Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas terhadap Subjective Well-Being pada Remaja Gereja "X" di Kota Bandung.

(1)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan teori Religiusitas (Glock & Stark, 1965), teori Subjective Well-Being (Diener, 2000), serta teori Lima Domain Life Satisfaction (Antaramian, Huebner, & Valois, 2008). Terdapat 32 remaja Gereja X yang menjadi responden dalam penelitian ini. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Religiusitas I, II dan III milik Rocky Haryanto (2007), masing-masing terdiri dari 36 item, 7 item dan 24 item, kuesioner modifikasi Satisfaction with Life Scale (SWLS) yang merupakan modifikasi kuesioner SWLS dari Diener dan teori Lima Domain Life Satisfaction dari Antaramian, Huebner dan Valois (2008) yang berjumlah 27 item, serta kuesioner Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) dari Ed Diener dan Robert-Biswas Diener (2009) yang berjumlah 10 item, dihitung dengan program SPSS 20, menggunakan teknik analisis regresi ganda.

Berdasarkan pengolahan data, hanya experiential dan consequential dimension yang berpengaruh signifikan terhadap SWB. Experiential dimension memberi pengaruh paling besar terhadap SWB (23%), diikuti oleh consequential dimension (14%). Sedangkan, ideological, ritualistic dan intellectual dimension tidak berpengaruh signifikan terhadap SWB.

Kesimpulan yang diperoleh adalah hanya dua dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap SWB. Peneliti mengajukan saran agar pihak Gereja X, khususnya komunitas remaja, dapat membuat program kerohanian untuk mengembangkan kelima dimensi religiusitas, terutama untuk mengembangkan pengalaman pribadi dengan Tuhan dan pengamalan ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, peneliti lain perlu memodifikasi item-tem yang terdapat dalam kuesioner Religiusitas I (Ideological Dimension), II, III, serta SPANE karena memiliki reliabilitas sedang.


(2)

ABSTRACT

The purpose of this research is to find a contribution of religiosity dimensions toward subjective well-being adolescents on Church X Bandung. This research’s using Glock and Stark’s Religiosity Theory (1965), Subjective Well-Being Theory (Diener, 2000) and Five Domain Life Satisfaction theory (Antaramian, Huebner and Valois, 2008).

There are 32 Church X’s adolescents Bandung who are the participants of this research. Quistionnaires that used are Religiusitas I, II dan III from Rocky Haryanto (2007), each is consist of 36 items, 7 items and 24 items, Modification Satisfaction with Life-Scale’s (SWLS) questionnaire which is modification from Diener’s SWLS and Five Domain Life Satisfaction’s theory from Antaramian, Huebner and Valois (2008) that consist of 27 items and Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) from Ed Diener and Robert-Biswas Diener (2009), consist of 10 items, using multiple regression analysis in SPSS 20 program.

According to statistic analysis, only experiential dimension and consequential dimension that significantly contribute to SWB. Experiential dimension has the biggest contribution (23%), followed by consequential dimension (14%). Ideological, ritualistic and intellectual dimension found no significant effect to SWB, each is contribute 5,4%, 0,4% and 0,6%.

The conclusion is only two dimension that have significant effects to SWB. Researcher suggests, that Church X, especially youth community, can create spiritual programs to develop the five dimensions of religiosity, notably spiritual experience with God and practicing religion in daily lives. Besides, because of moderate reliability, modification on items Religiusitas I (Ideological Dimension), II, III and SPANE are needed for the next research.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN

KATA PENGANTAR……….…......v

ABSTRAK………..………...vii ABSTRACT………...…..viii

DAFTAR ISI………..…..ix

DAFTAR TABEL………......xiv

DAFTAR BAGAN………......xv

DAFTAR LAMPIRAN………....xvi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Identifikasi Masalah………...11 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………11

1.3.1 Maksud Penelitian………..11

1.3.2 Tujuan Penelitian………....11

1.4 Kegunaan Penelitian………...12

1.4.1 Kegunaan Teoretis………...12

1.4.2 Kegunaan Praktis………..12

1.5 Kerangka Pikir…….………...12

1.6 Asumsi Penelitian………...22


(4)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Religiusitas………...25

2.1.1 Definisi Religiusitas……….25

2.1.2 Dimensi-Dimensi Religiusitas ………....25

2.2 Teori Subjective Well-Being………29

2.2.1 Komponen Subjective Well-Being………...………...30

2.2.1.1 Life Satisfaction………30

2.2.1.1.1 Life Satisfaction pada Remaja……….30

2.2.1.1.2 Lima Domain Life Satisfaction pada Remaja………...31

2.2.1.1.2.1 Family………...31

2.2.1.1.2.2 School………...32

2.2.1.1.2.3 Friends………...32

2.2.1.1.2.4 Living Environment………..…………..33

2.2.1.1.2.5 Self……….………..…………...33

2.2.1.2 Afek Positif………...34

2.2.1.3 Afek Negatif………...35

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being………....35

2.2.2.1 Usia………...35

2.2.2.2 Jenis Kelamin………...36

2.2.2.3 Keutuhan Keluarga………...…...36

2.2.2.4 Status Sosioekonomi Orangtua…………..………36

2.2.2.5 Religion………...37

2.2.3 Subjective Well-Being pada Remaja………37


(5)

ix

2.3 Teori Remaja………...39

2.3.1 Pengertian Remaja………...39

2.3.2 Karakteristik Remaja………....39

2.3.2.1 Perkembangan Biologis……..………..39

2.3.2.1.1 Citra Tubuh………...41

2.3.2.2 Perkembangan Kognitif………..42

2.3.2.3 Perkembangan Emosi………...43

2.3.2.4 Perkembangan Sosial………..44

2.3.2.4.1 Peer Relationship……….44

2.3.2.4.2 Family Relationship………...46

2.3.2.5 Perkembangan Agama pada Remaja………..47 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………...49

3.2 Bagan Prosedur Penelitian………..………...49

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……….………...50

3.3.1 Variabel Penelitian………....50

3.3.2 Definisi Operasional………...……….……..50

3.3.2.1 Definisi Operasional Dimensi-Dimensi Religiusitas…………...….…….50

3.3.2.2 Definisi Operasional Subjective Well-Being……….…….51

3.4 Alat Ukur………….………....52

3.4.1 Alat Ukur Religiusitas..………...…52

3.4.2 Alat Ukur Subjective Well-Being……….………...57

3.4.2.1 Alat Ukur Modifikasi Satisfaction with Life Scale………...…57


(6)

3.4.2.3 Sistem Penilaian Subjective Well-Being……….64

3.4.3 Data Demografis………...……...64

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas……….……….64 3.4.4.1 Validitas Alat Ukur Religiusitas…..………...64

3.4.4.2 Validitas Alat Ukur Subjective Well-Being..………...…...66

3.4.4.2.1 Validitas Alat Ukur Satisfaction with Life Scale………….….66

3.4.4.2.2 Validitas Alat Ukur SPANE……….67

3.4.4.2 Reliabilitas………...68

3.5.Populasi dan Teknik Penarikan Populasi………...70

3.5.1 Populasi Sasaran………..70

3.5.2 Karakteristik Populasi………..70

3.6 Teknik Analisis Data………...70

3.6.1 Uji Asumsi Klasik………71

3.7 Hipotesis Statistik………...73

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian………..…………...75

4.1.1 Gambaran Responden berdasarkan Jenis Kelamin………..75

4.1.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia……….76

4.1.3 Gambaran Responden berdasarkan Keutuhan Keluarga……….76

4.1.4 Gambaran Responden berdasarkan Orangtua yang Serumah……….77

4.1.5 Gambaran Responden berdasarkan Status Sosio-Ekonomi Orangtua……….78

4.1.6 Uji Asumsi Klasik………....78

4.1.7 Uji Hipotesis………..………..79


(7)

xi

4.2.1 Gambaran Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas terhadap Subjective Well-

Being pada Remaja Gereja X di Kota Bandung………...81

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian……….82

4.4. Diskusi………...……91

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1.Simpulan………..…………...99

5.2. Saran……….100

5.2.1. Saran Teoretis……….100

5.2.2. Saran Praktis………..100

DAFTAR PUSTAKA………....102

DAFTAR RUJUKAN………..………......105 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Dimensi dan Indikator Alat Ukur Religiusitas I …………...……….….…...53

Tabel 3.2 Dimensi dan Indikator Alat Ukur Religiusitas II………...55

Tabel 3.3 Dimensi dan Indikator Alat Ukur Religiusitas III…..…..…………...….. 55

Tabel 3.4 Cara Penilaian Kuesioner Religiusitas I………...…....……….56

Tabel 3.5 Cara Penilaian Kuesioner Religiusitas II……….……...56

Tabel 3.6 Cara Penilaian Kuesioner Religiusitas III……….56

Tabel 3.7 Kisi-Kisi Alat Ukur Modifikasi SWLS ……….………..……….57

Tabel 3.8 Cara Penilaian Kuesioner Modifikasi SWLS………..……….……….62

Tabel 3.9 Kisi-Kisi Alat Ukur SPANE…………..………...63

Tabel 3.10 Skor Pilihan Jawaban Alat Ukur SPANE ……….………...63

Tabel 3.11 Kriteria Validitas……… ……….………..……….65

Tabel 3.12 Validitas Alat Ukur Religiusitas berdasarkan Dimensi-Dimensinya…….……….66

Tabel 3.13 Validitas Alat Ukur SWLS………...…..67

Tabel 3.14 Validitas Alat Ukur SPANE………...68

Tabel 3.15 Kriteria Reliabilitas Guilford……….……….69

Tabel 3.16 Reliabilitas Alat Ukur Religiusitas berdasarkan Dimensi-Dimensinya………...69

Tabel 3.17 Reliabilitas Alat Ukur SWLS dan SPANE………70

Tabel 4.1 Gambaran Responden berdasarkan Jenis Kelamin………...75

Tabel 4.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia………...76

Tabel 4.3 Gambaran Responden berdasarkan Keutuhan Keluarga….………..76

Tabel 4.4 Gambaran Responden berdasarkan Orangtua yang Tinggal Serumah ………...…..77

Tabel 4.5 Gambaran Responden berdasarkan Status Sosio Ekonomi Orangtua…………...…78

Tabel 4.6 Tabel Uji-t Dimensi-Dimensi Religiusitas dengan Subjective Well-Being………...79


(9)

xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir……….22 Bagan 3.1 Bagan Prosedur Penelitian………...49


(10)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Alat Ukur Religiusitas I, II dan III

Lampiran 2 Kuesioner Alat Ukur Modifikasi SWLS dan SPANE Lampiran 3 Data Demografis

Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 5 Uji Asumsi Klasik

Lampiran 6 Uji Hipotesis Parsial (Uji-t)

Lampiran 7 Gambaran Dimensi-Dimensi Religiusitas dan Subjective Well-Being Responden

Lampiran 8 Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas terhadap Subjective Well-Being Lampiran 9 Crosstabs Dimensi-Dimensi Religiusitas dengan Subjective Well-Being Lampiran 10 Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being terhadap

Subjective Well-Being


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang potensial. Pada tahun 2014, diproyeksikan bahwa 25% atau sekitar 65 juta jiwa dari total 255 juta jiwa penduduk Indonesia adalah remaja (http://bareskrim.com). Sebagai generasi penerus bangsa, remaja diharapkan dapat mencapai dan memelihara perkembangan yang sehat dalam hal fisik, kognitif, sosial, moral dan emosi.

Salah satu cara untuk dapat memelihara perkembangan yang sehat pada masa remaja adalah dengan adanya suatu kondisi yang dinamakan kebahagiaan, yang dimiliki oleh remaja tersebut (Eryilmaz, 2011). Menurut Diener (2000), individu dengan level kebahagiaan yang tinggi, pada umumnya memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan, yaitu lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Penelitian lain mengungkapkan bahwa kebahagiaan penting dimiliki remaja karena berperan untuk memelihara complete picture of mental health dan meningkatkan positive academic outcomes (Savage, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suldo dan Shaffer (2008, dalam Savage, 2011) pada 349 siswa sekolah menengah pertama di Amerika, 57% remaja yang memiliki level kebahagiaan yang lebih tinggi dan level psikopatologi yang rendah ditemukan memiliki self-rated academic ability yang lebih tinggi secara signifikan, social support dari teman-teman sebaya dan orangtua, kesehatan fisik, setinggi indikator objektif dari kesuksesan sekolah, seperti reading skills dan school attendance dibandingkan dengan 13% siswa yang memiliki level psikopatologi dan kebahagiaan yang rendah. Dengan kata lain, kebahagiaan


(12)

dapat dianggap sebagai indikator penting dari kesehatan mental remaja dan fasilitator kesuksesan sekolah (Savage, 2011).

Di sisi lain, individu yang memiliki kebahagiaan yang rendah akan memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan (Diener, 2000). Oleh karena itu, timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi, dan kemarahan (Myers & Diener, 1995 dalam Nisfiannor, Rostianna & Puspasari, 2004). Kondisi ketidakbahagiaan yang dialami remaja juga dapat menyebabkan remaja melakukan hal-hal negatif seperti bunuh diri, penyalahgunaan narkoba, serta kriminalitas (http://patient.info/health/surviving-adolescence; drugfree.org).

Data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa sedikitnya terjadi 30.000 kasus bunuh diri di Indonesia setiap tahunnya. Artinya rata-rata 82 orang Indonesia melakukan bunuh diri setiap harinya. Menurut Andi Basti Tetteng, Sosiolog dari Universitas Negeri Makassar (UNM), kelompok usia yang paling banyak melakukan bunuh diri adalah remaja dan dewasa muda, yang berusia 15 hingga 24 tahun (rakyatku.com). Penelitian lain yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50-60% pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa (detikhealth.com), dan sekitar 50-70 remaja meninggal setiap harinya akibat penyalahgunaan narkoba (radjakarta.com). Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mencatat bahwa telah terjadi 40 kasus pemerkosaan bergerombol dalam rentang waktu April 2015 hingga Mei 2016, dan 90% pelaku merupakan remaja laki-laki, serta hampir 16% pelaku kejahatan merupakan remaja berusia 14 tahun (kompas.com).

Dalam psikologi, “kebahagiaan” mengacu pada suatu konsep yang dinamakan “subjective well-being” (Diener, 2000). Subjective well-being menurut Diener, Lucas dan Oishi (dalam Handbook of Positive Psychology, 2002), adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap kehidupannya. Subjective well-being terdiri dari beberapa komponen, yaitu life satisfaction, afek positif dan afek negatif. Life satisfaction menurut Shin dan


(13)

3

Johnson (dalam Diener, Emmons, Larsen & Griffin, 1985) adalah penilaian secara menyeluruh terhadap kualitas hidup seseorang yang berdasarkan kriteria yang dipilihnya. Life satisfaction individu dapat dilihat berdasarkan penilaian terhadap kehidupannya secara keseluruhan, atau melalui domain spesifik yang dianggap penting dalam hidupnya. Remaja dapat menghayati life satisfaction dalam hidupnya berdasarkan lima domain spesifik yang dikemukakan oleh Antaramian, Huebner, dan Valois (2008), yaitu family, friends, living environtment, school dan self.

Afek positif dalam subjective well-being mengacu pada emosi atau mood positif yang dialami individu, seperti gembira dan senang, sedangkan afek negatif mengacu pada emosi atau mood negatif yang dialami individu, seperti perasaan negatif, marah, sedih. Afek positif dan afek negatif dalam subjective well-being mengacu pada frekuensi, yaitu seberapa sering individu mengalami afek positif dibandingkan afek negatif, dan bukan pada intensitasnya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi apabila memiliki life satisfaction yang tinggi, serta lebih sering merasakan afek positif dibandingkan afek negatif (Diener, 2000).

Menurut Diener, Lucas, Smith (1999), pada masyarakat yang sangat religius, variabel yang paling tinggi terkait dengan subjective well-being adalah religiusitas. Religiusitas juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) adalah suatu sikap penyerahan diri kepada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya, yang diwujudkan dalam aktivitas sehari-hari, yang diungkapkan melalui dimensi-dimensinya. Religiusitas merupakan faktor yang penting pada masa remaja, karena berperan sebagai protective factor terhadap masalah-masalah yang dialami remaja, seperti substance abuse yang diakibatkan oleh life stress (Wills, Yaeger, & Sandy, 2003 dalam Lun & Bond, 2013) dan disfungsi gaya pengasuhan orangtua (Shek, 1999 dalam Lun & Bond, 2013).


(14)

Salah satu lembaga yang dapat meningkatkan religiusitas seseorang adalah Gereja. Terdapat berbagai Gereja dengan berbagai macam denominasi di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, dan salah satunya adalah Gereja X. Gereja X merupakan Gereja yang bertempat di Kota Bandung dan telah berdiri dari sejak tahun 1991 dan memiliki jemaat berjumlah 600 orang. Gereja X merupakan Gereja yang menganut paham Injil Sepenuh, dalam arti Gereja X mempercayai bahwa Alkitab merupakan Fiman Allah yang tanpa salah dan tidak berubah. Dengan demikian, Gereja X mempunyai penafsiran dan pengajaran yang selalu kembali pada dasar Alkitab yang bersifat fundamental. Gereja X juga percaya kepada pekerjaan Roh Kudus, dan karunia-karunia sebagaimana yang tercantum dalam Alkitab.

Terdapat berbagai komisi persekutuan di Gereja X, dan salah satunya adalah komisi remaja. Komisi remaja merupakan sarana bagi remaja untuk berkumpul, beribadah dan bertumbuh di dalam Kristus. Terdapat beberapa program yang diterapkan oleh komisi remaja Gereja X untuk meningkatkan pertumbuhan iman jemaatnya, yaitu melalui ibadah kategorial, persekutuan doa, acara retreat, serta kelompok tumbuh bersama, yaitu kegiatan sharing kelompok yang dilakukan setiap hari Minggu.

Segala aktivitas yang dilaksanakan pada komisi remaja Gereja X bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan remaja terhadap Tuhan, keberadaan, karya dan kasih-Nya, membantu remaja merasakan hadirat Tuhan dan mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan, meningkatkan ketekunan remaja dalam melakukan ritual-ritual agama seperti berdoa, saat teduh, memuji dan menyembah Tuhan, memperluas dan memperdalam pengetahuan remaja mengenai Tuhan dan ajaran-ajaran agamanya, serta mendorong remaja untuk senantiasa menerapkan ajaran-ajaran, kehendak dan perintah Tuhan dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan-tujuan tersebut menurut Glock dan Stark (1965) disebut sebagai dimensi-dimensi religiusitas, yaitu ideological dimension (religious belief), experiential dimension


(15)

5

(religious feeling), ritualistic dimension (religious practice), intellectual dimension (religious knowledge) dan consequential dimension (religious effect).

Ideological dimension (religious belief) merupakan keyakinan seseorang terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental (mendasar) atau dogmatik. Experiential dimension (religious feeling) berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) sebagai komunikasi dengan Tuhan, dengan otoritas transendental dalam suatu esensi ke-Tuhanan. Ritualistic dimension (religious practice) mengacu pada tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang dianjurkan dan disuruh oleh agamanya. Intellectual dimension (religious knowledge) mengacu pada pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritual-ritual, kitab suci dan tradisi-tradisi yang terdapat dalam agamanya. The consequential dimension mengacu pada bagaimana seseorang dapat menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupannya sehari-hari.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan terhadap 12 remaja di Gereja X, menyatakan bahwa sebanyak 91,67% mengatakan percaya akan Tuhan, keberadaan, karya-Nya serta ajaran-ajaran agamanya dan 0,83% mengatakan percaya akan Tuhan, keberadaan, karya-Nya serta ajaran-ajaran agamanya, namun terkadang merasa bimbang akan hal itu. Hal ini menunjukkan ideological dimension mereka.

Sebanyak 91,67% dari 12 remaja mengatakan dapat merasakan pengalaman pribadi dalam hal sensasi dan persepsi ketika melakukan komunikasi dengan Tuhan pada saat berdoa, saat teduh dan menyembah Tuhan, yaitu merasakan kedamaian sekalipun sedang mengalami masalah, sukacita, ingin menangis, merasa bebas, terbuka untuk menyampaikan isi hatinya, merinding, merasa Tuhan ada di sampingnya, tersentuh, merasakan Tuhan menjamahnya, serta merasa nyaman. Sebanyak 8,33% dari 12 remaja mengatakan tidak merasakan apa-apa


(16)

pada saat melakukan komunikasi dengan Tuhan pada saat berdoa, saat teduh dan menyembah Tuhan. Hal ini menunjukkan experiential dimension yang dimiliki oleh mereka.

Sebanyak 41,67% dari 12 remaja, mengatakan rutin melakukan ritual agamanya, seperti berdoa, saat teduh dan menyembah Tuhan dan 58,33% dari 12 remaja mengatakan rutin melakukan ritual agamanya, namun hanya ritual tertentu saja, contohnya melakukan doa secara rutin, namun tidak melakukan saat teduh dan penyembahan secara rutin, atau rutin melakukan doa dan saat teduh, namun tidak rutin dalam melakukan penyembahan. Hal ini menunjukkan ritualistic dimension yang dimiliki mereka.

Sebanyak 83,33% dari 12 remaja mengatakan mengetahui ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Sebanyak 8,33% dari 12 remaja mengatakan tidak terlalu tahu mengenai ajaran-ajaran agama, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Sebanyak 8,33% dari 12 remaja mengatakan memiliki pengetahuan yang sangat kurang mengenai ajaran-ajaran agama, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Hal ini menunjukkan intellectual dimension mereka.

Sebanyak 75% dari 12 remaja mengatakan lebih sering menerapkan dibandingkan melanggar ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Sebanyak 25% dari 12 remaja mengatakan lebih sering melanggar ajaran-ajaran agamanya dibandingkan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan consequential dimension yang dimiliki mereka.

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi keterlibatan religius seseorang diasosiasikan dengan subjective well being yang lebih tinggi (Ellison & Henderson, 2011 dalam Doane, 2013). Penelitian lain menunjukkan individu yang lebih religius merasakan kebahagiaan yang lebih tinggi, rendahnya distress dan kecemasan, dan lebih puas dalam hidupnya (Myers, 2000; Ellison & Levin, 1998; Hackney & Sanders, 2003 dalam


(17)

7

Doane, 2013). Fungsi agama sebagai protective factors diduga dapat diasosiasikan dengan level subjective well-being yang lebih tinggi (Lun & Bond, 2013).

Menurut Ellison (1991, dalam Diener, Lucas, Smith, 1999), bahwa religion memberikan manfaat terutama secara kognitif pada individu, yaitu menyediakan interpretive framework, yang menjadikannya dapat memaknakan pengalaman-pengalamannya. Dalam hal ini, religiusitas dapat mengubah persepsi remaja terhadap pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa negatif yang dialaminya dan membuat remaja dapat melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang berbeda, seperti contohnya yang dialami oleh S, salah seorang remaja Gereja X.

S bercerita bahwa Ibunya meninggal pada saat S masih kecil. Namun, peristiwa tersebut tidak membuat S menjadi kecewa, marah atau menyalahkan keadaan. Sebaliknya, S dapat melihat bahwa peristiwa tersebut membuatnya belajar untuk rendah hati dan hidup mengandalkan Tuhan.

Sebelum Ibunya meninggal, S mengakui bahwa dirinya adalah seorang anak yang sombong, karena hidupnya berkelimpahan secara materi. Namun, sejak Ibunya sakit, S dan keluarganya harus mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan Ibunya, hingga akhirnya seluruh hartanya habis dan akhirnya Ibunya pun meninggal. Sejak itu, S dan keluarganya harus berjuang dan kembali membangun usaha dari awal untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

S mengatakan bahwa ia merasa bahagia saat ini, sekalipun Ibunya telah meninggal dan meskipun ia tidak memiliki kekayaan seperti halnya dulu. S mengatakan ia merasa bahagia karena ia punya Tuhan Yesus yang tidak pernah meninggalkan dan selalu peduli padanya, dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya dan percaya akan janji-janji Tuhan dalam hidupnya. S mengatakan bahwa meskipun Ibunya sudah meninggal, namun S masih memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, dan teman-teman disekelilingnya yang peduli


(18)

dan mengasihinya, seperti Tuhan mengambil seorang yang dikasihinya, namun Tuhan mengganti hal itu dengan menempatkan lebih banyak lagi orang yang menyayangi dan mengasihinya. Pengalaman S menunjukkan bahwa religiusitas dapat membuat remaja dapat memaknai peristiwa negatif secara positif, sehingga hal ini dapat berpengaruh dalam mengurangi timbulnya mood dan emosi negatif. Pengaruh religiusitas terhadap subjective well-being dapat terlihat dari peranan masing-masing dimensinya dalam meningkatkan subjective well-being pada remaja.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti, sebanyak 100% dari 12 remaja Gereja X di Kota Bandung mengatakan puas terhadap hidupnya. Hal ini menunjukkan life satisfaction yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung. Sebanyak 91,67% dari 12 remaja mengatakan lebih sering mengalami perasaan positif dan menyenangkan dalam kehidupannya dan 0,83% dari 12 remaja mengatakan lebih sering mengalami perasaan negatif dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan afek positif dan negatif yang dimiliki 12 remaja Gereja X di Kota Bandung.

Dari 12 remaja Gereja X di Kota Bandung yang mengatakan puas akan kehidupannya, sebanyak 91,67% mengatakan percaya terhadap Tuhan, karya, keberadaan-Nya, serta ajaran-ajaran agamanya, dan 8,33% mengatakan percaya terhadap Tuhan, karya, keberadaan-Nya, serta ajaran-ajaran agamanya, namun terkadang bimbang. Sebanyak 91,67% dari 12 remaja dapat merasakan sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan pada saat melakukan ritual-ritual agamanya, seperti berdoa, saat teduh dan menyembah, dan sebanyak 8,33% dari 12 remaja tidak merasakan sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan pada saat melakukan ritual-ritual agamanya. Sebanyak 41,67% dari 12 remaja rutin melakukan ritual-ritual agamanya, seperti berdoa, saat teduh dan menyembah Tuhan, dan 58,33% dari 12 remaja mengatakan bahwa mereka rutin melakukan ritual-ritual agamanya, namun hanya pada ritual tertentu saja, seperti rutin berdoa, namun tidak rutin saat teduh dan


(19)

9

menyembah Tuhan, atau rutin berdoa dan saat teduh, namun tidak rutin dalam melakukan penyembahan. Sebanyak 83,33% dari 12 remaja mengetahui ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab, 8,33% dari 12 remaja tidak begitu tahu mengenai ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab, dan 8,33% dari 12 remaja mengatakan memiliki pengetahuan yang sangat kurang mengenai ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Sebanyak 75% dari 12 remaja mengatakan lebih sering menerapkan ajaran-ajaran agamanya dibandingkan melanggar ajaran-ajaran agamanya, dan sebanyak 25% dari 12 remaja mengatakan lebih sering melanggar ajaran-ajaran agamanya dibandingkan menerapkan ajaran-ajaran agamanya. Dengan kata lain, dari 12 remaja yang puas terhadap hidupnya (komponen life satisfaction), tidak seluruhnya tinggi dalam hal ideological dimension (kepercayaan terhadap Tuhan, karya, keberadaan dan ajaran-ajaran agamanya), experiential dimension (sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan), ritualistic dimension (ketekunan dalam menjalankan ritual agamanya), intellectual dimension (pengetahuan yang dimiliki terhadap isi Alkitab, tokoh-tokoh dalam Alkitab dan ajaran-ajaran agamanya) dan consequential dimension (penerapan ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari).

Dari 11 remaja (91,67%) Gereja X yang mengatakan bahwa mereka lebih sering mengalami perasaan-perasaan yang menyenangkan, sebanyak 83,33% remaja mengatakan percaya terhadap Tuhan, karya, keberadaan-Nya, serta ajaran-ajaran agamanya, dan 8,33% remaja mengatakan percaya terhadap Tuhan, karya, keberadaan-Nya, serta ajaran-ajaran agamanya, namun terkadang bimbang. Sebanyak 83,33% dari 11 remaja dapat merasakan sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan pada saat melakukan ritual-ritual agamanya, seperti berdoa, saat teduh dan menyembah dan 8,33% tidak merasakan sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan pada saat melakukan ritual-ritual agamanya. Sebanyak 41,6% dari 11 remaja rutin melakukan ritual-ritual agamanya, seperti berdoa, saat


(20)

teduh dan melakukan penyembahan, 50% dari 11 remaja mengatakan bahwa mereka rutin melakukan ritual-ritual agamanya, namun hanya pada ritual tertentu saja. Sebanyak 83,33% dari 11 remaja mengatakan mengetahui ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab, 8,33% dari 11 remaja mengatakan memiliki pengetahuan yang sangat kurang dalam hal ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab dan tokoh-tokoh dalam Alkitab. Sebanyak 75% dari 11 remaja mengatakan lebih sering menerapkan ajaran-ajaran agamanya dibandingkan melanggarnya, dan sebanyak 16,67% dari 11 remaja mengatakan lebih sering melanggar ajaran-ajaran agamanya dibandingkan menerapkannya. Dengan kata lain, dari 11 remaja yang lebih sering merasakan afek positif dibandingkan afek negatif, tidak seluruhnya tinggi dalam hal ideological dimension (kepercayaan terhadap Tuhan, karya, keberadaan dan ajaran-ajaran agamanya), experiential dimension (sensasi, persepsi dan pengalaman pribadi dengan Tuhan), ritualistic dimension (ketekunan dalam menjalankan ritual agamanya), intellectual dimension (pengetahuan yang dimiliki terhadap isi Alkitab, tokoh-tokoh dalam Alkitab dan ajaran-ajaran agamanya) dan consequential dimension (penerapan ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari).

Satu remaja Gereja X (8,33%) yang lebih sering merasakan perasaan negatif dan tidak menyenangkan dalam hidupnya, percaya terhadap Tuhan, karya, keberadaan-Nya, serta ajaran-ajaran agamanya; mengalami sensasi, persepsi dan sebuah pengalaman pribadi pada saat berkomunikasi dengan Tuhan atau pada saat melakukan ritual agamanya, rutin melakukan ritual agama seperti berdoa, namun tidak rutin dalam melakukan saat teduh dan penyembahan, serta tidak begitu tahu mengenai ajaran-ajaran agamanya, isi Alkitab, dan tokoh-tokoh dalam Alkitab serta lebih sering melanggar ajaran-ajaran agamanya dibandingkan menerapkannya. Jadi, satu remaja yang lebih sering merasakan afek negatif dibandingkan afek positif, memiliki ideological dimension dan experiential dimension yang


(21)

11

tinggi, namun tidak begitu tinggi dalam ritualistic dimension, intellectual dimension dan consequential dimension.

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa masih belum jelas adanya pengaruh yang signifikan antara dimensi-dimensi religiusitas dan subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas terhadap Subjective Well-Being pada Remaja di Gereja X Kota Bandung”.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh dimensi-dimensi religiusitas, serta seberapa besar pengaruhnya terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai dimensi-dimensi religiusitas, yaitu ideological dimension, experiential dimension, ritualistic dimension, intellectual dimension dan consequential dimension, serta gambaran mengenai subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai ada atau tidaknya pengaruh dan seberapa besar pengaruh dimensi-dimensi religiusitas yaitu ideological dimension, experiential dimension, ritualistic dimension, consequential dimension dan


(22)

intellectual dimension terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberi masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai dimensi-dimensi religiusitas dan subjective well-being.

 Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Positif dan Psikologi Sosial, mengenai pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap subjective well-being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberi informasi terhadap gembala sidang dan pengurus Gereja X mengenai pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

 Memberi masukan kepada pengurus Gereja X untuk membuat program kerohanian yang sesuai bagi remaja Gereja X, yang bermanfaat untuk meningkatkan subjective well-being-nya.

1.5 Kerangka Pikir

Remaja Gereja X di Kota Bandung merupakan remaja yang aktif mengikuti ibadah kategorial dan aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan oleh Gereja X untuk meningkatkan kerohanian anggotanya. Keadaan bahagia dan tidak bahagia dialami juga oleh remaja di Gereja X.


(23)

13 Dalam psikologi, istilah “kebahagiaan”, mengacu pada sebuah konsep yang dinamakan “subjective well-being” (Diener, 2000). Subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap kehidupannya. Subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung terdiri dari beberapa komponen, yaitu life satisfaction, serta afek positif dan afek negatif. Life satisfaction pada remaja Gereja X di Kota Bandung adalah penilaian secara menyeluruh terhadap kualitas hidup remaja di Gereja X berdasarkan kriteria yang dipilihnya. Life satisfaction dapat dilihat berdasarkan penilaian terhadap kehidupannya secara keseluruhan, atau melalui domain spesifik yang dianggap penting dalam hidupnya. Remaja Gereja X di Kota Bandung dapat menghayati life satisfaction yang dimilikinya berdasarkan lima domain spesifik yang dikemukakan oleh Antaramian, Huebner dan Valois (2008), yaitu family, friends, living environtment, school dan self. Life satisfaction pada domain family pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada kepuasan remaja Gereja X di Kota Bandung terhadap keluarganya. Life satisfaction pada domain friends pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada kepuasan remaja Gereja X di Kota Bandung terhadap teman-teman yang dimilikinya. Life satisfaction pada domain living environment pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada kepuasan remaja Gereja X di Kota Bandung terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Life satisfaction pada domain school pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada kepuasan remaja Gereja X di Kota Bandung terhadap sekolah dan kehidupan sekolahnya. Life satisfaction pada domain self pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada kepuasan remaja Gereja X di Kota Bandung terhadap diri, penampilan dan kualitas-kualitas diri yang dimilikinya.

Afek positif pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada emosi atau mood positif yang dialami, seperti gembira dan senang, sedangkan afek negatif pada remaja Gereja X di Kota Bandung mengacu pada emosi atau mood negatif yang dialami, seperti perasaan


(24)

negatif, marah, sedih. Remaja Gereja X di Kota Bandung dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi apabila memiliki life satisfaction yang tinggi, serta lebih sering merasakan afek positif dibandingkan afek negatif.

Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki subjective well-being yang tinggi akan merasa puas terhadap hidupnya, dapat memandang kehidupannya secara lebih positif, serta merasa lebih bahagia dalam menjalani kehidupannya; remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki subjective well-being yang rendah akan merasa tidak puas terhadap hidupnya, memandang kehidupannya secara negatif, serta lebih sering merasakan afek negatif seperti kesedihan, kemarahan.

Subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan salah satu faktornya adalah religiusitas. Religiusitas menurut Glock dan Stark (1965), dalam Ancok & Suroso (2005) adalah suatu sikap penyerahan diri kepada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya, yang diwujudkan dalam aktivitas sehari-hari, yang diungkapkan melalui dimensi-dimensinya, yaitu ideological dimension (religious belief), experiential dimension (religious feeling), ritualistic dimension (religious practice), intellectual dimension (religious knowledge), serta consequential dimension (religious effect).

Ideological dimension (religious belief) mengacu pada kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap Tuhan serta ajaran-ajaran agamanya. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki ideological dimension (religious belief) yang tinggi akan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan, karya dan keberadaan-Nya, setiap perintah, larangan, kehendak, serta janji-janji-Nya yang tertulis dalam Alkitab. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki ideological dimension (religious belief) yang rendah akan memiliki kepercayaan yang rendah mengenai keberadaan Tuhan, karya-Nya, perintah, larangan, kehendak serta janji-janji-Nya yang tertulis dalam Alkitab.


(25)

15

Experiential dimension (religious feeling) mengacu pada pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang pada saat berkomunikasi dengan Tuhan. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki experiential dimension (religious feeling) yang tinggi dapat merasakan pengalaman pribadi dengan Tuhan, seperti merasakan hadirat Tuhan turun menaunginya pada saat berdoa dan menyembah, merasakan bahwa Tuhan selalu ada dalam segala keadaan dan tidak pernah meninggalkan dirinya, dapat merasakan kebaikan Tuhan dalam kehidupannya, merasakan tangan Tuhan menjamahnya ketika ia berdoa dan menyembah, serta merasa sukacita dan damai sejahtera ketika berdoa, menyembah dan membaca firman-Nya. Sebaliknya, remaja Gereja X yang memiliki experiential dimension (religious feeling) yang rendah akan merasa tidak terjadi pengalaman atau sensasi apapun pada saat mereka berdoa, menyembah, atau membaca firman-Nya.

Ritualistic dimension (religious practice) mengacu pada tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang dianjurkan dan disuruh oleh agamanya. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki ritualistic dimension (religious practice) yang tinggi akan sering atau secara rutin melaksanakan ritual-ritual ibadahnya seperti berdoa, saat teduh, memuji dan menyembah Tuhan, membaca firman-Nya serta datang ke Gereja untuk beribadah. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki ritualistic dimension (religious practice) yang rendah akan jarang atau tidak rutin melaksanakan ritual-ritual ibadahnya seperti berdoa, saat teduh, memuji dan menyembah Tuhan, membaca firman-Nya, serta datang ke Gereja untuk beribadah.

Intellectual dimension (religious knowledge) mengacu pada pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap kitab suci, ajaran-ajaran, serta dasar-dasar keagamaan. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki intellectual dimension (religious knowledge) yang tinggi akan memiliki pengetahuan yang luas mengenai ajaran-ajaran agamanya, dasar-dasar ke-Kristenan serta tokoh-tokoh yang terdapat dalam Alkitab. Remaja


(26)

Gereja X di Kota Bandung yang memiliki intellectual dimension (religious knowledge) yang rendah akan memiliki pengetahuan yang kurang mengenai ajaran-ajaran agamanya, dasar-dasar ke-Kristenan serta tokoh-tokoh yang terdapat dalam Alkitab.

Consequential dimension (religious effect) mengacu pada penerapan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan seseorang. Remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki consequential dimension (religious effect) yang tinggi akan secara rutin atau selalu berusaha menerapkan ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan seperti bersyukur, berbuat baik pada sesama, tidak berbohong, mencuri, menipu, menjaga kekudusan, serta melakukan kehendak Tuhan dalam kehidupannya. Sebaliknya, remaja Gereja X di Kota Bandung yang memiliki consequential dimension (religious effect) yang rendah akan jarang menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan, atau justru banyak melakukan apa yang dilarang atau yang melanggar ajaran agamanya.

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa memiliki skor yang tinggi pada satu dimensi, bukan berarti memiliki skor yang tinggi juga pada dimensi lainnya (Glock & Stark, 1965), seperti contohnya ketika remaja percaya bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan senantiasa mengawasi perbuatan yang kita lakukan (ideological dimension), namun ia tetap sering menyontek, berbohong dan melakukan perbuatan-perbuatan negatif lainnya (consequential dimension). Dengan kata lain, remaja yang memiliki ideological dimension yang tinggi, dapat juga memiliki consequential dimension yang rendah. Meskipun dimensi religiusitas bersifat independen, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kaitan antara dimensi satu dengan dimensi lainnya, seperti contohnya, seseorang bisa meningkatkan kepercayaannya terhadap Tuhan (ideological dimension) setelah ia memperoleh pengetahuan-pengetahuan dari Alkitab mengenai Tuhan, sifat-sifat-Nya, karya-karya serta janji-janji-Nya (intellectual dimension), dan pengetahuan ini didapat dari melakukan ritual keagamaan seperti melakukan saat teduh dan membaca firman-Nya (ritualistic dimension).


(27)

17

Contoh lainnya dikemukakan oleh Glock & Stark (1965), dimana terdapat empat keurutan komponen yang membentuk experiential dimension, yaitu concern, cognition, trust or faith and fear. Ketika remaja Gereja X di Kota Bandung memiliki concern, hal tersebut akan berpengaruh pada ekspresinya dalam hal keinginannya untuk mempercayai sesuatu, pencarian tujuan dalam hidupnya, dan ketidakpuasannya pada dunia. Cognition atau awareness of the divine termanifestasikan dalam bentuk pengalaman pribadi remaja Gereja X di Kota Bandung dengan Tuhan, merasakan kedekatan dengan Tuhan, pengalaman diselamatkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, cognition adalah bagaimana remaja Gereja X di Kota Bandung dapat merasakan kehadiran Tuhan pada saat sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan.

Trust or faith dimulai dari individual’s sense, dimana remaja Gereja X di Kota Bandung percaya bahwa hidupnya berada dalam tangan Tuhan yang berdaulat, sehingga menimbulkan trust. Fear, seperti halnya faith, dapat diteliti dengan bertanya secara langsung pada remaja mengenai ketakutannya kepada Tuhan, dan dalam bentuk seperti apa fear yang dimilikinya tersebut (Glock & Stark, 1965). Dengan kata lain, untuk responden mengalami keempat komponen tersebut, perlu didasari oleh belief atau kepercayaan terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, karya dan keberadaan-Nya (ideological dimension).

Religiusitas (yang diwujudkan dalam dimensi-dimensinya) yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung dapat mempengaruhi subjective well-being nya. Semakin remaja Gereja X di Kota Bandung memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan, mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan, rajin melakukan ritual-ritual agamanya, berusaha menjadi pelaku Firman Tuhan dalam kehidupannya serta memiliki pengetahuan yang luas akan agamanya, maka imannya akan semakin bertumbuh dan sulit untuk tergoyahkan. Keadaan ini dapat mengubah persepsinya mengenai kehidupannya, membuatnya tetap merasa bahagia dan


(28)

sejahtera dan bersyukur sekalipun keadaan di sekelilingnya jauh dari memuaskan atau menggembirakan.

Ideological dimension (religious belief) yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung berpengaruh terhadap subjective well-beingnya, dimana ketika remaja Gereja X di Kota Bandung memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan, keberadaan-Nya, janji-janji-Nya dan bagaimana Tuhan memandang dirinya seperti yang tertulis dalam Alkitab, maka ia akan mengubah cara pandang terhadap dirinya sebagai orang yang berharga dan dikasihi, terlepas dari apapun keadaannya. Pandangan mengenai dirinya yang berharga dan dikasihi membuatnya merasa lebih bahagia dan bersyukur. Seperti contohnya ketika remaja merasa tidak puas terhadap tubuh dan penampilannya atau merasa minder, namun jika ia percaya bahwa Tuhan menjadikan-Nya begitu indah, segambar dan serupa dengan-Nya dan ia berharga di mata Tuhan, maka persepsi terhadap self-concept dan self-esteem-nya akan berubah sehingga menjadikannya lebih puas terhadap dirinya, lebih fokus terhadap kelebihannya dibandingkan kekurangannya dan membuatnya lebih bahagia dan bersyukur. Di samping itu, ketika ia menghadapi masalah, ia tetap percaya bahwa segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupnya adalah untuk mendatangkan kebaikan, menjadi kesempatan baginya untuk merasakan kasih Tuhan dan melihat kebaikan-kebaikan Tuhan dalam hidupnya, serta membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Seperti contohnya ketika remaja diputuskan oleh kekasihnya. Ketika ia percaya bahwa segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi mendatangkan kebaikan baginya, ia dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda, bahwa Tuhan mengizinkan hal itu terjadi untuk melindunginya dari orang yang salah dan Tuhan pasti akan memberikan pasangan yang jauh lebih baik daripada kekasih yang telah memutuskannya, sehingga menjadikannya lebih puas terhadap keadannya saat ini. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap afeknya, dimana ia dapat merasa bersyukur akan hal yang telah terjadi dalam hidupnya.


(29)

19

Experiential dimension (religious feeling) yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung, memiliki pengaruh terhadap subjective well-beingnya, dimana ketika remaja dapat merasakan kehadiran Tuhan pada saat ia berdoa dan menyembah, dan merenungkan firman-Nya ia akan menyadari bahwa Tuhan hadir dan peduli terhadap kehidupannya, dan Tuhan senantiasa mengingatkan dan menguatkan dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan. Ia juga dapat merasakan sukacita, damai sejahtera, ketenangan pada saat berdoa, menyembah dan merenungkan firman-Nya, sehingga membuatnya menjadi lebih bahagia dan bersyukur. Seperti contohnya ketika remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang orangtua dapat merasakan kehadiran Tuhan pada saat ia berdoa, dan merasakan bahwa Tuhan memeluknya dan peduli padanya, ia akan mengetahui bahwa ada Pribadi yang jauh melebihi kedua orangtuanya yang peduli dan menyayanginya. Hal ini dapat mengubah persepsinya, dimana ia menyadari bahwa melalui kasih sayang yang kurang diberikan oleh orangtuanya, ia justru dapat merasakan kasih Tuhan yang begitu besar untuk dirinya, sehingga ia dapat tetap merasa puas dan bersyukur. Ia juga dapat merasakan damai sejahtera dan sukacita yang membuatnya merasa jauh lebih baik dalam keadaan tidak menyenangkan sekalipun, yang dapat membuatnya lebih bahagia dalam kehidupan.

Ritualistic dimension (religious practice) yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung mungkin tidak secara langsung berpengaruh terhadap subjective well-beingnya, tetapi akan terlebih dahulu mempengaruhi dimensi-dimensi lainnya, seperti ideological dimension, experiential dimension, intellectual dimension dan consequential dimension. Contohnya, ketika remaja rutin berdoa, melakukan saat teduh atau memuji dan menyembah Tuhan, tidak langsung membuat mereka bahagia, namun dengan melakukan ritual keagamaannya, remaja dapat merasakan pengalaman pribadinya dengan Tuhan (experiential dimension), kepercayaannya terhadap Tuhan semakin bertambah (ideological dimension) serta menjadi sarana bagi remaja untuk memiliki pengetahuan mengenai ajaran-ajaran


(30)

agamanya (intellectual dimension) untuk mereka terapkan dalam kehidupannya (consequential dimension).

Sama seperti ritualistic dimension, intellectual dimension yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung mungkin tidak berpengaruh secara langsung terhadap subjective well-being. Intellectual dimension memberikan dasar-dasar dan pengetahuan-pengetahuan mengenai Tuhan dan ajaran-ajaran agamanya, sehingga menjadi dasar bagi remaja Gereja X di Kota Bandung untuk meningkatkan kepercayaannya terhadap Tuhan (ideological dimension), mengalami pengalaman pribadi bersama dengan Tuhan (experiential dimension), menerapkan ajaran-ajaran agamanya dan kehendak Tuhan (consequential dimension), serta melakukan ritual-ritual agamanya (ritualistic dimension).

Consequential dimension (religious effect) yang dimiliki remaja Gereja X di Kota Bandung dapat berpengaruh terhadap subjective well-being-nya, dimana ketika ia menerapkan ajaran agamanya, persepsinya terhadap kehidupannya dan peristiwa yang dialaminya akan berubah dan menjadi lebih positif, sehingga dapat berdampak pada kepuasan remaja terhadap kehidupan dan frekuensi afek positif yang dialaminya. Seperti contohnya ketika remaja menerapkan ajaran agamanya untuk bersyukur dalam segala keadaan. Remaja dapat melihat bahwa seburuk-buruknya keadaannya, masih terdapat banyak hal dalam hidupnya yang dapat ia syukuri, sehingga membuatnya merasa puas dengan apa yang dimilikinya saat ini, lebih bahagia dan lebih positif dalam memandang kehidupannya.

Di samping religiusitas, subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti jenis kelamin, usia, keutuhan keluarga, orangtua yang tinggal serumah dengan remaja dan status sosio-ekonomi. Faktor usia dan jenis kelamin memiliki pengaruh yang kecil terhadap subjective well-being dan bergantung dari komponen subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas & Oishi, 2002; Diener & Suh, 1998 dalam The Handbook of Positive Psychology, 2002).


(31)

21

Faktor keutuhan keluarga dan orangtua yang tinggal serumah dengan remaja dapat mempengaruhi subjective well-being remaja. Antaramian, Huebner dan Vallois (2008) menemukan bahwa remaja yang tinggal dalam intact family (keluarga utuh) memiliki global well-being dan general life-satisfaction yang lebih tinggi dibandingkan remaja lain yang orangtuanya berpisah atau bercerai, sedangkan remaja yang tidak tinggal bersama ayah ataupun ibunya memiliki risiko paling besar untuk mengalami dissatisfaction with life (Antaramian, Huebner & Vallois, 2008).

Myers dan Diener (1995, dalam Šarić, Žganec, Šakić, 2008) menemukan bahwa status sosio-ekonomi berpengaruh pada subjective well-being remaja di Kroasia. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa kelompok dengan high economic status memiliki level life satisfaction yang lebih tinggi dibandingkan kelompok average status. Keduanya memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok low economic status. Ayah dan Ibu yang tidakk bekerja diasosiasikan dengan child’s lower satisfaction with life.


(32)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6 Asumsi Penelitian

1. Remaja Gereja X di Kota Bandung berpotensi merasa bahagia atau tidak bahagia dalam kehidupannya.

2. Subjective well-being penting bagi remaja Gereja X di Kota Bandung, karena akan menentukan kehidupannya di masa yang akan datang.

Remaja Gereja X

di Kota Bandung

Faktor-faktor yang mempengaruhi SWB : - Jenis Kelamin. - Usia.

- Keutuhan keluarga. - Orangtua yang

tinggal dengan remaja.

- Status Sosio-Ekonomi. Religiusitas Subjective well-being Pemaknaan remaja terhadap situasi yang dialami Komponen-komponen : - Life Satisfaction. - Afek Positif. - Afek Negatif. Ritualistic Dimension Consequential Dimension Ideological Dimension Experiential Dimension Intellectual Dimension


(33)

23

3. Remaja Gereja X di Kota Bandung dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika memiliki life satisfaction yang tinggi dan lebih sering merasakan afek positif dibandingkan afek negatif dalam kehidupannya.

4. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung adalah religiusitas.

5. Religiusitas dapat memampukan remaja Gereja X untuk memaknai kehidupannya secara lebih positif.

6. Pemaknaan remaja Gereja X yang lebih positif dalam memandang hidup berpotensi membuat remaja lebih puas terhadap hidupnya dan lebih sering merasakan afek positif dibandingkan afek negatif.

7. Sebaliknya, pemaknaan remaja Gereja X yang lebih negatif dalam memandang hidup berpotensi membuat remaja menjadi kurang puas terhadap hidupnya dan lebih sering merasakan afek negatif dibandingkan afek positif.

8. Religiusitas pada remaja Gereja X di Kota Bandung dapat dilihat dari kelima dimensinya, yaitu ideological dimension (religious belief), experiential dimension (religious feeling), ritualistic dimension (religious practice), intellectual dimension (religious knowledge), dan consequential dimension (religious effect).

1.7 Hipotesis Penelitian

1. Ideological dimension berpengaruh terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

2. Experiential dimension berpengaruh terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

3. Ritualistic dimension berpengaruh terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.


(34)

4. Consequential dimension berpengaruh terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.

5. Intellectual dimension berpengaruh terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung.


(35)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap subjective well-being pada remaja Gereja X di Kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Tidak semua dimensi dalam religiusitas berpengaruh secara signifikan terhadap subjective well-being, hanya experiential dimension dan consequential dimension. Experiential dimension memberi pengaruh paling besar terhadap subjective well-being, yaitu sebesar 23%, dan diikuti oleh consequential dimension sebesar 14%. 2. Ideological dimension, intellectual dimension dan ritualistic dimension tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap subjective well-being. Ideological dimension memberikan kontribusi sebesar 5,4%, intellectual dimension sebesar 0,6% dan ritualistic dimension sebesar 0,4%.

3. Ideological dimension, intellectual dimension dan ritualistic dimension memiliki peranannya tersendiri dalam meningkatkan subjective well-being responden. 4. Berdasarkan uji korelasi antara faktor-faktor yang mempengaruhi subjective

well-being, seperti usia, jenis kelamin, keutuhan keluarga, orangtua yang tinggal bersama responden dan penghayatan status sosio-ekonomi yang dimiliki oleh responden, tidak menunjukkan adanya keterkaitan terhadap subjective well-being yang dimiliki responden.


(36)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

1. Dikarenakan alat ukur Religiusitas I yang mengukur ideological dimension, alat ukur Religiusitas II yang mengukur ritualistic dimension, alat ukur Religiusitas III yang mengukur intellectual dimension dan alat ukur Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) memiliki reliabilitas yang tergolong sedang, peneliti lain yang ingin menggunakan kuesioner tersebut sebaiknya merevisi atau memodifikasi kembali item yang digunakan pada penelitian berikutnya, dengan menyesuaikan item-item yang ada dengan sample yang akan diteliti.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai masukan untuk membantu pihak gereja dan komunitas remaja dalam merancang program kerohanian yang bermanfaat untuk mengembangkan kelima dimensi religiusitas, terutama dalam hal meningkatkan pengalaman pribadinya dengan Tuhan (experiential dimension) dan menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari (consequential dimension).

2. Dapat menjadi sumber pengetahuan dan informasi yang berguna bagi remaja Gereja X di Kota Bandung untuk dapat meningkatkan pengalaman pribadinya dengan Tuhan (experiential dimension) serta mendorong remaja Gereja X di Kota Bandung untuk menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari (consequential dimension), yang memiliki pengaruh signifikan terhadap subjective well-beingnya.

3. Dapat menjadi sumber pengetahuan dan informasi yang berguna bagi remaja Gereja X di Kota Bandung untuk mengetahui peranan ideological dimension, intellectual


(37)

101

dimension dan ritualistic dimension untuk meningkatkan subjective well-being, sehingga dapat mendorong remaja Gereja X di Kota Bandung untuk meningkatkan kepercayaannya terhadap Tuhan, memperluas pengetahuan mengenai isi Alkitab dan ajaran-ajaran agamanya, serta melakukan ritual-ritual agamanya.


(38)

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA GEREJA X DI KOTA

BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh: STEVINA VANIA

NRP : 1230023

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(39)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang selalu setia mengajar, menyertai, menopang, menolong dan memberikan hikmat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dengan judul: “Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas terhadap Subjective Well-Being pada Remaja Gereja X di Kota Bandung”. Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti berharap agar dalam segala kekurangannya, penelitian ini masih dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi dan masyarakat pada umumnya. Peneliti terbuka terhadap segala bentuk saran dan kritik yang dapat membantu menyempurnakan penelitian ini.

Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan maupun bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Ibu Dra. Kuswardhini, Psikolog selaku dosen pembimbing utama dan Ibu Heliany Kiswantomo, M.Si, Psikolog, dosen pembimbing pendamping, yang saya kasihi dan hormati, yang telah banyak memberikan masukan, insight, semangat dan dorongan kepada peneliti. 3. Pendeta Gereja X yang bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu peneliti

dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Para responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk melakukan wawancara dengan peneliti dan memberikan informasi yang sangat berguna untuk penelitian


(40)

5. Kak Michael Yudha Yermia yang telah membantu melakukan pengolahan statistik dalam penelitian ini, mendukung dan banyak memberikan masukan pada peneliti.

6. Melina Sofiani, Rachel Yolanda Pratiwi, Tessa Yadawa Putri, Cherie Eirene Palit, Debora Kristijanto, Kevin Nathaniel, Henry Gunawan, Denny Kurniawan, Yonas Palit dan Krisandy yang merupakan teman-teman seperjuangan dan selalu memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti.

7. Sahabat-sahabatku di Universitas Kristen Maranatha, Klara Alvina Limanthie, Sondang Ruth Sormin, Meilisa Andary, Florencia Febrina Chandra, dan Monica Gabriella yang tak pernah lelah memberi dukungan, semangat, dan inspirasi dalam penelitian ini, serta menjadi sahabat yang sangat baik untuk peneliti.

8. Ci Milayani Widodo sebagai Ibu Rohani yang selalu mendukung, mendoakan, selalu memberikan semangat dan mengingatkanku untuk berjuang dalam tugas akhir ini.

9. Seluruh keluargaku terkasih di Remaja Bagi Kristus GIA Maleer yang selalu mendoakan, menyemangati, mendukung, serta selalu ada untuk peneliti di saat suka maupun duka.

10.Kedua orangtuaku yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungan dalam penelitian ini.

Menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman peneliti, maka peneliti mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, serta mohon maaf apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan.

Akhir kata, peneliti mengharapkan penelitian yang masih belum sempurna ini dapat berguna dan bermanfaat bagi peneliti lain dan pembaca.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. & Asrori, M. 2014. Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Ancok, D. & Suroso, F.N. 2005. Psikologi islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Antaramian, S. P., Huebner, E. S., Valois, R. F. (2008). Adolescent life satisfaction. Applied Psychology : An International Review, 57, 112-126.

Diener, Ed. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

Diener, Ed. (2000). Subjective well-being : The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychological Associations, 55, 34-43.

Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.

Diener, E., Lucas, R. E., Oishi, S. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. Dalam C.S Snyder & J.S. Lopez (Eds), The handbook of positive psychology. New York: Oxford, (63-73).

Diener, E., Sandvik, E., Pavot, W. (1991). Happiness is the frequency, not the intensity, of positive versus negative affect. Dalam F. Strack, M. Argyle & N. Schwarz (Eds.). Subjective well-being: An interdisciplinary perspective. New York: Pergamon, 119-139.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302.

Diener, E., Scollon, C., Oishi, S., Dzokoto, V., Suh, M.E. (2000). Positivity and the construction of life satisfaction judgments: Global happiness is not the sum of its Parts. Journal of Happiness Studies,1(2), 159-176.

Doane, M.J. (2013). The association between religiosity and subjective well-being: The unique contribution of religious service attendance and the mediating role of received religious social support. The Irish Journal of Psychology, 34(1), 49-66.


(42)

Eryilmaz, A. (2011). Satisfaction of needs and determining of life goals: A model of subjective well-being for adolescents in high school. Educational Sciences : Theory and Practice, 11(4), 1757-1764.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental statistic in psychology and education. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Glock, C. Y. & Stark, R. 1965. Religion and society in tension. Chicago: Rand McNally & Company.

Gulo, W. 2002. Metode penelitian. Jakarta: Grasindo.

Hasan, I. 2003. Pokok-pokok materi statistik 1. Jakarta: Bumi Aksara.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Levesque, J. R. 2011. The encylopedia of adolescence. New York: Springer-Verlag.

Lun, V. M. & Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to subjective well-being across national cultures. Psychology of Religion and Spirituality, 5, 304-315.

Lyubomirsky, S., King, L., Diener, E. (2005). The benefits of frequent positive affect: Does happiness lead to success?. Psychological Bulletin, 131, 803-855.

Nisfiannor, M., Rostiana, Puspasari, T. (2004). Hubungan antara komitmen beragama dan subjective well-being pada remaja akhir di Universitas Tarumanegara. Jurnal Psikologi, 2, 74-93.

Santrock, J. W. 2003. Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.

Šarić, Z. R., Žganec, A.B., Šakić, M. (2009). Life satisfaction in adolescents: The effects of perceived family economic status, self-esteem and quality of family and peer relationships. Primljeno, 3(4), 547-564.


(43)

104

Sudjana. 2002. Metode statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2004. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Uusitalo-Malmiivara, L. (2014). Happiness decreases during early adolescence-A study on 12- and-15-year-old Finnish students. Psychology, 5, 541-555.


(44)

DAFTAR RUJUKAN

American Psychological Association. (2002). A references for proffesionals: Developing adolescents. Washington: American Psychological Association.

Diener, E. & Diener, R.B. (2009). Scale of positive and negative experience. (Online).(http://internal.psychology.illinois.edu/~ediener/Documents/Scale%20of%20 Positive%20and%20Negative%20Experience.pdf, diakses 31 Oktober 2015).

Generasi Ngek-Ngok, Baru Saja Gede Sudah Linglung Kena Madat. http://health.detik.com/read/

2012/06/06/074455/1933828/775/Menikah%20Bisa%20Panjangkan%20Usia%20And a?query-string, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Haryanto, Rocky. (2007). Studi deskriptif mengenai profil dimensi-dimensi religiusitas pada mahasiswa yang mengikuti kelompok kecil di persekutuan mahasiswa Kristen (PMK)

Universitas “X” Bandung (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha: Bandung.

Here are The Countries Where Young People are Happiest. http://www.businessinsider.co.id/ global-youth-well-being-index-2014-2014-4/#z2cpFwivxeWZBPU9.99, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

Huebner, E. S., Suldo, S. M., Valois, R.F. (Mei 2003). Psychometric properties of two brief measures of children’s life satisfaction: The student’s life satisfaction scale (SLSS)

and the brief multidimensional students’ life satisfaction scale (BMSLSS). Makalah disajikan dalam Indicators of Positive Development Conference.

__________. http://internal.psychology.illinois.edu/~ediener/SWLS.html, diakses tanggal 3 Februari 2016.

Komnas PA: Mayoritas Remaja Laki-Laki Jadi Pelaku “Gengrape”. http://kom.ps/AFvVrD, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Per Hari, 50-70 Remaja Indonesia Mati Sia-Sia karena Narkoba. http://www.radjakarta.com/ berita-2471-per-hari-5070-remaja-indonesia-mati-siasia-karena-narkoba.html, diakses tanggal 31 Agustus 2016.


(45)

106

Pertumbuhan Remaja Indonesia 25 Persen dari Jumlah Penduduk.

http://bareskrim.com/2015/05/ 21/pertumbuhan-remaja-indonesia-25-persen-dari-jumlah-penduduk/, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Savage, J. A. (2011). Increasing adolescents' subjective well-being: Effects of a positive psychology intervention in comparison to the effects of therapeutic alliance, youth factors, and expectancy for change (Disertasi). Diunduh dari http://scholarcommons.usf.edu/etd/3333. Tanggal 5 Mei 2016.

Sosiolog UNM: 82 Kasus Bunuh Diri di Indonesia dalam Sehari.

http://news.rakyatku.com/read/ 4628/2016/05/14/sosiolog-unm-82-kasus-bunuh-diri-di-indonesia-dalam-sehari, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Surviving Adolescence. http://patient.info/health/surviving-adolescence, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

The Happy Teen. https://psychologytoday.com/blog/decisions-teens-make/201207/the-happy-teen, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

Tomyn, A. J. & Lau, A. L. (Mei, 2013). Assessment of Adolescent Subjective Wellbeing: The Personal Wellbeing Index – School Children. Makalah disajikan dalam 4th ISCI Conference, Seoul National University, Seoul, Korea.

Top 8 Reasons Why Teens Try Alcohol and Drugs. http://www.drugfree.org/resources/top-8-reasons-why-teens-try-alcohol-and-drugs/, diakses tanggal 31 Agustus 2016.


(1)

vi

vi

5. Kak Michael Yudha Yermia yang telah membantu melakukan pengolahan statistik dalam penelitian ini, mendukung dan banyak memberikan masukan pada peneliti.

6. Melina Sofiani, Rachel Yolanda Pratiwi, Tessa Yadawa Putri, Cherie Eirene Palit, Debora Kristijanto, Kevin Nathaniel, Henry Gunawan, Denny Kurniawan, Yonas Palit dan Krisandy yang merupakan teman-teman seperjuangan dan selalu memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti.

7. Sahabat-sahabatku di Universitas Kristen Maranatha, Klara Alvina Limanthie, Sondang Ruth Sormin, Meilisa Andary, Florencia Febrina Chandra, dan Monica Gabriella yang tak pernah lelah memberi dukungan, semangat, dan inspirasi dalam penelitian ini, serta menjadi sahabat yang sangat baik untuk peneliti.

8. Ci Milayani Widodo sebagai Ibu Rohani yang selalu mendukung, mendoakan, selalu memberikan semangat dan mengingatkanku untuk berjuang dalam tugas akhir ini.

9. Seluruh keluargaku terkasih di Remaja Bagi Kristus GIA Maleer yang selalu mendoakan, menyemangati, mendukung, serta selalu ada untuk peneliti di saat suka maupun duka.

10. Kedua orangtuaku yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungan dalam penelitian ini.

Menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman peneliti, maka peneliti mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, serta mohon maaf apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan.

Akhir kata, peneliti mengharapkan penelitian yang masih belum sempurna ini dapat berguna dan bermanfaat bagi peneliti lain dan pembaca.

Bandung, November 2016


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. & Asrori, M. 2014. Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Ancok, D. & Suroso, F.N. 2005. Psikologi islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Antaramian, S. P., Huebner, E. S., Valois, R. F. (2008). Adolescent life satisfaction. Applied Psychology : An International Review, 57, 112-126.

Diener, Ed. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.

Diener, Ed. (2000). Subjective well-being : The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychological Associations, 55, 34-43.

Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.

Diener, E., Lucas, R. E., Oishi, S. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. Dalam C.S Snyder & J.S. Lopez (Eds), The handbook of positive psychology. New York: Oxford, (63-73).

Diener, E., Sandvik, E., Pavot, W. (1991). Happiness is the frequency, not the intensity, of positive versus negative affect. Dalam F. Strack, M. Argyle & N. Schwarz (Eds.). Subjective well-being: An interdisciplinary perspective. New York: Pergamon, 119-139.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125, 276-302.

Diener, E., Scollon, C., Oishi, S., Dzokoto, V., Suh, M.E. (2000). Positivity and the construction of life satisfaction judgments: Global happiness is not the sum of its Parts. Journal of Happiness Studies,1(2), 159-176.

Doane, M.J. (2013). The association between religiosity and subjective well-being: The unique contribution of religious service attendance and the mediating role of received religious social support. TheIrish Journal of Psychology, 34(1), 49-66.


(3)

103

Eryilmaz, A. (2011). Satisfaction of needs and determining of life goals: A model of subjective well-being for adolescents in high school. Educational Sciences : Theory and Practice, 11(4), 1757-1764.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental statistic in psychology and education. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Glock, C. Y. & Stark, R. 1965. Religion and society in tension. Chicago: Rand McNally & Company.

Gulo, W. 2002. Metode penelitian. Jakarta: Grasindo.

Hasan, I. 2003. Pokok-pokok materi statistik 1. Jakarta: Bumi Aksara.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Levesque, J. R. 2011. The encylopedia of adolescence. New York: Springer-Verlag.

Lun, V. M. & Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to subjective well-being across national cultures. Psychology of Religion and Spirituality, 5, 304-315.

Lyubomirsky, S., King, L., Diener, E. (2005). The benefits of frequent positive affect: Does happiness lead to success?. Psychological Bulletin, 131, 803-855.

Nisfiannor, M., Rostiana, Puspasari, T. (2004). Hubungan antara komitmen beragama dan subjective well-being pada remaja akhir di Universitas Tarumanegara. Jurnal Psikologi, 2, 74-93.

Santrock, J. W. 2003. Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.

Šarić, Z. R., Žganec, A.B., Šakić, M. (2009). Life satisfaction in adolescents: The effects of perceived family economic status, self-esteem and quality of family and peer relationships. Primljeno, 3(4), 547-564.


(4)

Sudjana. 2002. Metode statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2004. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Uusitalo-Malmiivara, L. (2014). Happiness decreases during early adolescence-A study on 12- and-15-year-old Finnish students. Psychology, 5, 541-555.


(5)

105

DAFTAR RUJUKAN

American Psychological Association. (2002). A references for proffesionals: Developing adolescents. Washington: American Psychological Association.

Diener, E. & Diener, R.B. (2009). Scale of positive and negative experience. (Online).(http://internal.psychology.illinois.edu/~ediener/Documents/Scale%20of%20 Positive%20and%20Negative%20Experience.pdf, diakses 31 Oktober 2015).

Generasi Ngek-Ngok, Baru Saja Gede Sudah Linglung Kena Madat. http://health.detik.com/read/

2012/06/06/074455/1933828/775/Menikah%20Bisa%20Panjangkan%20Usia%20And a?query-string, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Haryanto, Rocky. (2007). Studi deskriptif mengenai profil dimensi-dimensi religiusitas pada mahasiswa yang mengikuti kelompok kecil di persekutuan mahasiswa Kristen (PMK)

Universitas “X” Bandung (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha: Bandung.

Here are The Countries Where Young People are Happiest.http://www.businessinsider.co.id/ global-youth-well-being-index-2014-2014-4/#z2cpFwivxeWZBPU9.99, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

Huebner, E. S., Suldo, S. M., Valois, R.F. (Mei 2003). Psychometric properties of two brief measures of children’s life satisfaction: The student’s life satisfaction scale (SLSS)

and the brief multidimensional students’ life satisfaction scale (BMSLSS). Makalah

disajikan dalam Indicators of Positive Development Conference.

__________. http://internal.psychology.illinois.edu/~ediener/SWLS.html, diakses tanggal 3 Februari 2016.

Komnas PA: Mayoritas Remaja Laki-Laki Jadi Pelaku “Gengrape”. http://kom.ps/AFvVrD, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Per Hari, 50-70 Remaja Indonesia Mati Sia-Sia karena Narkoba. http://www.radjakarta.com/ berita-2471-per-hari-5070-remaja-indonesia-mati-siasia-karena-narkoba.html, diakses tanggal 31 Agustus 2016.


(6)

Pertumbuhan Remaja Indonesia 25 Persen dari Jumlah Penduduk.

http://bareskrim.com/2015/05/ 21/pertumbuhan-remaja-indonesia-25-persen-dari-jumlah-penduduk/, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Savage, J. A. (2011). Increasing adolescents' subjective well-being: Effects of a positive psychology intervention in comparison to the effects of therapeutic alliance, youth

factors, and expectancy for change (Disertasi). Diunduh dari

http://scholarcommons.usf.edu/etd/3333. Tanggal 5 Mei 2016.

Sosiolog UNM: 82 Kasus Bunuh Diri di Indonesia dalam Sehari.

http://news.rakyatku.com/read/ 4628/2016/05/14/sosiolog-unm-82-kasus-bunuh-diri-di-indonesia-dalam-sehari, diakses tanggal 31 Agustus 2016.

Surviving Adolescence. http://patient.info/health/surviving-adolescence, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

The Happy Teen. https://psychologytoday.com/blog/decisions-teens-make/201207/the-happy-teen, diakses tanggal 18 Oktober 2016.

Tomyn, A. J. & Lau, A. L. (Mei, 2013). Assessment of Adolescent Subjective Wellbeing: The Personal Wellbeing Index – School Children. Makalah disajikan dalam 4th ISCI Conference, Seoul National University, Seoul, Korea.

Top 8 Reasons Why Teens Try Alcohol and Drugs. http://www.drugfree.org/resources/top-8-reasons-why-teens-try-alcohol-and-drugs/, diakses tanggal 31 Agustus 2016.