Hubungan Peran Ayah dengan Penanganan Konflik Remaja Di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Peran
2.1.1 Defenisi Peran
Peran adalah seperangkat harapan –harapan yang dikenakan pada individu
yang menempati kedudukan sosial tertentu (Gros, dkk dalam Alamsyah, 2014).
Peran menurut Soekanto (Khufron, 2014) adalah suatu aspek dinamis
kedudukan (status) yang apabila seseorang menjalankan hak dan kewajibannya
maka ia dikatakan melakukan suatu peranan yang dapat dilakukan oleh orang,
badan, atau lembaga yang menempati suatu posisi.
2.1.2 Peran Keluarga
Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat
dan keinginan yang berhubungan dengan individu dalam posisi tertentu. Peranan
individu dalam keluarga di dasari oleh harapan pola perilaku keluarga, kelompok
dan masyarakat (Efendi, 1998 dalam Indriyani dan Asmuji, 2014)
Selanjutnya menurut Friedman (1998), ada beberapa peran dalam
keluarga, yaitu sebagai berikut.
1. Peran ayah adalah menggunakan kepemimpinan moral dalam keluarga.
Sebaliknya pencari nafkah yang berjarak menggambarkan peran utama ayah
sebagai penyedia tetapi tidak terlibat dalam perawatan anak.
2. Peran ibu dalam keluarga sebagai pemeran peranan penting yang tertumpu

yaitu sebagai istri, pemimpin, dan pemberi asuhan kesehatan.

7

Universitas Sumatera Utara

3.

Peran kakak/adik dalam keluarga yaitu ketika anak telah beranjak dewasa
peran sebagai kakak adik (sibling rule) mendapat arti yang penting sebagai
pelaku yang mampu melakukan sosialisasi (socializing agent).

2.1.3 Peranan Ayah pada Remaja
Menurut Hart dalam Yurnalis (2010) aspek-aspek peran ayah pada remaja
adalah sebagai berikut:
a. Pemberi nafkah (economic provider)
Ayah memenuhi kebutuhan finansial anak untuk biaya sekolah, membeli
peralatan belajar, dan perlengkapannya sehingga anak merasa aman mengikuti
pelajaran, dan dapat belajar dengan lancar dirumah.
b. Sebagai teman (friend and playmate)

Melalui permainan, ayah dapat bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin
hubungan yang baik sehingga masalh, kesulitan dan stress dapat dikeluarkan pada
akhirnya tidak mengganggu belajar dan perkembangannya.
c. Sebagai Pengawas (monitor and disciplimanian)
Ayah

mengawasi

perilaku

anak,

begitu

ada

tanda-tanda

awal


penyimpangan bisa segera di deteksi sehingga disiplin perilaku anak bisa segera
ditegakkan.
d. Pemberi perlindungan (protector)
Ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan anak sehingga anak
terbebas dari kesulitan resiko/bahaya selagi ayah/ibu tidak bersamanya.

Universitas Sumatera Utara

e. Penasehat (advocate)
Ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada
kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada
tempat berkonsultasi.
f. Pendidik dan sebagai teladan
Ayah bertanggung jawab mengajari tentang apa saja yang diperlukan anak
untuk kehidupan mendatang dalam berbagai kehidupan melalui latihan dan
teladan yang baik sehingga berpengaruh positif bagi anak.
g. Pemberi perhatian (caregiver)
Ayah dapat memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga
membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan.
h. Pembimbing (problem solver)

Ayah membantu anak-anaknya memecahkan masalah-masalah serta
kesulitan-kesulitan yang dialami anak disekolah dan pembuat keputusan dalam
belajar/sekolah, menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak dalam
belajar, menceknya, dan menanyakan nilai yang diperoleh di sekolah.
2.2. Konsep Konflik
2.2.1 Defenisi Konflik
Secara etiomologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configure
yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk (2002) konflik adalah suatu
tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau
mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat
ataupun dalam hubungan antar pribadi. Sedangkan menurut Scanell (2010)

Universitas Sumatera Utara

konflik adalah suatu hal yang alami yang timbul karena perbedaan persepsi,
tujuan, atau nilai dalam sekelompok individu (Fitri, 2012).
Menurut kamus bahasa Indonesia (2016), konflik berati percekcokan,
perselisihan, pertentangan. Konflik juga berarti ketegangan atau pertentangan
dalam suatu kondisi tertentu yang dapat terjadi antara dua kekuatan, pertentangan
dalam diri satu tokoh, dua tokoh atau lebih.

Menurut Thontowi (2013) konflik merupakan segala macam interaksi
pertentangan antara dua belah pihak atau lebih. Konflik juga dapat timbul pada
berbagai situasi sosial baik dalam individu, antar individu, kelompok organisasi
maupun negara.
Menurut Rostiana (Yurnalis, 2010) konflik merujuk pada suatu situasi
pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang ada pada diri individu sendiri,
maupun antara individu dengan oranglain dengan adanya pemicu sebagai
stimulus. Konflik bermuatan emosi dan melingkupi seluruh perilaku pada derajat
yang berbeda antara satu orang dengan yang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai defenisi konflik,
disimpulkan bahwa konflik merupakan pertentangan

atau percekcokan yang

dialami dua pihak atau lebih terhadap hal tertentu.
2.2.2 Jenis-Jenis Konflik
Hunt dan Metcalf (Suhardono, 2015) membagi konflik menjadi dua jenis yaitu:
a. Konflik intrapersonal
Konflik intrapersonal merupakan konflik yang terjadi dalam diri individu
sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan


Universitas Sumatera Utara

nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya.
Konflik ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat
mengganggu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene)
individu yang bersangkutan.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar individu. Konflik
ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok
teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik
antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup
conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict).
2.2.3 Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk memahami sumber
konflik dikalangan remaja, diantaranya social learning theory, social identity
theory dan reputation enhancement theory (Fitri, 2012).
Menurut Sarwono (Fitri, 2012), dalam kehidupan manusia ada dua jenis
belajar yaitu belajar secara fisik dan belajar psikis. Belajar sosial termasuk dalam
belajar psikis dimana seseorang mempelajari perannya dan peran oranglain.

Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan
peran sosial yang telah dipelajari itu. Cara yang sangat penting dalam belajar
sosial adalah tingkah laku tiruan (imitation).
Menurut Dollard et. Al (Fitri, 2012), terdapat tiga mekanisme tiruan, yaitu
tingkah laku sama (same behavior), yakni apabila dua orang mempunyai respon
yang sama terhadap stimulus atau isyarat yang sama, tingkah laku tergantung

Universitas Sumatera Utara

(matched behavior), yakni salah satu pihak akan menyesuaikan tingkah lakunya
(match) dan akan tergantung (dependent) kepada pihak lain yang dianggap lebih
pintar, lebih tua, atau lebih mampu; dan tingkah laku salinan yakni si peniru
bertingkah laku atas dasar tingkah laku modelnya.
2.2.4 Penangan Konflik
Pendapat Deutch (Thontowi, 2013) menyatakan beberapa penanganan
konflik antara lain:
a. Destruktif
Penanganan konflik destruktif merupakan bentuk penanganan konflik
dengan menggunakan acaman, paksaan, atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi
yang meningkat di atas isu awalnya atau bisa dikatakan individu cenderung

menyalahkan.
Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau individuindividu yang terlibat di dalamnya. Konflik seperti ini misalnya terjadi pada dua
remaja yang tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap permusuhan antar
perorangan. Ada banyak keadaan di mana konflik dapat menyebabkan orang yang
mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Selain itu juga banyak kerugian
yang ditimbulkan karena konflik destruktif, misalnya :
a. Perasaan cemas/tegang (stres) yang tidak perlu atau yang mencekam
b. Komunikasi yang menyusut
c. Persaingan yang makin meningkat

Universitas Sumatera Utara

b. Konstruktif
Penanganan konflik dengan konstruktif yaitu bentuk penanganan konflik
yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu tawar menawar yang
menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat
pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berpikir
secara logis dalam penyelesaian masalah.
Konflik ini berkebalikan dengan konflik destruktif karena konflik
konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-keuntungan dan bukan

kerugian-kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya.
2.3 Konsep Remaja
2.3.1 Defenisi Remaja
Secara etiomologi, remaja berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Menurut
WHO remaja adalah penduduk dalam rentang usia antara 10-19 tahun. Hurlock
(2001) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dimana
perubahan fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan
sejalan dengan Kemenkes RI (2015) yang menyatakan bahwa remaja merupakan
proses terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik,
psikologis maupun intelektual.
Menurut Wahidah (2017) remaja adalah masa masa transisi dari kanakkanak ke masa dewasa atau usia belasan tahun atau seseorang menunjukkan
tingkah laku tertentu seperti susah diatur dan perasaan remaja mudah terangsang.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN)
(Kemenkes RI, 2015) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.

Universitas Sumatera Utara

Sementara, menurut Monks (2002) mengatakan bahwa batasan usia remaja adalah
di antara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 masa remaja awal, 15-18 tahun
remaja pertengahan dan 18-21 tahun remaja akhir dengan perincian sebagai

berikut:
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Masa remaja awal akan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan
perkembangan intelektualnya yang sangat intensif, sehingga minat anak pada
dunia luar sangat besar dan pada tahap ini remaja tidak mau dianggap anak-anak
lagi. Ciri khas remaja pada masa ini adalah lebih dekat dengan teman sebaya,
ingin bebas, ragu-ragu, tidak stabil dan lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya.
b. Remaja pertengahan (15-18 tahun)
Kepribadian remaja pada masa ini ditandai dengan timbulnya keinginan
untuk kencan, mencari identitas diri, mempunyai rasa cinta yang mendalam
mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan berkhayal tentang seks.
c. Remaja akhir (15-21 tahun)
Masa ini remaja sudah mulai stabil dan sudah mengenal dirinya dan ingin
hidup dengan pola yang dipilih sendiri oleh remaja. Ciri khas remaja pada usia ini
adalah pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya,
mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, mampu berpikir
abstrak dan mempunyai pendirian tertentu.
Menurut Gunarsa (Wahidah, 2017) defenisi remaja sendiri dapat ditinjau
dari tiga sudut pandang, yaitu:


Universitas Sumatera Utara

a. Secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia antara 11-12 tahun
sampai 20-21 tahun;
b. Secara fisik, remaja ditandai oleh ciri perubahan pada penampilan fisik dan
fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual;
c. Secara psikologis, remaja merupakan masa di mana individu mengalami
perubahan-perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan moral di antara
masa anak-anak menuju masa dewasa.
2.3.2 Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst (Hurlock, 1991) ada tugas-tugas yang harus
diselesaikan

dengan

baik

pada

setiap

periode

perkembangan.

Tugas

perkembangan adalah hal-hal yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh remaja dan
dipengaruhi oleh harapan sosial.
Deskripsi tugas perkembangan berisi harapan lingkungan yang merupakan
tuntutan bagi remaja dalam bertingkah laku. Adapun tugas perkembangan pada
remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1991) adalah sebagai berikut:
1. Menerima keadaan dan penampilan diri, serta menggunakan tubuhnya secara
efektif.
2. Belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin (sebagai laki-laki atau
perempuan).
3. Mencapai relasi yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, baik
sejenis maupun lawan jenis.
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

Universitas Sumatera Utara

5. Mencapai kemandirian secara emosional terhadap orangtua dan orang dewasa
lainnya.
6. Mempersiapkan karier dan kemandirian secara ekonomi.
7. Menyiapkan diri (fisik dan psikis) dalam menghadapi perkawinan dan
kehidupan keluarga.
8. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual untuk hidup
bermasyarakat dan untuk masa depan (dalam bidang pekerjaan atau
pekerjaan).
9. Mencapai nilai-nilai kedewasaan.
2.3.3 Konflik Pada Remaja
Salah satu ciri perkembangan kehidupan seorang remaja diwarnai dengan
adanya

perubahan-perubahan

fisiologis

maupun

psikologisnya.

Hal

itu

menyebabkan kondisi emosinya mengalami ketidakstabilan. Menurut Ahmadi
(Thantowi, 2013) pada masa ini remaja akan ditandai dengan munculnya
perasaan-perasaan negatif, timbulnya keinginan lepas dari kekuasaan orangtua,
tidak patuh pada kebijaksanaan orangtua. Kehidupan seorang remaja diwarnai
dengan adanya perubahan-perubahan fisiologis maupun psikologisnya. Dalam
dirinya muncullah konflik batin yang mendorong individu untuk menunjukkan
dirinya sebagai seorang yang telah dewasa. Namun, seringkali keinginan tersebut
tidak disalurkan secara tepat karena remaja cenderung kurang melihat situasi dan
kondisi yang dihadapinya yang mengakibatkan remaja mengalami benturanbenturan dengan lingkungannya, misalnya dengan orangtua, saudara kandung,

Universitas Sumatera Utara

teman-teman, atau masyarakat (adolescence rebellion). Konflik-konflik yang
muncul dalam diri remaja menurut Dariyo (2004) diantaranya:
a. Konflik pemilihan teman atau pacar
Tidak semua orangtua dapat memahami keinginan pilihan anak remajanya.
Bagi orangtua yang dapat memahami sejak awal telah membekali pendidikan,
bimbingan dan arahan yang baik agar anaknya berhati-hati dalam pergaulan
dengan kelompok teman sebayanya. Ketidakpahaman orangtua pada anak remaja
akan menyebabkan kesalahan perlakuan orangtua terhadap anak, misalnya terlalu
protektif (melindungi) dengan cara melarang bergaul dengan lawan jenisnya. Hal
ini akan berdampak buruk bagi remaja mencari kesempatan untuk bergaul atau
berpacaran secara sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui oleh orangtuanya.
b. Konflik pemilihan jurusan atau program studi
Tidak sedikit orangtua yang memaksakan kehendaknya kepada anaknya
dalam pemilihan jurusan atau program studi. Mungkin cita-cita orangtua yang
tidak tercapai di masa dirinya sebagai remaja, sehingga keinginan tersebut
dilimpahkan kepada anaknya. Padahal belum tentu anak mempunyai kemampuan,
bakat, minat seperti yang dibutuhkan untuk menyelesaikan studi pilihan
orangtuanya.
c. Konflik dengan saudara kandung (sibling rivalry)
Adakalanya dalam kehidupan keluarga terjadi pertengkaran, percekcokan
atau konflik antara anak dengan saudara lainnya. Bagi orangtua yang bijaksana,
tentu diharapkan akan dapat menengahi atau menyelesaikan masalah tersebut
secara adil, tanpa menimbulkan rasa dendam di antara anak-anaknya.

Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan hal persoalan di atas, Sriwahyuni (Indriyani dan Asmuji,
2014) menjelaskan bahwa masalah penting yang dihadapi oleh remaja cukup
banyak diantaranya timbulnya berbagai konflik dalam diri remaja yaitu:
a. Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dengan kebutuhan untuk
bebas dan merdeka. Remaja membutuhkan penerimaan sosial dan
penghargaan serta kepercayaan oranglain kepadanya. Dipihak lain, dia
membutuhkan rasa bebas karena merasa telah besar, dewasa dan tidak kecil
lagi. Konflik antar-kebutuhan tersebut menyebabkan rusaknya keseimbangan
emosi remaja.
b. Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan terhadap
orangtua. Dipihak lain remaja ingin bebas mandiri, yang diperlukannya dalam
mencapai kematangan fisik, tetapi membutuhkan orangtua untuk memberikan
materi guna menunjang studi dan penyesuaian sosialnya. Konflik tersebut
menimbulkan kegoncangan kejiwaan pada remaja sehingga mendorongnya
mencari pengganti selain orangtuanya, biasanya teman, guru, ataupun orang
dewasa dari lingkungannya.
c. Konflik antara kebutuhan seks dan ketentuan agama serta nilai sosial.
Kematangan seks yang terjadi pada remaja menyebabkan terjadinya
kebutuhan seks yang mendesak, tetapi ajaran agama dan nilai-nilai sosial
menghalangi pemuasan kebutuhan tersebut. Konflik tersebut bertambah tajam
apabila remaja dihadapkan pada cara ataupun perilaku yang menumbuhkan
rangsangan seks, seperti film, sandiwara dan gambar.

Universitas Sumatera Utara

d. Konflik nilai-nilai, yaitu konflik antara prinsip-prinsip yang dipelajari oleh
remaja dengan prinsip dan nilai yang dilakukan orang dewasa di
lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Konflik menghadapi masa depan. Konflik ini disebabkan oleh kebutuhan
untuk menentukan masa depan. Banyak remaja yang tidak tentang hari depan
dan tidak tahu gambarannya. Biasanya pilihan remaja didasarkan atas pilihan
orangtua atau pekerja yang popular di masyarakat.
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Penanganan Konflik Remaja
Keberhasilan remaja dalam menangani konfliknya merupakan peningkatan
kedewasaan sikap sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi seorang remaja
dalam menangani konfliknya. Menurut Collins & Laursen yang dikutip Farida
(Yurnalis, 2010) kemampuan menangani konflik banyak didukung oleh
karakteristik-karakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang
hangat, serta kebiasaan untuk tidak menyelesaikan masalah sepihak. Sementara itu
menurut Sharif dan Roslan (2011) faktor lain yang dapat berpengaruh yaitu faktor
latar belakang diri sendiri yakni dari tahap usia remaja (awal,pertengahan dan
akhir), latar belakang keluarga, faktor pengaruh rekan sebaya dan juga faktor
permasalahan di lingkungan sekitar sekolah.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Hubungan Orangtua dengan Remaja
Menurut Santrock (2002) pada masa peralihannya, orangtua memandang
bahwa remaja mengalami perubahan dari sosok yang patuh menjadi tidak patuh
dan cenderung menolak standar orangtua. Dalam hal ini, orangtua akan lebih ketat
mengawasi remaja. Perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
merupakan suatu perjalanan yang panjang. Orangtua yang mengetahui bahwa
remaja membutuhkan waktu yang cukup lama melakukan sesuatu dengan benar
biasanya akan mampu menangani remaja dengan lebih kompeten daripada
orangtua yang menuntut remaja untuk melaksanakan standar yang digunakan oleh
orangtua pada remaja. Sementara itu, terdapat pula orang tua yang tidak terlalu
menuntut remaja untuk patuh: justru sebaliknya, dengan sangat permisif mereka
membiarkan remaja melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya.

Universitas Sumatera Utara