AJEG BALI: POLITIK IDENTITAS DAN IMPLEMENTASINYA PADA BERBAGAI AGEN SOSIALISASI DI DESA PAKRAMAN UBUD, GIANYAR, BALI.

(1)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR BAGAN ... xix

GLOSARIUM ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian... 17

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Klarifikasi Konsep ... 20

F. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 24

A. Kajian Teori ... 24

1. Teori Politik Identitas ... 24

a. Pengertian Identitas dan Identitas Etnik ... 26

b. Identitas Etnik Bali ... 28

c. Politik Identitas sebagai Pemertahanan Identitas Etnik ... 33

d. Ajeg Bali sebagai Gerakan Politik Identitas... 46

2. Teori Konstruksi Sosial... 52

a. Pendidikan sebagai Agen Sosialisasi dan Enkulturasi ... 52

b. Masyarakat sebagai Agen Pendidikan Tradisonal ... 56

1) Sistem Pendidikan Tradisional pada Masyarakat Bali ... 56

2) Agen-agen Sosialisasi pada Masyarakat Bali ... 58

3) Metode Pembelajaran Tradisional pada Masyarakat Bali ... 66

4) Agama Hindu dan Kebudayaan Bali sebagai Bahan Ajar ... 67

c. Sekolah dan Media sebagai Agen Sosialisasi ... . 76

1) Sekolah sebagai Agen Sosialisasi Identitas Etnik ... 77

2) Media sebagai Agen Sosialisasi Identitas Etnik ... 82

3. Teori Multikultural ... 84

a. Hubungan Antaretnik pada Masyarakat Multikultural ... 85

1) Gejala Sosial dalam Hubungan Antaretnik ... 86


(2)

xiv

b) Etnosentrisme, Stereotip dan Prasangka Etnik ... 88

c) Komunalisme ... 91

2) Hubungan Antaretnik dalam Perspektif Proses Sosial ... 92

a) Proses Sosial Disosiatif ... 92

b) Proses Sosial Asosiatif... 96

c) Strategi Mengembangkan Proses Sosial Asosiatif ... 99

b. Keragaman dalam Perspektif Multikulturalisme ... 104

4. Gerakan Ajeg Bali sebagai Kajian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ... 107

a. Dasar-dasar Konseptual IPS ... 107

b. Ajeg Bali sebagai Proses Pendidikan IPS ... 110

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan... 115

C. Posisi Teoritik Penelitian ... 121

D. Kerangka Berpikir ... 123

BAB III METODE PENELITIAN ... 127

A. Desain Penelitian... 127

B. Pendekatan Penelitian ... 127

C. Penentuan Lokasi Penelitian ... 128

D. Subjek Penelitian dan Teknik Penentuan Informan ... 130

E. Teknik Pengumpulan Data……… ... 131

F. Instrument Penelitian ... 134

G. Teknik Verifikasi Data ... 135

H. Teknik Analisis Data ... 137

I. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian ... 138

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA PAKRAMAN UBUD ... 140

A. Ubud sebagai Desa Dinas dan Desa Pakraman ... 140

1. Latar Belakang Sejarah Desa Ubud ... 140

2. Sistem Pemerintahan Desa Ubud ... 146

B. Penjabaran Ideologi Tri Hita Karana sebagai Landasan Desa Pakraman Ubud 157 1. Penjabaran Berdasarkan Aspek Palemahan ... 160

a. Lokasi, Batas, dan Tataguna Palemahan Ubud ... 161

b. Kedaan Geografis dan Potensi Palemahan ... 173

2. Penjabaran Berdasarkan Aspek Pawongan ... 178

a. Keadaan Demografis/Kependudukan ... 179

b. Ikatan Kekerabatan dan Organisasi Tradisional ... 189

c. Hubungan Antar Krama Desa Pakraman ... 195

3. Penjabaran Berdasarkan Aspek Parhyangan ... 197

BAB V LATAR BELAKANG PEMERTAHANAN IDENTITAS ETNIK MELALUI POLITIK IDENTITAS GERAKAN AJEG BALI DI DESA PAKRAMAN UBUD ... 203

A. Ajeg Bali sebagai Pemertahanan Kebudayaan Bali dari Politik Kebudayaan Orde Baru ... ... 204


(3)

xv

1. Karakteristik Politik Kebudayaan Orde Baru ... 209

2. Politik Kebudayaan Memarjinalkan Desa Pakraman... 217

3. Politik Kebudayaan Memarjinalkan Bahasa dan Aksara Bali ... 221

B. Ajeg Bali sebagai Pemertahanan Kebudayaan Bali dari Modernisasi ... 224

C. Ajeg Bali sebagai Pemertahanan Kebudayaan Bali dari Globalisasi ... 232

D. Ajeg Bali sebagai Pemertahanan dan Kelanggengan Ekonomi ... 240

E. Ajeg Bali sebagai Pemertahanan Kebudayaan Bali dari Kehadiran Pendatang 251 F. Arah Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Desa Pakraman Ubud ... 259

BAB VI POLA PENYELENGGARAAN PEMERTAHANAN IDENTITAS ETNIK MELALUI POLITIK IDENTITAS GERAKAN AJEG BALI DI DESA PAKRAMAN UBUD ... 272

A. Pemertahanan Identitas Etnik melalui PKB pada Lembaga Pendidikan Informal... 273

1. Pemertahanan Identitas Etnik pada Kuren dan Dadia ... 274

2. Pemertahanan Identitas Etnik pada Desa Pakraman ... 287

3. Pemertahanan Identitas Etnik pada Desa Dinas ... 293

4. Pemertahanan Identitas Etnik pada Sekaa ... 298

5. Pemertahanan Identitas Etnik pada Subak ... 311

6. Pemertahanan Identitas Etnik pada Puri ... 325

7. Pemertahanan Identitas Etnik pada Geriya ... 332

B. Pemertahanan Identitas Etnik Melalui PKB pada Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah) ... 339

1. PKB melalui Pendidikan Agama Hindu ... 340

2. PKB melalui Pengajaran Muatan Lokal ... 344

a. PKB melalui Muatan Lokal Bahasa Daerah Bali ... 346

b. PKB melalui Muatan Lokal Budaya Bali ... 350

C. Pemertahanan Identitas Etnik Melalui Media (Pendidikan Nonformal) ... 356

1. Implemtasi Ajeg Bali melalui Media Cetak Bali Post ... 357

2. Implementasi Ajeg Bali melalui Media Televisi Bali TV ... 361

VII IMPLIKASI PEMERTAHANAN IDENTITAS ETNIK MELALUI POLITIK IDENTITAS GERAKAN AJEG BALI PADA KEHIDUPAN MULTIKULTURAL DI DESA PAKRAMAN UBUD ... 365

A. Penguatan Desa Pakraman sebagai Basis Budaya Bali... 365

1. Reposisi Desa Pakraman: Bercorak Dominatif dan Hegemonik ... 367

2. Penguatan Eksistansi Pecalang sebagai Benteng Desa Pakraman ... 371

B. Hubungan Antaretnik di Desa Pakraman Ubud ... 376

1. Respon terhadap Kedatangan Pendatang (Etnik NonBali) ... 377

2. Gejala Sosial pada Hubungan Antaretnik di Desa Pakraman Ubud ... 382

a. Hubungan Mayoritas-Minoritas ... 383

b. Munculnya Etnosentrisme, Stereotip dan Prasangka Etnik ... 386


(4)

xvi

3. Proses Sosial dalam Hubungan Antaretnik di Desa Pakraman Ubud ... 389

a. Proses Sosial Disosiatif ... 389

b. Proses Sosial Asosiatif ... 392

VIII KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN PERUMUSAN TEORI ... 397

A. Kesimpulan ... 397

B. Rekomendasi ... 400

C. Perumusan Teori ... 402

DAFTAR PUSTAKA ... 405


(5)

xvii

DAFTAR TABEL

No. Tabel Nama Tabel Halaman 2.1. Arah Perubahan Masyarakat Bali sebagai Akibat dari

Modernisasi, Indonesiaisasi dan Globalisasi ... 38 2.2. Makna yang Terkandung pada Konsep Mayoritas dan Minoritas 86 4.1. Luas Wilayah/Palemahan di Desa Pakraman Ubud ... 166 4.2. Tata Guna Wilayah Utama Palemahan Desa Pakraman Ubud

pada Zona 1 ... 168 4.3. Tata Guna PalemahanDesa Pakraman Ubud Pada Zona 2 ... 169 4.4. Tata Guna Palemahan Desa Pakraman Ubud Pada Zona 3 ... 169 4.5. Jumlah Subak, Tempekan Subak dan Pekaseh di Wilayah

Kelurahan Ubud ... 174 4.6. Jenis Tanaman yang Terdapat di Kelurahan Ubud ... 177 4.7. Keadaan Penduduk Desa Pakraman Ubud berdasarkan

Jumlah KK dan Jenis Kelamin ... 180 4.8. Komposisi Penduduk Desa Pakraman Ubud menurut

Kelompok Umur ... 181 4.9. Keadaan Penduduk Desa Pakraman Ubud menurut Tingkat

Pendidikan ... 182 4.10. Banyaknya Sekolah Negeri dan Swasta di Kecamatan Ubud ... 183 4.11. Keadaan Penduduk Desa Pakraman Ubud berdasarkan Mata

Pencaharian ... 185 4.12. Program Kesehatan Masyarakat di Kelurahan Ubud dan

Desa Pakraman Ubud Tahun 2007-2008 ... 188 4.13. Nama-nama Sekaa Kesenian di Desa Pakraman Ubud ... 199 5.1. Arah Perubahan Masyarakat Bali sebagai Akibat dari

Modernisasi, Indonesianisasi dan Globalisasi ... 260 5.2. Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Desa Pakraman Ubud

Akibat Modernisasi, Globalisasi, Indonesianisasi dan Pariwisata 262 5.3. Arah dan Strategi Kebijakan Ajeg Bali ... 270 6.1. Keberadaan Geriya dan Sulinggih (Pedanda) di Kelurahan Ubud 333 6.2. Mata Pelajaran Muatan Lokal pada SD Negeri 1 Ubud,

SMP Negeri 1 Ubud dan SMA Negeri 1 Ubud ... 345 6.3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pengajaran

Muatan Lokal Mata Pelajaran Organisasi Sosial Adat Istiadat


(6)

xviii

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Nama Gambar Halaman

3.1. Peta Lokasi Desa Pakraman Ubud ... 130

4.1. Pusat Desa Pakraman dan Pemerintahan Lokal ... 162

4.2. Balai Banjar di Desa Pakraman Ubud ... 163

4.3. Tata Palemahan pada Pemukiman Penduduk ... 171

4.4. Setra (Kuburan) di Desa Pakraman Ubud ... 172

4.5. Sawah di Subak Juwuk Manis Desa Pakraman Ubud ... 175

4.6. Aktivitas Pendudk Berkaitan dengan Pariwisata ... 186

4.7. Pentas Sekaa di Desa Pakraman Ubud ... 194

4.8. Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Ubud ... 198

4.9. Pura-pura Umum di Desa Pakraman Ubud ... 199

410. Pura Fungsional di Desa Pakraman Ubud ... 200

4.11. Pura Keluarga di Desa Pakraman Ubud ... 201

5.1. Penggunaan Bahasa Campura di Desa Pakraman Ubud ... 232

5.2. Identitas Budaya/Etnik Desa Pakraman Ubud ... 239

6.1. Sanggah Kemulan Rong Tiga ... 274

6.2. Lambang Kelurahan Ubud ... 297

6.3. Kegiatan Sekaa Pesantian di Desa Pakraman Ubud ... 288

6.4. Palemahan Subak Juwuk Manis... 305

6.5. Pura Subak Juwuk Manis ... 317

6.6. Puri Ubud sebagai Arena Belajar Kesenian ... 322

6.7. Sulinggih Geriya Peling Baleran dan Peralatan Ritual ... 331

6.8. Suasana Sosial-Religius di SDN 1, SMPN1, SMAN 1 Ubud... 335

6.9. Penggunan Bahasa dan Aksara Bali di SMPN1 Ubud ... 343

6.10. Lomba Tari Jauk di SMAN 1 Ubud ... 350

6.11. Ekstrakulikuler Menyalin Aksara Bali di SMPN 1 Ubud ... 353

6.12. Ekstrakulikuler Mejejahitan di SDN 1 Ubud ... 354

6.13. Karya Lukis Bertema Filosofis Hindu di SMPN 1 Ubud ... 355

7.1. Pecalang di Desa Pakraman Ubud ... 375

7.2. Papan “Pemulung Dilarang Masuk” di Desa Pakraman Ubud ... 388


(7)

xix

No. Bagan Nama Bagan Halaman 2.1. Pemertahanan Budaya Bali Berbasis Agama Hindu Melalui

Berbagai Agen Pendidikan ... 57

2.2. Kerangka Berpikir: Latar Belakang Pemertahanan Identitas Etnik, Sosialisasi dan Ilmplikasinya bagi Hubungan Antaretnik pada Masyarakat Multikultur ... 123

3.1. Prosedur Kerja Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif ... 137

4.1. Struktur Pemerintahan Desa Dinas (Kelurahan) Ubud ... 153

4.2. Struktur Kepengurusan Desa Pakraman Ubud ... 155

5.1. Politik Kebudayaan Orde Baru dalam Rangka Nasionalisasi ... 212


(8)

xx

Lampiran-Lampiran

01: Ijin Penelitian UPI

02: Ijin Penelitian Badan Kesbang Pol dan Linmas Provinsi Bali

03: Ijin Penelitian Badan Kesbang Pol dan Linmas Kabupaten Gianyar

04: Kisi-kisi Panduan Penggalian Data di Lapngan

05: Pedoman Wawancara

06: Pedoman Observasi

07:Transkip Hasil Wawancara

08: Daftar Informan


(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) yang sangat populer, tidak saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan identitas Bali sebagai daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis, lestari, dengan perilaku masyarakatnya yang ramah dan bersahaja, ditopang oleh adat istiadat dan budayanya yang mendasarkan pada prinsip keharmonisan dan keseimbangan dengan bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah hidup Tri Hita Karana. Kedua ajaran ini saling berkaitan, di mana agama Hindu menjiwai falsafah Tri Hita Karana, dan sebaliknya falsafah Tri Hita Karana mendasarkan pada ajaran agama Hindu.

Pendukung kebudayaan Bali adalah masyarakat Bali, yang dikenal sebagai etnik Bali atau orang Bali. Sebagai sebuah etnik, orang Bali memiliki ciri identitas etnik yang melekat pada diri dan kelompoknya. Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2008: 3) mendefinisikan etnik Bali sebagai sekelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik kebudayaan lokal Bali maupun kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat oleh adanya kesatuan bahasa, yakni bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan perjalanan sejarah dan kebudayaanya. Keyakinan terhadap agama Hindu melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik tersebut mewujudkan diri


(10)

2

dalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial, maupun karya fisik orang Bali (Supatra 2006; Geriya, 2008).

Identitas etnik orang Bali juga tampak pada busana tradisional Bali dan identitas ruang serta lingkungan tempat tinggal (Supatra, 2006: 88-89). Dalam pengertian ruang dan tempat tinggal, persamaan-persamaan yang menjadi ciri identitas etnik orang Bali mencakup kesamaan sebagai krama desa (warga desa) dari suatu desa pakramanan (desa adat) dengan berbagai aturan yang mengikatnya, yang termuat dalam Awig-awig Desa Pakraman (peraturan tertulis desa adat) (Windia dan Sudantra, 2006; Sirtha, 2005). Disamping hidup sebagai krama desa sebuah desa pakraman, seluruh masyarakat Bali juga terikat dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang disebut dadia, yang jumlah anggotanya bervariasi dan bertempat tinggal menyebar, tidak selalu pada satu teritorial tertentu. Geertz and Geertz (1975) menyebutkan, bahwa dadia merupakan basis atau unit terkecil dari kelompok masyarakat adat di Bali yang terdiri dari beberapa kuren (keluarga), dan merupakan bagian dari desa pakraman. Mereka terikat oleh kesamaan wit (asal) berdasarkan kesamaan leluhur, dan terikat pula oleh suatu tempat persembahyangan bersama, yakni Pura Dadia (Windia dan Sudantra, 2006: 71).

Dalam kehidupan kesehariannya, perilaku masyarakat Bali juga mendasarkan pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana. Falsafah hidup Tri Hita Karana sangat menekankan adanya keharmonisan dan keseimbangan hidup antara manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip ini terinternalisasi dan terinstitusionalisasi dalam struktur sosial masyarakat Bali dan menjadi pandangan hidup masyarakat Bali, baik dalam mengembangkan sistem


(11)

3

pengetahuan, pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, seni, dan sebagainya. Pada akhirnya falsafah Tri Hita Karana ini menjadi ideologi dan core values (inti ajaran) dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali. Ideologi dan core values inilah yang kemudian menjadi landasan bagi standar peraturan yang digunakan institusi-institusi utama, seperti kuren dan dadia, sekaa (organisasi tradisional), subak (organisasi pengairan) dan desa pakramanan di Bali, dalam mengevaluasi perilaku anggotanya.

Implikasi yang lebih luas dari adanya pandangan yang mengandung core values tersebut adalah, unsur-unsur dalam struktur sosial yang membangun masyarakat Bali senantiasa menerapkan prinsip-prinsip Tri Hita Karana sesuai dengan lingkungan kehidupannya. Pada tataran individu, manusia Bali sebagai bagian dari lingkungan dunia mikrokosmos, meyakni bahwa kehidupan manusia merupakan wujud yang dinamis dari gerak hubungan unsur-unsur atman (jiwa), prana (tenaga, kekuatan), dan sarira (unsur badan kasar) (Kaler, 1983: 13). Sehubungan dengan itu, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bali mulai dari yang lebih luas sebagai pencerminan dari lingkungan makrokosmos, maupun unit terkecil sebagai pencerminan lingkungan mikrokosmos, menerapkan pola yang sama dalam menciptakan hubungan harmonis dari ketiga unsur di atas. Hal tersebut melandasi pola aktivitas budaya sehari-hari, melalui peneguhan pelaksanaan pada tiga aspek lingkungan hidup yakni, lingkungan spiritual (parhyangan), lingkungan manusia (pawongan), dan lingkungan fisik (palemahan) (Gorda, 1996; Geriya, 2008; Parimartha, 2009).

Fenomena perubahan sosial budaya sebagai akibat dari modernisasi dan globalisasi yang melanda masyarakat Bali akhir-akhir ini, menimbulkan


(12)

4

keprihatinan berbagai elemen masyarakat di Bali. Berbagai elemen tersebut menilai, Bali tengah dihadapkan pada berbagai tantangan, bahkan “ancaman”. Hal yang paling meresahkan adalah, adanya ketakutan akan terancamnya eksistensi ideologi Tri Hita Karana, berikut agama Hindu dan kebudayaan Bali. Globalisasi yang berintikan pada kapitalisme dan perdagangan bebas, diikuti oleh masuknya modal asing, telah membawa Bali terseret pada mekanisme jejaring ideologi pasar. Bali yang menurut istilah Nordholt (2005: xxix) adalah ”benteng terbuka”, tidak kuasa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, bahkan jerat ideologi pasar ini membawa Bali pada sebutan “MacDonaldisasi of Bali” atau “Coca-Colanisasi of Bali” (Inside Indonesia, Desember 1994; Atmadja, 2010). Sebutan ini merujuk pada maraknya perusahaan multinasional kelas dunia yang berkembang di Bali seperti: Coca Cola, Mc Donald, KFC, Pizza Hut, dan produk-produk lain yang sebagian besar berpusat di Amerika. Oleh karena itu, dalam istilah lain, Bali juga dapat dikatakan telah mengalami gejala “Amerikanisasi” atau “Westernisasi”.

Fenomena di atas memberi petunjuk, bahwa globalisasi dan modernisasi adalah sebuah persoalan besar yang berpotensi membuat segala sesuatunya berubah. Potensi terjadinya perubahan sosial budaya semakin menguat, sebagai akibat dari perkembangan pariwisata yang telah mengarah pada komodifikasi. Kemajuan dan perkembangan pariwisata juga memunculkan persoalan lain, yakni berkenaan dengan etnik pendatang. Burhanuddin (2009) dan Sukarma (2009) menunjukkan, kehadiran pendatang melahirkan konsep pemisahan dan pemilahan antara penduduk asli (pribumi) dan pendatang melalui kategorisasi beroposisi


(13)

5

(binary opposition). Kondisi ini turut membentuk karakter orang Bali yang penuh dengan perasaan curiga, terlebih sikap itu dijustifikasi melalui simbol kultural.

Pada akhirnya, sikap tersebut memunculkan paham etnosentrisme. Pendatang, sebagaimana disebutkan Degung Santikarma (Bali Post, 2004) sering ditempatkan sebagai sumber masalah (trouble makers), yang tidak saja mengancam sumber nafkah mereka, tetapi juga ditempatkan sebagai ancaman terhadap identitas budaya mereka. Pendatang dianologikan sebagai perusak identitas, karena ia datang dengan latar belakang adat, budaya, dan keyakinan yang berbeda; sedangkan penduduk asli (etnik Bali) adalah penjaga tradisi dan kemurnian identitas. Kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa ancaman terhadap identitas enik Bali juga berasal dari etnik-etnik lain yang bermigrasi ke Bali.

Berbagai persoalan di atas dikhawatirkan dapat berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya masyarakat Bali. Karakter budaya lokal luntur, dikalahkan budaya barat maupun budaya luar yang masuk ke Bali, dibawa oleh pendatang maupun wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali. Apabila tidak segera diambil langkah-langkah penyelamatan, kondisi tersebut dapat menggangu eksistensi ideologi Tri Hita Karana dan kekokohan agama Hindu.

Sebagai tanggapan atas kekhawatiran tersebut, berbagai kalangan masyarakat Bali memunculkan suatu wacana yang kemudian berkembang sebagai sebuah gerakan politik identitas yang bertujuan mengembalikan Bali pada identitasnya semula. Gerakan tersebut dikenal dengan gerakan Ajeg Bali. Kemunculan gerakan Ajeg Bali adalah jawaban terhadap dampak dari pencitraan atas Bali yang memiliki citra amat populer tidak saja pada tataran nasional, tetapi


(14)

6

juga pada tataran global, yakni: pertama, citra Bali yang turistik; kedua, citra Bali dengan identitas budaya yang tunggal dan homogen; dan ketiga adalah citra tentang Bali dengan keajegan budayanya. Dalam citra yang ketiga ini, Bali dibayangkan memiliki kultur dan tradisi yang senantiasa tegar (ajeg); citra budaya Bali yang tegar inilah yang tereproduksi sampai saat ini melalui ikon Ajeg Bali (Vikers, 1989; Picard, 1997; Dwipayana, 2005).

Menguatnya fenomena Ajeg Bali yang diiringi dengan penguatan identitas kebalian orang Bali, yang diikuti oleh munculnya sikap etnosentris, melahirkan faham Baliisme, dengan jargonnya “Bali adalah Hindu dan Hindu adalah Bali” (Burhanuddin, 2009: 127). Faham ini antara lain mengukuhkan prasangka etnik dan melahirkan sikap resistensi terhadap nilai-nilai luar yang masuk ke Bali. Dalam konteks ini, pendatang dari luar Bali yang non-Bali dan non-Hindu “tercurigai” sebagai ancaman. Kondisi ini semakin nyata terutama setelah peristiwa Bom Bali I dan II, yang meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat Bali yang berbasis pada pariwisata. Kehancuran basis ekonomi ini berimplikasi luas dan kompleks pada komponen struktur sosial dan superstuktur ideologi masyarakat Bali. Pelaku bom Bali adalah orang luar Bali yang kebetulan beragama Islam. Fakta ini kemudian menimbulkan pemaknaan yang “hipergeneralisasi”, tercermin pada penyamaan bahwa Islam identik dengan kekerasan, dan bahkan identik dengan terorisme. Lebih jauh fakta ini juga menggangu hubungan antara umat Hindu dan Islam di Bali yang secara historis sangat baik dan harmonis, tercermin dari penggunaan idiom “Nyama Bali”- “Nyama Selam”.

Pada akhirnya, Ajeg Bali menyerap seluruh wacana pengetahuan dan pemikiran di Bali, sehingga banyak kalangan mulai dari pejabat birokrasi, tokoh


(15)

7

adat, media massa, sampai akademisi memberi pengakuan dan persetujuan moral intelektual pada kata-kata ini. Mengacu pada gagasan para pakar yang mengkaji tentang Ajeg Bali, misalnya, Suryawan (2009), Sirtha (2005), Subagiasta (2005), Wiana (2005), Wibawa (2005), Titib (2005), Nordholt (2006), Atmadja (2010), dan lain-lain, maka dapat disimpulkan bahwa gerakan Ajeg Bali pada dasarnya merupakan politik identitas yang bertumpu pada cita-cita mempertahankan kebudayaan Bali yang berbasisikan Agama Hindu. Gerakan ini merupakan resistensi terhadap kondisi kebudayaan Bali yang tidak lagi ajeg atau miring sebagai akibat dari adanya globalisasi. Kondisi ini harus dikembalikan agar kondisi yang tidak ajeg menjadi ajeg.

Ajeg Bali sebagai gerakan politik identitas telah memenuhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali baik sosial-religius, budaya, politik, ekonomi, bahkan pendidikan. Untuk itu diperlukan ruang gerak, wadah atau institusi sebagai media sosialisasi dan sarana implementasinya. Salah satu institusi yang paling penting dan menjadi basisnya adalah desa pakraman sebagai institusi sosial-kultural berlandaskan agama Hindu dan ideologi Tri Hita Karana. Sebagai kesatuan hukum masyarakat adat di Bali, desa pakraman mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun, yang diwujudkan dalam ikatan Tri Kahyangan Desa (tiga tempat suci/parhyangan), mempunyai wilayah, dan harta kekayaan sendiri, serta berhak untuk megurus rumah tangganya sendiri (Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Th. 2001).

Desa Pakraman Ubud merupakan salah satu desa pakraman di Ubud, Gianyar, Bali yang menerapkan politik identitas gerakan Ajeg Bali sebagai upaya mempertahankan identitas etnik. Pemertahanan identitas etnik diperlukan, baik


(16)

8

dalam konteks menjaga kemurnian budaya Bali, agama Hindu, ideologi Tri Hita Karana, maupun dalam konteks menjaga identitas pariwisatanya yang bertumpu pada pariwisata budaya. Hal ini penting, mengingat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Pakraman Ubud sebagian besar bertumpu pada sektor pariwisata.

Desa Pakraman Ubud sebagai salah satu desa di Kawasan Pariwisata Ubud menampilkan gejala yang amat menarik. Jika banyak pengamat melihat bahwa pariwisata sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari globalisasi adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan secara drastik pada sistem sosiobudaya masyarakat Bali, ternyata apa yang terjadi di Desa Pakraman Ubud menunjukkan gejala yang sebaliknya. Desa Pakraman Ubud tetap bisa mempertahankan kebudayaan Bali. Padahal dilihat dari Sejarah Keperiwisataan Bali, seperti dikemukakn Picard (2005) dan Atmadja (2009), pengenalan Desa Pakraman Ubud dan sekitarnya dengan pariwisata bukan hal yang baru. Kawasan ini mulai dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata (DTW) pada tahun 1920-an. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya interaksi sosial yang amat intensif dan berlangsung secara terus-menerus antara wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal dengan masyarakat setempat. Bersamaan dengan itu Ubud tidak saja menjadi DTW yang sangat terkenal, tetapi juga sebagai daerah hunian wisata. Dengan adanya kenyataan ini tidak mengherankan jika Atmadja, Atmadja dan Widiastuti (2009) menyebut Desa Pakraman Ubud sebagai Kampung Global di Bali. Label ini berkaitan erat dengan adanya kenyataan bahwa wisatawan yang berkunjung dan atau menetap di Desa Pakraman Ubud berasal dari berbagai negara. Selain wisatawan, banyak pula etnik pendatang dari luar Bali yang bekerja dan menetap di Desa Pakraman Ubud. Baik wisatawan maupun pendatang membawa budaya asli


(17)

9

mereka, sehingga Desa Pakraman Ubud sebagai Kampung Global, sekaligus juga berbudaya global.

Walaupun Desa Pakraman Ubud berkembang menjadi Kampung Global dan bercorak multikultur bahkan bisa pula disebut multietnik, namun warga Desa Pakraman Ubud masih tetap bisa mempertahakan identitas kebudayaannya, yakni kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali yang mereka kembangkan, memang tidak lagi bersifat tradisionalis, melainkan bercorak post-tradisionalis. Artinya, warga Desa Pakraman Ubud memang telah melewati masa kebudayaan tradisional, namun bukan meninggalkannya, melainkan membentuk suatu pola campuran yang harmonis antara kebudayaan tradisional Bali dan kebudayaan modern. Kondisi ini menarik dikaji, terutama berkaitan dengan latar belakang dan motif atau alasan maknawi yang menyebabkan mereka mempertahankan identitas kebudayaannya.

Dalam rangka menerapkan atau mengimplentasikan politik identitas gerakan Ajeg Bali, Desa Pakraman Ubud memerlukan media sebagai agen sosialisasi. Hal ini mengingat bahwa kebudayaan menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan adalah milik masyarakat (Atmadja, 2010, 2011; Koentjaraningrat, 1982; Keesing (1992). Namun kesatuan antara masyarakat dan kebudayaan tidak terjadi secara otomatis, melainkan memerlukan proses pendidikan, yang di dalamnya melibatkan proses enkultulrasi, sosialisasi, maupun ideologisasi. Pendidikan membutuhkan agen pendidikan atau agen sosialisasi. Untuk itu, masyarakat Bali termasuk juga masyarakat Desa Pakraman Ubud mengenal berbagai agen sosialisasi atau lembaga pendidikan tradisional yang lazim pula disebut simpul-simpul budaya Bali.


(18)

10

Agen sosialisasi tradisional tersebut di dalamnya mencakup kuren (keluarga batih), dadia (klen kecil patrilineal), desa pakraman (komunitas berbasis adat dan agama Hindu), desa dinas (desa administrasi), subak (organisasi pertanian) dan sekaa (pekumpulan sukarela atas dasar kepentingan) (Geertz dan Geertz, 1975; Atmadja, 1998, 2010b). Agen-agen sosialisasi ini memainkan peran penting dalam menjaga kelanggengan identitas etnik Bali melalui sistem pendidikan yang lazim disebut pendidikan informal.

Dengan masuknya modernisasi, maka selain mengenal agen sosialisasi tradisional, Desa Pakraman Ubud juga mengenal agen sosialisasi modern, yakni sekolah. Pengamatan kancah menunjukkan, bahwa di dalam wilayah Desa Pakraman Ubud, tidak saja ada Sekolah Dasar (SD), tetapi juga SMPN dan SMAN RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Intenasional). Berbagai jenjang lembaga pendidikan formal ini memainkan peran penting dalam mewujudkan pencapaian gerakan Ajeg Bali. Pada sekolah-sekolah ini dilembagakan kebudayaan Bali melalui apa yang disebut Pendidikan Kebudayaan Bali (PKB). PKB dituangkan dalam berbagai bentuk matapelajaran, yakni Agama Hindu, Bahasa Daerah, dan Muatan Lokal. Selain itu berbagai konsep maupun prinsip tentang kebudayaan Bali bisa pula diintegrasikan pada bidang-bidang studi yang relevan, misalnya Pendidikan IPS.

Agen pendidikan lain yang tidak kalah pentingnya adalah media massa, terutama Televisi (TV) dan Surat Kabar. Peran media massa sangat penting bagi pelembagaan suatu kebudayaan. Dengan adanya kenyataan ini tidak mengherankan jika media massa, terutama TV sangat penting bagi pelembagaan kebudayaan Bali. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan, di mana pengamatan


(19)

11

kancah menunjukkan bahwa hampir semua keluarga yang berada pada kawasan Desa Pakraman Ubud pasti memiliki TV. Data ini menandakan bahwa peran media terutama TV sebagai agen pendidikan dalam konteks pemertahanan kebudayaan Bali tidak bisa diabaikan.

Agen-agen sosialisasi tersebut, baik secara terpisah maupun secara berkomplementer, dengan memakai metode pendidikan informal maupun metode pendidikan formal, sangat penting bagi pemertahanan kebudayaan Bali yang berkembang pada Desa Pakraman Ubud. Agen-agen pendidikan tersebut memiliki fungsi bagi komunitas, yakni apa yang disebut fungsi latent, yakni pemeliharaan pola yang tersembunyi yang terkait dengan masalah pemeliharaan nilai dan sistem. Nilai dan sistem yang dipelihara adalah nilai-nilai kebudayaan Bali yang memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup masyarakat Bali. Pencapaian sasaran ini bukan aktivitas yang sekali jadi, melainkan terbentuk melalui suatu proses yang berkelanjutan.

Gerakan Ajeg Bali sebagai politik identitas yang berkembang pada masyarakat Bali, termasuk di Desa Pakraman Ubud, di satu sisi berdampak positif, yakni memperkuat identitas kebalian orang Bali. Namun di sisi yang lain bisa memunculkan etnosentrisme yang berlanjut pada kegiatan me-liyan-kan etnik lain sehingga kemunculan kekerasan, yakni kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan kultural acap kali tidak terhindarkan (Atmadja, 2010). Begitu pula Barker (2004) dan Munawar-Rachman (2010) menunjukkan bahwa politik identitas, apa pun labelnya, apakah berlabel budaya maupun agama, sangat rentan akan konflik yang berlanjut dengan kekerasan. Pendek kata, politik identitas di satu sisi bisa mengembangkan integrasi sosial di kalangan etnik Bali berdasarkan penguatan


(20)

12

identitas kebalian orang Bali, namun di sisi yang lain peluang bagi timbulnya konflik baik konflik over maupun latent yang disertai dengan kekerasan selalu terbuka adanya.

Bertolak dari pemikiran di atas, maka implementasi politik identitas melalui gerakan Ajeg Bali dalam rangka kebertahanan kebudayaan Bali di Desa Pakraman Ubud menarik dipertanyakan, sekaligus menjadi alasan penting yang melandasi penelitian ini. Hal ini tidak saja dilihat dari segi latar belakang atau alasan maknawinya (mengapa mereka melakukan pemertahanan identitas etnik melalui gerakan Ajeg Bali), tetapi juga tentang proses sosialisasi yang dilakukan oleh agen-agen pendidikan yang ada di kawasan Desa Pakraman Ubud (bagaimana proses sosialisasi, enkultulrasi dan ideologisasi yang berlangsung pada agen-agen sosialisasi tradisional maupun modern atau informal maupun formal). Kedua pertanyaan ini penting mengingat bahwa kebertahanan suatu sistem budaya tidak terjadi secara otomatis, melainkan melalui suatu proses atau tunduk pada asas prosesual berwujud sosialisasi, enkulturasi atau ideologisasi.

Berkenaan dengan kedua permasalahan di atas, maka pemertahanan identitas etnik Bali yang berlaku di Desa Pakraman Ubud juga penting dilihat dari segi implikasinya. Apakah gerakan politik identitas yang berkembang di Desa Pakraman Ubud hanya berimplikasi integratif dengan berlandaskan pada penguatan identitas kebalian atau sebaliknya, menimbulkan implikasi yang berdampak pada hubungan antaretnik di Desa Pakraman Ubud, mengingat Desa Pakraman Ubud tidak lagi bercorak monokultur, tetapi multikultur.

Mengacu pada paparan di atas, politik identitas gerakan Ajeg Bali sebagai konsep kearifan lokal pemertahanan identitas etnik yang dikaji dalam penelitian ini,


(21)

13

akan dilihat dari perspektif pendidikan. Dalam konteks ini, Ajeg Bali adalah proses pendidikan dan pembudayaan (enkulturasi), yang juga sangat relevan sebagai kajian pendidikan IPS, khususnya pendidikan IPS yang diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini mengingat pendidikan IPS dapat dilihat dari dua kepentingan, yakni kepentingan yang didasarkan pada tujuan pendidikan formal sebagaimana dikembangkan dalam kurikulum pendidikan IPS di sekolah-sekolah, dan pendidikan IPS sebagai bentuk aplikasi dan memraksis dalam kehidupan sosial budaya masyarakat (Al Muchtar, 2001; 2002). Ajeg Bali sebagai kajian pendidikan IPS yang memraksis dalam kehidupan masyarakat juga sangat relevan dan penting untuk diakomodasi dalam kurikulum pendidikan IPS di persekolahan. Dalam konteks ini Ajeg Bali dapat digunakan sebagai sumber belajar IPS yang memberikan pengetahuan praktis kepada siswa tentang kehidupan sosial budaya yang berkembang di lingkungannya.

Ajeg Bali sebagai proses pendidikan IPS akan dikaji melalui pendekatan yang komprehensif, yakni pendekatan multidisipliner sebagaimana yang dikembangkan dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Cakupan multi disiplin ilmu dikembangkan oleh pendidikan IPS, yang berangkat dari konsep Social Studies. Social Studies dipancangkan pertama kali oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937, didefinisikan sebagai “…the social studies are the social sciences simplified pedagogical purpose…social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan” (Barr, dalam Winataputra, 2001: 20). Pengertian ini kemudian dibakukan dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan di Amerika, sebagai: “The Social Studies Comprised of those aspects of: history, economic, political science, sociology, anthropology, psychology,


(22)

14

geography, and philosophy wich in practice are selected for purposes in schools and colleges...” (Barr, dalam Winataputra, 2001: 20). Maksudnya, bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat, yang dipilih untuk tujuan pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi (Winataputra, 2001). Mengacu pada pemahaman tersebut, maka kajian tentang gerakan Ajeg Bali sebagai politik identitas pemertahanan identitas etnik, dapat dilihat dari perspektif pendidikan, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, politik, bahkan agama.

Sebagai kajian ilmu, IPS menjadi salah satu mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Pendidikan Nasional dan diajarkan mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) (Al Muchtar, 2001; Somantri, 2001). Berkenaan dengan itu, kajian tentang Ajeg Bali juga sangat relevan sebagai materi pilihan dalam pembelajaran IPS. Studi pendahuluan menunjukkan, gerakan Ajeg Bali dalam konteks sosial, budaya, kemasyarakatan, dan dalam konteks perubahan sosial, merupakan isu penting yang sangat relevan sebagai materi pembelajaran pendidikan IPS. Konteks ini berkaitan dengan masalah-masalah etnisitas, integrasi nasional, maupun nasionalisme.

Mengacu pada berbagai paparan di atas, maka penelitian tentang politik identitas gerakan Ajeg Bali ini sangat penting dilakukan, dan diharapkan menjadi masukan atau rekomendasi bagi pelaksana pendidikan IPS di berbagai jenjang sekolah, agar mulai memasukkan materi terkait isu-isu Ajeg Bali dalam kurikulum pendidikan sekolah mereka. Pendidikan IPS yang diberikan di sekolah-sekolah di Bali, dapat menguatkan mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu, Bahasa Daerah dan Muatan Lokal sebagai mata pelajaran inti yang bermuatan Ajeg Bali. Di sisi


(23)

15

lain, hal ini juga sangat memungkinkan, mengingat pendidikan IPS juga dapat dilihat sebagai suatu proses enkulturasi atau pembudayaan, baik itu pembudayaan nilai-nilai kemanusiaan, pembudayaaan dalam konteks pewarisan budaya (transmission of culture), pembudayaan dalam konteks ideologi bangsa, pembentukan nation character building, maupun pembudayaan nilai-nilai pengetahuan yang terdapat dari disiplin ilmu bersangkutan (Cohen, 1971; Widja, 2002; Azra, 2002; Tillar, 2007; Suyanto, 2006). Pemahaman ini tidak terlepas dari pandangan filsafat ilmu seperti empirisme, positivisme, rasionalisme, dan idealisme, maupun filsafat ilmu pendidikan yang mendasari pendidikan IPS, seperti filsafat esensialisme, perenialisme, progresivisme, maupun rekontruksionalisme (Ornstein dan Levine, 1985; Somantri, 2001).

Dalam implementasinya, pendidikan IPS sebagai sarana pendidikan kebudayaan Bali, dapat diwujudkan melalui kurikulum pendidikan IPS maupun kurikulum muatan lokal. Kurikulum muatan lokal memungkinkan pendidikan IPS mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan isu-isu penting di daerah, sebagaimana dikemukakan Dakir (2004):

Dalam kurikulum muatan lokal, proses pembelajaran di sekolah dapat dilaksanakan secara intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Begitu pula bahan yang ada pada muatan lokal dapat tercantum pada intrakurikuler, misalnya; berbagai mata pelajaran yang termasuk dalam bidang studi kesenian dan keterampilan, bahasa (bahasa daerah dan Inggris) dan beberapa topik atau subtopik pokok bahasan yang bernaung dalam bidang studi IPA dan IPS, dan pelajaran lainnya (Dakir, 2004: 108-109).

Berdasarkan definisi tersebut, melalui materi-materi pilihan yang relevan dengan konteks pemertahanan identitas etnik, maka Pendidikan IPS yang diberikan di sekolah-sekolah di Bali dapat mendukung strategi pendidikan kebudayaan Bali. Materi IPS yang disesuaikan dengan muatan lokal juga sangat dimungkinkan untuk


(24)

16

dilaksanakan, yakni dengan merujuk pada konten atau ruang lingkup materi ajar pendidikan IPS di sekolah menengah, yang menyangkut aspek-aspek: (1) Manusia, Tempat dan Lingkungan; (2) Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan; (3) Sistem Sosial dan Budaya; (4) Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan (Kurikulum Pendidikan IPS, 2006).

Paparan di atas menunjukkan, bahwa kajian tentang gerakan Ajeg Bali sangat penting, tidak saja karena masalah tersebut sangat aktual dan mendominasi berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali saat ini, tetapi juga dalam konteks pengembangan sumber belajar IPS, yakni dengan menggali masalah sosial-masyarakat sebagai sumber belajar IPS. Masalah penelitian ini juga menarik, tidak semata-mata dilihat dari akibat adanya penguatan identitas kesukubangsaan, tetapi terkait pula usaha mewujudkan cita-cita ideal bagi penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan IPS, antara lain mewujudkan manusia yang menjunjung tinggi asas multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian, yakni:

1. Mengapa masyarakat Desa Pakraman Ubud melakukan pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali ?

2. Bagaimana pola penyelenggaraan pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali di Desa Pakraman Ubud, baik yang berlangsung pada masyarakat sebagai agen sosialisasi tradisional, maupun pada sekolah sebagai agen sosialisasi modern ?


(25)

17

3. Bagaimana implikasi adanya pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali terhadap hubungan antaretnik di Desa Pakraman Ubud ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali dan bagaimana hal itu berlangsung pada Desa Pakraman Ubud dengan melibatkan berbagai agen pendidikan, baik pendidikan informal melalui berbagai institusi tradisionalnya, maupun pendidikan formal yakni sekolah. Pemahaman ini penting, tidak saja guna memperkuat dan menambah pengetahuan ilmu sosial, tetapi bisa pula memberikan pengayaan, pengembangan atau bahkan sebagai sumber materi bagi pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bahkan yang tidak kalah pentingnya, pemahaman teoretis yang didapat bisa pula berguna bagi pengembangan Desa Pakraman Ubud sebagai desa wisata yang mengglobal, tanpa kehilangan identitas kebalian-nya dan sekaligus terbebas dari konflik.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan permasalahan-permasalahan di atas, yakni:

(1) Mengungkapkan latar belakang munculnya upaya pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali di Desa Pakraman Ubud.


(26)

18

(2) Mengungkapkan pola penyelenggaraan pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali di Desa Pakraman Ubud. (3) Menemukan implikasi atau dampak dari penerapan pemertahanan

identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali terhadap hubungan antaretnik di Desa Pakraman Ubud.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat bermanfaat, baik secara teoritik maupun praktis yakni sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretik

Secara teoritik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana Desa Pakraman Ubud mempertahankan citra dan identitasnya, baik identitas etnik yang melekat sebagai ciri khas institusi desa pakraman, maupun identitasnya sebagai kawasan pariwisata budaya. Hal ini penting, karena dengan demikian Desa Pakraman Ubud sekaligus mengemban dua misi sekaligus, yakni: pertama, sebagai sebuah desa adat/desa pakraman yang berada pada lingkup budaya dan Pemerintah Provinsi Bali, mempertahankan identitas etnik orang Bali adalah merupakan tugas dan kewajibannya, seperti juga desa-desa pakaraman lainnya. Kedua, mempertahankan identitas etnik berarti juga mempertahankan komoditas pariwisatanya yang bertumpu pada potensi adat, budaya, dan agama. Jika identitas ini pudar, maka pariwisata budaya yang menjadi andalan Ubud juga akan pudar.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi pengembangan wawasan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Pendidikan IPS. Kajian penelitian yang


(27)

19

dikembangkan Program Studi Pendidikan IPS Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, selama ini masih didominasi oleh penelitian-penelitian yang berdimensi pendidikan dan pembelajaran IPS di sekolah-sekolah. Sementara itu kajian ilmu-ilmu sosial yang berbasis pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan di lapangan, seperti fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, jender, dan sebagainya masih jarang dilakukan.

Masalah ini juga sangat relevan dan dapat memperkaya studi Pendidikan IPS, baik dalam konteks kajian secara multi disipliner, maupun dalam rangka melahirkan rekomendasi penelitian, yakni dikembangkannya isu-isu etnisitas termasuk tetang Ajeg Bali dan isu-isu kearifan lokal lainnya dalam struktur materi IPS di sekolah-sekolah.

Secara khusus, manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

(1) Mengembangkan konsep tentang gerakan Ajeg Bali sebagai sebuah gerakan politik identitas.

(2) Memberikan manfaat dalam rangka pengembangan konsep, proposisi, maupun teori baru dalam hubungan dengan konteks sosil-budaya masyarakat Bali.

(3) Memberikan masukan kepada para pemikir, pengambil kebijakan dan peneliti lebih lanjut untuk mengembangkan penelitian berikutnya.

(4)Memberi manfaat kepada masyarakat umum yang ingin mengetahui Bali dari sisi yang lain.


(28)

20 E. Klarifikasi Konsep

Dalam penelitian ini digunakan beberapa istilah atau konsep yang memerlukan penjelasan atau pembatasan, yakni sebagai berikut:

1. Ajeg Bali

Istilah Ajeg Bali berasal dari dua kata, “Ajeg” dan “Bali”, yang secara harfiah kedua kata tersebut memiliki artinya masing-masing. Dalam Kamus Bali-Indonesia (1993: 9) kata: “ajeg”= tegak, kukuh (peraturan); “ajegan”=tegakkan. Contoh penggunaan kata ini seperti: “ajegang awig-awig desane” (=tegakkan peraturan desa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 13), terdapat kata “ajek” yang memiliki arti yang sama, yakni: tetap; teratur; tidak berubah. Kata “ajek” merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Jawa, yang mempunyai makna yang sama dengan kata “ajeg”. Sedangkan kata “Bali” merujuk pada Pulau Bali atau Propinsi Bali yang secara hukum, geografis, dan politis merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian Ajeg Bali dapat diartikan sebagai “meng-ajeg-kan Bali” atau “Bali yang ajeg”. Merujuk pada arti kata “ajeg” tersebut maka Bali yang ajeg, berarti adalah, “Bali yang kokoh, teratur, tegak, stagnan, mantap, tidak berubah”.

Dalam konteks penelitian ini, Ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah politik identitas atau gerakan pemertahanan identitas etnik Bali. Gerakan ini bertujuan mengembalikan masyarakat Bali dalam konteks pengamalan ajaran agama Hindu dan kebudayaan Bali, atau disebut pula sebagai re-Baliisasi dan re-Hinduisasi.

2. Politik Identitas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 417) menunjukkan bahwa identitas mengandung beberapa arti, yakni; kesamaan; persamaan; jati diri; yang berarti pula


(29)

21

ciri khusus seseorang. Menurut Tilaar (2007: 16) identitas merupakan konsep yang sangat erat kaitannya dengan etnisitas. Identitas sering pula dikaitkan dengan stereotip-stereotip, baik yang positf maupun negatif dari suatu etnik.

Politik secara umum dapat diartikan sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan suatu negara; politik juga mengandung arti; cara bertindak dalam mengatasi atau menangani suatu masalah” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995: 780).

Dari dua deskripsi tersebut, maka politik identitas sebagaimana dikemukakan Cressida Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007) dapat diartikan sebagai “tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan”. Politik identitas juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perbedaan etnik di mana simbol-simbol kebudayaan masih digunakan sebagai ciri suatu kelompok. Jadi, politik identitas seperti dikatakan Barker (2003) dan Sarup (2008), terletak pada pandangan bahwa manusia dapat bertindak secara sengaja dan secara kreatif guna membentuk dan mempertahankan identitas etniknya.

3. Desa Pakraman

Dalam sistem pemerintahan desa di Bali dikenal dua sistem pemerintahan, yakni desa dinas dan desa adat atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan desa pakraman. Kedua jenis desa tersebut memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Desa pakraman mengatur masalah adat dan agama, sedangkan desa dinas


(30)

22

mengatur urusan administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintah desa di bawah kecamatan (Sirtha, 2008: 2).

Secara formal, istilah desa pakraman dimuat dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Dalam Perda tersebut dijelaskan pengertian desa pakraman, yakni: “…kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Tri Kahyangan Desa (Tiga Pura Pusat yang melandasi desa pakraman di Bali), yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.

4. Pariwisata

Konteks penelitian ini tidak terlepas dari masalah pariwisata, sebagai setting latar Desa Pakraman Ubud, yang dikenal sebagai kawasan pariwisata budaya. Dalam Undang-Undang Kepariwisataan (Undang-Undang RI No. 10/2009), dijelaskan bahwa “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah”. Sedangkan pengertian pariwisata budaya sebagaimana dikemukakan Yoeti (2006: 26) adalah jenis kegiatan pariwisata yang objeknya adalah kebudayaan. Objek daya tarik wisata budaya itu dapat berkisar pada beberapa hal, seperti: kesenian, baik seni rupa maupun segala bentuk seni pertunjukan, tata busana, tata boga, upacara adat, demonstrasi kekebalan dan komunikasi dengan alam gaib, lingkungan binaan, serta keterampilan-keterampilan khusus fungsional, seperti membuat kerajinan, dan


(31)

lain-23

lain. Objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar lebih menarik.

5. Globalisasi

Globalisasi antara lain dapat dijabarkan dari asal katanya yakni “global” , yang maknanya adalah universal. Pengertian dan pendefinisian globalisasi sangat luas, sehingga pemaknaannya tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia semakin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya setempat (Brunsvick dan Danzin, 2007).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi disesuaikan dengan keluasan cakupan penelitian, di mana hasil dan pembahasan masing-masing permasalahan penelitian dipaparkan pada bab-bab tersendiri. Model sistematika seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan pemaparan dan pencermatan. Secara keseluruhan disertasi terdiri dari delapan bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

BAB II: Kajian Teori dan Kerangka Pemikiran BAB III: Metode Penelitian

BAB IV: Memaparkan gambaran umum lokasi penelitian

BAB V: Memaparkan pembahasan dari permasalahan penelitian pertama. BAB VI: Memaparkan pembahasan dari permasalahan penelitian kedua. BAB VII: Memaparkan pembahasan dari permasalahan ketiga


(32)

127 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research (Creswell, 1998) dengan menggunakan rancangan atau desain penelitian kualitatif. Dengan demikian, penekanannya bukan pada pengukuran, melainkan pada pemaknaan dan konteks pendeskripsian (Mulyana, 2001; Irawan, 2006). Pendeskripsian yang terkait dengan pemaknaan akan bersifat rich and thick description (Creswell, 1989), yakni suatu pendeskripsian yang kaya dan tebal, bersifat holistik, emik dan etik,tentang bentuk, fungsi, dan makna yang tampak maupun makna yang tersirat di balik suatu teks tertulis atau lisan, dan teks sosial dalam bentuk fenomena sosial budaya yang ada di balik perilaku individu atau masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat Desa Pakraman Ubud dengan berbagai pranata sosial-budaya-religius yang mengaturnya.

B. Pendekatan Penelitian

Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Desa Pakraman Ubud mengiplementasikan politik identitas gerakan Ajeg Bali, sebagai upaya mempertahankan identitasnya, baik identitas etnik yang melekat sebagai ciri khas institusi desa pakraman berikut krama desa yang menjadi anggotanya, maupun identitasnya sebagai kawasan pariwisata budaya. Agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal, dalam pelaksanaannya digunakan pendekatan etnografi, yang lazim digunakan dalam kajian yang bersifat sosial-budaya. Etnografi adalah metode riset yang menggunakan observasi langusng terhadap kegiatan manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari-hari. Tujuan utama dari kegiatan etnografi


(33)

128

adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Dalam konteks penelitian ini, metode etnografi digunakan dengan sasaran untuk memahami segala aktivitas sosial masyarakat termasuk di dalamya memahami pula berbagai teks tertulis maupun lisan dan teks sosial dalam perspektif pelakunya (emik), yakni masyarakat Desa Pakraman Ubud, Bali berserta segala institusi sosial-religiusnya (Bungin, 2003).

Dalam rangka menganalisis temuan, pendekatan etnografi dibantu dengan metode dekonstruksi dan metode semiotika. Dekonstruksi mengandalkan pola pikir kritis dalam konteks membongkar suatu teks guna menemukan ideologi dominan yang ada di baliknya. Metode ini digunakan untuk mencermati dan memahami berbagai bentuk permainan kekuasaan yang dilakukan pihak pengelola desa pakraman untuk menghegemoni krama desa (warga) Desa Pakraman Ubud dalam rangka mengimplementasikan gerakan pemertahanan identitas etnik melalui politik identitas gerakan Ajeg Bali. Sedangkan semiotika adalah ilmu tentang tanda atau penanda, atau dapat pula dikatakan sebagai metode analisis untuk mengkaji tanda atau penanda. Dalam konteks penelitian ini, semua gejala atau fenomena sosial terkait dengan upaya pemertahanan identitas etnik diposisikan sebagai tanda. Ini meliputi seluruh institusi sosial-religius maupun institusi formal, yakni sekolah yang berfungsi sebagai agen sosialisasi, maupun tanda bahasa yang terdapat pada teks seperti lontar, awig-awig, perarem desa (perangkat tata aturan), perangkat pembelajaran, seperti kurikulum, silabus, RPP, dsb (Piliang, 2006: 30-34).

C. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Pakraman Ubud yakni salah satu desa pakraman yang berada di wilayah Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud,


(34)

129

Kabupaten Gianyar, Bali. Desa Pakraman Ubud memiliki empat banjar adat (bagian dari desa pakraman) yakni: (1) Banjar Ubud Kaja, (2) Banjar Ubud Tengah, (3) Banjar Ubud Kelod, dan (4) Banjar Sambahan.

Dipilihnya Desa Pakraman Ubud sebagai lokasi penelitian didasarkan beberapa alasan lainnya, yakni:

1. Desa Pakraman Ubud berada di pusat wilayah Kelurahan Ubud yang sekaligus merupakan zona inti Kawasan Pariwisata Ubud. Kelurahan Ubud berstatus sebagai desa dinas dan menjadi basis kegiatan pemerintahan lokal dan pelayanan administratif dalam sistem desentralisasi.

2. Desa Pakraman Ubud sebagai zona inti Kawasan Pariwisata Ubud memiliki kompleksitas masalah yang tinggi sebagai akibat perkembangan pariwisata. Kondisi ini menyebabkan Desa Pakraman Ubud sangat terbuka dengan dunia luar, baik dalam konteks globalisasi dan modernisasi, maupun dengan kedatangan etnik dari luar Bali.

3. Kekuatan Desa Pakraman Ubud didukung oleh Puri Ubud yang merupakan penyokong utama dan salah satu agen sosialisasi gerakan pemertahanan identitas etnik. Puri Ubud memainkan peran penting dalam menguatkan kebijakan desa pakraman.

Adapun lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut:


(35)

130 Peta Propinsi Bali

Peta Kabupaten Gianyar Lokasi Desa Pakraman Ubud

Gambar 3.1

Lokasi Desa Pakraman Ubud dalam Peta Propinsi Bali dan Peta Kabupaten Gianyar

Sumber: http://www.indonesia tourism.com/bali/map/htm/bali-map.htm, januari 2010.

D. Subjek Penelitian dan Teknik Penentuan Informan

Berdasarkan desain penelitian di atas, subjek penelitian ini adalah semua unsur yang berperan sebagai aktor atau agen sosialisasi pemertahanan identitas etnik. Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti berhubungan dengan beberapa informan, baik informan kunci maupun informan pendukung. Keseluruhan informan adalah orang-orang yang memahami berbagai aspek yang terkait dengan masalah penelitian. Mereka diseleksi dan ditunjuk sebagai informan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Penunjukan informan diawali dengan penentuan informan kunci atau key informant. Selanjutnya penunjukan informan akan dikembangkan pada saat penelusuran lapangan dengan mengggunakan teknik snowball. Jumlah informan tidak dibatasi sejak awal,


(36)

131

melainkan tergantung pada tingkat kejenuhan data yang akan dikumpulkan sesuai prinsip kerja penelitian kualitatif (Spradley, 1979).

Informan kunci terdiri dari para tokoh adat dan agama. Mereka adalah Bendesa Adat (kepala adat) Ubud, Kelihan Banjar (kepala banjar), Pelingsir (tokoh) Puri, pemuka agama dari Geriya, para ketua sekaa (organisasi sosial tradisional), pengurus subak, pecalang (pengaman desa), dan krama desa (warga desa) Ubud, baik yang mewakili kuren (keluarga) maupun dadia (klen). Selain itu ditunjuk pula tokoh dari desa dinas, yakni Lurah, Ketua LPM, Yayasan Bina Wisata Ubud, dsb. Informan kunci lainnya adalah dari unsur pendidikan, yakni sekolah dan guru yang juga berperan sebagai agen sosialisasi pemertahanan identitas etnik. Sekolah yang ditunjuk adalah sekolah-sekolah yang berada di wilayah Desa Pakraman Ubud, yang mewakili jenjang SD-SMA, yakni SDN 1 Ubud, SMPN 1 Ubud dan SMAN 1 Ubud.

Sedangkan informan pendukung diambil dari unsur pemerintah dan dinas-dinas terkait seperti Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan. Instansi-instansi ini sangat penting keberadannya dalam konteks koordinasi kebijakan maupun sebagai mitra pendukung kebijakan. Informan yang juga penting adalah para pendatang yang berdomisili di Desa Pakraman Ubud. Penunjukan mereka sebagai informan adalah karena mereka merupakan bagian dari kehidupan multi etnik di kawasan Ubud, dan bagian dari kehidupan pariwisata itu sendiri.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data atau informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian akan dikumpulkan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yakni:


(37)

132 1. Teknik Wawancara

Informan yang telah ditetapkan sebagai sumber informasi akan diwawancarai secara mendalam (in-dept interviw) dan terbuka (open-ended), untuk menggali, memahami dan mengetahui pola pikir mereka terhadap kasus atau permasalahan penelitian yang diajukan. Agar wawancara mendalam dan terbuka dapat berlangsung secara terarah, maka peneliti merujuk pada pedoman wawancara yang telah disusun sebagai perangkat atau instrumen penelitian yang memuat pokok-pokok pikiran yang terkait dengan masalah yang dikaji (lihat lampiran 05). Dengan cara ini wawancara diharapkan berlangsung secara fleksibel. Begitu pula informasi yang digali, tidak saja bertumpu pada apa yang mereka ucapkan, tetapi didasarkan pula pada penggalian yang mendalam tentang pemaknaan mereka terhadap ucapan maupun perilaku mereka. Dengan demikian, melalui wawancara mendalam dan terbuka ini akan tergali aspek explicit knowledge yang melekat pada informan. Untuk menghindarkan adanya distorsi data, maka pencatatan hasil wawancara dilakukan secara manual dan atau disertai perekaman dengan menggunakan alat perekam. Pemakaian alat perekam adalah atas persetujuan informan sehingga suasana wawancara tetap berjalan secara alamiah dan semua informan diharapkan tidak keberatan akan perekaman hasil wawancara tersebut. Untuk itu peneliti telah meyakinkan informan, bahwa data yang diberikan sangat berharga dan sama sekali tidak mengganggu privacy informan.

2. Teknik Observasi (Pengamatan)

Observasi yang akan digunakan adalah observasi langsung yang bersifat partisipasi, sehingga peneliti akan tinggal di lokasi penelitian. Observasi atau pengamatan dilakukan terhadap berbagai aktivitas dan perilaku krama desa dan


(38)

133

para tokoh Desa Pakraman Ubud, baik yang terkait dengan pola pemertahanan identitas etnik maupun pola hubungan yang diterapkan desa pakraman dengan etnik-etnik non-Bali. Agar observasi partisipasi dapat berjalan terarah, maka dibuat panduan atau pedoman observasi (lihan lampiran 06). Adapun aspek yang diobservasi, adalah: (1) Latar (setting); (2) Pelibat (participant); (3) Kegiatan dan interaksi (activity and interaction); (4) Frekuensi dan durasi (frequency and duration); (5) Faktor subtil (subtle factor); (6) Peralatan yang mereka gunakan; (7) Waktu berlangsungnya kegiatan; (8) Ekspresi wajah pada saat melakukan kegaiatan ; dan (9) Produk yang dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan (Alwasilah, 2002).

Aspek-aspek yang diamati ditelusuri dari aspek bentuk, fungsi dan pemaknaan kontekstualnya. Segala hal yang diobservasi direkam secara verbal manual, maupun dengan menggunakan alat perekam visual atau kamera (pemotretan). Gambar atau foto yang dihasilkan digunakan sebagai ilustrasi dalam penyajian hasil penelitian, sehingga ketepatan penggambaran, daya tarik, dan daya imajinasi hasil penelitian dapat ditingkatkan secara lebih optimal.

3. Studi Dokumen

Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi dokumen. Dokumen yang dikaji antara lain data statistik yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gianyar, Monografi/Profil Desa Dinas dan Desa Pakraman Ubud, Awig-awig Desa Pakraman Ubud, Perarem Desa/Banjar Ubud, dan segala aturan tertulis lainnya yang berhubungan dengan institusi sosial-religius dan krama desa maupun dengan warga pendatang. Dokumen juga berasal dari lembaga pendidikan formal, yakni sekolah-sekolah yang menjadi subjek penelitian.


(39)

134

Dokumen ini berupa Kurikulum Pendidikan, perangkat pembelajaran dan silabus khususnya untuk Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu, Bahasa Bali, dan Muatan Lokal.

Ketiga teknik pengumpulan data di atas akan digunakan secara bersama-sama dan/atau saling melengkapi dengan tujuan untuk memperkaya temuan, sekaligus sebagai prosedur Triangulasi Data maupun Triangulasi Sumber Data yang diperlukan sebagi proses validitas data.

F. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif tidak mengenal instrumen penelitian yang baku sebagai perangkat penelitian sebagaimana penelitian kuantitatif, karena dalam penelitian kualitatif instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri (Creswell, 1994; 1998 ; Bungin, 2003; 2004; Alwasilah, 2002). Namun sebagai pedoman di lapangan, agar penelitian berlangsung sesuai arah yang dikehendaki berdasarkan fokus permasalahan, disusun pedoman wawancara (interview guide) dan pedoman observasi sebagai instrumen penelitian (lihat lampiran 04 dan 05). Selain itu dilengkapi pula dengan perangkat keras berupa alat perekam, baik untuk merekam kegiatan berupa gambar atau foto, maupun perekam hasil wawancara. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Wallace (1990: 57), bahwa untuk penelitian ilmu sosial, instrumen yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni yang melibatkan organ inderawi manusia tanpa dilengkapi dengan bantuan teknologi selain keahlian, dan organ inderawi manusia yang dilengkapi dengan penggunaan teknologi, berupa fotografi, perekam pita, dan sebagainya.


(40)

135 G. Teknik Verifikasi Data

Teknik verifikasi data digunakan untuk memperoleh data yang memenuhi standar kualitas, sehingga proses penggalian data maupun data yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Mengacu pada Creswell (1998: 2001-2003) terdapat delapan prosedur teknik verifikasi, yakni: (1) Perpanjangan waktu kerja dan observasi yang gigih (prolonged engagement and persistent observation) di lapangan, termasuk membangun kepercayaan dengan para partisipan, mempelajari budaya, dan mencek informasi yang salah yang berasal dari distorsi yang diperkenalkan oleh peneliti atau informan. Di lapangan peneliti membuat keputusan-keputusan apa yang penting dan menonjol untuk dikaji, relevan dengan maksud kajian, dan perhatian untuk difokuskan. Proses ini akan menghasilkan

penelitian etnografis yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan; (2) Triangulasi (triangulation) data, dengan menggunakan seluas-luasnya

sumber-sumber yang banyak dan berbeda, metode-metode, data dari para peneliti, dan teori-teori untuk menyediakan bukti-bukti yang benar (corroborative evidence); (3) Reviu sejawat (peer reviuw) atau debriefing, dengan menyiapkan suatu cek eksternal dari proses penelitian; teman sejawat itu menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit tentang metode, makna dan interpretasi; (4) Analisis kasus negatif (negative case analysis). Si peneliti memperbaiki lagi hipotesis-hipotesis kerjanya selagi penelitian berlangsung berdasarkan bukti/evidensi yang negatif atau tidak memastikan (disconfirming evidence); (5) Klarifikasi bias peneliti (clarifying researcher bias) yang penting dilakukan sejak awal penelitian, sehingga pembaca memahami posisi peneliti dan setiap bias atau asumsi-asumsi yang berdampak pada penelitian. (6) Cek anggota (member checks), peneliti mengumpulkan, mencari,


(41)

136

memohon (solicit) pandangan-pandangan para informan tentang kredibilitas dari temuan-temuan dan interpretasi-interpretasi. Pendekatan ini sangat umum dalam kajian kualitatif, termasuk mengambil data, analisis, interpretasi dan kesimpulan-kesimpulan; (7) Deskripsi yang kaya dan tebal (rich and thick description), yang memungkinkan pembaca membuat keputusan-keputusan mengenai kemampuannya untuk ditransfer (transferability) karena penulis menggambarkan dengan rinci para partisipan atau keadaan/lingkungan (setting) yang sedang dikaji, (8) Odit luar (external audits), dengan memperkenalkan konsultan luar, oditor untuk memeriksa proses dan produk/hasil dari laporan/kisah (account), mengakses akurasinya.

Berdasarkan delapan prosedur verifikasi tersebut, dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga teknik di antaranya, yakni:

(1) Teknik perpanjangan waktu kerja dan observasi yang gigih (prolonged engagement and persistent observation). Di sini peneliti membuat keputusan-keputusan penting dan menonjol untuk dikaji, yang relevan dengan maksud dan tujuan penelitian. Proses ini diawali dengan membangun kepercayaan dengan para informan/partisipan, mempelajari budaya, karakteristik, kebiasaan, maupun perilaku sehari-hari masyarakat Desa Pakraman Ubud.

(2) Teknik triangulasi (triangulation). Teknik ini digunakan sebagai kelanjutan teknik perpanjangan waktu dan observasi, yang dimaksudkan untuk mencek dan ricek data, mengecek informasi yang berasal dari informan, dengan menggunakan seluas-luasnya sumber data, metode, maupun teori-teori, guna mendapatkan bukti-bukti yang benar (corroborative evidence). Melalui teknik ini dilakukan verifikasi terus-menerus.


(42)

137

(3) Dalam menuliskan hasil analisis, peneliti menggunakan model deskripsi yang kaya dan tebal (rich and thick description), yang memungkinkan penulis menggambarkan dengan rinci para partisipan atau keadaan/lingkungan (setting) yang sedang dikaji. Dengan demikian, para pembaca memperoleh informasi atau gambaran yang seluas-seluasnya pula tentang setting yang dikaji, yakni masyarakat Desa Pakraman Ubud.

H. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Oleh karena itu data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif-kualitatif, dengan memadukan antara data emik dan data etik. Teknik analisis ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah, yakni: (1) Reduksi data, (2) Penyajian data, (3) Penafsiran data, dan (4) Menarik kesimpulan (Miles dan Haberman, 1992).

Langkah-langkah tersebut terangkai dalam satu pola kegiatan yang dapat digambarkan dengan bagan 3.1 berikut:

Bagan 3.1:

Prosedur Kerja Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif

Sumber: Miles dan Huberman (1992: 20).

Menarik Kesimpulan/ Verifikasi

Reduksi Data Pengumpulan Data

Penyajian Data


(43)

138

Dengan mengacu pada bagan di atas, dapat dikemukakan bahwa reduksi data meliputi aneka kegiatan, yakni: penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk situasi atau kondisi yang memiliki makna subjektif, dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berwujud penyusunan teks naratif bersifat think description dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi, baik yang berkaitan dengan suatu penampakan maupun ideologi dan dimensi-dimensi kekuasaan atau sosial politik yang ada di baliknya. Penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subjektif, temuan konsep, dan proses universal. Rangkaian kegiatan ini tidak terlepas dari masalah yang ditelaah.

Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan kesimpulan, dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang berkaitan dan bisa berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni etnografi kritis dan holistik serta sarat makna dalam konteks pemberian jawaban terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Untuk itu dukungan dari beberapa metode seperti metode dekonstruksi dan metode semiotika, sangat penting (Atmadja, 2009).

I. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti prosedur dan tahap-tahap penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan: Pada tahap ini peneliti melakukan studi pendahuluan, berupa penentuan lokasi penelitian, kajian lapangan, kajian pustaka dan pengajuan topik penelitian kepada Program Studi IPS. Setelah itu dilakukan tahap persiapan dan pengajuan proposal penelitian.


(44)

139

2. Tahap Pelaksanaan: Setelah proposal diseminarkan dan disetujui Program Studi IPS, dilakukan persiapan penggalian data di lapangan. Dalam tahap ini telah disiapkan perangkat kerja, berupa instrumen penelitian, yakni pedomaman wawancara dan pedoman observasi. Tahap kerja yang paling penting adalah menghubungi para informan dan membuat janji untuk wawancara. Dalam waktu bersamaan juga mulai dilakukan pengamatan/obeservasi langsung dan kajian dokumen tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Tahap Pengumpulan Data: Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan teknik triangulasi. Dalam tahap ini dilakukan cek-ricek dan cros data. Pada saat yang bersamaan juga sudah dilakukan analisis data secara sederhana, karena dalam penelitian kualitatif analisis data dilakukan bersamaan dengan penggalian data.

4. Tahap Tabulasi Data: Pada tahap ini dikakukan tabulasi data sesuai prosedur kerja penelitian kualitatif. Peneliti akan kembali ke lapangan jika data yang dicari dianggap belum memadai. Hal ini dapat terjadi secara berulang, sampai data dianggap jenuh.

5. Tahap Analisis dan Penyusunan Laporan. Dalam tahap ini dilakukan analisis data dan penulisan draft laporan/disertasi. Penulisan draft laporan diselingi dengan konsultasi yang intens dengan promotor, ko-promotor dan anggota, yang bertindak selaku pembimbing disertasi.


(1)

dan Modal Budaya Bali dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Denpasar: Widya Dharma.

Purwanto. (2007). Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta : Media Wacana.

Ramstedt, M. (2011). “Menafsirkan Kembali Tata Norma Bali Pasca-Orde Baru: Persoalan Tanah dan Kegalauan Makna Ke-Bali-an”. dalam Kegalauan Identitas: Agama, Identitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Ratna, K.N. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Renan, E. (1994). Apakah Bangsa Itu ?(Qu’est ce qu”une Nation ?). Terjamahan dari Sunario. Bandung : Alumni.

Rex, J. (2002). “Konsep Mengenai Masyarakat Kultural” dalam Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.

Ritzer, G. dan Douglas J.G. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Ritzer, G. (2006). The Globalization of Nothing, Mengkonsumsi Kehampaan di Era

Globalisasi. Terjemahan dari Lucinda. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya. Sagala, S. (2009). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.

Bandung: Alfabeta

Saifuddin, A.F. (2007) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.

Salim, A. (2002). Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Salim, A. (2006). Stratifikasi Etnik, Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Samovar, L.A., Porter, R.E., dan McDaniel, E.R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya; Communication Between Cultures. Jakarta: Salemba Humanika. Sancaya, I.D.G.W. (2004). “Bahasa Bali Jagadhitha : Bahasa Budaya dan Ilmu

Pengetahuan” dalam Bali Menuju Jagaditha : Aneka Peespektif. Hlm 207. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Sanderson, S.K. (1993). Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Terjemahan dari Farid Wajidi. Jakarta : Rajawali.

Santeri, I.M.R. (2006). Interaksi Lintas Budaya : Studi Sistem Komunikasi Sosial Masyarakat Hindu dan Islam di Desa Pamogan. Denpasar : Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.


(2)

Santikarma, D. (2004). “Pecalang Bali : Siaga Budaya dan Budaya Siaga” dalam Bali Menuju Jagaditha : Aneka Peespektif. Hlm 113. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Sarup, M. (2008). Panduan Pengantar Postrukturalisme dan Posmodernisme. Penerjemah. Medhy Aginta Hidayat. Yogjakarta: Jalasutra

Saul, J.R. (2008). Runtuhnya Globalisme dan Penemuan Kembali Dunia. Terjemahan dari Dariyatno. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Semiawan, C.R. (2009). Penerapan Pembelajaran pada Anak. Jakarta: PT INDEKS.

Setia, P. (2006). Bali yang Meradang. Denpasar : Pustaka Manikgeni.

Shrum, L. J. (ed). (2004). Psikologi Media Entertainment; membedah Keampuhan Periklanan Sublimal dan Bujukan yang tak Disadari Konsumen. Yogyakarta: Jalasutra.

Sirtha, I.N. (2008). Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali. Denpasar : Udayana University Press.

Somantri, M.N. (2002). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soyomukti, N. (2010). Pengantar Sosiologi. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and

Wiston.

Susetyo, B. (2005). Politik Pendidikan Penguasa. Yogjakarta: LKiS.

Suyanto. (2006). Dinamikan Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global. Jakarta: PSAP.

Steger, M.B. (2002). Globalisme: Bangkitnya Ideologi Kontemporer. Jogjakarta: Lafadl Pustaka.

Suartika, I.G. (2010). Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara Penyelesaiannya. Denpasar : Udayana University Press.

Suastra, I.M. (2009). “Bahasa Bali sebagai Simbol Identitas Manusia Bali”. Makalah pada Kongres Kebudayaan Bali di Denpasar, Bali, 14-16 Juni 2008. Subkhan, I. (2007). Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya. Yogyakarta :

Kanisius.

Sudagung, H.S. (2001). Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta : Institut Studi Arus Informasi. Sudibawa, I.P. (2008). Pengelolaan Kurikulum Muatan Lokal (Budaya Bali) di


(3)

Sueca. (2004). “Arah dan Strategi Pendidikan Menuju Ajeg Bali” dalam Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita. Denpasar : Bali Post.

Suhardana, K. M. (2009). Panca Sraddha Lima Keyakinan Umat Hindu. Surabaya : Paramita.

Shutt, H. (2005). Runtuhnya Kapitalisme. Jakarta: TERAJU.

Sukadi. (2006). Pendidikan IPS Sebagai Rekonstruksi Pengalaman Budaya Berbasis Ideologi Tri Hita Karana (Studi Etnografi Tentang Pengaruh Masyarakat Terhadap Program Pendidikan IPS pada SMU Negeri 1 Ubud, Bali). Disertasi Doktor. Bandung : SPS Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Sukarma, I.W. (2009). “Pariwisata di Bali Pasca Bom”. Bali Yang Hilang: Pendatang, Islam dan Etnisitas di Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Sukawati, T.A.A.O. (2004). Ubud Bergerak. Denpasar : CV Bali Media Adhikarsa. Sunardi, S.T. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta : Buku Baik.

Sunarto, K. (2000). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan, P. (1986a). “Keluarga dan Kekerabatan” dalam Manusia Indonesia Individu, Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Pressindo.

Suparlan, P. (1986b). “Perubahan Sosial” dalam Widjaja, A.W.(ed). 1986. Manusia Indonesia Individu, Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo.

Supatra, I.N.K. (2006). Sigug, Karakter Bali Modern & Pudarnya Identitas Orang Bali. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Sura, I.G. (1994). Agama Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar : CV. Kayumas Agung.

Surakhmad, W. (2009). Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Suryawan, I.N. (2005). Bali Narasi Dalam Kuasa Politik dan Kekerasan di Bali. Yogyakarta : Ombak.

Suryawan, I.N. (2009). Bali Pascakolonial, Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya. Yogyakarta : Kepel Press.

Suryawan, I.N. (2010). Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern, Bara di Bali Utara. Jakarta : Prenada Media Group.

Sushila, J. (1991). “Subak: Sistem Irigasi di Bali”. dalam Irigasi di Indonesia Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta: LP3ES.


(4)

Sutawan, N. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Swastika, I.K.P. (2007). Suputra (Orang Tua dan Kewajiban) dan Bhakti Kepada Leluhur (Ngaben, Memukur, Meajar-ajar dan Ngunggahang Dewe Hyang). Denpasar : CV. Kayumas Agung.

Syam, N.W. (2009). Sosiologi Komunikasi. Bandung: Humaniora.

Thomas, R. M. (1921). Blending Qualitative & Quantitative Research Methods In Theses and Dissertations. California : Corwin Press.

Tillar, H.A.R. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesiatera.

Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Indonesia. Jakarta: RINEKA CIPTA.

Tilaar, H.A.R. (2007). Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Tim Penyusun. (tt). Awig-Awig Desa Pakraman Ubud. Gianyar: Pemda Kabupaten. Tim Penyusun. (2008). Kecamatan Ubud Dalam Angka. Gianyar: Badan Pusat

Statistik.

Tim Penyusun. (2008). Gianyar Dalam Angka. Gianyar: Badan Pusat Statistik. Tim Penyusun (2008). Profil Desa Ubud. Kelurahan Ubud: LPM.

Tim Penyusun. (2008). Informasi Objek dan Daya Tarik Wisata di Bali Tahun 2008. Pemda Provinsi Bali: Dinas Pariwisata.

Titib, I.M. (2006). Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Denpasar : Pustaka Bali Post.

Tormey, S. (2004). Anti Kapitalisme. Jakarta: TERAJU.

Trijoyo, L. (2001). Keluar dari Kemelut Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tunggal, H.S. (2009). Undang- Undang Kepariwisataan, Undang-Undang R.I. No.

10/2009. Jakarta : Harvarindo.

Turner, B.S. (1991). Agama & Teori Sosial, Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontenporer. Yogyakarta : IRCiSoD.

Turner, B.S. (2006). Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana Atas: Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Jogyakarta : Ar-Ruzz.

UNESCO. (1996). Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commission on Education for Twenty-first Century.


(5)

Vellas, F. dan Becherel, L. (2008). Permasalahan Pariwisata Internasional: Sebuah Pendekatan Strategis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Udayana University Press.

Wallace, W.L. 1990. Metode Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Weber, M. (2006). Sosiologi. Terjemahan dari Noorkholis. 2006.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wiana, I.K. (2003). “Desa Pakraman dan Pemerintahan Desa di Bali”. dalam Eksistensi Desa Pakraman di Bali. Denpasara: Yayasan Tri Hita Karana. Wiana, I.K. (2004a). Konflik Sosial Berwajah Ganda. Denpasar : Pustaka Bali

Post.

Wiana, I.K. (2004b). Mengapa Bali Disebut Bali ?. Surabaya : Paramita.

Wiana, I.K. (2004c). “Menuju Bali Jagaditha: Tri Hita Karana Sehari-” dalam Bali Menuju Jagaditha : Aneka Peespektif. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Wiana, I.K. (2007). Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya : Paramita. Wibowo, I. 2010. Negara Centeng: Negara dan saudagar di Era Globalisasi.

Yogyakarta: Kanisius.

Widja, I.G. 2009. Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya, Suatu Pengantar ke Arah Pendidikan Kritis. Denpasar : Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Widjaja, A. W. (1986). “Individu, Ideologi dan Politik” dalam Manusia Indonesia Individu, Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Pressindo.

Winataputra, U. S. (2001). Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Windia, I.W. (2004). “Pertanian dan Pariwisata : Harmonisasi Menuju Bali Lestari” dalam Bali Menuju Jagaditha : Aneka Perspektif. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Windia, W.P dan Sudantra, K. (2006). Pengantar Hukum Adat Bali. Denpasar : Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana. Windia, W.P. (2008). Bali Mawacara, Gagasan Satu Hukum Adat (Awig-Awig)

dan Pemerintahan di Bali. Denpasar : Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana.

Worsley, P. (1991). Pengantar Sosiologi Sebuah Pembanding. Terjemahan dari Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Yamin, M. dan Maisah. (2010). Standarisasi Kinerja Guru. Jakarta: Gaung Persada.


(6)

Yin, R.K. (1996). Studi Kasus (Desain dan Metode). Terjemahan dari M. Djauzi Mudzakir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Yoeti, O. A. (2006). Pariwisata Budaya, Masalah dan Solusinya. Jakarta : Pradnya Paramita.

Yoeti, O.A. (2008a). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : PT Pradnya Paramita.

Yoeti, O.A. (2008b). Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Implementasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Zuhro, R.S., dkk. (2009). Demokrasi Lokal Perubahan dan Kesinambungan Nilai- Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali. Yogyakarta : Ombak.