KONTRIBUSI DESA PAKRAMAN DI BALI DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN.

(1)

(2)

i

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu

Dengan mengucap anghayu baghya (puji syukur) kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) pada akhirnya laporan penelitian yang mengambil topik : Kontribusi Desa Pakraman di Bali dalam Penanggulangan Kemiskinan, dapat kami selesaikan dalam bentuknya seperti sekarang ini.

Sangat disadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong bagi pemegang kebijaksanaan di lingkungan pemerintah daerah Bali khususnya berkenaan dengan upaya untuk mengoptimalkan peran Desa Pakraman di Bali dalam gerak pembangunan pada umumnya, dan secara khusus yang berkaitan dengan eksistensi Desa Pakraman sebagai satu lembaga adat yang telah diwarisi sejak berabad-abad yang lalu. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya masukan yang bermanfaat bagi kesempurnaan penelitian ini dari pihak-pihak yang terkait atau yang menaruh perhatian terhadap keberadaan dari Desa Pakraman itu sendiri.

Melalui kesempatan ini tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan bagi terlaksananya penelitian ini baik yang bersifat materiil maupun ummateriil, terutama sekali kepada :

1. Bapak Gubernur Provinsi Bali Cq. Ketua Bappeda Provinsi Bali yang telah menyediakan dana bagi penelitian ini.


(3)

ii

2. Bapak Rektor cq Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana yangt telah memberikan rekomendasi bagi terlaksananya penelitian ini.

3. Bapak Kepala Kesbangpollinmas Provinsi Bali maupun Kabupaten di mana penelitian ini dilaksanakan atas ijin yang telah diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini.

4. Semua pihak yang telah memberikan informasi untuk kepentingan penelitian ini baik berupa data skunder maupun primer diantaranya Bapak Kepala Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, Kepala BPS Provinsi dan Kabupaten, serta para Bendesa Desa Pakraman dan Desa Dinas yang telah banyak memberikan penjelasan berkenaan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian ini

Semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) memberikan pahala yang setimpal.

Pada akhirnya laporan penelitian ini kami persembahkan kepada semua pihak yang berkepentingan semoga ada manfaatnya.

Om Canthi Canthi Canthi Om

Denpasar, November 2015 Tim Peneliti


(4)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar belakang………. 1

1.2. Rumusan masalah……… 11

1.3. Tujuan dan manfaat penelitian……… 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 13

2.1. Desa Pakraman sebagai masyarakat hukum adat……….. 13

2.2. Desa Pakraman dan penanggulangan kemiskinan……… 19

BAB III. METODE PENELITIAN 24

3.1. Jenis dan sifat penelitian……….. 24

3.2. Lokasi penelitian ………. 24

3.3. Jenis dan sumber data……….. 25

3.4.Teknik pengumpulan data……… 25

3.5. Teknik Pengolahan dan analisis data……….. 26

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 27

4.1. Deskripsi singkat tentang kemiskinan di Provinsi Bali………….. 27

4.2. Desa Pakraman dan penanggulangan kemiskinan………31


(5)

iv

4.2.2. Pembahasan ………. 51

BAB V. P E N U T U P 55

5.1. Kesimpulan ………. 55 5.2. Saran-saran………. . 55 DAFTAR PUSTAKA


(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN : 1.1. Latar belakang

Kemiskinan merupakan satu problema nasional yang sedang dihadapi dewasa ini bahkan sejak berpuluh tahun lalu, dan menjadi tugas negara untuk menanggulanginya. Namun tentunya persoalan ini bukanlah semata-mata menjadi tugas negara sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 melainkan adalah juga menjadi bagian dari tugas kita bersama, tugas dari seluruh bangsa dan rakyat Indonesia untuk secara bersama-sama menanggulanginya.

Secara umum, angka kemiskinan Indonesia sejak 1998 – 2011 terus menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat.

Gambar Penurunan angka kemiskinan di Indonesia sejak 1998 – 2010. (Sumber data BPS.)

Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan menunjukkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang


(7)

2 diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan hak-hak dasar mereka.

Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, di tingkat dunia penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan negara lainnya. Tercatat pada rentang 2005 – 2009 Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin.

Kendati Indonesia adalah negara yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinan, akan tetapi masih terdapat disparitas antar provinsi. Ada provinsi yang berhasil menurunkan prosentase penduduk miskinnya dengan cepat dan ada pula yang lambat. Gambar 4 berikut menggambarkan profil kemiskinan beberapa provinsi di Indonesia tahun 2011.


(8)

3 Selain itu, sebaran penduduk miskin juga tidak merata di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Penduduk miskin tersebut tinggal di wilayah perkotaan maupun perdesaan, dengan prosentase terbesar berada di wilayah perdesaan di Pulau Jawa, disusul Pulau Sumatera, baru kemudian pulau-pulau lain di Indonesia. Secara rinci, gambaran jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan seperti tergambar berikut ini.

Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan dan Perkotaan 2011 (dalam ribuan).

Sumber data BPS.

Sebagai catatan, ada beberapa hal yang patut dijadikan bahan kajian. Pertama, tingkat kemiskinan masyarakat Bali. Dari data di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, pada 2 Januari 2013, jumlah angka kemiskinan masyarakat Bali hingga September 2012 adalah 160.950 orang. Jumlah ini tentu sangat besar dibandingkan jumlah penduduk Bali secara keseluruhan yang mencapai lebih dari 3,6 juta orang. Itu artinya, pemimpin ke depan mesti mampu terus-menerus mengentaskan kemiskinan masyarakat Bali, karena akibat kemiskinan akan


(9)

4 menimbulkan multi efek yang kurang positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan kemiskinan, tentu akan berdampak pada tingkat kesehatan yang rendah. Jika kesehatan masyarakat rendah, maka kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga kecil. Berarti upaya peningkatan kemampuan bersaing dalam memperebutkan lahan pekerjaan akan berkurang sehingga tingkat pengangguran pun naik. Jadi persoalan mendasar dari rantai kehidupan ini adalah dengan mengentaskan kemiskinan.

Secara garis besar, penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun juga terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008, penduduk miskin di Bali tercatat sebanyak 6,17 persen. Selanjutnya pada tahun 2009 menurun menjadi 5,13 persen, tahun 2010 tercatat sebanyak 4,88 persen. Selanjutnya pada tahun 2011 dan 2012 terus bergerak turun menjadi 4,20 persen dan terakhir 3,95 persen. Angka kemiskinan dari 6,17% tahun 2008, sudah mampu ditekan menjadi 3,95% pada tahun 2012 (terbaik kedua nasional, setelah Provinsi DKI Jakarta).

Penurunan angka kemiskinan itu menjadi sebuah bukti keberhasilan berbagai program Bali Mandara yang pelaksanaannya telah memasuki tahun kelima. Sejumlah program yang manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh masyarakat antara lain Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah Rumah, Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), Beasiswa bagi siswa dan mahasiswa kurang mampu, bantuan desa pakraman dan subak serta Gerakan Pembangunan Desa Terpadu (Gerbangsadu). Semuanya merupakan program yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat luas dan terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan


(10)

5 Penjabaran rencana aksi yang dilakukan Pemprov Bali dalam mengentaskan kemiskinan menunjukkan keberhasilan. Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik No. 45/07/th.XIII tertanggal 1 Juli 2010 tentang Profil Kemiskinan Indonesia, menunjukkan keberhasilan Bali dalam pengentasan angka penduduk miskin. Berdasarkan data yang dirujuk pada Maret 2010 dengan pendataan konsep garis kemiskinan, tercatat 174.930 jiwa (4,88%) masuk kategori miskin. Angka ini jauh menurun dibandingkan angka penduduk miskin pada bulan yang sama tahun 2009. Saat itu angka penduduk miskin di Bali mencapai 181.720 jiwa (5,13%). ''Berdasarkan perbandingan angka ini, Bali mampu mengentaskan penduduk miskin mencapai 6.790 jiwa. Angka ini melampaui target nasional yang dibebankan pemerintah pusat 6.360 jiwa.

Angka kemiskinan di Bali per Maret 2008 tercatat mengalami penurunan 13.400 orang. Pada bulan Maret 2007 tercatat ada 229.100 orang di Bali yang berada di bawah kemiskinan atau mencapai 6,63 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Bali. Jumlah itu menurun menjadi 215.700 orang pada bulan Maret 2008 atau sekitar 6,17 persen dari total penduduk Bali. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan masih cukup tinggi jumlah keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 kepala keluarga (KK). Jumlah terbesar berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di Karangasem (41.826 KK), Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung (8.460 KK), Gianyar (7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan Denpasar sebanyak 4.159 KK.


(11)

6 Dari hasil survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa dari 413 responden yang meliputi 67 desa/kampung di seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh/tukang (29,5%), pedagang (21,1%), dan petani (16,5%) dengan penghasilan rata-rata kurang dari 200 ribu/bulan (52,5%) dan sebagian besar memiliki hutang (77,5%). Dilihat dari latar belakang pendidikan, sebagian besar responden telah tamat SD (33,7%) dan tidak tamat SD (27%).

Dalam aktualisasi, berbagai dampak nyata program Bali Mandara sangat dirasakan oleh masyarakat. Desa Pengotan, Bangli merupakan salah satu desa yang merasakan dampak positif berbagai program Bali Mandara. Bahkan, secara nyata angka kemiskinan di desa ini berhasil dikurangi hingga lebih dari 50 persen dalam kurun waktu empat tahun. Hal tersebut disampaikan Perbekel Desa Pengotan Wayan Arsana dalam penyerahan Program Gerbangsadu oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika kepada kelompok ekonomi produktif di Pasar Desa Pengotan baru-baru ini. Lebih jauh Arsana mengurai, Desa Pengotan yang berpenduduk 1315 KK atau 3617 jiwa. Pada catatan tahun 2008, desa ini mengantongi 517 KK miskin. Pada tahun 2012, tambah Arsana, penduduk miskin di wilayahnya bisa dikurangi hingga hanya tersisa sebanyak 295 KK. "Berkurangnya penduduk merupakan dampak positif dari pelaksanaan berbagai program Bali Mandara seperti JKBM, bedah rumah, simantri dan program Gerbangsadu," urainya. Lebih jauh Arsana mengurai, banyak masyarakatnya yang telah memanfaatkan Program JKBM. “Dengan program JKBM, masyarakat kami tidak perlu lagi memikirkan biaya ketika harus berobat saat sakit,” ujarnya. Karena itu Arsana berharap agar program Bali Mandara bisa dilanjutkan.


(12)

7

Hal senada juga diungkapkan Kepala Dusun Bayad, Tegallalang, Gianyar I Ketut Sunarta. Ditemui di sela-sela kegiatan Sosialisasi Program Bali Mandara Melalui Pentas Seni Tradisional, Sunarta mengatakan kalau Program Bali Mandara merupakan terobosan yang luar biasa. Berbagai program Bali Mandara seperti JKBM sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Selain JKBM, program bedah rumah dan Simantri juga mendapat apresiasi masyarakat Dusun Bayad. Pernyataan tersebut diperkuat oleh

Bendesa Pakraman Bayad I Made Latra. “Banyak warga yang terselamatkan

karena program JKBM. Bahkan ada warga kami yang memanfaatkan layanan cuci darah dua kali seminggu, bayangkan saja kalau tidak ada program JKBM,” imbuhnya. AA.Nyoman Wijana, Ketua Kelompok Simantri 027 Desa Kelating Tabanan khusus mengapresiasi program Simantri. Program Simantri, tambah Wijana, secara perlahan mampu mewujudkan harapan para petani untuk meningkatkan kesejahteraannya. “Ini merupakan program luar biasa di bidang

pertanian,” imbuhnya. Hanya saja, kata Wijana, para petani memang perlu lebih

kreatif dan bekerja keras agar hasilnya lebih maksimal. Dia berharap, berbagai program Bali Mandara yang manfaatnya benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat dilanjutkan.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengapresiasi pelaksanaan berbagai Program Bali Mandara yang mendapat sambutan positif dari masyarakat. Pun demikian, Mangku Pastika tak lantas berpuas diri dengan pencapaian berbagai program ini. “Kita memang sudah berupaya maksimal melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya


(13)

8

dalam kesempatan menginap di bedah rumah seorang warga di Banjar Palaktihing, Desa Landih, Kabupaten Bangli. Namun demikian, berbagai program itu masih memerlukan penyempurnaan. Terlebih lagi program Gerbangsadu yang memang baru dilaksanakan sejak tahun 2012. Gubernur pun bertekad mempercepat penuntasan pengentasan kemiskinan di Pulau Dewata. Bagi seorang Mangku Pastika, keberadaan masyarakat miskin selalu menjadi beban pikirannya. “Karena saya pernah hidup serba kekurangan di masa kecil, makanya saya bisa merasakan

susahnya jadi orang miskin,” imbuhnya. Sejalan dengan tekadnya itu, mulai tahun

2013 ini, Gubernur Mangku Pastika melaksanakan kegiatan menginap di rumah warga penerima program bedah rumah. Selama bulan Januari 2013, tercatat sudah dua kali Gubernur yang didampingi Ny.Ayu Pastika menginap di bedah rumah yaitu di Banjar Putung, Desa Duda Timur Karangasem dan Banjar Palaktihing, Desa Landih, Kabupaten Bangli. Gubernur Mangku Pastika menilai kegiatan nginep di rumah penduduk penerima bantuan bedah rumah banyak memberi inspirasi guna mempercepat penuntasan masalah kemiskinan. Selama ini, kata Mangku Pastika, pemerintah telah memberikan bantuan berupa bedah rumah, kesehatan dan pendidikan bagi mereka. "Tapi ternyata itu belum cukup membuat mereka benar-benar keluar dari kemiskinan," imbuhnya. Kata Mangku Pastika, masyarakat kurang mampu masih membutuhkan mata pencaharian yang lebih baik. Salah satunya melalui program untuk menggerakkan ekonomi produktif di pedesaan. "Mereka perlu ketrampilan untuk menghasilkan produk-produk yang bernilai ekonomis. Selain itu kita juga harus memikirkan bagaimana pemasarannya," tandasnya. Untuk itu, Pemprov Bali akan lebih memantapkan


(14)

9

program Gerbangsadu agar dana yang disalurkan dapat bergulir. Ke depannya, Gubernur berharap akan lebih banyak lagi desa yang memperoleh program ini. (Website Resmi Pemerintah Prov. Bali, Januari 2013)

Dalam memimpin Bali lima tahun ke depan visi yang diusung oleh Gubernur Mangku Pastika adalah:

Terwujudnya Bali yang maju, aman, damai, dan sejahtera (Bali Mandara)

“Mandara”, berasal dari Bahasa Sanskerta, yang berarti:besar, agung, suci, dan great. Bali Mandara adalah Bali yang besar, Bali yang agung, Bali yang suci, The great Bali. Mandara adalah juga akronim dari Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tiga Misi yaitu:

Pertama; Mewujudkan Bali yang Berbudaya, Metaksu, Dinamis, Maju, dan Modern.

Kedua; Mewujudkan Bali yang Aman, Damai, Tertib, Harmonis, serta Bebas dari berbagai Ancaman, dan

Ketiga; Mewujudkan Bali yang Sejahtera dan Sukerta Lahir Bathin.

Dari visi dan misi ini terlihat arah kepada upaya untuk mewujudkan masyarakat Bali yang sejahtera lahir batin bebas dari kemiskinan.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan upaya yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Bali dengan landasan visi dan misinya yang mengarah kepada upaya pengentasan kemiskinan, namun dalam program dan kegiatan riil yang dilaksanakan sama sekali tidak terlihat mengenai peran atau kontribusi dari desa pakraman dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut. Hal ini tampaknya menjadi penting untuk diperhatikan mengingat desa pakraman merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan


(15)

10 berkembang sejalan dengan perkembangan jaman namun tidak melupakan asal-usul dan tradisinya.

Kehadiran desa pakraman dalam kerangka upaya pengentasan kemiskinan oleh pemerintah tentunya akan sangat membantu karena desa pakraman bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat dalam kesehariannya, sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan tersebut menjadi lebih efektif dan lebih cepat dapat diwujudkan. Terlebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan landasan filosofis yang melandasi kehidupan masyarakat adat di Bali dalam wadah desa pakraman yang dikenal dengan Tri Hita Karana yakni tiga unsur dalam mewujudkan kesejahteraan yang selalu ditempatkan dalam hubungan yang harmonis, yaitu unsur: Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), Bhuwana (alam semesta/lingkungan hidup), dan Manusa (manusia yang berada dalam kelompok masyarakat adat yang dikenal dengan krama desa). Manifestasi dari ketiga unsur tersebut dalam kehidupan desa pakraman di Bali adalah : Parahyangan Desa (sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa), Palemahan Desa (wilayah teritorial desa) dan Krama Desa (kelompok orang yang terorganisasikan dalam satu kesatuan).

Dengan landasan filosofis seperti ini maka adalah menjadi tugas dari desa pakraman untuk menjaga keharmonisan dari warganya dengan berbagai unsur lainnya yaitu dengan Tuhan sebagai pencipta, dengan lingkungan alam sebagai sumber kehidupannya. Namun disadari bahwa keharmonisan itu akan dapat terganggu apabila kesejahteraan mereka tidak memadai. Dengan kata lain bahwa


(16)

11 kemiskinan dapat berakibat negatif terhadap terjalinnya hubungan harmonis antara ketiga unsur tersebut.

1.2.Rumusan masalah

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan di atas maka dapat dipertanyakan mengenai sejauh mana peran atau kontribusi yang telah diberikan oleh desa pakraman dalam rangka mengupayakan kesejahteraan warganya dengan mengentaskan kemiskinan warga yang menjadi kerama desa. Dengan kata lain masalah yang muncul dan yang dirasa penting untuk diteliti adalah :

1. Apakah desa pakraman di Bali telah memiliki program atau perencanaan berkenaan dengan upaya pengentasan kemiskinan dari warganya?

2. Upaya-upaya apa yang telah dilakukannya untuk mengentaskan kemiskinan tersebut?

3. Bagaimana tingkat keberhasilan dari upaya yang telah dilakukan oleh desa pakraman dalam mengentaskan kemiskinan di wilayahnya.

Dengan meneliti permasalahan di atas akan dapat diketahui sejauh mana kontribusi yang telah diberikan oleh desa pakraman dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah.

1.3.Tjuan dan manfaat penelitian

Dari penelitian ini diharapkan tercapainya satu tujuan untuk mengetahui bagaimana kontribusi yang telah diberikan oleh desa pakraman dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan di wilayahnya masing-masing yang tentunya akan sangat mendukung program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh


(17)

12 pemerintah. Selain itu dari penelitian ini akan dapat diketahui bahwa desa pakraman bukan hanya sekedar kelompok masyarakat adat yang berfungsi untuk menyelenggarakan aktivitas adat dan budaya serta keagamaan namun juga memperhatikan kesejahteraan dari warganya, sehingga desa pakraman tersebut dapat menjadi lebih kuat dan mantap menjaga eksistensinya.

Dari hasil penelitian ini diharapkan pula ada satu manfaat yang dapat disumbangkan setidak-tidaknya untuk pemerintah daerah dalam rangka program pengentasan kemiskinan bahwa pihak pemerintah daerah setidak-tidaknya melibatkan desa pakraman dalam program pengentasan kemiskinan tersebut.


(18)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Desa Pakraman Sebagai Masyarakat Hukum Adat

Desa Pakraman di Bali adalah satu desa adat dalam pengertian sebagai satu kelompok masyarakat yang terikat dalam satu wadah organisasi kemasyarakatan adat yang bersifat sosial religius. Dalam kepustakaan tentang hukum adat, desa adat disebut dengan persekutuan hukum adat atau ada pula yang menyebutnya dengan masyarakat hukum adat.

Ter Haar dalam tulisannya yang berjudul “Beginselen en Stelsel van het

Adatrecht” yang diterjemahkan dalam Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (1974:13-14) mengemukakan bahwa : “di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan golongan masnusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum”.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa persekutuan hukum adat merupakan sekelompok orang yang tersusun dalam satu tata susunan yang tetap, memiliki pengurus dan harta kekayaan sendiri baik yang bersifat duniawi maupun


(19)

14 gaib. Yang lebih penting lagi adalah bahwa orang-orang yang ada dalam kelompok itu merasakan kehidupannya sebagai sesuatu yang bersifat kodrati dan tidak ada satu keinginanpun untuk membubarkan kelompoknya itu. Kelompok seperti ini ditemukan puila di Bali yaitu yang dikenal dengan desa adat (sekarang desa pakraman). Desa Pekraman di Bali telah diberikan satu landasan hukum yang jelas yaitu dalam Perda No. 3 tahun 2001, di mana dinyatakan dalam pasal 1 sub. 4 bahwa :

Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Dari perda ini dapat dilihat bahwa desa pakraman (desa adat) telah diakui sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah Provinsi Bali yang memiliki tradisi dan tata krama yang telah diwarisi secara turun temurun, memiliki wilayah tertentu dan mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan mereka semua terikat dalam satu ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa. Jelas dari ketentuan di atas bahwa desa adat (desa pakraman) di Bali memiliki karakteristik tersendiri sehingga wajar apabila desa pakraman atau desa adat dikatakan memiliki sifat sosial religius yang tidak ditemukan pada masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia.

Pada bagian lain dapat dilihat, khususnya untuk masyarakat hukum adat di Bali (Desa Pakraman), bahwa kehidupan masyarakat hukum adat di Bali memiliki landasan filosofis yang bersumber pada ajaran Agama Hindu yang dikenal dengan Tri Hita Karana yang bermakna sebagai tiga unsur penyebab kebahagiaan yang


(20)

15 meliputi : Brahman ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa), Bhuwana (alam semesta) dan Manusa (manusia/orang yang berada di wilayah desa). Ketiga unsur ini terkait dalam satu ikatan kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus ditempatkan dalam situasi yang harmonis sepanjang masa. Apabila keharmonisan itu terganggu maka kehidupan masyarakat adat akan terganggu pula. Secara konkrit ketiga unsur tersebut dimanifestasikan dalam wujud tertentu. Unsur Brahman diwujudkan dalam satu tempat pemujaan bagi warga kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dikenal dengan Kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa lainnya. Dalam menjamin hubungan yang harmonis antara manusia (warga desa adat) dengan Sang Maha Pencipta, maka ditetapkanlah berbagai aturan berkenaan dengan tempat pemujaan tersebut (yang disebut pula dengan Parahyangan Desa). Keberadaan Bhuwana dalam lingkungan desa diwujudkan dalam bentuk Palemahan Desa yaitu wilayah desa yang selalu dijaga kesucian dan kelestariannya. Dalam hubungan ini ditetapkan pula berbagai aturan yang ditujukan untuk menjaga kelestarian dan kesucian desa antara lain menyangkut larangan penebangan pohon-pohonan, penyelenggaraan upacara bersih desa dalam bentuk pecaruan (korban suci) dll. Unsur Manusia diwujudkan dalam wadah Kerama Desa yaitu kelompok orang sebagai warga desa adat yang berkewajiban untuk selalu menjaga keserasian kelompoknya dengan baik dimana hubungan antar warga selalu berada dalam suasana yang harmonis. Selain itu warga sebagai kesatuan kelompok selalu mengupayakan keharmonisan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui hubungan pemujaan di Parahyangan Desa dan juga menjaga kelestarian lingkungan sehingga selalu dapat memberikan kehidupan


(21)

16 kepada warga desa itu sendiri. Kesemuanya itru dilandasi oleh berbagai macam aturan yang ditetapkan sendiri oleh desa adat yang dikenal dengan awig-awig desa. Upaya untuk menjaga keharmonisan dari ketiga unsur tersebut berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri yang dikoordinasikan oleh kepala persekutuan hukumnya. Dalam hubungan ini dapat dilihat adanya kewenangan dari persekutuan hukum adat untuk menyelenggarakan kehidupannya sendiri sesuai dengan tatanan yang dipandang tepat, atau yang lazim dikenal dengan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Keadaan ini pulalah yang memberikan satu penilaian bahwa desa adat memiliki otonomi sendiri yang bersifat asli dalam artian bahwa kewenangan itu bersumber pada keberadaan dari desa adat itu sendiri tidak karena diberikan oleh kekuasaan lain yang lebih tinggi. Jadi karena desa adat itu ada maka secara serta merta dia memiliki kewenangan tersebut.

Otonomi desa adat pada hakekatnya meliputi tiga aspek yaitu :

1. Kewenangan untuk menetapkan aturan hukum, dalam bentuk awig-awig desa yang harus ditaati oleh setiap warganya dan juga pengurusnya.

2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam pengertian menyelenggarakan jalannya masyarakat hukum adat sehingga dapat mewujudkan tujuannya.

3. Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan warganya.


(22)

17 Apabila diperhatikan lebih jauh maka kewenangan dari desa adat dalam mengurus rumah tangganya sendiri bertumpu pada aturan aturan yang ditetapkan oleh desa adat itu sendiri, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan juga penyelesaian sengketa akan bertumpu pada aturan hukum adat yang telah ditetapkan dalam aturan-aturan adat dan juga aturan adat kebiasaan yang tidak tertulis lainnya.

Khusus dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang berada di tangan pemerintah desa (pengurus/prajuru adat), selain memperhatikan pelaksanaan aturan hukum dalam bentuk hak dan kewajiban dari warga terhadap kelompok masyarakatnya, seyogyanya juga memperhatikan kondisi kehidupan dari warga masyarakat adatnya sendiri. Dengan kata lain pengurus desa seyogyanya mengupayakan juga kesejahteraan dari warganya.

R. Soepomo (2007 : 16) mengemukakan bahwa aktivitas dari kepala-kepala rakyat dapat dilihat dalam tiga hal yaitu :

1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah)

2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum (preventieve rechtszorg) supaya hukum dapat berjalan semestinya.

3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar (repressieve rechtszorg).

Dilihat dari pandangan di atas tampaknya kepala-kepala rakyat (pengurus/prajuru desa) hanya mempunyai tugas untuk penyelenggaraan aturan hukum dan pengawasannya, serta hal-hal yang berkaitan dengan tanah mengingat tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat adat yang bercorak agraris. Tidak ada satupun pernyataan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan


(23)

18 rakyatnya. Tapi pada sisi lainnya dapat dilihat berkenaan dengan sifat dari kepala rakyat dinyatakan bahwa : ”kepala rakyat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai pesekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam pesekutuan. Sifat tradisional pimpinan kepala rakyat dapat dikenal dari bunyi pepatah Minangkabau bahwa penghulu (kepala rakyat) itu adalah sebagai:

Kayu gadang di tanah lapang, Bakeh batuduah ari ujan, Bakeh bulauang dari paneh, Ure nyo bulieh bakeh basando, Batang nyo bulieh bakeh basando. Artinya:

Sebatang kayu yang besar di tengah lapang, Tempat berlindung di waktu hujan,

Tempat bernaung di waktu panas, Urat-uratnya tempat duduk dan Batangnya tempat bersandar.

Jadi tampaknya adalah menjadi tugas dari kepala rakyat juga untuk melindungi warganya, memberikan kenyamanan, menjadi tempat untuk mengadu ataupun bertanya segala hal dalam kehidupannya. Dengan kata lain kepala rakyat juga mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk rakyatnya.

Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat melalui pengurusnya mempunyai kewajiban untuk dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganya.

Bagaimana kenyataannya?

Inilah yang perlu ditelusuri dalam penelitian ini khususnya di lingkungan desa pakraman di Bali, dengan fokus pada apa dan bagaimana persekutuan hukum


(24)

19 adat (desa adat/desa pakraman) di Bali berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan .

2.2. Desa Pakraman dan kemiskinan.

Kemiskinan diartikan sebagai “ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran”. (BPS Provinsi Bali, 2013:5). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulanm di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minuman dan makanan yang disetarakan denggan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan (Ibid, :11).

Kriteria miskin menurut standar BPS, terakhir dimodifikasi tanggal 25 Agustus 2014 adalah sebagai berikut::

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.


(25)

20 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah

tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/

tamat SD.

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.1

Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep-konsep yang berkaitan dengan kemiskinan di negara kita yang dirancang oleh BPS untuk lebih memudahkan dalam mengukur persoalan kemiskinan di masyarakat walaupun tampknya semua itu hanya merupakan konsumsi untuk pemerintahan saja. Dalam kehidupan masyarakat secara riil konsep-konsep tersebut tidak pernah dikenal ataupun dimengerti secara baik. Dalam kehidupan masyarakat umumnya kemiskinan dilihat secagai fenomena dimana warga masyarakat tidak mampu

1


(26)

21 memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara layak sebagaimana warga pada umumnya, terutama sekali yang berhubungan dengan aspek sandang dan pangannya. Jadi apabila warga tidak memiliki rumah yang layak serta tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimalnya secara layak maka dia dipandang sebagai penduduk yang miskin. Kelayakan itu tampaknya sangat kualitatif namun dapat dirasakan adanya oleh warga masyarakat secara keseluruhan.

Bagaimanakah halnya bila persoalan kemiskinan ini dihubungkan dengan desa pakraman khsusnya di Bali?

Apabila diperhatikan secara cermat mengenai keberadaan warga dari desa pakraman di Bali maka dapat dilihat bahwa desa-desa yang relatif tua dalam pengertian yang sudah ada sejak dulu kala, terutama desa-desa yang terbentuk atas dasar kehendak bersama melalui proses perabasan hutan yang diikuti dengan pembagian lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, yang sekarang lazim dikenal dengan Tanah Pekarangan Desa untuk tempat tinggal dan Tanah Ayahan Desa untuk pertanian tampaknya tidak dijumpai persoalan kemiskinan karena setiap warga mendapat pembagian tanah yang setara sesuai posisinya di masyarakat. Namun dalam perkembangannya sekarang tanah-tanah tersebut dibebani dengan pajak oleh nagara yang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga tidak bisa tidak hal itu akan menambah beban bagi masyarakat khususnya yang ada di pedesaan. Dengan kata lain PBB berkontribusi pula dalam peningkatan kemiskinan tersebut. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena warga masyarakat yang mendapatkan tanah-tanah desa tersebut telah dibebani dengan kewajiban-kewajiban terhadap desanya baik dalam kerangka pembangunan dalam


(27)

22 desa maupun dalam hubungannya dengan pemenuhan biaya-biaya untuk penyelenggaraan upacara di pura-pura milik desa. Beban ini relatif besar dilihat dari ukuran kemampuan masyarakat yang sekarang ditambah lagi dengan beban pajak oleh Negara.

Desa-desa pakraman tentunya tidak mungkin untuk meningkatkan taraf hidup dari warganya, dan ini berarti kesemuamya itu dikembalikan kepada warga secara individual. Memang untuk keperluan seperti itu akan sangat baik apabila desa pakraman dapat mendorong warganya agar dapat mengupayakan sendiri untuk pemenuhan dari segala kewajibannya itu, dan untuk itu diperlukann ide-ide yang kreatif dan entrepreneur.

Dalam perkembangan sekarang ini dapat dilihat bahwa ide-ide seperti itu telah terwujud dalam bentuk LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang merupakan lembaga akeuangan non bank yang dikelola oleh Desa Pakraman untuk membantu warga dalam usaha-usahanya mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan dari LPD ini untuk beberapa tempat tampaknya berhasil bahkan sangat berhasil dalam menjalankan usahanya itu sehingga warga tidak terbebani oleh kewajiban-kewajiban untuk keperluan upacara ataupun pembangunan yang dilaksanakan oleh desa, karena segala biaya tersebut ditanggung oleh LPD mdari hasil usahanya itu. Namun di beberapa tempat lainnya kelihatan pula usaha LPD ini kurang berhasil bahkan bermasalah, sehingga sudah tentu tidak dapat membantu warganya dalam pemenuhan kewajibannya.

Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa desa pakaraman telah melakukan upaya upaya tertentu untuk meringankan beban warganya, terutama yang


(28)

23 berkategori miskin dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya baik terhadap desa maupun juga terhadap leluhurnya sebagai kewajiban keagamaan mereka.


(29)

24 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sifat penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian hukum yang bersifat empiris, sehingga penelitian lapangan sangat diperlukan untuk pelaksanaannya. Dalam penelitian ini akan ditelusuri fakta-fakta empiris yang ada di desa pakraman di Bali seputar hal-hal yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di wilayah desa pakraman tersebut, baik menyangkut program dan upaya-upaya nyata yang telah dilakukan oleh desa pakraman khususnya oleh prajuru dari desa pakraman tersebut, mapun menyangkut kendala-kendala yang dihadapinya.

3.2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan desa pakraman di Bali. Namun karena banyaknya jumlah desa pakraman di Bali yang sekitar 1450 buah maka tidak mungkin untuk melakukan penelitian di seluruh desa pakraman di Bali. Untuk itu penelitian ini akan di lakukan di desa-desa tertentu sebagai sampel, yang diperkenankan dalam satu penelitian yang bersifat ilmiah. Dalam hubungan ini pemilihan sample dilakukan secara purposive

Melihat kondisi desa pakraman di Bali, terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, relatif homogen maka jumlah sampel tidak terlalu menentukan, namun dalam penelitian ini akan ditetapkan sampel yang memiliki variasi variasi tertentu seperti misalnya menyangkut luas wilayah (luas, sedang, dan kecil), lokasi desa pakraman (di pegunungan, di wilayah dataran dan di perkotaan), kondisi desa pakraman (maju, sedang, tertinggal) dan sebagainya. Penetapan lokasi secara riil


(30)

25 dilakukan setelah melakukan penjajagan lapangan. Melalui penjajagan lapangan dapatlah ditetapkan beberapa desa pakraman sebagai sample diantaranya adalah : Desa Manikliyu Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Desa Pakraman Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Desa Pakraman Eka Cita Penyalin Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Desa Pakraman Angantelu Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Desa Pakraman Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur Kota Denpasar.

3.3. Jenis dan sumber data

Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer sebagai data asli artinya yang diperoleh langsung dari sumber data yang pertama, diperoleh dari para prajuru desa pakraman yang bertugas menyelenggarakan kehidupan desa pakraman itu sendiri, termasuk juga mereka-mereka (warga) yang tergolong sebagai warga miskin. Data primer juga dikumpulkan dari pejabat-pejabat pemerintahan yang bergerak dibidang pengentasan kemiskinan dalam rangka mengetahui sejauh mana perangkat pemerintahan melibatkan desa pakraman dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut. Data skunder sebagai data dari sumber kedua dikumpulkan melalui bahan-bahan tertulis berkaitan dengan berita, laporan dan sebagainya dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut.

3.4. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data lapangan (data primer) dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara berstruktur (dengan pedoman wawancara) yang


(31)

26 dilakukan oleh tim peneliti sendiri dengan beberapa petugas lapangan. Sedangkan pengumpulan data skunder yang bersumber dari bahan-bahan tertulis dikumpulkan dengan teknik dokumen yaitu dengan mengutip, menyadur dan meringkas bahan-bahan terkait yang ada.

3.5. Teknik pengolahan dan analisis data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif yang mengutamakan isi dari data yang diperoleh, tidak melihat jumlah informasi yang ada. Analisisnya juga dilakukan secara kualitatif dengan dilengkapi dengan analisis situasional, yaitu dengan melihat situasi yang ada disekitar permasalahan yang diteliti (Velsen, 1969 : 169)


(32)

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi singkat tentang kemiskinan di Provinsi Bali.

Dari Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Bali (BPS, 2015 : 1) dapat dilihat mengenai tingkat kemiskinan di Bali per Maret 2013, yaitu bahwa persentase penduduk miskin di Bali pada Maret 2013 sedikit berkurang jika dibandingkan dengan Maret 2012. Tingkat kemiskinan per Maret 2013 mencapai 3,96 persen, turun 0,23 persen dibandingkan denggan kondisi Maret 2012 yang mencapai 4,18 persen. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2013 mencapai 162,51 ribu orang, dengan komposisi 96,35 ribu orang di daerah perkotaan dan 66,17 ribu orang di daerah perdesaan. Garis kemiskinan Bali pada Maret 2013 mengalami peningkatan sebesar 8,94 persen, dari Rp. 240.997.00 pada Maret 2012 menjadi 272.349.00 pada Maret 2013. Daerah perkotaan mengalami peningkatan garis kemiskinan sebesar 8,18 persen sedangkan di daerah perdesaan 10,25 persen.

Dalam perkembangan selanjutnya data yang dikemukakan di atas mengalami revisi sebagai hasil dari backcasting oleh BPS dimana angka kemiskinan (penduduk miskin) untuk daerah perkotaan per Maret 2013 menjadi 94.79 ribu jiwa, sedangkan untuk daerah perdesaan menjadi 65,1 ribu orang. Jumlah keseluruhan (kota dan desa) menjadi 159.89 ribu. Dengan demikian persentase dari angka kemiskinan tersebut juga mengalami revisi yaitu per Maret 2013 persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mencapai 3.90 persen sedangkan untuk perdesaan 4.04 persen dan secara keseluruhan mencapai 3,95 persen. Selanjutnya data pada Maret 2014 menunjukkan jumlah penduduk miskin


(33)

28 di daerah perkotaan sejumlah 99.90 ribu jiwa dan di daerah perdesaan 85.30 ribu, sehingga keseluruhan berjumlah 185.20 ribu jiwa. Persentasenya adalah untuk kota 4.01 persen dan untuk desa 5.34 persen dan keseluruhan 4.53 persen. Data pada September 2014 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin untuk kota 109.20 ribu jiwa dan untuk desa 86.76 ribu sehingga keseluruhannya adalah 196.95 ribu. Untuk persentasenya kelihatan untuk kota sebesar 4.35 persen dan untuk desa sebesar 5.39 persen dan secara keseluruhan sebesar 4.76 persen.(BPS Provinsi Bali, 2015 : 1, selanjutnya lihat lampiran). Apabila diperhatikan angka-angka tersebut diatas tampak bahwa pada tahun 2014 terjadi peningkatan angka kemiskinan di Bali, namun pada Maret 2015 kembali terjadi penurunan penduduk miskin menjadi 4.74 persen. Walau demikian Gubernur Mangku Pastika menyatakan belum puas terhadap penurunan angka kemiskinan tersebut dan berambisi biar melebihi Jakarta dan membawa Bali bebas dari kemiskinan (Nusa Bali 26 September 2015 : 3).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan di Bali sudah tersusun dalam program-program seperti bedah rumah, Simantri dan Gerbangsadu serta untuk meningkatkan kesehatan masyarakat disusun dalam program JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) yang merupakan program unggulan dari Gubernur Mangku Pastika. Program-program tersebut dalam pelaksanaannya ditangani oleh berbagai instansi yang terkait seperti Dinas Kesehatan (terkait dengan JKBM), Dinas Pertanian (terkait dengan program Simantri) dan juga Dinas Sosial yang mengunggulkan program bedah rumah, dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).Dinas Sosial melaksanakan program-program


(34)

29 penanggulangan kemiskinan diantaranya : bedah rumah, kelompok usaha bersama (KUBE) yang dibina dan dievaluasi setiap tahun oleh Dinas Sosial. Selama ini pemberdayaan usaha bersama melalui KUBE tersebut didasarkan atas potensi masing-masing desa, sehingga diharapkan taraf kehidupan masyarakat setempat dapat meningkat. Nilai yang diutamakan adalah gotong-royong dan kebersamaan. Harapannya tidak saja pembangunan fisik berupa rumah yang lebih layak tetapi juga taraf kehidupan masyarakat miskin meningkat secara berkesinambungan.

Penanggulangan kemiskinan yang diprogramkan oleh dinas sosial dilakukan melalui kordinasi dan pendataan dari tingkat bawah yaitu : mulai dari dinas sosial kabupaten yang mendata KK miskin di desa-desa dinas yang dihimpun datanya oleh kecamatan. Selama ini apabila ada pendataan KK miskin dilakukan oleh desa dinas, karena pembiayaan untuk program tersebut melului APBD, sehingga dinas sosial secara kordinatif melakukan kerjasama pendataan kemiskinan melalui desa dinas.

Pandangan mengenai pengentasan kemiskinan selama ini sudah berjalan sebagaimana mestinya dan program-program yang menjadi unggulan dinas sosial telah terealisasikan dengan baik. Tetapi selama ini kendala yang dihadapi adalah terbentur pada lahan untuk mendirikan bangunan, karena tidak semua KK miskin yang didata untuk bedah rumah memiliki sendiri lahannya sehingga dalam situasi yang demikian dinas sosial kesulitan untuk merealisasikan program tersebut sesuai sasaran.

Adapun hasil pelaksanaan program bedah rumah dari tahun 2010 hingga tahun 2014 telah dapat dilakukan bedah rumah sebanyak 7,584 buah rumah untuk


(35)

30 Provinsi Bali, dengan sebaran : untuk Kabupaten Jembrana : 685 buah, Kabupaten Tabanan : 898 buah, Kabupaten Badung: 221 buah, Kabupaten Gianyar : 720 buah, Kabupaten Klungkung 703 buah, Kabupaten Bangli: 749 buah, Kabupaten Karangasem : 1.133 buah, Kabupaten Buleleng: 2.436 buah dan Kota Denpasar: 39 buah. (Rincian lebih lanjut dapat dilihat dalam lampiran).

Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa upaya pengentasan kemiskinan di Provinsi Bali telah diupayakan secara terus menerus, namun tampaknya kemiskinan tersebut belum dapat dihilangkan sama sekali. Tentunya berbagai kendala dijumpai dalam pelaksanaan program pemereintah untuk mengentaskan kemiskinan tersebut diantaranya dana yang terbatas, kondisi lapangan yang belum memungkinkan (tidak dimilikinya lahan untuk bedah rumah bagi warga tertentu ) dan lain sebagainya.

Pada bagian lain dapat dilihat pula bahwa pelaksanaan program untuk mengentaskan kemiskinan tersebut lebih banyak melibatkan desa dinas karena desa dinas dipandang sebagai bagian dari pemerintahan di tingkat bawah yang secara administrasi berada dalam koordinasi dari pemerintah. Tidak ada tanda-tanda atau informasi yang menegaskan secara jelas tentang keterlibatan desa adat (desa pakraman) dalam pelaksanaan program pemerintah tersebut. Dengan kata lain desa pakraman di Bali seakan-akan berada di luar garis kegiatan dari pemerintah dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan tersebut.

Dalam realitanya dapat disimak lebih jauh mengenai apa yang telah dikerjakan oleh desa adat (desa pakraman) dalam turut serta mengupayakan


(36)

31 pengentasan kemiskinan tersebut sebagai upaya yang mandiri di luar gerak pemerintahan. Berikut ini dapat dikemukakan data tentang hal itu.

4.2. Desa Pakraman dan pengentasan kemiskinan

4.2.1. Deskripsi singkat dari data lapangan

Berikut ini dapat dilihat bagaimana peran dari desa pakraman yang dijadikan sample dalam penelitian ini berkenaan dengan persepsi dan upaya yang telah dilakukan dalam pengentasan kemiskinan di wilayahnya.

A. Desa Manikliyu Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.

1. Gambaran keanggotaan di Desa Pakraman Manikliyu yaitu terdiri dari : 456 KK yaitu pengarep 141 KK sisanya adalah pengempi. Sebagian besar diantaranya menguasai tanah PKD dan Ayahan Desa dimana terkait dengan kewajiban yang diemban ke desa adat. Kewajiban itu berupa ayahan dan tentu hasil yang diperoleh atas penguasaan tanah desa tersebut dapat digunakan untuk papeson utamanya untuk pembangunan fisik pura yang diempon krama setempat.

2. Pembangunan fisik Pura yang pernah dilakukan yaitu saat secara swadaya melakukan pembangunan Pura Dalem . Dimana krama sendiri dikenakan papeson Rp. 500.000 rupiah yang mekarang dan ngerob sebesar 300.000. Selama ini untuk papeson itu tak menjadi kendala yang membebani krama karena relatif menyesuaikan kemampuan .Kebetulan pula atas penguasaan yang terbilang luas atas tanah desa hingga 1-2 hektar berupa kebun jeruk cukup menghasilkan manakala panen sehingga atas penguasaan dan hasil yang diperoleh diprioritas untuk papeson tersebut.


(37)

32 Terhadap adanya papeson itu krama tidak ada yang berkeberatan dengan kesadaran penuh melakukannya.

3. Keadaan perekonomian krama memang banyak ditopang hasil kebun jeruk.Apabila dari standar kehidupan dengan hasil kebun mereka telah mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban ke desa adat. Hanya 1 KK miskin yang ada tercatat di desa tersebut tahun 2015 ini, sebelumnya di tahun 2013 memang ada 3 KK, penurunan terjadi karena pencanangan dari pemprop Bali melalui Program Bali Mandaranya dan terbantu 2 KK itu untuk dapat program bedah rumah.

4. Program tersebut bisa didapat karena bendesa selaku pengurus adat berkoordinasi dengan desa dinas melalui perbekel Manikliyu yang melaporkan keadaan itu. Respon pemerintah untuk merealisasikan program bedah rumah akhirnya bisa terwujud. Meskipun pemerintah secara dinas turun tangan, tetapi desa pakraman saat itu ikut serta dalam membantu program tersebut, mengingat untuk kepentingan warganya agar mempunyai rumah layak huni sebagai salah satu kriteria bebas dari kategori miskin. Krama adat saat itu turut membantu menyumbang kayu dan bantuan tenaga pembangunan rumah. Jadi tidak lagi keluar ongkos tukang, sehingga hasil rumah yang dibangun bisa dimaksimalkan sesuai persyaratan tumah sehat dan layak huni. Sementara untuk 1KK yang masih masuk kategori miskin memang sulit direalisasikan mengingat yangn bersangkutan tanpa sanak saudara dan menderita gangguan mental. Tetapi bendesa selalu mengupayakan bagaimana


(38)

33 agar krama tersebut tetap memperoleh rumah melalui program bedah rumah tersebut.

5. Tradisi kemasyarakatan dalam pesuka-dukan dilakukan secara sederhana. Dimana bila ada warga meninggal, dikubur dengan upacara sederhana selanjutnya dalam tiap 2 tahun dilakukan ngaben massal. Ngaben pun bukan dengan upakara besar kerana memang ada larangan untuk prosesi membakar mayat di wilayah mereka dengan kepercayaan yang telah diwariskan secara turun temurun berkaitan dengan posisi wilayah setempat sebagai penyungsung Sad Kahyangan Pura Ulun Danu Batur.

6. Dalam hal upakara dewa yadnya untuk pelaksanaan piodalan semua yang mekrama baik pengarep dan pengempi dikenakan kewajiban atas uang senilai Rp. 15.000 rupiah dan 1 kg beras. Selebihnya upakara dibuat bersama menjelang pelaksanaan upacara piodalan. Dari ketentuan papeson untuk upacara agama memang tak menjadi beban bagi krama, ini memang dilakukan secara koordinasi melalui paruman mangku dan prajuru agat upakara yang dibuat tidak membebani krama adat penyungsung pura.

7. Meskipun selama ini untuk biaya upakara dan sosial kemasyarakatan dalam pesuka dukan mereka memilih yang tingkat sederhana, tetapi masih ada tantangan yang dihadapi masyarakat setempat yang ingin segera diwujudkan yaitu untuk menggerakkan perekonomian masyarakat melalui pemberdayaan LPD. Selama ini di desa setempat untuk LPD mereka belum berkembang sehingga baru dapat menjalankan simpan pinjam dalam jumlah terbatas. Harapannya ke depan Desa Manikliyu dapat mengembangkan usaha di LPD


(39)

34 mereka lebih baik lagi guna semakin membantu kehidupan masyarakat setempat yang mayoritas petani jeruk. Dalam perkembangannya tampak bahwa tidak semua warga memiliki lahan pertanian seperti itu, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya banyak yang memiliki profesi lain selain petani, seperti misalnya: ada yang berprofesi tukang bangunan, buruh serabutan dan sebagainya, sehingga jika LPD telah berkembang maka akan banyak membantu warga setempat dalam permodalannya.

8. Program Bali Mandara yang dirancang salah satunya melalui Simantri tampak tidak efektif dikembangkan di desa tersebut mengingat pendapatan ternak dengan sistem berkelompok tidak dirasakan secara signifikant menjadi sumber penghidupan keluarga sehingga kelompok ternak menjadi tidak maksimal. Mereka lebih memilih menjadi buruh karena penghasilannya dinilai lebih besar dan waktunya relatif lebih cepat dalam menopang perekonomian keluarga.

Dari Situs Resmi Pemkab Bangli dapat diketahui pula bahwa ada satu program khusus di Kabupaten Bangli yang dikenal dengan Program Gerakan Pembangunan Desa Sistem Gotong Royong (Gerbangdesigot), yang dicanangkan sejak awal kepemimpinan Bupati Bangli I Made Gianyar. Program ini secara umum bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan dan melalui peningkatan perhatian semua komponen masyarakat termasuk dunia usaha dalam pengentasan kemiskinan. Contoh nyatanya melalui bedah rumah yang selain direalisasikan dari program Bali Mandara Pemprop Bali juga dihimpun dari Coorporate Social Responsibility PD Pasar Kab. Bangli.


(40)

35 Di tahun 2013 Program ini merealisasikan dana bantuan di Desa Mangguh Kecamatan Kintamani, sedangkan di Desa Manikliyu karena ditahun yang sama telah 2 KK nya disasar bedah rumah program Bali Mandara, maka Gerbangdesigot saat itu dilakukan dalam bentuk pemantauan dan pembinaan kehidupan petani jeruk agar menghasilkan secara maksimal. Hingga Juli 2015 ini program Pemkab Bangli ini telah menyasar beberapa wilayah desa- desa yang memerlukan pembinaan dan bantuan.

B. Desa Pakraman Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Pulau Bali yang luasnya 5.808,8 Km2 dibelah oleh pegunungan yang membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak sempit di sebelah utara, dan daratan yang lebih besar di sebelah selatan. Pegunungan tersebut sebagian besar masih tertutup oleh hutan rimba lebat. Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 1.000-1.100 meter dari permukaan laut. Dilihat dari lingkungan wilayahnya Desa Pancasari berbatasan dengan :

- Sebelah Utara : Desa Wanagiri;

- Sebelah Selatan : Desa Candikuning, Kec. Baturiti, Kab.Tabanan; - Sebelah Barat : Hutan Negara;

- Sebelah Timur : Hutan Negara.

Luas wilayah Desa Pancasari sekitar 12,80 hektar, sebagian besar merupakan daerah pertanian dan sedikit daerah tegalan. Suhu rata-rata 23 - 25 derajat celcius dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara 17,59 meter kubik/tahun. Desa Pancasari terdiri dari 5 (lima) Banjar Dinas yaitu :


(41)

36 1) Banjar Dinas Buyan, 2) Banjar Dinas Peken, 3) Banjar Dinas Dasong, 4) Banjar Dinas Karma, 5) Banjar Dinas Lalanglinggah. Jarak dari Ibukota Dati I sekitar 54Km, dengan waktu tempuh + 2 jam perjalanan ke tempat lokasi.

Menurut Bendesa Desa Pakraman Pancasari (wawancara dengan I Gusti Ngurah Agung Dharma Wirata, umur 55 tahun) yang dikatagorikan penduduk miskin antara lain : lantai tempat tinggal dari tanah, dinding tempat tinggal dari kayu atau papan berkualitas rendah. Pengentasan kemiskinan terkait dengan pengalokasian dana dari pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu dengan istilah di desa dinas dengan nama kelompok tani, kelompok nelayan dan lain sebagainya yang tujuannya untuk membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat kurang mampu. Pengentasan kemiskinan dapat diartikan sebagai upaya memberikan peluang untuk memperbaiki hidup untuk peningkatan kesejahteraan dengan mengajak semua komponen masyarakat untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung. Usaha dalam pengentasan kemiskinan di Desa Pancasari antara lain : mayarakat yang mempunyai tanah pertanian tetapi tidak bisa digarap sendiri oleh pemiliknya, maka pemilik tanah tersebut memberikan lahan garapannya kepada masyarakat yang kurang mampu dengan memberikan hak menggarap sebidang tanah (istilah Bali nyakap) untuk ditanami sayur-sayuran dan palawija sehingga mereka mendapatkan mata pencaharian tetap, ini merupakan suatu bentuk tindakan individu.

Sedangkan sebelum Program Bali Mandara yang dirancang oleh pemerintah Provinsi Bali salah satunya melalui Simantri, sebenarnya sebagian besar pendapatan masyarakat selain menggarap tanah, sumber penghidupan


(42)

37 keluarga miskin di Desa Pancasari dengan memelihara ternak/sapi milik orang lain. Adapun faktor pendorong untuk melakukan hal tersebut karena adanya perasaan keterpanggilan untuk membantu, sehingga dengan memberikan tanah garapan dan memelihara ternak/sapi dengan sistem bagi hasil merupakan suatu bentuk keperdulian kepada masyarakat yang kurang mampu.

Sepengetahuan Bendesa Desa Pakraman Pancasari, desa adat belum pernah dilibatkan secara langsung dalam program-program pengentasan kemiskinan oleh desa dinas, sehingga Desa Pakraman tidak mengetahui data penduduk miskin di desa pakraman tersebut.

Dari Situs Resmi Pemkab Buleleng dapat diketahui beberapa hal berkenaan dengan pengentasan kemiskinan di wilayah Kabupaten Buleleng diantaranya bahwa:

1. Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) rendahnya taraf pendidikan yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan diri, khususnya dalam mengakses lapangan kerja dan lapangan usaha; (2) rendahnya taraf kesehatan, menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa; (3) terbatasnya lapangan kerja; dan (4) kondisi terisolasi, sehingga sulit terjangkau untuk pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sebagainya.

2. Jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Buleleng cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan tersebut. Pada tahun 2005, RTM di Kabupaten Buleleng berjumlah 47.908


(43)

38 rumah tangga. Jumlah RTM tahun 2010 berkurang menjadi 45.187 rumah tangga (Tabel SE-1); tereduksi sekitar 2.721 rumah tangga atau 5,68% (BPMPD Kab. Buleleng, 2010).

3. Pemerintah Kabupaten Buleleng mengupayakan penurunan RTM (rumah tangga sasaran/RTS) sekitar 6% setiap tahunnya. Pada tingkat kecamatan, jumlah RTM berkisar 3.115 – 7.419 rumah tangga. Jumlah terbanyak terdapat di Kecamatan Gerokgak, 7.419 rumah tangga (16,42% dari total RTM Kabupaten Buleleng) atau 32,82% dari jumlah rumah tangga di Kecamatan Gerokgak. Jumlah RTM terkecil ada di Kecamatan Sawan, yaitu 3.115 rumah tangga, sekitar 16,72% dari jumlah rumah tangga yang ada di Kecamatan Sawan.

Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Buleleng2

No Kecamatan Jumlah Rumah

Tangga

Jumlah Rumah Tangga Miskin

(1) (2) (3) (4)

1 Gerokgak 22.608 7.419

2 Seririt 21.569 7.198

3 Busungbiu 11.426 3.418

4 Banjar 20.470 5.631

5 Sukasada 16.233 3.492

6 Buleleng 32.198 5.462

2

http://datin.menlh.go.id/assets/berkas/SLHD_2010/Buleleng-buku-SLHD-laporan.pdf, diakses hari jumat, tanggal 03 juli 2015, hal.II-11


(44)

39

7 Sawan 18.629 3.115

8 Kubutambahan 13.350 5.108

9 Tejakula 16.474 4.344

Jumlah 172.957 45.187

Keterangan : -

Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Buleleng (2010)

Kabupaten Buleleng saat ini memiliki 45.187 Rumah Tangga Miskin (RTM); 26,25% dari jumlah rumah tangga yang ada di Kabupaten Buleleng. Banyaknya RTM menjadikan masalah kemiskinan sebagai isu penting yang terus direspons oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng dan stakeholders lainnya. Penanganan kemiskinan merupakan salah satu isu penting yang telah menjadi salah satu dasar penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Kabupaten Buleleng.

Respons yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng untuk mengatasi kemiskinan selain melaksanakan program tanggap darurat juga melalui pemberdayaan masyarakat, pembangunan dan perbaikan infrastruktur, kemudahan memperoleh akses pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2007-2012, Pemerintah Kabupaten Buleleng memproyeksikan penurunan kemiskinan sebesar 6,47% pada tahun 2012. Untuk mencapai proyeksi itu, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada membuat Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) yang diarahkan dan memberi kontribusi kepada penurunan kemiskinan.

Sebagaimana diketahui, masalah kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, penyebabnya multi faktor. Pertama, dapat berupa faktor alamiah yang


(45)

40 berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak mendukung sehingga masyarakat menjadi miskin. Kedua, faktor kultural yaitu sistem nilai yang dianut, sikap mental, kebiasaan masyarakat yang kurang mendukung sehingga masyarakat menjadi miskin. Ketiga, dapat juga karena faktor kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga ada lapisan masyarakat yang tidak mampu mengakses berbagai kebijakan, yang akhirnya menjadikan mereka miskin.

Respons dalam upaya penanggulangan kemiskinan selain melalui program tanggap darurat, juga diarahkan kepada upaya mengatasi penyebabnya. Upaya dilakukan melalui perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Ini penting karena penyebab kemiskinan yang lain seperti faktor alam dan kultural dapat juga diatasi melalui perbaikan kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mengubah faktor alam dan faktor kultural yang kurang mendukung.

Secara singkat respons yang diupayakan dilakukan sebagai agenda untuk penanggulangan kemiskinan adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan berupa program pengadaan teknologi yang memungkinkan mengatasi keterbatasan sumber daya alam yang semula kurang mendukung menjadi sumber daya alam yang mampu mendukung kehidupan. Seperti pengadaan teknologi yang memungkinkan mengubah lahan kering menjadi lahan yang lebih produktif, teknologi produksi pertanian yang lebih hemat input luar termasuk air, teknologi pemulihan lahan kritis, dan sebagainya. 2. Kebijakan berupa pendidikan formal maupun non formal untuk semua lapisan


(46)

41 kurang mendukung menjadi sistem nilai, sikap mental, dan kebiasaan yang responsif terhadap perubahan lingkungan.

3. Kebijakan berupa program yang memberi akses yang sama kepada semua lapisan masyarakat untuk mengakses faktor-faktor produksi seperti modal, informasi dan pasar.3

C. Desa Pakraman Eka Cita Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan

Desa Pakraman Eka Cita Penyalin terletak di ujung pintu masuk Kecamatan Kerambitan yang berbatasan langsung dengan Kota Tabanan, sehingga akses menuju kota tidak begitu jauh, ditempuh hanya dalam 10 menit. Desa Pakraman Eka Cita Penyalin hanya terdiri 1 banjar adat berbatasan dengan Desa Pakraman Kutuh Kelod di bagian utara, Desa Pakraman Slingsing di selatan, di timur Sungai Yeh Nu dan barat Sungai Yeh Nusa. Berada di jalur jalan propinsi Bali yakni Denpasar- Gilimanuk namun sangat mudah terjangkau kendaraan dan transportasi umum. Desa Pakraman ini masuk wilayah Perbekelan Samsam.

Desa Pakraman Eka Cita Penyalin merupakan kategori desa kecil dengan 1 (satu) banjar adat dan terdiri dari jumlah total 55 krama adat yaitu krama pengarep dan pengampel di luar desa dan luar Bali. Secara umum krama adalah PNS, pengusaha, wirawaswasta dan petani yang memiliki tanah pertanian sendiri. Tidak ada tanah adat baik PKD, tanah pelaba pura, tanah ayahan desa. Tanah hunian tempat tinggal adalah merupakan tanah milik, tanah untuk lokasi pura adalah tanah negara yang dimohon di era tahun 2001 dan karena itulah Kahyangan Tiga :

3

http://datin.menlh.go.id/assets/berkas/SLHD_2010/Buleleng-buku-SLHD-laporan.pdf, diakses hari jumat, tanggal 03 juli 2015, hal.II-13 – II-15


(47)

42 Puseh, Dalem, Bale Agung terletak dilokasi yang sama. Pembangunan fisik untuk ketiga pura tersebut telah rampung dan dalam pelaksanaannya kegiatan pembangunan pura kahyangan tiga tersebut dilakukan bertahap tidak sekaligus. Biaya pembangunan pura ini seluruhnya didanai dari kas desa pakraman yang terdiri dari dana bantuan yang didapat dari pembinaan desa adat setiap tahunnya, pengajuan proposal bantuan ke Departemen Agama serta Dinas Kebudayaan yang dilaksanakan oleh prajuru dan salah satu krama yang berdinas di Pemda Tabanan. Dana kas adat juga didapat dari kebakatan (denda) bagi krama yang tidak melaksanakan kewajiban ngayah sesuai ketentuan, dan dana yang dihimpun tiap tahun dari pengampel yang tidak melaksanakan ayahan karena berada di luar desa adat baik di Denpasar dan luar Bali. Untuk pembangunan fisiknya sendiri tidak dikenakan papeson lagi berupa iuran pembangunan pura tetapi untuk upakara pemelaspasan, dan piodalan krama kena papeson banten dan ngayah sesuai waktu yang telah ditentukan.

Kegiatan Suka Duka dilaksanakan dengan tetap mengutamakan konsep tolong menolong (metulungan) diantara krama, yang punya kerja biasa nunas karya (meminta bantuan kerja) pada adat yang maksimal krama tedun 3 kali saja dalam tiap pelaksanaan karya tersebut. Pembatasan ini dianggap cukup dan sebagai jalan tengah agar tetap ada keseimbangan untuk karma agar dapat juga melaksanakan pekerjaannya. Biasanya yang punya kerja sendiri telah membeli banten sesuai kemampuan sementara krama adat yang ikut metulungan membantu persiapan upakara lain seperti melakukan pakeling ke pura-pura dan juga bantuan tenaga fisik sesuai kebutuhan pelaksanaan upacara tersebut. Tidak ada program


(48)

43 upacara secara massal karena memang anggota desa pakraman sendiri berjumlah sedikit.

Kondisi Krama Desa Pakraman Eka Cita Penyalin sendiri terbilang cukup dilihat dari segi sosial ekonomi, dalam artian keadaan krama dari 55 KK termasuk yang merantau ke luar telah dapat mencari sumber penghidupan yang baik sehingga secara rata-rata ekonomi terbilang cukup. Tetapi ada juga yang belum mapan secara ekonomi dan telah masuk dalam program kesejahteraan dari desa dinas yaitu perbekel Samsam. Bedah rumah dilakukan pada rumah Mangku Pura Dalem karena memang telah banyak yang rusak dan dimintakan bantuan program bedah rumah dengan koordinasi desa pakraman dan dinas di tahun 2013. Rumah mangku mendapat prioritas karena memang secara fisik sudah kurang layak akibat banyak kerusakan dan mangku telah ngayah lama sejak tahun 1998 sehingga difokuskan perhatian kesejahteraan pada pemangku disamping karena dahulunya termasuk ikut program transmigrasi ke Lampung.

Tanggapan atas Peran Desa Pakraman dalam pengentasan kemiskinan yang berjalan selama ini di Desa Pakraman Eka Cita Penyalin yaitu dengan tetap memperhatikan arahan dari perbekel Samsam. Walaupun aspek kedinasan yang melaksanakan program tersebut, desa pakraman sering juga diundang dalam rapat koordinasi di kantor desa yang dimaksudkan untuk bekerjasama antara dinas dan bendesa. Selama ini hal itu telah terlaksana dengan baik.

D. Desa Pakraman Angantelu, Kecamatan Mangggis, Kabupaten Karangasem

Desa Pakraman Angantelu merupakan kategori desa besar dengan luas 1333 ha yang beranggotakan 2000-an krama baik itu selaku pengarep yang


(49)

44 langsung tedun ngayahang di desa dan juga termasuk yang dirantau ( luar desa). Desa ini terdiri dari 10 banjar adat yaitu :

1. Banjar Ketug 2. Banjar Kaler 3. Banjar Seraya 4. Banjar Labuan 5. Banjar Kelod 6. Banjar Tengading 7. Banjar Pangi Tebel 8. Banjar Bengkel 9. Banjar Pangalon 10.Banjar Yeh Malet

Secara umum mata pencaharian krama setempat adalah pertanian, pertukangan, pedagang, ada juga PNS,dan beberapa diantaranya bergerak di bidang pariwisata. Desa ini termasuk desa besar dan telah mampu menghidupkan LPD milik desa adat sehingga sangat terasa kontribusinya bagi perekonomian desa. Pengelolaannya dilakukan dengan baik sehingga telah mampu dijadikan sandaran bagi peningkatan kesejahteraan desa utamanya bagi desa pakraman dalam membantu kegiatan sosial ekonomi kramanya.Ini terbukti dengan mampunya LPD memiliki dana SHU yang kemudian disimpan sebagai kas desa yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan adat, untuk kegiatan pembangunan fisik pura, dan pendanaan kegiatan rutin tahunan di Purnama Kelima yaitu Usabha. Tetapi


(50)

45 kegiatan yang sepintas dinilai memakan biaya besar dan kegiatan ngayah yang lama oleh krama tak terjadi di desa ini karena telah dibagi dan dikoordinasikan sedemikian rupa dengan 10 banjar adat pendukung Desa Pakraman Angantelu.

Mekanisme kegiatan adat yang dilakukan di Purnama Kelima itu yaitu dilaksanakan bergilir oleh 10 banjar adat sehingga 1 banjar adat yang secara pokok mendapat giliran ngayah utama sebagai pelaksana karya adat usabha tersebut hanya akan mendapat gilirannya 10 tahun sekali. Dananya pun diambil dari kas desa yang banyak dihasilkan dari SHU LPD dan dana pembinaan desa pakraman. Krama hanya dibebankan papeson banten yang dibagi secara merata sesuai jenis upakaranya. Papeson banten itu pun dibawa di acara ngayah yang tak lagi menyita waktu lama karena berlangsung singkat cukup setengah hari karena tinggal nyoroh bantennya saja. Ini diupayakan guna memberi kesempatan juga bagi krama yang bekerjanya di sektor nonformal seperti pertukangan, pertanian untuk tidak banyak waktunya tersita sehingga bisa juga tetap mencari nafkah. Demikian juga untuk yang bekerja di sektor pariwisata, PNS. Artinya mereka tetap dapat melaksanakan rutinitasnya dalam mencari nafkah, sehingga kemiskinan kultural dapat dicegah dengan pelaksanaan kegiatan adat yang teroganisir lebih baik. Aturan ini telah menjadi kesepakatan krama melalui paruman dan telah menjadi perarem desa. Bahkan selama kurang lebih 13 tahun sudah sejak menjadi bendesa beban papeson pada krama total jika dihitung nominalnya hanya mencapai 400 ribu rupiah saja.

Pengorganisasian lain terkait krama yang berada di rantau, sekali saja dibebani 1 (satu) karung beras saja, yang dapat diuangkan, selanjutnya tidak lagi ada kewajiban apapun, dan bila ada yang meninggal krama rantau itupun tetap


(51)

46 dapat kulkul banjar, tedun ngarap karya dan fasilitas setra tetap dapat. Sementara untuk ngaben selama ini berjalan namun tidak terlaksana dan dikoordinir desa melalui ngaben massal. Desa pakraman tetap diminta tedun dalam suka-duka tersebut tetapi sebagai pendukung. Sebagai pengarep kerja pesuka dukan biasanya dilaksanakan oleh soroh / kelarga besar ( kekerabatan genealogisnya). Tetapi prinsip ngayah, metulung itu tetap dilaksanakan oleh krama.

Dalam hubungannya dengan pengentasan kemiskinan dapat dilihat bahwa anggaran kesejahteraan di desa pakraman tentunya tidak dialokasikan sebagaimana dinas yang dialokasikan oleh Pemprov dan Pemda. Tetapi perhatian dalam turut menciptakan dan mendorong kehidupan yang lebih baik bagi krama diupayakan bersama. Selaku bendesa adat, koordinasi dengan dinas terus dilakukan dan terhadap krama yang dialokasikan dana pengentasan kemiskinan misalnya bedah rumah telah ada dalam 5 tahun ini di wilayah kedinasan Antiga dilakukan 4 kali dengan sasaran rumah lebih layak huni. Krama yang disasar bedah rumah ini dibantu gotong royong juga oleh krama di banjar tempat krama yang mendapat bantuan berada.

Selama ini untuk untuk pengentasan kemiskinan dari desa dinas dilakukan melalui koordinasi dengan Pemprov dan Pemkab Karangasem untuk di wilayah kedinasan Antiga yang selama ini dialokasikan dana bedah rumah dalam 5 tahun terakhir terealisasi melalui distribusi beras miskin ke 308 KK disamping itu telah terelisasi program bedah rumah bagi 4 KK dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Jika melihat ke peran desa pakraman, selaku krama di Banjar Kaja Desa Pakraman Angantelu sejauh ini manajemen pengelolaan desa pakraman berjalan baik yang


(52)

47 memberikan kesempatan lebih luas bagi krama untuk tetap melaksanakan rutinitas kehidupannya secara berimbang dengan kegiatan ngayah pesuka- dukan di desa. Yang juga mulai terasa perkembangannya dan dirasa berperan juga dalam pembiayaan kegiatan desa adat adalah LPD yang mulai berkembang dengan baik.

E. Desa Pakraman Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Kecamatan Ubud selama ini dikenal sebagai suatu destinasi pariwisata yang terkenal, akan tetapi kehidupan dan pemerataan sektor ekonomi juga belum sepenuhnya dapat menghindarkan wilayah ini dari kemiskinan.

Data penetapan pagu beras miskin tahun 2015 menunjukkan distribusi bagi KK kurang mampu di kecamatan Ubud sebagai berikut :

1. Desa Singakerta distribusi raskin setahun yaitu 114.480 kg bagi 636 RTS 2. Desa Lodtunduh distribusi raskinnya setahun yaitu 122.580 kg bagi 681

TRS

3. Desa Mas distribusi raskin setahun yaitu 83.520 kg bagi 464 RTS 4. Desa Peliatan distribusi raskin setahun yaitu 41.400 kg bagi 230 RTS 5. Desa Petulu distribusi raskin setahun yaitu 23.220 kg bagi 129 RTS 6. Desa Ubud distribusi raskin setahun yaitu 51.300 kg bagi 285 RTS 7. Desa Sayan distribusi raskin setahun yaitu 31.680kg bagi 176 RTS 8. Desa Kedewatan distribusi raskin setahun yaitu 28.260 kg bagi 157 RTS ( Sumber : Lampiran Surat Nomor :551.21/9548/Ek dari Sekretaris Daerah Kabupaten Gianyar Asisten Administasi Ekonomi dan Pembangunan)

Desa Pakraman Padang Tegal terdiri dari 3 banjar suka duka dan 3 banjar dinas, yaitu: Banjar Padangtegal Kaja; Banjar Padangtegal Mekarsari; dan Banjar


(53)

48 Padangtegal Kelod. Kelihan banjar adat merangkap sebagai kepala lingkungan. Desa Pakraman Padangtegal memiliki sejumlah aset yang merupakan potensi wisata yang dikelola secara mandiri yaitu obyek wisata Wenara Wana yang menjadi sumber pendapatan utama desa pakraman dan penunjang dalam menyelenggarakan kegiatan sosial religius. Penyelenggaraan kegiatan yang menyangkut kemasyarakatan dan keagamaan yang diselenggarakan desa pakraman tidak lagi menjadi beban krama desa, karena sudah disokong oleh Badan Usaha Desa ditambah dana LPD yang juga telah mengalami perkembangan pesat. Dalam hal kewajiban papeson bagi krama untuk ayah-ayahan tetap terlaksana tetapi dengan sarana prasana upakara yang dibeli dengan biaya dari kas desa sehingga tidak lagi kegiatan ngayah berlangsung berhari-hari. cukup singkat dan tidak memakan waktu lama. Pembangunan fisik sarana prasarana desa juga banyak dikontribusi dari hasil usaha desa. Tidak hanya ke desa pakraman saja secara umum, tetapi secara khusus ke perseorangan sedang dirancang dalam paruman desa untuk bisa memberi bantuan ke KK yang punya kerja adat ( duka/ngaben) sebesar 10 juta. Tetapi sementara yang tengah berjalan adalah bahwa ngaben massal telah dilaksanakan oleh desa sudah semenjak tahun 1965 tiap 5 tahun sekali. Bagi krama yang yang ikut ngaben masal (ngerit) dapat bantuan berupa dana sebesar 9,5 juta rupiah bagia tiap sawa. Pelaksanaan ngaben massal ini dirancang sedemikian rupa sebagai wujud penyamarataan di desa sehingga tidak ada upacara yang jor-joran meskipun dengan perkembangan pariwisata tingkat ekonomi krama Padangtegal relatif tinggi karena dominan memiliki usaha disektor pariwisata.


(54)

49 Sesuai pertumbuhan dan perkembangan pariwisata banyak krama yang mengontrakkan lahannya untuk dibuka untuk fasilitas kepariwisataan seperti home stay, art shop, tetapi banyak juga diantaranya hanya menghasilkan dari mengontrakkan lahan tersebut saja yang hanya dapat penghasilan di awal saja sehingga tetap dana-dana bantuan untuk krama yang akan melaksanakan kegiaatan yadnyanya didukung oleh desa pakraman .

Walaupun Desa Pakraman Padangtegal merupakan daerah tujuan wisata dan kehidupan krama banyak dibidang pariwisata akan tetapi masih ada saja krama yang tingkat perekonomian keluarganya tergolong miskin. Dalam hubungannya dengan hal ini tiap banjar dinas bekerjasama dengan banjar adat dalam melaksanakan bedah rumah ikut menggalang dana tambahan biar rumah yang dibangun layak huni dengan kulitas bahan yang memadai. Demikian juga bagi krama desa yang sakit mendapat bantuan biaya pengobatan 500 ribu rupiah atau apabila ada krama kematian mendapat bantuan dana dari desa pakraman sebesar 1 juta rupiah. Sekarang sedang dibahas untuk mendirikan klinik atau rumah sakit agar bisa memberikan bantuan kepada krama yang tidak mampu secara ekonomis.

Dalam meningkatkan pendidikan, desa pakraman Padangtegal juga berkontribusi memberikan bea siswa dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. khususnya bagi krama yang tidak mampu tetapi anaknya mempunyai kemampuan akademik. Khusus untuk tingkat perguruan tinggi (S1) diarahkan kuliah seperti di Fakultas Kedokteran Hewan yang mana nantinya setalah tamat bisa mengabdikan ilmunya bagi kepentingan desa pakraman untuk dipekerjakan di


(55)

50 obyek wisata wenara wana (sebagai dokter hewan) Di desa pakraman Padangtegal juga sudah berdiri TK di Banjar Mekarsari dan PAUD di Banjar Padangtegal Kaja,

F. Desa Pakraman Penatih, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar

Sepanjang kurun waktu lima tahun sejak 2011 hingga 2015 kegiatan peningkatan kesejahteraan juga direalisasikan di wilayah perkotaan yaitu salah satunya bagian timur wilayah kota Denpasar . Kelurahan Penatih sendiri menurut keterangan Lurah Penatih, Wayan Herman S Sos. 50 th (wawancara 31 Juli 2015) menyampaikan bahwa ada koordinasi baik dengan pemprov dalam upaya pemerataan tingkat kesejahteraan selama ini bagi warganya yang walaupun berada di lingkup wilayah perkotaan tentu tidak semua tercukupi sandang, pangan papannya. Dari pendataan pada desa dan banjar diwilayah kelurahan Penatih yaitu Anggabaya, Paang Kaja, Paang Kelod, Paang Tengah, Pelagan, Saba, Semaga, Tembau Kaja, Tembau Kelod, Tembau Tengah telah dilakukan distribusi sembako ke rumah tangga miskin (RTM) di alamat-alamat tersebut di tahun 2015 kepada sejumlah 124 ( RTM). Selain itu dukungan Pemprov dan Pemkot melalui SKPDnya yakni Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial, Dinas Tata Ruang telah seringkali menyalurkan bantuannya berupa sembako. Sementara peran lembaga perekonomian dan yayasan sosial juga pernah memberi kontribusi untuk warga yang terdata RTM.

Desa Pakraman Penatih terdiri dari 4 banjar adat yaitu : Banjar Lalap Arya, Banjar Paang Kelod, Banjar Paang Kaja dan Banjar Semaga. Selama ini kegiatan adat baik ngayah untuk pura yang diempon dan kegiatan kemasyarakatan


(1)

53 Yang menarik untuk diperhatikan dalam hubungan ini adalah bahwa di sisi yang berbeda desa pakraman juga menunjukkan kegiatan yang arahnya membantu warga miskin yang ada di wilayahnya dalam bentuk antara lain memberikan tambahan baik berupa uang atau bahan bagi warga yang mendapatkan bantuan bedah rumah, memberikan bantuan dana manakala ada kegiatan upacara ngaben, meringankan beban kewajiban membayar iuran untuk desa dengan bantuan dana dari LPD sebagai lembaga perkreditan milik desa pakraman dan sebagainya. Memang tidak semua desa pakraman yang dapat memberikan bantuan seperti itu karena keterbatasan kemampuan mereka, namun pemikiran kea rah itu tampaknya ada di kalangan prajuru adatnya. Bahkan orang perorangan juga memiliki pemikiran untuk membantu sesama warga yang tidak mempu dengan memberikan lahyan untuk dikerjakan atau hewan untuk dipelihara dengan sistem bagi hasil.

Dari data yang dikemukakan di atas dapat pula dilihat bahwa pada beberapa desa pakraman seperti Padangtegal telah menunjukkan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan melalui program yang dirancang nyata oleh desa pakraman tersebut. Secara nyata perannya tampak melalui bentuk pemberian dana sosial bagi krama yang sakit, bea siswa pendidikan yang tentu ini dapat membantu peningkatan kesejahteran warga setempat. Terlebih lagi dengan pengelolaan usaha desa yang berkembang cukup pesat sehingga dirasakan perannya dalam pembiayaan kegiatan sosial keagamaan sehingga warga diringankan. Pada desa pakraman lain peran desa pakraman juga tampak dengan selalu mengkoordinasikan dengan kedinasan bagaimana keadaan masyarakatnya, ini secara tidak langsung juga dapat menagarahkan bantuan program pemerintah mengarah kepada upaya


(2)

54 mengentaskan kemiskinan dapat tepat sasaran. Bantuan dari Pemprov dan Pemda seperti misalnya Simantri juga telah dilaksanakan meski belum sepenuhnya berhasil dilaksanakan karena berbagai kendala tetapi upaya meningkatkan taraf hidup warga telah direalisasikan. Oleh karena itulah program dari pemerintah lebih mengarah kepada program bantuan untuk rakyat miskin yang dilaksanakan setiap tahun sehingga derajat kehidupan warga dapat melewati batas garis kemiskinan yang telah ditetapkan. Demikian juga dengan kegiatan desa pakraman yang meskipun ada di beberapa desa pakraman tidak dirumuskan sebagai program tetap sebagaimana dianggarkan seperti di desa dinas, secara tidak langsung dengan membuat kegiatan sosial keagamaan lebih sederhana dan praktis akan tetap membantu krama dari segi pembiayaan. Ini misalnya sesuai yang terjadi di Desa Pakraman Angantelu, dan Desa Pakraman Penatih. Sementara di Desa Pakraman Pancasari peran kebersamaan warga yang lebih tampak. Artinya meski di Desa Pakraman tidak ada program seperti desa lain yang menjadi obyek penelitian, tetapi nilai kebersamaan dan saling bantu orang-perorangan yang ekonominya lebih baik membantu dengan memberikan tanah garapan bagi yang miskin. Ini tentu nilai sosial yang sangat dipertahankan dan secara luas juga akan memperlihatkan kontribusi dalam penanggulangan kemiskinan tersebut.


(3)

55 BAB V

P E N U T U P 5.1. Kesimpulan

Dari apa yang telah diuraikan di depan dan sejalan dengan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Desa pakraman di Bali sesuai kondisi desanya masing masing memberi peran yang berbeda- beda dalam upaya penanggulan kemiskinan. Ada yang secara real telah memiliki program, sementara di beberapa desa pakraman lain perannya lebih banyak bersifat insidental dan situasional yang secara tidak langsung tetap bertujuan meringankan kehidupan masyarakatnya.

2. Sudah terlihat adanya upaya-upaya riil yang dilakukan oleh desa pakraman untuk dapat menanggulangi kemiskinan di wilayah desa pakraman tersebut, caranya melalui upaya konkrit berupa program yang mengarah untuk lebih meringankan warganya.

3. Upaya yang dilakukan tersebut, meskipun ada sifatnya yang insidental dan berupa bantuan material, tampaknya cukup membantu meringankan beban warga yang bersangkutan setidak-tidaknya dalam jangka pendek. 5.2. Saran-saran.

1. Untuk lebih mengintensifkan dan mengefektifkan kegiatan desa adat (desa pakraman) dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu kiranya lembaga terkait khususnya Majelis Desa Pakraman (Alit, Madya, atau


(4)

56 Utama) untuk mengupayakan peningkatan pemahaman dari desa pakraman, khususnya prajuru desa pakraman, bahwa keberadaan desa pakraman tersebut bukan hanya sebagai lembaga religius yang selama ini ditunjukkan dalam berbagai aktifvitasnya, melainkan juga sebagai lembaga sosial yang dapat diarahkan untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan kesejahteraan dari warganya.

2. Perlu pelibatan yang lebih konkrit dari desa pakraman dalam berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan dan pengawasan di tingkat desa sehingga program-program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan tersebut dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

3. Untuk keperluan pelibatan tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan dari Prajuru Desa Pakraman dalam bentuk pelatihan-pelatihan atau penataran yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Untuk itu perlu dukungan dana yang memadai. Koordinasi dengan kedinasan dilakukan dengan lebih intensif lagi sehingga dapat merumuskan program peningkatan kesejahteraan warganya dengan lebih konkrit.


(5)

57 DAFTAR BACAAN

Artadi, I Ketut, 2009, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post

Hadikusuma, Hilman, 2003, Pengantar Imu Hukum Adat, Mandar Maju,Bandung Purwita,Ida Bagus Putu, 1993, Desa Adat Pusat Pembinaan Kebudayaan Bali,

Upada Sastra

Tim Redaksi Fokusmedia, 2006, Undang Undang Otonomi Daerah, Fokusmedia, Bandung.

Sirtha, I Nyoman, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali, Udayana Soepomo, R. 2007, Bab-Bab tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Setelah Amandemen

UUD 1945, Bagian Hukum Tatanegara, Fakultas Hukum , Universitas Udayana.

Velsen, J. Van, 1969, “The Extended-Case Method and Situational Analysis” dalam A.L. Epsytein (Ed), The Craft od Sosial Antropology, London, Tavistock.

Wirta Griadhi, 1990, “Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, Majalah Kertha Patrika, Fak. Hukum Unud University Press

Soepomo, R. 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya paramita, Jakarta. Tim Redaksi Fokusmedia, 2006, Undang Undang Otonomi Daerah, Fokusmedia,

Bandung.

Windia, Wayan P. dan Sudantra, I Ketut, 2006, “ Pengantar Hukum Adat

Bali”Lembaga Publikasi dan Dokumetasi Fakultas Hukum Universitas Udayana

Wirta Griadhi, I Ketut, 1977,”Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, KerthaPatrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

58 LAMPIRAN

NAMA-NAMA TIM PENELITI

1. Team Leader (Koordinator) : A.A.Gd.Oka Parwata, SH., Msi 2. Tenaga Ahli Madya : I Nyoman Wita SH., MH

3. Tenaga Ahli Muda:. I Gst.Agung Mas Rwa Jayantiari, SH., MKn. 4. Asisten Ahli : I Gst Ngr. Dharma Laksana, SH., MKn . tenaga pendukung berupa :

a. Tenaga Surveyor : Ni Made Ari Yuliaartini, SH., MH. b. Tenaga Administrasi/Keuangan: Ni Putu Eka Damayanti SH.