GERAKAN POLITIK ISLAM SUNNI SYIAH DI IND
GERAKAN POLITIK ISLAM SUNNI-SYIAH DI INDONESIA
(MASA KERAJAAN ACEH)
M A K A LA H
Diajukan untuk memnuhi tugas akhir Mata Kuliah Sejarah Politik Islam
Program Studi Agama dan Filsafat
Konsentrasi SKI Semester 2
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A
Disusun Oleh:
Lisa Aisyiah Rasyid, S.H.I
NIM: 1420510072
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya gerakan Islam bertujuan kepada tegaknya agama Islam di
muka bumi agar kedamaian dan kesejahteraan bagi umat Islam terwujud. Banyak
ideologi atau paham yang melandasi gerakan ini. Gerakan Islamisasi tersebut,
terjadi di seluruh belahan bumi, dengan waktu dan tempat yang berbeda, termasuk
di Indonesia. Ditinjau dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui
berbagai cara. Perbedaan-perbedaan yang ada mengenai sejarah Islamisasi di
nusantara ini memiliki banyak permasalahan yang rumit di antaranya adalah
ketersediaan data yang sangat terbatas tentang kedatangan Islam, sebagaimana
yang disampaikan Snouck Hurgronje dalam orasi ilmiahnya di Leiden pada tahun
1907 M.1
Meskipun demikian, proses islamisasi di Indonesia menurut hemat penulis
setidaknya dapat dilacak melalui sejarah perkembangan aliran politik Islam SuniSyi’ah. Perkembangan Sunni dapat dilacak melalui mazhab Syafi’i dan Syi’ah
melalui mazhabnya sendiri (syi’ah). Selanjutnya, untuk mengetahui lebih
mendalam gerakan Islamisasi kedua aliran ini, diperlukan pandangan ringkas
tentang islamisasi dan teori islamisasi di Indonesia, pertumbuhan kedua aliran ini
dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya di Indonesia.
Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara aliran Sunni dan Syi’ah
dalam gerakan politik keduanya di Indonesia, khususnya ketika kedatangan awal
keduanya. Karena awal kedatangan Islam di Indonesia ini pada umumnya terjadi
melalui jalur perdagangan dan perkawinan. Dan para penganut kedua aliran
tersebut yang memasuki wilayah Indonesia dan menyebarkan Islam ini, adalah
rata-rata merupakan pedagang yang kemudian menetap dan mengawini
perempuan keturunan indonesia asli.
PEMBAHASAN
1Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
dari Abad XII sampai XVIII M (Jakarta: Cinta Ilmu, 2000), hlm. 1-2
1
A. Asal-usul Tradisi Politik Sunni di Indonesia
Mengenai Sunni di Indonesia, menurut hemat penulis dapat dilacak
melalui aktivitas mazhab Syafi’i di Indonesia. Mazhab ini merupakan mazhab
yang paling besar pengaruhnya terhadap masyarakat Islam di Indonesia. Seorang
pengembara muslim dari Marokko, Ibn Bathuthah, yang melakukan kunjungan ke
Pasai pada tahun 746 H/1345 M, dalam bukunya menulis bahwa penduduk di
pulau-pulau yang dikunjunginya (di Sumatera) pada umumnya menganut mazhab
Syafi‘i. Ia juga menuturkan bahwa di Kerajaan Pasai, Sumatera, ada Raja Malik
al-Zhahir yang terkenal sebagai ahli agama dan hukum Islam. Melalui kerajaan
inilah mazhab Syafi‘i dan doktrin politik Sunni disebarluaskan ke berbagi wilayah
di Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari Kerajaan Malaka (1400-1500 M)
sering datang ke Pasai untuk mencari kata putus terhadap permasalahan hukum
yang terjadi di Malaka.2
Di sisi lain, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mendapat justifikasi dari
doktrin politik Sunni klasik. Dalam hal ini para ulama Nusantara berusaha
merumuskan dan melanjutkan doktrin politik Sunni klasik untuk mendukung
praktik-praktik kenegaraan di kerajaan-kerajaan Nusantara tersebut. Kitab-kitab
klasik seperti Hikayat Raja-raja Pasai,Taj al-Salathin dan Bustan al-Salathin,
adalah contoh bagaimana doktrin politik Sunni berkembang dalam mendukung
kekuasaan raja-raja Nusantara. Karya-karya tersebut memperlihatkan bagaimana
kontinuitas doktrin Sunni tetap terpelihara dalam praktik dan pemikiran politik
Islam di Nusantara.3 Demikianlah gerakan islamisasi Sunni yang terjadi di
Indonesia melalui mazhab Syafi’i oleh Syekh Ismail dari Mesir yang diawali dari
Samudra Pasai dan berkembang ke Semenanjung Malaka. Dan hingga saat ini
menjadi paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Posisi Shaykh al-Islam dalam kerajaan-kerajaan Melayu mirip dengan
kerajaan Usmani di Turki yang juga bermazhab Sunni. Dalam kerajaan Usmani,
2Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 32-34
3Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 239
2
Shaykh al-Islam memegang peranan penting dalam masalah-masalah agama. Ia
membantu tugas-tugas Sultan (raja) dalam menjalankan perannya mengurus
persoalan keagamaan umat Islam. Ini wajar, karena dalam tradisi politik Sunni,
dinasti Usmani merupakan lambang kekuatan politik umat Islam.
B. Asal-usul Tradisi Politik Syi’ah di Indonesia
Mengenai aliran syi’ah di Indonesia, banyak yang menyatakan bahwa di
kalangan Mubaligh-mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantara terdapat Ahlil
Bait atau orang Syi'ah. Para mubaligh tersebut adalah orang-orang yang
mengunjungi Aceh dan Malaka, memasuki Nusantara dari Persia dan India. Para
mubaligh tersebut juga merupakan golongan Sayyid dan Syarif.4 Melalui mereka
inilah, setelah di aceh, agama Islam kemudian terus tersiar di antara raja-raja
hindu di Jawa dan suku-suku yang belum beragama. Selain dari mereka ini, ada
juga mubaligh yang datang dari Arab Hadramaut.
Paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika pertengahan abad IV H terjadi
perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang dilakukan oleh kaum Fathimah
melawan raja-raja Abbasiyah. Rajanya yang pertama bernama al-Qayyim bin
Ubaidillah yang memerintah Tunisia dan sekitarnya pada tahun 313 H. Kerajaan
Fatimiyah meluaskan wilayahnya dan menguasai Mesir pada tahun 341 H, dengan
sultannya yang bernama al-Muiz Li Dinillah (341 H). 5 Kekuasaan Bani Fatimiyah
berajalan lama sampai 250 tahun, yaitu sampai tahun 564 H, ketika diambil alih
oleh Salahudin al-Ayyubi pembebas Palestina yang terkenal. Bani Fatimiyah ini
menganut faham syi’ah. Raja-raja Islam Bani Fatimiyah ini mengirim mubalighmubaligh ke Indonesia pada abad IV samapai VI H. bahkan mengirim juga
angkatan lautnya untuk membantu fatwa-fatwa Syi’ah, untuk mendirikan
kerajaan-kerajaan bermazhab Syi’ah. Sultan-sultan yang ada di kerajaan pada
4Darwis Muhdina, Jurnal Al-Fikr,”Aliran Sunni-Syi’ah dan Peran Serta Politik Umat
Islam”, Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011 (Makkassar: UIN Alauddin Makassar, 2011), hlm. 541
5Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke-22. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
112
3
masa awal itu hampir semuanya adalah para mubalig yang dikirim Bani
Fatimiyah.6
C. Politik Islam Sunni-Syi’ah Masa Kerajaan Aceh
Dari catatan sejarah masuknya ke Aceh dan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam di sana, dapatlah kita mengetahui bahwa sejak semula Partai Sunni dan
Partai Syiah telah saling rebut pengaruh dan kekuasaan hal mana dengan ringkas
dapat dicatat sebagai berikut.
1. Kerajaan Islam Peurlak
Tahun 800 M, rombongan Missi Islam yang menyamar sebagai pedagang,
tiba di Peureulak dengan tujuan islamisasi. Rombongan ini dipimpin oleh orangorang Syiah yang tertindas dan dikejar-kejar Daulah Amawiyah dan Abbasiyah.
Usaha mereka untuk mengislamkan Peureulak berhasil dengan baik sekali, di
mana waktu yang relatif singkat sebahagian besar rakyat Peureulak telah masuk
Islam dan pada hari selasa tanggal 1 Muharram 225 H/840 M diumumkan
proklamasi berdirinya kerajaan Islam Peureulak, dengan raja yang pertamanya
Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, dari aliran politik Syiah. 7 Karenanya
kerajaan ini pada mulanya dipengaruhi dan dikuasai oleh aliran politik Syiah.
Selanjutnya, aliran politik Sunni yang berpengaruh pada masa Daulah
Abbasiyah, mengirim pula missinya ke Peureulak secara rahasia, sehingga dengan
ketekunan
dan
kecakapan
berdakwah,
mereka
berhasil
mengumpulkan
pengikutnya di Peureulak. Akhirnya, ketika pemerintahan Sulthan Alaiddin
Sayyid Maulana Abbas (Sulthan Peureulak ke III) (888-913 M), meletuslah
pemberontakan yang berlangsung selama 2 tahun oleh pengikut Sunni yang
melawan pemerintah yang dikuasai Syiah.8
6Ibid.
7A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 32
8Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, (Jakarta: Lentera:
Lentera Bastarima, 1996), hlm. 107
4
2. Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada tahun 1042 M berdirilah kerajaan Islam Samudra Pasai, setelah
Meurah Giri memimpin sebuah Missi Islam dari Peureulak ke Pasai dan berhasil
mengislamkan penduduknya. Meurah Giri seorang dari keluarga Sulthan Mahmud
dari Dinasti Makhdum Johan yang menganut aliran Sunni.9
Sekalipun yang mula-mula menyiarkan Islam ke daerah Pasai adalah
orang-orang dari aliran Sunni dan berkesempatan pula memegang tampuk
kekuasaan negara, namun dengan cara diam-diam orang-orang aliran Syiah yang
terjepit di Peureulak datang pula ke daerah ini untuk mengembangkan pahamnya.
Usaha kaum Syiah ini berhasil, dan pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah
Rawangsa Khadiyu (1400-1428 M), diangkatlah salah seorang tokoh mereka
menjadi Perdana Menteri, yaitu Arya Bakooy yang terkenal ekstrim dan benarbenar mempergunakan kedudukan dan keuasaannya untuk mengembangkan
paham partainya, bahkan untuk menindas para pemimpin dan ulama Sunni.10
Arya Bakooy kemudian mendapat perlawanan oleh rakyat dan tokoh
kerajaan lainnya, sehingga akhirnya terjadilah perang saudara antara golongan
Syiah di bawah pimpinan Maharaja Bakooy Ahmad Permala dengan rakyat
pengikut Sunni di bawah pimpinan Malik Musthafa dengan bantuan Sulthan
Mahmud II Alaiddin Johan (1409-1465 M).11 Akibatnya Bakooy Ahmad Permala
terbunuh dalam pertempuran dan kalahlah golongan Syiah dalam arena politik di
Samudra Pasai.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada tanggal 12
Zulka’idah 916 H/1511 M, adalah lanjutan dari kerajaan-kerajaan kecil
sebelumnya, yaitu kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai,
9H. Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 15
10Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
11Ibid.
5
kerajaan Beunua (Teumieng), kerajaan Islam Lingga, kerajaan Islam Pidie,
kerajaan Islam Daya, dan Kerajaan Darussalam.12
Adalah satu hal yang logis, kalau saling rebut pengaruh dan kekuasaan
antara Sunni dan Syiah yang telah berkecamuk dalam kerajaan Islam Peureulak
dan Peureulak Samudra Pasai, berlanjut terus dalam kerajaan Aceh Darussalam.
Masing-masing pihak mencoba mempengaruhi pimpinan negara dan selanjutnya
kalau mungkin merebut kekuasaan.
Usaha-usaha mereka tidak pernah dapat tercapai karena Sulthan sangat
waspada dalam kalangan rakyat, pada saat-saat ancaman penjajahan Portugis
semakin menjadi-jadi. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perpecahan
diambil sulthan dengan amat bijaksana.
Sungguh dalam politik, Sunni dan Syiah tidak pernah mencapai sasaran
pokoknya dalam kerajaan Aceh Darussalam, namun ajarannya mengenai aqidah,
tasawuf, thariqat, filsafat dan ibadat berkembang dalam kalangan rakyat; bahkan
tidak hanya berkembang dengan wajar, tetapi juga saling tuduh dan saling fitnah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gerakan politik Sunni di Indonesia, menurut hemat penulis dapat dilacak
melalui aktivitas mazhab Syafi’i di Indonesia. Mazhab ini merupakan mazhab
yang paling besar pengaruhnya terhadap masyarakat Islam di Indonesia. Pada
umumnya para ahli berpendapat bahwa masuknya mazhab Syafi’i ke Indonesia
12A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 39
6
adalah sekitar abad kw-13. Sedangkan paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika
pertengahan abad IV H terjadi perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang
dilakukan oleh kaum Fathimah melawan raja-raja. Gerakan islamisasi Syi’ah
bermula di Aceh melalui ajaran tasawuf wujudiyah. Tokoh penganut
ajarantasawuf wujudiyah di Aceh ialah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin alSamatrani.
Selanjutnya, dari pembahasan-pembahasan sebelumnya sebagaimana telah
dijelaskan, terlihat bahwa proses islamisasi di Nusantara muncul sebagai gejala
politik. Konversi raja-raja Melayu di Nusantara ke dalam agama Islam merupakan
kekuatan politik yang berperan sangat signifikan dalam pengislaman masyarakat
kerajaan Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, Jakarta: Lentera:
Lentera Bastarima, 1996.
7
Daliman, A., Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2012.
Hitti, Philip K., History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al, Cet. Ke2, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2013.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
, “Jurnal Islamica”, dalam Akar Tradisi Politik Sunni di Indonesia
pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, Terj. Ghufran A.Mas’adi dengan
judul Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua,, Cet. Ke-3, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Muhdina, Darwis, Jurnal Al-Fikr,”Aliran Sunni-Syi’ah dan Peran Serta Politik
Umat Islam”, Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011, Makkassar: UIN Alauddin
Makassar, 2011.
Saifullah, H., Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Suryanegara, Ahmad Mansur Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1998.
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M, Jakarta: Cinta Ilmu, 2000.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke-22, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
8
(MASA KERAJAAN ACEH)
M A K A LA H
Diajukan untuk memnuhi tugas akhir Mata Kuliah Sejarah Politik Islam
Program Studi Agama dan Filsafat
Konsentrasi SKI Semester 2
Dosen Pengampu: Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A
Disusun Oleh:
Lisa Aisyiah Rasyid, S.H.I
NIM: 1420510072
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya gerakan Islam bertujuan kepada tegaknya agama Islam di
muka bumi agar kedamaian dan kesejahteraan bagi umat Islam terwujud. Banyak
ideologi atau paham yang melandasi gerakan ini. Gerakan Islamisasi tersebut,
terjadi di seluruh belahan bumi, dengan waktu dan tempat yang berbeda, termasuk
di Indonesia. Ditinjau dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui
berbagai cara. Perbedaan-perbedaan yang ada mengenai sejarah Islamisasi di
nusantara ini memiliki banyak permasalahan yang rumit di antaranya adalah
ketersediaan data yang sangat terbatas tentang kedatangan Islam, sebagaimana
yang disampaikan Snouck Hurgronje dalam orasi ilmiahnya di Leiden pada tahun
1907 M.1
Meskipun demikian, proses islamisasi di Indonesia menurut hemat penulis
setidaknya dapat dilacak melalui sejarah perkembangan aliran politik Islam SuniSyi’ah. Perkembangan Sunni dapat dilacak melalui mazhab Syafi’i dan Syi’ah
melalui mazhabnya sendiri (syi’ah). Selanjutnya, untuk mengetahui lebih
mendalam gerakan Islamisasi kedua aliran ini, diperlukan pandangan ringkas
tentang islamisasi dan teori islamisasi di Indonesia, pertumbuhan kedua aliran ini
dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya di Indonesia.
Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara aliran Sunni dan Syi’ah
dalam gerakan politik keduanya di Indonesia, khususnya ketika kedatangan awal
keduanya. Karena awal kedatangan Islam di Indonesia ini pada umumnya terjadi
melalui jalur perdagangan dan perkawinan. Dan para penganut kedua aliran
tersebut yang memasuki wilayah Indonesia dan menyebarkan Islam ini, adalah
rata-rata merupakan pedagang yang kemudian menetap dan mengawini
perempuan keturunan indonesia asli.
PEMBAHASAN
1Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
dari Abad XII sampai XVIII M (Jakarta: Cinta Ilmu, 2000), hlm. 1-2
1
A. Asal-usul Tradisi Politik Sunni di Indonesia
Mengenai Sunni di Indonesia, menurut hemat penulis dapat dilacak
melalui aktivitas mazhab Syafi’i di Indonesia. Mazhab ini merupakan mazhab
yang paling besar pengaruhnya terhadap masyarakat Islam di Indonesia. Seorang
pengembara muslim dari Marokko, Ibn Bathuthah, yang melakukan kunjungan ke
Pasai pada tahun 746 H/1345 M, dalam bukunya menulis bahwa penduduk di
pulau-pulau yang dikunjunginya (di Sumatera) pada umumnya menganut mazhab
Syafi‘i. Ia juga menuturkan bahwa di Kerajaan Pasai, Sumatera, ada Raja Malik
al-Zhahir yang terkenal sebagai ahli agama dan hukum Islam. Melalui kerajaan
inilah mazhab Syafi‘i dan doktrin politik Sunni disebarluaskan ke berbagi wilayah
di Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari Kerajaan Malaka (1400-1500 M)
sering datang ke Pasai untuk mencari kata putus terhadap permasalahan hukum
yang terjadi di Malaka.2
Di sisi lain, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mendapat justifikasi dari
doktrin politik Sunni klasik. Dalam hal ini para ulama Nusantara berusaha
merumuskan dan melanjutkan doktrin politik Sunni klasik untuk mendukung
praktik-praktik kenegaraan di kerajaan-kerajaan Nusantara tersebut. Kitab-kitab
klasik seperti Hikayat Raja-raja Pasai,Taj al-Salathin dan Bustan al-Salathin,
adalah contoh bagaimana doktrin politik Sunni berkembang dalam mendukung
kekuasaan raja-raja Nusantara. Karya-karya tersebut memperlihatkan bagaimana
kontinuitas doktrin Sunni tetap terpelihara dalam praktik dan pemikiran politik
Islam di Nusantara.3 Demikianlah gerakan islamisasi Sunni yang terjadi di
Indonesia melalui mazhab Syafi’i oleh Syekh Ismail dari Mesir yang diawali dari
Samudra Pasai dan berkembang ke Semenanjung Malaka. Dan hingga saat ini
menjadi paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Posisi Shaykh al-Islam dalam kerajaan-kerajaan Melayu mirip dengan
kerajaan Usmani di Turki yang juga bermazhab Sunni. Dalam kerajaan Usmani,
2Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 32-34
3Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 239
2
Shaykh al-Islam memegang peranan penting dalam masalah-masalah agama. Ia
membantu tugas-tugas Sultan (raja) dalam menjalankan perannya mengurus
persoalan keagamaan umat Islam. Ini wajar, karena dalam tradisi politik Sunni,
dinasti Usmani merupakan lambang kekuatan politik umat Islam.
B. Asal-usul Tradisi Politik Syi’ah di Indonesia
Mengenai aliran syi’ah di Indonesia, banyak yang menyatakan bahwa di
kalangan Mubaligh-mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantara terdapat Ahlil
Bait atau orang Syi'ah. Para mubaligh tersebut adalah orang-orang yang
mengunjungi Aceh dan Malaka, memasuki Nusantara dari Persia dan India. Para
mubaligh tersebut juga merupakan golongan Sayyid dan Syarif.4 Melalui mereka
inilah, setelah di aceh, agama Islam kemudian terus tersiar di antara raja-raja
hindu di Jawa dan suku-suku yang belum beragama. Selain dari mereka ini, ada
juga mubaligh yang datang dari Arab Hadramaut.
Paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika pertengahan abad IV H terjadi
perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang dilakukan oleh kaum Fathimah
melawan raja-raja Abbasiyah. Rajanya yang pertama bernama al-Qayyim bin
Ubaidillah yang memerintah Tunisia dan sekitarnya pada tahun 313 H. Kerajaan
Fatimiyah meluaskan wilayahnya dan menguasai Mesir pada tahun 341 H, dengan
sultannya yang bernama al-Muiz Li Dinillah (341 H). 5 Kekuasaan Bani Fatimiyah
berajalan lama sampai 250 tahun, yaitu sampai tahun 564 H, ketika diambil alih
oleh Salahudin al-Ayyubi pembebas Palestina yang terkenal. Bani Fatimiyah ini
menganut faham syi’ah. Raja-raja Islam Bani Fatimiyah ini mengirim mubalighmubaligh ke Indonesia pada abad IV samapai VI H. bahkan mengirim juga
angkatan lautnya untuk membantu fatwa-fatwa Syi’ah, untuk mendirikan
kerajaan-kerajaan bermazhab Syi’ah. Sultan-sultan yang ada di kerajaan pada
4Darwis Muhdina, Jurnal Al-Fikr,”Aliran Sunni-Syi’ah dan Peran Serta Politik Umat
Islam”, Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011 (Makkassar: UIN Alauddin Makassar, 2011), hlm. 541
5Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke-22. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
112
3
masa awal itu hampir semuanya adalah para mubalig yang dikirim Bani
Fatimiyah.6
C. Politik Islam Sunni-Syi’ah Masa Kerajaan Aceh
Dari catatan sejarah masuknya ke Aceh dan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam di sana, dapatlah kita mengetahui bahwa sejak semula Partai Sunni dan
Partai Syiah telah saling rebut pengaruh dan kekuasaan hal mana dengan ringkas
dapat dicatat sebagai berikut.
1. Kerajaan Islam Peurlak
Tahun 800 M, rombongan Missi Islam yang menyamar sebagai pedagang,
tiba di Peureulak dengan tujuan islamisasi. Rombongan ini dipimpin oleh orangorang Syiah yang tertindas dan dikejar-kejar Daulah Amawiyah dan Abbasiyah.
Usaha mereka untuk mengislamkan Peureulak berhasil dengan baik sekali, di
mana waktu yang relatif singkat sebahagian besar rakyat Peureulak telah masuk
Islam dan pada hari selasa tanggal 1 Muharram 225 H/840 M diumumkan
proklamasi berdirinya kerajaan Islam Peureulak, dengan raja yang pertamanya
Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, dari aliran politik Syiah. 7 Karenanya
kerajaan ini pada mulanya dipengaruhi dan dikuasai oleh aliran politik Syiah.
Selanjutnya, aliran politik Sunni yang berpengaruh pada masa Daulah
Abbasiyah, mengirim pula missinya ke Peureulak secara rahasia, sehingga dengan
ketekunan
dan
kecakapan
berdakwah,
mereka
berhasil
mengumpulkan
pengikutnya di Peureulak. Akhirnya, ketika pemerintahan Sulthan Alaiddin
Sayyid Maulana Abbas (Sulthan Peureulak ke III) (888-913 M), meletuslah
pemberontakan yang berlangsung selama 2 tahun oleh pengikut Sunni yang
melawan pemerintah yang dikuasai Syiah.8
6Ibid.
7A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 32
8Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, (Jakarta: Lentera:
Lentera Bastarima, 1996), hlm. 107
4
2. Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada tahun 1042 M berdirilah kerajaan Islam Samudra Pasai, setelah
Meurah Giri memimpin sebuah Missi Islam dari Peureulak ke Pasai dan berhasil
mengislamkan penduduknya. Meurah Giri seorang dari keluarga Sulthan Mahmud
dari Dinasti Makhdum Johan yang menganut aliran Sunni.9
Sekalipun yang mula-mula menyiarkan Islam ke daerah Pasai adalah
orang-orang dari aliran Sunni dan berkesempatan pula memegang tampuk
kekuasaan negara, namun dengan cara diam-diam orang-orang aliran Syiah yang
terjepit di Peureulak datang pula ke daerah ini untuk mengembangkan pahamnya.
Usaha kaum Syiah ini berhasil, dan pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah
Rawangsa Khadiyu (1400-1428 M), diangkatlah salah seorang tokoh mereka
menjadi Perdana Menteri, yaitu Arya Bakooy yang terkenal ekstrim dan benarbenar mempergunakan kedudukan dan keuasaannya untuk mengembangkan
paham partainya, bahkan untuk menindas para pemimpin dan ulama Sunni.10
Arya Bakooy kemudian mendapat perlawanan oleh rakyat dan tokoh
kerajaan lainnya, sehingga akhirnya terjadilah perang saudara antara golongan
Syiah di bawah pimpinan Maharaja Bakooy Ahmad Permala dengan rakyat
pengikut Sunni di bawah pimpinan Malik Musthafa dengan bantuan Sulthan
Mahmud II Alaiddin Johan (1409-1465 M).11 Akibatnya Bakooy Ahmad Permala
terbunuh dalam pertempuran dan kalahlah golongan Syiah dalam arena politik di
Samudra Pasai.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada tanggal 12
Zulka’idah 916 H/1511 M, adalah lanjutan dari kerajaan-kerajaan kecil
sebelumnya, yaitu kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai,
9H. Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 15
10Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Cet. IV (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
11Ibid.
5
kerajaan Beunua (Teumieng), kerajaan Islam Lingga, kerajaan Islam Pidie,
kerajaan Islam Daya, dan Kerajaan Darussalam.12
Adalah satu hal yang logis, kalau saling rebut pengaruh dan kekuasaan
antara Sunni dan Syiah yang telah berkecamuk dalam kerajaan Islam Peureulak
dan Peureulak Samudra Pasai, berlanjut terus dalam kerajaan Aceh Darussalam.
Masing-masing pihak mencoba mempengaruhi pimpinan negara dan selanjutnya
kalau mungkin merebut kekuasaan.
Usaha-usaha mereka tidak pernah dapat tercapai karena Sulthan sangat
waspada dalam kalangan rakyat, pada saat-saat ancaman penjajahan Portugis
semakin menjadi-jadi. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perpecahan
diambil sulthan dengan amat bijaksana.
Sungguh dalam politik, Sunni dan Syiah tidak pernah mencapai sasaran
pokoknya dalam kerajaan Aceh Darussalam, namun ajarannya mengenai aqidah,
tasawuf, thariqat, filsafat dan ibadat berkembang dalam kalangan rakyat; bahkan
tidak hanya berkembang dengan wajar, tetapi juga saling tuduh dan saling fitnah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gerakan politik Sunni di Indonesia, menurut hemat penulis dapat dilacak
melalui aktivitas mazhab Syafi’i di Indonesia. Mazhab ini merupakan mazhab
yang paling besar pengaruhnya terhadap masyarakat Islam di Indonesia. Pada
umumnya para ahli berpendapat bahwa masuknya mazhab Syafi’i ke Indonesia
12A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 39
6
adalah sekitar abad kw-13. Sedangkan paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika
pertengahan abad IV H terjadi perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang
dilakukan oleh kaum Fathimah melawan raja-raja. Gerakan islamisasi Syi’ah
bermula di Aceh melalui ajaran tasawuf wujudiyah. Tokoh penganut
ajarantasawuf wujudiyah di Aceh ialah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin alSamatrani.
Selanjutnya, dari pembahasan-pembahasan sebelumnya sebagaimana telah
dijelaskan, terlihat bahwa proses islamisasi di Nusantara muncul sebagai gejala
politik. Konversi raja-raja Melayu di Nusantara ke dalam agama Islam merupakan
kekuatan politik yang berperan sangat signifikan dalam pengislaman masyarakat
kerajaan Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, Jakarta: Lentera:
Lentera Bastarima, 1996.
7
Daliman, A., Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2012.
Hitti, Philip K., History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al, Cet. Ke2, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2013.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
, “Jurnal Islamica”, dalam Akar Tradisi Politik Sunni di Indonesia
pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, Terj. Ghufran A.Mas’adi dengan
judul Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua,, Cet. Ke-3, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Muhdina, Darwis, Jurnal Al-Fikr,”Aliran Sunni-Syi’ah dan Peran Serta Politik
Umat Islam”, Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011, Makkassar: UIN Alauddin
Makassar, 2011.
Saifullah, H., Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Suryanegara, Ahmad Mansur Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1998.
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia dari Abad XII sampai XVIII M, Jakarta: Cinta Ilmu, 2000.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet. Ke-22, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
8