 33 Dalam hal ini, ancaman dari gerakan politik Islam khususnya Jabhat al-Nusra merupakan sebuah konstruksi yang muncul ketika Amerika Serikat berinteraksi secara sosial dengan gerakan-gerakan politik Islam dalam pergolakan Suriah, yang menghasilkan sifat yang konfliktif diantara Amerika Serikat dengan gerakan- gerakan politik Islam di Suriah yang ingin menegakkan negara Islam dalam format Khilafah Islam, hal tersebut di respon oleh Amerika Serikat sebagai sebuah ancaman.

Dalam konteks pergolakan yang terjadi di Suriah, pada awalnya Amerika Serikat berkeinginan untuk merangkul seluruh kelompok oposisi yang terdapat di Suriah dengan memberikan berbagai macam bentuk bantuan baik berupa dana maupun persenjataan serta membentuk sebuah Dewan Nasional Suriah yang berusaha untuk menyatukan seluruh kelompok oposisi di Suriah. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat perlawanan dari kelompok oposisi yang berkeinginan untuk menumbangkan Bashar al-Assad, mengingat Assad pada saat itu telah kehilangan legitimasinya sebagai pemimpin disertai dengan sikap diktator dan otoriter yang dimilikinya.

Amerika Serikat berusaha melemahkan dominasi Prancis terhadap kelompok oposisi yakni Syrian National Council (SNC) dengan mendorong dibentuknya koalisi baru untuk menggantikan SNC, karena dinilai gagal mengendalikan jalannya pergolakan di Suriah dan tidak mampu menyatukan berbagai faksi oposisi. Koalisi baru yang dibentuk adalah Syrian National Coalition for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF), koalisi tersebut dibentuk dalam sidang di Doha, Qatar, pada tanggal 11 November 2012. Terdiri dari sekitar 60 anggota, terdiri dari 22 mantan anggota SNC, perwakilan dari masing-masing kota besar Suriah, dan sejumlah tokoh pemberontak Suriah yang berada di dalam dan luar negeri. Presiden SNCORF terpilih adalah Moaz al-Khatib, ulama dari kalangan Ikhwanul Muslimin. 34 Dalam Konferensi Friends of Syria di Marakesh

(Maroko), para anggota mendeklarasikan pengakuan mereka terhadap SNCORF sebagai perwakilan resmi rakyat Suriah dan sebagai organisasi yang memayungi semua kelompok oposisi Suriah.

Namun, dalam perkembangannya muncul kelompok Jabhat al-Nusra yang berhaluan Islamis dan menolak keabsahan SNCORF disebut sebagai perwakilan resmi rakyat Suriah, bahkan Jabhat al-Nusra berhasil menghimpun sejumlah kelompok perlawanan Suriah yang berhaluan Islamis untuk mendeklarasikan Brigade Koalisi Pendukung Khilafah, serta berhasil meraih simpati dari rakyat Suriah agar memberikan dukungan terhadap kelompok tersebut. Dalam rangka mendefenisikan dirinya kelompok ini menggunakan nama Jabhat an-Nusrah li-Ahl ash-Sham yang jika diartikan memiliki

32 Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing dan Mesiu : Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2008, hal. 24.

33 Angga Nurdin Rachmat, Konstruksi Ancaman terkait Identitas dan Kepentingan dalam Eksistensi Five Power Defence Arrangements (FPDA), Yogyakarta : Tesis Program Magister Jurusan Ilmu Hubungan

Internasional, UGM, 2011 34 Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 116 Internasional, UGM, 2011 34 Dina Y. Sulaeman, op.cit, hal. 116

integral dari warga Suriah dan memberikan dukungan kepada warga Suriah dalam rangka upaya mereka untuk menggulingkan Assad dari kekuasaannya. Selain itu, karakter Islam yang dimiliki oleh kelompok Jabhat al-Nusra ini sangat kuat, hal itu setidaknya ditunjukkan dengan agenda politik dari mereka untuk menegakkan Khilafah Islam. Perlu diketahui bahwa Islam dengan Syariahnya di negara-negara Timur Tengah, tentunya juga termasuk Suriah didalamnya, berfungsi sebagai ideologi negara, hukum negara, identitas negara, dan pemersatu penganutnya sehingga kesetiaan diberikan lebih kepada sesama muslim dibandingkan kepada penguasa ataupun pihak asing, sumber legitimasi politik penguasa, dan sebagai kekuatan politik, khususnya pada masa penjajahan. Selanjutnya, fungsi-fungsi tersebut telah memberikan inspirasi pada gerakan-gerakan politik Islam untuk mewujudkan negara Islam, yakni suatu negara yang hukum dan peraturan-

peraturannya menggunakan hukum dan peraturan Islam. 35 Dalam khasanah pengetahuan Islam, negara Islam ini sering disebut sebagai Khilafah Islamiyah.

Dengan prinsip-prinsip Islam yang dipegang oleh masyarakat Islam, seperti tidak membedakan antara agama dan negara serta pandangan yang menolak demokrasi Barat, maka akan sulit bagi negara-negara Barat semacam Amerika Serikat untuk menyebarluaskan ideologinya di negara-negara Timur Tengah karena kesetiaan warga negara akan menembus batas negara. 36 Dalam konteks Suriah, Amerika Serikat juga

menemukan kesulitan ketika berhadapan dengan kelompok Jabhat al-Nusra yang berhasil meraih dukungan dari rakyat Suriah karena karakter Islam yang mereka miliki dan juga upaya-upaya kegiatan yang dilakukan oleh Jabhat al-Nusra untuk mendekatkan dirinya

dengan masyarakat Suriah, serta keberhasilan mereka membangun sebuah konstruksi “ke- kita- an” dengan masyarakat Suriah dalam rangka upaya untuk mengkonstruksi koherensi internal antara kelompok pejuang islam dengan masyarakat Suriah.

Sementara itu, dalam persepsi yang dimiliki oleh Amerika Serikat yang didasarkan pada prinsip-prinsip politik Barat, yang tentunya prinsip-prinsip politik tersebut berasal dari ide dan gagasan yang diemban oleh Barat, dimana ide dan gagasan tersebut dibentuk dalam konteks sosial, budaya dan kesejarahan, semacam sekularisme, demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia, maka prinsip-prinsip politik tersebut dinilai sangat berbeda dengan Islam sehingga orang Barat sering menuduh Islam tidak demokratis, tidak toleran, tidak menghargai pluralisme, tidak menghargai wanita, dan cenderung

totalitarian. 37 Proses pembentukan konstruksi ancaman terorisme dalam pergolakan yang terjadi

di Suriah melalui di masukkannya Jabhah Al-Nusrah dalam list organisasi terorisme oleh Amerika Serikat sebagaimana yang disebutkan di sebelumnya, jika kita cermati secara mendalam sebenarnya berlangsung dalam suatu konteks yang sangat bersifat sosial. Hal tersebut dapat kita temukan dalam proses interaksi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap kelompok-kelompok oposisi yang terdapat di Suriah, yang pada awalnya Amerika Serikat berada pada pihak yang memberikan dukungan kepada kelompok oposisi baik berupa bantuan senjata maupun dana. Melalui proses interaksi tersebut terjadi perubahan orientasi dari AS, yang pada awalnya mendukung pihak oposisi menjadi

35 Siti Muti’ah Setiawati, op.cit, hal. 198 36 Siti Muti’ah Setiawati, ibid, hal. 199 37 Siti Muti’ah Setiawati, ibid, hal. 199 35 Siti Muti’ah Setiawati, op.cit, hal. 198 36 Siti Muti’ah Setiawati, ibid, hal. 199 37 Siti Muti’ah Setiawati, ibid, hal. 199

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa ancaman kebangkitan gerakan politik Islam di Suriah dalam persepsi Amerika Serikat merupakan sebuah proses konstruksi dari Amerika Serikat terhadap kelompok-kelompok Islam yang sementara berjuang di Suriah dengan sebuah relevansi akan hubungannya dengan wacana keamanan yang basisnya adalah states of mind dari sekelompok manusia yang mengikatkan dirinya dengan negara, dimana states of mind tersebut muncul ketika Amerika Serikat mempersepsikan keamanan dan ancaman itu sendiri, dengan menekankan pada ide dan gagasan yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Bahwa, keberadaan kelompok-kelompok ekstremisme yang berbasis Islam tersebut, berpotensi ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan Timur Tengah. Argumen ini semakin menguatkan pandangan kaum konstruktivisme yang melihat dunia sebagai proyek yang sedang dikerjakan, sebagai menjadi (becoming) dan bukan ada (being), karena realitas sosial merupakan suatu konstruksi manusia.

Selain itu, penekanan pada obyek dan praktek kehidupan sosial “dikonstruksi (dibangun)”, dapat kita lihat berdasarkan ide dan gagasan yang dimiliki oleh Amerika