Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970) Chapter III IV
BAB III
PERBANDINGANGAYAKEPEMIMPINAN SALOTH SAR DI KAMBOJA
(1975-1979) DAN SOEHARTO DI INDONESIA (PERIODE 1965-1970)
3.1. Makna Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan tidak dapat terlepas dari kata "memimpin" yang
memiliki beberapa arti yaitu: memegang tangan seseorang sambil berjalan
(untuk menuntun atau menunjukkan jalan), mengetahui atau mengepalai
(dalam rapat atau perkumpulan), memandu, melatih (mendidik, mengajari).
Juga ada kata "terpimpin" yang berarti dapat dipimpin atau terkendali, serta
ada pula kata "pemimpin" yang memiliki dua arti: orang yang memimpin dan
petunjuk, buku petunjuk (pedoman). 81
Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi
serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan
bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur
dan pusat proses kelompok. Kemudian secara terminologis banyak ditemukan
definisi tentang pemimpin. Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan
pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena
dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. 82
Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan
timbal balik pemimpin dan pengikut dalam memobilisasi berbagai
sumberdaya ekonomi politik dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan
81
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cet. 10. Jakarta :
Balai Pustaka. 1999.hal. 769.
82
Winardi. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta : Rineka Cipta. 1990. hal. 12.
58
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan. Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan
merupakan suatu atau sekumpulan aktivitas yang teramati oleh pihak lain,
berlangsung dalam kelompok, organisasi atau lembaga, dan melibatkan
pemimpin dan pengikut yang bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum
yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa
yang tidak disukai dan melaksanakan apa yang disukai. 83
Pengertian Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan
mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota
kelompok. Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi
berbagai strategi dan tujuan bersama dan kemampuan mempengaruhi
kelompok agar mengidentifikasi, memelihara dan mengembangkan budaya
organisasi. 84
Menurut Sedarmayanti, kepemimpinan adalah kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu
sehingga perilaku orang lain berubah/tetap menjadi integratif. 85 Alfan Alfian
mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana seseorang punya
pengaruh dalam satu kelompok (organisasi) untuk menggerakkan individu
lain meraih tujuan bersama. 86Alfan meringkas beberapa definisi ahli
kepemimpinan dalam 5 perspektif, diantaranya:
83
Miftah Thoha. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 1995. hal. 63.
84
Winardi. Op.Cit., hal. 47.
85
Sedarmayanti.Reformasi Administrasi Public, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan.
Bandung : Rafika Aditama. 2009. hal. 121.
86
Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009. hal. 65.
59
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
5 Perspektif Kepemimpinan
Perspektif
Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin merupakan pusat segala aktivitas dan perubahan
Focus of group kelompok. Kepemimpinan adalah pusat kehendan yang
processes
menggerakkan
aneka
aktivitas,
perubahan,
dan
perkembangan kelompok(organisasi).
Pemimpin merupakan perpaduan antara bakatkhusus
Personality
(special traits) dan karakteristikindividu, yang memiliki
Perspective
kemampuan untukmendelegasikan tugas pada orang lain
secarasempurna.
Kepemimpinan
merupakan
seperangkattindakan
dan
Act or
perilaku tertentu yang mampumenggerakkan perubahan
Behaviour
dalam organisasi
Power
Kepemimpinan adalah relasi antara pemimpin(leader) dan
relationship
yang dipimpin (follower).
60
Universitas Sumatera Utara
Instrument of
Kepemimpinan
adalah
upaya
membimbinganggota
goal
mencapai tujuan bersama.
Achievement
Skills
Kepemimpinan
Perspective
bekerja secara efektif.
adalah
kapabilitas
yangmembuatnya
Sumber : Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Dari pengertian para ilmuwan ini dapat ditarik pemahaman bahwa
kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari
seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai
tujuan
organisasi
dimana
terdapat
seni
mengatur,
mengelola
dan
mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, kerjasama,
semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan yang di citacitakan.
3.1.1. Kepemimpinan Politik
Dalam melakukan kajian terkait dengan kepemimpinan, perlu adanya
pembedaan yang signifikan antara kepemimpinan yang bersifat struktural
61
Universitas Sumatera Utara
atau administratif, dengan kepemimpinan yang lebih mengarah pada
kepemimpinan politik. Oleh Karena itu perlu ditegaskan kembali dalam
penelitian
ini
bahwa
selain
harus
memahami
pengertian
tentang
kepemimpinan, harus dipahami pula pengertian tentang kepemimpinan
politik.
Pada dasarnya kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi
tidak sebaliknya, mirip dengan kekuasaan, kepemimpinan merupakan suatu
hubungan antara pihak yang memiliki pengaruh dan orang yang
dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber
pengaruh secara efektif. Berbeda dengan kekuasaan yang terdiri atas banyak
jenis sumber pengaruh, kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan
menggunakan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, tidak
seperti kekuasaan yang belum tentu menggunakan pengaruh untuk
kepentingan bersama pemimpin maupun para pengikutnya.
Oleh karena itu, kepemimpinan politik juga berbeda dengan elit
politik, karena seperti yang dikemukakan oleh Pareto, 87 Elit adalah orangorang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat,
seperti prestise, keyakinan, ataupun kewenangan, memiliki kekuasaan
politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena dua hal,
yaitu jenis sumber pengaruh yang digunakan dan tujuan penggunaan
pengaruh.
87
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. 1990. hal. 134.
62
Universitas Sumatera Utara
Sebutan
politik
dalam
kepemimpinan
politik
menunjukkan
kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga
pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai
politik dan organisasi kemasyrakatan). Oleh karena itu, pemimpin politik
juga berbeda dengan kepala suatu instansi pemerintahan karena yang
terakhir ini lebih menggunakan kewenangan dalam mempengaruhi
bawahannya. Tidak seperti kepala suatu instansi yang cenderung
menggunakan
hubungan-hubungan
menggerakkan
bawahannya,
hubungan-hubungan
informal
formal
pemimpin
dan
dan
politik
personal
impersonal
lebih
dalam
dalam
menggunakan
menggerakkan
pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu. 88Akan tetapi, orang yang
secara formal menjadi elit politik atau kepala suatu instansi dapat saja
memainkan peranan sebagai pemimpin politik kalau memenuhi karakteristik
kepemimpinan tersebut. Penyelenggara politik dan pemerintahan yang
sukses biasanya orang yang dapat menggunakan berbagai tipe penggunaan
sumber pengaruh sesuai dengan konteks dan jenis permasalahan.
Selain itu, kepemimpinan politik juga dapat dipahami dalam tiga
perspektif: 1) kepemimpinan sebagai pola perilaku. 2) kepemimpinan
sebagai kualitas personal. 3) kepemimpinan sebagai nilai politik. Sebagai
pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan tujuan yang diharapkan.
Kepemimimpinan politik dituntut untuk mampu mempertahankan
konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan dukungan88
Ibid.,
63
Universitas Sumatera Utara
dukungan politik yang signifikan, mampu mengelola potensi konflik yang
ada dengan baik dan efektif, mampu memotivasi anak buah dan
konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit
dari keterpurukan. Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun, mampu
memberi contoh danmendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan
politik, mampu menghadirkan proses sirkulasi elit di dalam organisasi
secara sehat, dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi
strategis di lembaga-lembaga politik kenegaraan yang ada. kepemimpinan
politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial.
Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses
dan dinamika politik berjalan secara beradab. 89
3.2. Militerisme dan Otoritarianisme
3.2.1. Militerisme
Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada
jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim
bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin
kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini
memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbanganpertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan
politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan
perlakuan-perlakuan
89
istimewa.
Kebijakan
tersebut
menyebabkan
Alfan Alfian. Op.Cit., hal. 12.
64
Universitas Sumatera Utara
militerisasi di dalam masyarakat. Pengaruh dan kekuatan militer sangat
diperhitungkan di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam
bidang sipil sekalipun. 90
Secara ideologis militerisme terdiri atas supremasi, loyalisme,
ekstremisme, proteksionisme-darurat, dan nasionalisme atau bentuknya
yang lebih sempit yaitu patriotisme.
Dengan pembenaran terhadap penerapan kekerasan, militerisme
menekankan bahwa penduduk sipil tergantung - dan karenanya berada
dalam posisi yang lebih rendah - pada kebutuhan dan tujuan-tujuan
militernya. Doktrin yang umumnya dikembangkan adalah perdamaian
melalui kekuatan. Hal ini dianggap sebagai metode yang tepat untuk
mengamankan
kepentingan-kepentingan
masyarakat.
Doktrin
ini
diwujudkan sebagai doktrin yang lebih unggul daripada semua pemikiran
lainnya, termasuk pengutamaan hubungan-hubungan diplomatik dan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Militerisme
kadang-kadang dikontraskan dengan konsep mengenai kekuatan nasional
yang komprehensif dan kekuatan lembut (soft power) dan kekuatan keras
(hard power). 91
3.2.2. Otoritarianisme
90
Terjemahan. Militaristic - definition of militaristic by The Free Dictionary. Dikutip melalui
http://www.thefreedictionary.com/militaristic. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017 pukul 16.23 WIB.
91
Militerisme. Dikutip melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Militerisme. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017
pukul 17.21 WIB.
65
Universitas Sumatera Utara
Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai
dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter
adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu
pemimpin.Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik
otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan
hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan
individu. 92Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada
umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi
(pemilihan umum).
Istilah
otoritarianisme
berasal
dari
bahasa
Inggris,
authoritarian.Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris
authority,
yang
sebetulnya
merupakan
turunan
dari
kata
Latin
auctoritas.Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.Oleh otoritas
itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku
orang, baik secara perorangan maupun kelompok.Otoritarianisme adalah
paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan
kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak. 93
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai
acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir.
Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya,
mereka akan menanyakan kedudukannya dalam lembaga dan organisasi.
Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan
92
Baskara T. Wardaya. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat. 2007. hal. 3.
93
A. Mangunhardjana. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. 1997. hal. 174.
66
Universitas Sumatera Utara
kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang
dipersoalkannya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang
lain, orang yang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu
agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika
orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia
akan dianggap salah. 94
Penganut otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi,
yaitu satu arah. Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan
model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan
pendapat secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tetapi sulit
untuk dihayati. Komunikasi yang bebas dan terbuka, berasal dari berbagai
arah dan tertuju ke segala penjuru akan asing baginya, karena gaya
komunikasi tersebut tidak masuk dan klop dalam kerangka berpikirnya.
Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan bagi orang ini
dalam menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya baik dalam
menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya
mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi. Istilah yang dikenalnya
terbatas pada pengarahan, petunjuk, wejangan, perintah, pembinaan,
sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu
perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi. Bentuk komunikasi
yang persuasif untuk meyakinkan, dinilai menghabiskan waktu dan tidak
efisien. 95
94
Ibid., hal. 175.
Ibid., hal. 176.
95
67
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam komunikasi penganut otoritarianisme hanya mengenal
komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam bertindak mereka suka “main
kuasa”. Yang dimaksud dengan “main kuasa” adalah pemaksaan kuasa
dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menyepelekan
perkara. Orang yang otoritarian juga akan mempermainkan perasaan
bawahannya dengan sengaja membuat mereka salah dan malu. Dengan
kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara,
keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang ada, dalam
bertindak penganut otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang
dimilikinya. 96
3.3. Perbandingan Gaya Kepemimpinan Kedua Tokoh
3.3.1. Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1970)
Saloth Sar sebagai pemimpin Kamboja yang baru setelah masa
pemerintahan Lon Nol yang berakhir pada tahun 1975, merubah semua
kebijakan yang telah ada sebelumnya. Saloth Sar menerapkan gaya
kepemimpinan yang sangat otoriter dan militeristik di Kamboja pada
waktu itu. Rezim Saloth Sar terkenal sebagai rezim yang kaku, keras,
brutal, dan banyak memusuhi rakyatnya sendiri. 97 Gaya kepemimpinannya
yang sangat otoriter ini dapat dilihat darikebijakan-kebijakan nya, antara
lain:
96
Ibid., hal. 177.
Sardiman A. M. Analisis Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty. 1983. hal. 67.
97
68
Universitas Sumatera Utara
1. Bidang Sosial
Kebijakan dalam bidang sosial yang dilaksanakan pemerintahan
Saloth Sar di Kamboja antara lain:
a. Evakuasi penduduk kota ke pedesaan
Pemindahan penduduk kota ke pedesaan atau pedalaman
merupakan bagian dari revolusi yang dilaksanakan Saloth Sar. Saloth
Sar ingin mengubah Kamboja menjadi negara agraris dengan
mempekerjakan semua penduduk sebagai petani dari berbagai
golongan. Dengan mempekerjakan seluruh penduduk sebagai petani
diharapkan kebutuhan pangan dapat terpenuhi sehingga Kamboja tidak
perlu melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Evakuasi itu juga diharapkan mampu memecah stratifikasi sosial yang
mengakar dan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas di Kamboja
yang dicita-citakan oleh Saloth Sar waktu itu. 98
Evakuasi dari kota ke pedesaan yang dilakukan pemerintah
secara tidak langsung menghapus kota yang telah ada. Pemerintah tidak
menghendaki adanya perkembangan di daerah perkotaan. Bahkan
dalam propaganda mereka, pemerintah menyebut Phnom Penh sebagai
The great prostitute on Mekong. 99Sehingga semua kota-kota yang ada
di Kamboja dikosongkan kecuali beberapaanggota Khmer Merah yang
tinggal di daerah itu untuk kepentingan pemerintahan.
98
David Chandler. A History of Cambodia. Chiang Mai : Silkworm Books. 1998. hal. 210.
Nazaruddin Nasution. Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja. Jakarta : Metro Pos. 2002.
hal. 75.
99
69
Universitas Sumatera Utara
b. Penghapusan Pendidikan
Untuk melanggengkan pemerintahan, rezim Saloth Sar juga
meniadakan pendidikan formal. Penduduk Kamboja tidak boleh
mendapatkan pendidikan kecuali untuk kebutuhan propaganda. 100
Jangankan menempuh pendidikan, buku juga tidak boleh beredar di
masyarakat. Penghapusan pendidikan dilakukan agar masyarakat tidak
dapat mengakses informasi yang dapat membuat mereka melakukan
perlawanan terhadap pemerintah. Pelarangan pendidikan formal lazim
dilakukan oleh penjajah didaerah jajahannya. Agar mereka tetap patuh
dan tunduk terhadap pemerintahan yang berlaku.
c. Penghapusan Agama
Komunis merupakan ideologi yang tidak percaya akan adanya
Tuhan. Hal itu juga yang diberlakukan di Kamboja saat Saloth Sar
berkuasa. Saloth Sar melarang agama dan menghancurkan tempattempat ibadah yang ada di Kamboja. 101 Biksu-biksu yang tadinya
sangat dihormati oleh masyarakat Kamboja dan memilikikedudukan
penting dalam upacara keagamaan dijadikan masyarakat biasa. Mereka
juga harus bekerja seperti penduduk lainnya.
Masyarakat Kamboja merupakan masyarakat yang menganut
agama Budha. Seperti yang kita tahu bahwa agama Budha sarat akan
upacara adat dalam kehidupan sehari-harinya. Pada masa pemerintahan
Saloth Sar segala bentuk upacara keagamaan dihapuskan. Masyarakat
100
Allen and Unwin. Focus on Southeast Asia. Singapore : KHL Printing Co Pte Ltd. 1995. hal. 26.
Ibid.,
101
70
Universitas Sumatera Utara
tidak boleh memeluk agama apapun, hal itu merupakan bagian dari
revolusi yang telah direncanakan. Sehingga pada masa itu agama di
Kamboja tidak mengalami perkembangan bahkan dapat dikatakan
bahwa kegiatan keagamaan mengalami kemunduran.
2. Bidang Ekonomi
Rezim Saloth Sar merubah tatanan perekonomian di Kamboja
seperti zaman pra modern. Saloth Sar melakukan kebijakan yang
membuat rakyatnya menderitadan banyak yang tewas akibat kebijakan
yang tidak masuk akal itu. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
a. Menciptakan masyarakat tanpa uang
Sejalan dengan kebijakan evakuasi penduduk kota ke pedesaan
dan isolasi bagi dunia luar. Rezim Saloth Sar mengeluarkan kebijakan
masyarakat tanpa uang. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah
melakukan
penghapusan
terhadap
pasar,
perdagangan
swasta,
kepemilikan pribadi, dan pelayanan publik. 102Penghapusan mata uang
bertujuan untuk mewujudkan cita-cita revolusi yang digagas oleh
Saloth Sar. Ia ingin membangun negara tanpa kelas sesuai tujuan
ideologi komunis.
102
Afred Suci. Op.Cit., hal. 127-128.
71
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan kerja paksa
Kerja paksa biasanya terjadi ketika suatu negara dikuasai oleh
negara lain atau terjajah. Keadaan itu tidak berlaku untuk negara
Kamboja saat itu. Di bawah pemerintahan anak negeri sendiri, Kamboja
mengalami masa kelam yang tidak dapat terlupakan. Masyarakat
Kamboja harus mengalami kerja paksa untuk dapat bertahan hidup.
Seluruh penduduk diwajibkan melakukan kerja paksa di pedesaan.
Mereka bekerja untuk menggarap sawah, menggali saluran air,
membuat
bendungan,
dan
melakukan
segala
kegiatan
yang
berhubungan dengan pertanian. 103 Pekerjaan itu dilakukan oleh
perempuan maupun laki-laki yang selalu dalam pengawasan serdadu
Khmer Merah.
Penduduk sangat menderita dengan sistem ini, bagaimana tidak
mereka diharuskan bekerja selama empat belas jam sehari, dua puluh
tujuh hari dalam sebulan. 104 Mereka tidak mendapatkan upah dalam
pekerjaan ini karena adanya sistem penghapusan mata uang yang
dilakukan oleh pemerintah. Sebagai imbalandari pekerjaan itu, mereka
hanya mendapatkan jatah makan, tempat tinggal, dan pakaian seadanya.
103
David Chandler. The Emergene of Modern Southeast Asia A New History. Singapore: Singapore
University Press. 2005. hal. 483.
104
Ibid.,
72
Universitas Sumatera Utara
3. Bidang Politik
Saloth Sar sebagai pemimpin baru Kamboja menerapkan
kebijakan di bidang politik yang dapat melanggengkan kekuasaannya.
Kebijakan itu antara lain:
a. Melakukan pembunuhan massal atau genoside
Kebijakan yang membuat Kamboja terkenal dan menjadi
masalah internasional adalah pembunuhan massal yang dilakukan rezim
Saloth Sar. Dibuktikan dengan ditemukannya lebih kurang 343 ladang
pembantaian. 105Banyak ditemukan tulang belulang manusia yang tewas
akibat kekejaman rezim Saloth Sar di ladang-ladang tersebut.
Pembunuhan itu dilaksanakan setelah rezim Saloth Sar berkuasa di
Kamboja pada 17 April 1975. Sejak saat itu penduduk Kamboja banyak
yang menghilang tanpa ada penjelasan dari pemerintah.
Pembunuhan massal dimulai ketika Phnom Penh jatuh ke tangan
pasukan Khmer Merah. Mereka menembak semua tentara yang
berseragam pasukan Lon Nol. Rezim Saloth Sar melakukan
pembunuhan tanpa proses peradilan, tidak peduli mereka bersalah atau
tidak semua orang yang berhubungan dengan rezim Lon Nol akan
disingkirkan.
Ini
merupakan
program
dari
revolusi
untuk
menghilangkan kekuatan yang telah ada sebelumnya.
Tidak ada yang tahu dengan pasti berapa jumlah penduduk yang
tewas akibat pembunuhan itu. Banyak orang yang memperkirakan
105
Afred Suci. Op.Cit., hal. 128.
73
Universitas Sumatera Utara
antara 1,7 juta sampai 2 juta orang tewas dalam kurun waktu 19751979.Saloth Sar sendiri tidak dapat memastikan berapa banyak orang
yang tewas saat ia memerintah Kamboja. 106Berdasarkan bukti-bukti
yang ditemukan, jutaan penduduk tewas saat Saloth Sar memerintah
Kamboja.
Ada tiga faktor penyebab tewasnya jutaan penduduk Kamboja,
pertama pembunuhan terhadap bekas pendukung Lon Nol, kedua
pembersihan partai, dan yang ketiga pembunuhan terhadap orang-orang
yang disinyalir tidak mendukung pemerintahan Saloth Sar. Pemerintah
melakukan program itu untuk tetap melanggengkan kekuasaan dan
memaksa penduduk untuk tetap tunduk dan patuh. Mereka akan takut
karena Khmer Merah tidak akan segan untuk melakukan pembunuhan
terhadap mereka yang dianggap bersalah. 107
Tewasnya jutaan penduduk Kamboja tidak hanya karena
penyiksaan namun pemindahan penduduk dari kota ke pedesaan dan
tanam paksa yang dicanangkan rezim Saloth Sar. Penduduk kota yang
tidak mengerti tentang pertanian, dipaksa mengolah tanah, menanam
padi, menggali saluran air dan pekerjaan lainnya yang tidak pernah
mereka kerjakan. Akibatnya banyak dari mereka yang tewas karena
kekurangan gizi dan kelelahan. Selain itu, banyak penduduk yang tewas
karena penyakit yang tidak mendapatkan perawatan medis.Para pekerja
tidak mendapatkan makanan yang memadai dan istirahat yang cukup
106
Syamdani. Kisah Diktator-Diktator Psikopat. Yogyakarta : Narasi. 2009. hal. 178.
Ben Kiernan. The Pol Pot Regime : Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge,
1975-79. Thailand: Silkworm Books. 1997. hal. 166.
107
74
Universitas Sumatera Utara
karena mereka harus bekerja sepanjang waktu untuk mengolah lahan
pertanian. Mereka selalu dalam penjagaan serdadu Khmer Merah
sehingga hanya dapat melakukan pekerjaan yang diperintahkan.
Kekejaman serdadu Khmer Merah sangat kontras dengan ikrar setia
yang selalu mereka ucapkan setiap pagi, yaitu:
1. Cintai dan hormatilah kaum pekerja dan petani, serta berbaktilah
kepada mereka;
2. Berbaktilah kepada rakyat ke manapun kita pergi dengan sepenuh
hati dan pikiran;
3. Hargailah rakyat tanpa merugikan kepentingan mereka, tanpa
menyentuh barang-barang atau tanaman mereka, dan jangan mencuri
bahkan sebutirmerica pun, dan jaga diri jangan sampai terlontar
sepatah kata pun yang bernada kasar terhadap mereka;
4. Minta maaflah jika melakukan kekeliruan. Jika ada kepentingan
rakyat yang dilanggar, maka kerugian yang terjadi harus diganti;
5. Dst. 108
Ikrar yang selalu mereka ucapkan sebelum beraktifitas
berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Para serdadu
bertindak sangat kasar dan tidak mempedulikan nasib para pekerja.
Mereka hanya menghendaki para pekerja bekerja sesuai dengan arahan
108
Haing Ngor dan Roger Warner. Neraka Kamboja: Siksa dan Derita, Buku kedua. Jakarta : Gramedia.
1990. Hal. 241-242.
75
Universitas Sumatera Utara
mereka dan pekerjaan selesai tepat pada waktunya sehingga tujuan
revolusi dapat tercapai.
b. Kamboja tertutup bagi dunia luar
Kamboja jatuh ke tangan pemerintahan Saloth Sar pada bulan
April 1975. Saloth Sar melakukan berbagai kebijakan yang sangat
mengejutkan, baik bagi Kamboja sendiri maupun dunia internasional.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Saloth Sar menganut
ideologi komunis, ia melakukan revolusi secara radikal dan berbeda
dengan revolusi yang terjadi di zaman modern sebelumnya. Salah satu
kebijakannya adalah menutup Kamboja bagi dunia luar. Saloth Sar
tidak menghendaki hubungan dengan dunia internasional kecuali
beberapa negara yang menjadi sekutunya.
Kebijakan itu direalisasikan dengan melakukan deportasi
terhadap seluruh warga negara asing yang berada di Kamboja. Tidak
menunggu lama, setelah Kamboja jatuh ke tangan rezim Saloth Sar,
seluruh warga negara asing dipulangkan ke negaranya masing-masing.
Hal ini untuk mendukung kebijakan isolasi yang dilakukan rezim Saloth
Sar, dimana hampir tidak ada hubungan diplomatik yang dilakukan
Kamboja dengan negara lain. Pemerintahan Saloth Sar memutus hampir
semua hubungan kerja sama dengan negara-negara di dunia, kecuali
negara-negara yang berhaluan komunis. 109
109
Nazaruddin Nasution. Op.Cit., hal. 78.
76
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada masa kepemimpinan
Saloth Sar saat itu membuat rakyat Kamboja menderita. Kebijakan itu
tidak terlepas dari paham komunis yang dianut oleh rezim Saloth Sar.
Kebijakan yang radikal dan brutal itu membuat Kamboja menjadi sorotan
dunia internasional. Akibat dari kebijakan-kebijakan brutal itu, membuat
rakyat Kamboja memiliki ketakutan yang tidak wajar sehingga
menimbulkan trauma psikologi bagi mereka yang hidup pada masa
kepemimpinanSaloth Sar yang sangat kejam dan otoriter tersebut.
3.3.2. Gaya Kepemimpinan Soeharto di Indonesia (Periode 1975-1970)
Tahun-tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik
militeristik dan juga otoritarian di mana tentara memiliki peran yang
dominan di dalamnya, khususnya pada awal masa kepemimpinan Soeharto
di Indonesia. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada
militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai
alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari
30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri
dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan
penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua
tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu
partai penguasa yaitu Golkar. 110
110
Warisan Soeharto. Dikutip melalui http://dte.gn.apc.org/76ais.htm. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017
pukul 20.12.
77
Universitas Sumatera Utara
Penulisakan menjabarkan tentang bagaimana gaya kepemimpinan
otoriter dan militeristik yang diterapkan oleh Soeharto di Indonesia, secara
khusus pada masa periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru tahun
1965-1970 yang merupakan awal dimulainya masa pemerintahanSoeharto
pasca tragedi Gerakan 30 September / PKI 1965 dan dikeluarkannya
Supersemar. Gaya kepemimpinan Soeharto saat itu dapat dilihat dari
sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Soeharto dalam kurun waktu
tersebut. Kebijakan-kebijakannya tersebut antara lain :
1. Bidang Sosial
Kebijakan dalam bidang sosial yang diterapkan oleh Soeharto saat
itu antara lain :
a. Persekusi
Sebelum pengesahannya selaku Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 27 Maret 1968, kewenangan yang dimiliki Soeharto
telah
memungkinkannya
peraturan/perundangan
yang
untuk
amat
mengesahkan
penting.
sejumlah
Kesemuanya
ini
memberikan legitimasi baginya untuk naik ke panggung kekuasaan,
memfasilitasi proses persekusi dan diskriminasi terhadap para
anggota PKI dan orang-orang yang dituduh bersimpati dengan
organisasi tersebut. 111
111
KontraS. Op.Cit., hal.11.
78
Universitas Sumatera Utara
b. Perampasan Pekerjaan dan Tanah, Kerja Paksa dan Stigmatisasi
Selama proses ini semua sekolah, tempat usaha dan
perkebunan yang sebelumnya merupakan milik PKI ataupun
simpatisannya ditutup, dan bangunannya secara fisik diambil alih
oleh militer. Banyak dari hak milik ini yang kini merepresentasikan
aspek bisnis Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kontroversial.
Banyak dari tahanan yang kemudian dikaryakan menjadi pekerja
paksa untuk menggarap tanah yang sebenarnya adalah milik mereka
sendiri yang telah dirampas. Beberapa di antara mereka ada juga
yang diberikan upah sangat kecil, sedangkan selebihnya tidak
menerima apa pun. Para tahanan biasa dipekerjakan untuk
membangun
proyek-proyek
infrastruktur,
seperti
jalan
raya,
jembatan, waduk dan kanal. 112
Proses terjadinya Stigmatisasi terhadap anggota keluarga dari
para Tahanan Politik juga sangat dramatis. Stigmatisasi tersebut
terus berlangsung sampai pembebasan para Tahanan Politik tersebut
pada 1971. Stigmatisasi tersebut bahkan terus berlangsung pada
generasi berikutnya dengan penolakan terhadap anak-anak mereka,
ketika mendaftar ke Akademi Kepolisian setelah pihak Akademi
mengetahui catatan penahanan ayahnya. 113
Stigmatisasi terhadap korban 1965 dilestarikan melalui
propaganda budaya populer lewat berbagai cara, seperti pertunjukan
112
John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed). Tahun yang Tak Pernah Berakhir; Memahami Pengalaman
Korban ‘65. Jakarta : Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2004. Hal. 141.
113
Ibid., hal. 82.
79
Universitas Sumatera Utara
wayang dan pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang
diproduksi tahun 1984 dan disutradari oleh Arifin C. Noer itu
ditayangkan secara rutin di televisi, dan dimasukkan ke dalam
kurikulum
sekolah.
Ada
pula
pembangunanmonumen
dan
pelaksanaan upacara, seperti monumen “Lubang Buaya” di Jakarta
yang berfungsi untuk “mengingatkan” tindakan kejam yang
dilakukan oleh Komunis. Semua proses ini melanjutkan stigma
terhadap para korban 1965. 114
2. Bidang Politik
Kebijakan dalam bidang politik yang diterapkan pada masa
kepemimpinan Soeharto saat itu antara lain :
a. Pembunuhan Massal dan Penangkapan Paksa
Setelah peristiwa 30 September 1965, Soeharto dan
kekuasaan de factonya atas TNI melancarkan tindak kekerasan masif
hampir di seluruh Nusantara yang terus berkelanjutan sampai Maret
1966. Target pembunuhan dan penahanan paksa tersebut adalah
semua orang yang dituduh sebagai anggota PKI, ataupun memiliki
keterkaitan tidak langsung dengan organisasi-organisasi bawahannya
PKI. Pembunuhan massal terjadi sebagian besar disebabkan karena
kekuasaan dan kewenangan absolut yang disandang Soeharto untuk
“mengambil segala langkah yang dianggap perlu” guna untuk
menghancurkan PKI.
114
Ibid., hal. 83.
80
Universitas Sumatera Utara
Banyak di antara orang-orang yang dibunuh, ditangkap dan
juga ditahan, memiliki kaitan yang amat minim atau bahkan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan PKI. Di banyak wilayah,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, anggota-anggota
Angkatan Bersenjata Indonesia di bawah naungan komando tertinggi
Soeharto menjadi pelaku dari rangkaian tindak kekerasan tersebut.
Lebih jauh lagi, militer memobilisasi laskar-laskar sipil, seperti
organisasi pemuda, mahasiswa ataupun organisasi-organisasi massa
berlatarkan keagamaan. 115
Di seluruh negeri, mayoritas pembunuhan massal dan
penahanan paksa terjadi setelah kedatangan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD). Komandan RPKAD Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo menyatakan;
“Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil antiKomunis untuk membantu pekerjaan ini… Kami melatih
mereka dua atau tiga hari, lalu mengirim mereka untuk
membunuh orang Komunis.” 116
Pihak berwenang melancarkan pembunuhan dan penyiksaan,
serta penahanan paksa terhadap orang-orang yang dituduh sebagai
Komunis. Mayoritas pembunuhan dan penahanan paksa terjadi
antara bulan September 1965 hingga Maret 1966. Jumlah persis
orang yang dibunuh dan dihilangkan selama periode ini masih
menjadi perdebatan sengit sampai kini. Disebutkan 800.000 jiwa
115
John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed).Op.Cit., hal. 29.
Sarwo Edhie Wibowo, Hughes. Indonesian Upheaval. New York : Fawcett. 1967. hal. 132.
116
81
Universitas Sumatera Utara
terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan masing – masing
100.000 di Bali dan Sumatera. 117Versi resmi memberikan gambaran
berbeda-beda mulai dari 70.000, sampai dengan “sesumbar” yang
diucapkan oleh Kolonel Sarwo Edhie misalnya, yang mengklaim
bahwa tiga juta orang telah dibunuh. 118Jumlah tersebut belum
termasuk
korban
penangkapan,
penahanan,
penyiksaan,
pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, pengusiran, pemecatan,
pengambilalihan properti, kerja paksa dan lain-lain. Berbagai
organisasi korban dan Organisasi Non-Pemerintah, baik di Indonesia
maupun di luar negeri, kerap merujuk angka sampai dengan satu juta
orang yang terbunuh. 119 Beberapa perkiraan yang “konservatif”
menyatakan bahwa jumlah korban hanya mencapai level ratusan ribu
jiwa. 120
b. “Pembersihan” Besar-Besaran, Penyaringan Ideologi, dan Pencabutan
Hak Suara
Pada dekade 1970-an, sejumlah prosedur dan peraturan baru
ditetapkan, sehingga orang-orang yang hendak bekerja sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil
harus
menunjukkan
sertifikat
tanda
ketidakterlibatan mereka di dalam peristiwa 30 September 1965.
Rincian tentang kapan sertifikat tersebut dibutuhkan dan kepada
117
E. Alkhattab dan N. Rusli, Robert Cribb (ed). Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965-1966.
Yogyakarta: Mata Bangsa. 2003. Hal. 15.
118
Manai Sophian.Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI. Jakarta : Yayasan
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. 1994. hal. 344.
119
Human Rights Watch. Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers (Aug. 1,
1998) Bab III.
120
Amnesty International. Power and Impunity: Human Rights Under the New Order (1994-ASA 21/17/94).
82
Universitas Sumatera Utara
siapa saja itu berlaku, tercantum di dalam Instruksi Kopkamtib.121
Pimpinan Kopkamtib juga menetapkan satuan tugas untuk
melakukan screening (penyaringan) ideologi. 122 Lebih dari itu,
beberapa panduan peraturan lainnya menyatakan bahwa setiap orang
yang termasuk golongan A, B, atau C tidak dapat berpartisipasi di
dalam dinas kemiliteran, jika mereka tetap bekerjasebagai pegawai
negeri sipil, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan
promosi. 123
Di sisi lain, korban 1965 tidak boleh berpartisipasi di dalam
Pemilu, ataupun ikut berkampanye memperebutkan posisi legislatif,
termasuk
lokal,
regional,
ataupun
pemilihan
yang
bersifat
nasional. 124 Pada tahun 1996, Direktur Jenderal Urusan Sosial
Politik Soetoyo, menyatakan bahwa pada Pemilu 1971 sekitar 1,7
juta “mantan Komunis” dilarang untuk berpartisipasi. UU No.
4/1975 dan UU No. 1/1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No
2 Tahun 1980 memperbolehkan beberapa korban 1965 untuk
berpartisipasi, tetapi hanya dengan izin dari pemerintah. 125
121
Instruksi Kopkamtib No. KEP-06/KOPKAM/XI/1975 sesuai dengan“Perbaikan atas Prosedur untuk
Mengeluarkan Surat Keterangan Bebas G-30-S/PKI”.
122
Ibid., sesuai dengan“Penetapan Satuan Tugas Screening Ideologi” (17 Desember 1975).
123
Surat Edaran BAKN No. 01/SE/1976 dengan acuan kepada Surat Keterangan Bebas G30S/PKI yang
diwajibkan untuk promosi Pegawai Negeri.
124
Undang-Undang No. 15/1969 mengenai Pemilihan Anggota Badan Permusyawaratan Dewan Perwakilan
Rakyat.
125
Majalah. “The Controversy of an Activists Right to Vote”. Gatra, 4 Mei 1996.
83
Universitas Sumatera Utara
Melalui beberapa kebijakan Soeharto yang telah dipaparkan
sebelumnya sangat jelas sekali terlihat gaya kepemimpinan otoriter dan
berciri khas militeristik yang diterapkan oleh Soeharto saat itu, dimana ia
menerapkan regulasi atau peraturan-peraturan yang sangat keras terhadap
orang-orang yang waktu itu dianggap sebagai bagian dari PKI. Bahkan
orang-orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI waktu itu
pun ikut menjadi “korban” dari kekejaman Soeharto saat itu.
3.4. Persamaan Dan Perbedaan
3.4.1. Persamaan
Terdapat
beberapa
persamaan
yang
dapat
dijabarkan
dari
kepemimpinan yang diterapkan oleh Saloth Sar di Kamboja pada tahun
1975 sampai 1979 dan Soeharto di Indonesia pada tahun 1965 sampai 1970.
Pertama, Saloth Sar dan Soeharto menerapkan gaya kepemimpinan
yang otoriter di negara mereka masing-masing.Keduanya sama sama
menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap rezim sebelumnya di
negara mereka masing-masing. Dimana “kebebasan” di masa pemerintahan
mereka adalah sebuah hal yang langka, dikarenakan peraturan-peraturan
yang Saloth Sar dan Soeharto terapkan di masing-masing negara sangat
ketat dan mengikat. Kekuasaan mereka juga sangat absolut di negaranya,
tidak ada yang boleh untuk mengkritisi kebijakan atau peraturan yang
mereka buat di negaranya masing-masing.
Kedua, Saloth Sar dan Soeharto sama-sama bertitik tumpu pada
militer sebagai kekuatan politik mereka. Dalam hal ini Saloth Sar dengan
84
Universitas Sumatera Utara
tentara Khmer Merah nya dan Soeharto dengan TNI AD nya. Hal ini juga
yang membuat gaya kepemimpinan Otoriter Saloth Sar dan Soeharto sangat
militeristik, karena keduanya sama sama menerapkan peraturan di negara
mereka dengan sistem komando dan sifatnya vertikal (dari atas ke bawah).
Tentara Khmer Merah dan TNI AD memiliki peranan yang besar dalam
penerapan peraturan yang dibuat oleh Saloth Sar di Kamboja dan Soeharto
di Indonesia disaat mereka memimpin. Dalam karir militer, Saloth Sar dan
Soeharto juga sama-sama berpangkat Jenderal.
Ketiga,Saloth
Sar dan
Soeharto
juga sama-sama melakukan
pembunuhan massal di negara mereka masing-masing. Pembunuhan massal
ini bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik dari rezim sebelum Saloth
Sar dan Soeharto memimpin. Untuk di kamboja, orang-orang yang
tergabung dalam rezim sebelum Saloth Sar memimpin, yaitu rezim Lon Nol
pada tahun 1970, baik yang duduk di dalam pemerintahan maupun
pendukung dari rezim Lon Nol, semuanya dieksekusi oleh Saloth Sar (selain
rakyat Kamboja itu sendiri). Begitu pula dengan Soeharto yang
memerintahkan “pembantaian” terhadap orang-orang yang tergabung dalam
Partai Komunis Indonesia, baik anggota maupun simpatisannya, pada tahun
1965 sampai 1966.
3.4.2. Perbedaan
Selain persamaan, ada juga yang menjadi perbedaan diantara
kepemimpinan Saloth Sar dan Soeharto, yaitu dari segi ideologi politik yang
dianut oleh Saloth Sar dan Soeharto. Saloth Sar menganut idelogi
85
Universitas Sumatera Utara
Komunisdengan perpaduan konsep Stalinis dan Maois. 126 Sedangkan
Soeharto adalah seorang Nasionalis yang sangat menjunjung tinggi nilainilai pancasila. Berbanding terbalik dengan Saloth Sar, Soeharto adalah
orang yang sangat anti-komunis. Ini yang menjadikan kedua tokoh ini unik,
dikarenakan Saloth Sar dan Soeharto memiliki ideologi yang sangat kontras
dan berlawanan, namun dalam segi kepemimpinannya mereka memiliki
gaya kepemimpinan yang sama.
126
Ben Kiernan. Op.Cit., hal. 77.
86
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis
mengenai Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (19751979) Dan Soeharto Di Indonesia (Periode 1965-1970), maka penulis mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari
seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai
tujuan organisasi dimana terdapat seni mengatur, mengelola dan
mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan,
kerjasama, semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan
yang di cita-citakan. Sedangkan Kepemimpinan Politik menunjukkan
kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga
pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai
politik dan organisasi kemasyarakatan).
2. Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan
keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa
perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan
itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini memberikan
kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer
dalam
kebijakannya
daripada
kekuatan-kekuatan
politik
87
Universitas Sumatera Utara
lainnya.Sedangkan Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang
ditandai dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan
otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu
pemimpin.Otoritarianisme ini juga biasa disebut juga sebagai paham
politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan
kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat
kebebasan individu.
3. Saloth Sar dan Soeharto memiliki persamaan, dimana mereka menerapkan
gaya kepemimpinan yang otoriter di negara mereka masing-masing.
Keduanya sama sama menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap
rezim sebelumnya di negara mereka masing-masing.Saloth Sar dan
Soeharto sama-sama bertitik tumpu pada militer sebagai kekuatan politik
mereka. Dalam hal ini Saloth Sar dengan tentara Khmer Merah nya dan
Soeharto dengan TNI AD nya.Saloth Sar dan Soeharto juga sama-sama
melakukan pembunuhan massal di negara mereka masing-masing.
Pembunuhan massal ini bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik dari
rezim sebelum Saloth Sar dan Soeharto memimpin. Sedangkan yang
membedakan mereka adalah dari segi ideologi politik yang dianut oleh
Saloth Sar dan Soeharto. Saloth Sar menganut idelogi Komunis dan anti
terhadap Kebudayaan Barat dan Amerika Serikat. Sedangkan Soeharto
adalah seorang Nasionalis yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
pancasila. Berbanding terbalik dengan Saloth Sar, Soeharto adalah orang
yang sangat anti-komunis. Soeharto juga dikenal menjalin hubungan yang
baik dengan Amerika Serikat.
88
Universitas Sumatera Utara
4.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis telah lakukan, Penulis juga
mengemukakan beberapa saran atas pembahasan mengenaiPerbandingan Gaya
Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (1975-1979) Dan Soeharto Di Indonesia
(Periode 1965-1970), yaitu sebagai berikut:
1. Sebaiknya gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin sebuah
negara atau organisasi janganlah bersifat kaku dan otoriter serta
berorientasi
pada
pemikiran
sendiri,
namun
tetap
harus
mempertimbangkan saran atau gagasan yang dikemukakan oleh masingmasing orang yang turut ambil bagian di dalam pemerintahan ataupun
organisasi, karena mereka yang turut mengambil bagian di dalam
pemerintahan suatu negara ataupun organisasi pastilah mempunyai ide
atau gagasan yang dapat berkontribusi untuk dapat memajukan negara
ataupun organisasi tersebut.
2. Pemimpin yang memiliki kekuatan politik dalam bidang militer haruslah
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM). Jangan
sampai menyalahgunakan kekuatan militer yang dipunyai untuk
menyingkirkan, bahkan mengeksekusi lawan-lawan politik yang yang
berseberangan dengannya, terlebih masyarakat yang tidak bersalah.
Karena pada dasarnya semua manusia memiliki hak untuk hidup, apapun
suku, agama dan ideologinya. Jadikan kekuatan militer yang dipunyai oleh
pemimpin sebagai senjata utama dalam mengayomi masyarakat dan
menjaga keutuhan negara tersebut.
89
Universitas Sumatera Utara
PERBANDINGANGAYAKEPEMIMPINAN SALOTH SAR DI KAMBOJA
(1975-1979) DAN SOEHARTO DI INDONESIA (PERIODE 1965-1970)
3.1. Makna Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan tidak dapat terlepas dari kata "memimpin" yang
memiliki beberapa arti yaitu: memegang tangan seseorang sambil berjalan
(untuk menuntun atau menunjukkan jalan), mengetahui atau mengepalai
(dalam rapat atau perkumpulan), memandu, melatih (mendidik, mengajari).
Juga ada kata "terpimpin" yang berarti dapat dipimpin atau terkendali, serta
ada pula kata "pemimpin" yang memiliki dua arti: orang yang memimpin dan
petunjuk, buku petunjuk (pedoman). 81
Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi
serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan
bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur
dan pusat proses kelompok. Kemudian secara terminologis banyak ditemukan
definisi tentang pemimpin. Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan
pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena
dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. 82
Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan
timbal balik pemimpin dan pengikut dalam memobilisasi berbagai
sumberdaya ekonomi politik dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan
81
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cet. 10. Jakarta :
Balai Pustaka. 1999.hal. 769.
82
Winardi. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta : Rineka Cipta. 1990. hal. 12.
58
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan. Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan
merupakan suatu atau sekumpulan aktivitas yang teramati oleh pihak lain,
berlangsung dalam kelompok, organisasi atau lembaga, dan melibatkan
pemimpin dan pengikut yang bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum
yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa
yang tidak disukai dan melaksanakan apa yang disukai. 83
Pengertian Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan
mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota
kelompok. Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi
berbagai strategi dan tujuan bersama dan kemampuan mempengaruhi
kelompok agar mengidentifikasi, memelihara dan mengembangkan budaya
organisasi. 84
Menurut Sedarmayanti, kepemimpinan adalah kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu
sehingga perilaku orang lain berubah/tetap menjadi integratif. 85 Alfan Alfian
mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana seseorang punya
pengaruh dalam satu kelompok (organisasi) untuk menggerakkan individu
lain meraih tujuan bersama. 86Alfan meringkas beberapa definisi ahli
kepemimpinan dalam 5 perspektif, diantaranya:
83
Miftah Thoha. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 1995. hal. 63.
84
Winardi. Op.Cit., hal. 47.
85
Sedarmayanti.Reformasi Administrasi Public, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan.
Bandung : Rafika Aditama. 2009. hal. 121.
86
Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009. hal. 65.
59
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
5 Perspektif Kepemimpinan
Perspektif
Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin merupakan pusat segala aktivitas dan perubahan
Focus of group kelompok. Kepemimpinan adalah pusat kehendan yang
processes
menggerakkan
aneka
aktivitas,
perubahan,
dan
perkembangan kelompok(organisasi).
Pemimpin merupakan perpaduan antara bakatkhusus
Personality
(special traits) dan karakteristikindividu, yang memiliki
Perspective
kemampuan untukmendelegasikan tugas pada orang lain
secarasempurna.
Kepemimpinan
merupakan
seperangkattindakan
dan
Act or
perilaku tertentu yang mampumenggerakkan perubahan
Behaviour
dalam organisasi
Power
Kepemimpinan adalah relasi antara pemimpin(leader) dan
relationship
yang dipimpin (follower).
60
Universitas Sumatera Utara
Instrument of
Kepemimpinan
adalah
upaya
membimbinganggota
goal
mencapai tujuan bersama.
Achievement
Skills
Kepemimpinan
Perspective
bekerja secara efektif.
adalah
kapabilitas
yangmembuatnya
Sumber : Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Dari pengertian para ilmuwan ini dapat ditarik pemahaman bahwa
kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari
seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai
tujuan
organisasi
dimana
terdapat
seni
mengatur,
mengelola
dan
mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, kerjasama,
semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan yang di citacitakan.
3.1.1. Kepemimpinan Politik
Dalam melakukan kajian terkait dengan kepemimpinan, perlu adanya
pembedaan yang signifikan antara kepemimpinan yang bersifat struktural
61
Universitas Sumatera Utara
atau administratif, dengan kepemimpinan yang lebih mengarah pada
kepemimpinan politik. Oleh Karena itu perlu ditegaskan kembali dalam
penelitian
ini
bahwa
selain
harus
memahami
pengertian
tentang
kepemimpinan, harus dipahami pula pengertian tentang kepemimpinan
politik.
Pada dasarnya kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi
tidak sebaliknya, mirip dengan kekuasaan, kepemimpinan merupakan suatu
hubungan antara pihak yang memiliki pengaruh dan orang yang
dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber
pengaruh secara efektif. Berbeda dengan kekuasaan yang terdiri atas banyak
jenis sumber pengaruh, kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan
menggunakan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, tidak
seperti kekuasaan yang belum tentu menggunakan pengaruh untuk
kepentingan bersama pemimpin maupun para pengikutnya.
Oleh karena itu, kepemimpinan politik juga berbeda dengan elit
politik, karena seperti yang dikemukakan oleh Pareto, 87 Elit adalah orangorang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat,
seperti prestise, keyakinan, ataupun kewenangan, memiliki kekuasaan
politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena dua hal,
yaitu jenis sumber pengaruh yang digunakan dan tujuan penggunaan
pengaruh.
87
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. 1990. hal. 134.
62
Universitas Sumatera Utara
Sebutan
politik
dalam
kepemimpinan
politik
menunjukkan
kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga
pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai
politik dan organisasi kemasyrakatan). Oleh karena itu, pemimpin politik
juga berbeda dengan kepala suatu instansi pemerintahan karena yang
terakhir ini lebih menggunakan kewenangan dalam mempengaruhi
bawahannya. Tidak seperti kepala suatu instansi yang cenderung
menggunakan
hubungan-hubungan
menggerakkan
bawahannya,
hubungan-hubungan
informal
formal
pemimpin
dan
dan
politik
personal
impersonal
lebih
dalam
dalam
menggunakan
menggerakkan
pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu. 88Akan tetapi, orang yang
secara formal menjadi elit politik atau kepala suatu instansi dapat saja
memainkan peranan sebagai pemimpin politik kalau memenuhi karakteristik
kepemimpinan tersebut. Penyelenggara politik dan pemerintahan yang
sukses biasanya orang yang dapat menggunakan berbagai tipe penggunaan
sumber pengaruh sesuai dengan konteks dan jenis permasalahan.
Selain itu, kepemimpinan politik juga dapat dipahami dalam tiga
perspektif: 1) kepemimpinan sebagai pola perilaku. 2) kepemimpinan
sebagai kualitas personal. 3) kepemimpinan sebagai nilai politik. Sebagai
pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan tujuan yang diharapkan.
Kepemimimpinan politik dituntut untuk mampu mempertahankan
konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan dukungan88
Ibid.,
63
Universitas Sumatera Utara
dukungan politik yang signifikan, mampu mengelola potensi konflik yang
ada dengan baik dan efektif, mampu memotivasi anak buah dan
konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit
dari keterpurukan. Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun, mampu
memberi contoh danmendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan
politik, mampu menghadirkan proses sirkulasi elit di dalam organisasi
secara sehat, dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi
strategis di lembaga-lembaga politik kenegaraan yang ada. kepemimpinan
politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial.
Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses
dan dinamika politik berjalan secara beradab. 89
3.2. Militerisme dan Otoritarianisme
3.2.1. Militerisme
Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada
jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim
bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin
kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini
memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbanganpertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan
politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan
perlakuan-perlakuan
89
istimewa.
Kebijakan
tersebut
menyebabkan
Alfan Alfian. Op.Cit., hal. 12.
64
Universitas Sumatera Utara
militerisasi di dalam masyarakat. Pengaruh dan kekuatan militer sangat
diperhitungkan di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam
bidang sipil sekalipun. 90
Secara ideologis militerisme terdiri atas supremasi, loyalisme,
ekstremisme, proteksionisme-darurat, dan nasionalisme atau bentuknya
yang lebih sempit yaitu patriotisme.
Dengan pembenaran terhadap penerapan kekerasan, militerisme
menekankan bahwa penduduk sipil tergantung - dan karenanya berada
dalam posisi yang lebih rendah - pada kebutuhan dan tujuan-tujuan
militernya. Doktrin yang umumnya dikembangkan adalah perdamaian
melalui kekuatan. Hal ini dianggap sebagai metode yang tepat untuk
mengamankan
kepentingan-kepentingan
masyarakat.
Doktrin
ini
diwujudkan sebagai doktrin yang lebih unggul daripada semua pemikiran
lainnya, termasuk pengutamaan hubungan-hubungan diplomatik dan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Militerisme
kadang-kadang dikontraskan dengan konsep mengenai kekuatan nasional
yang komprehensif dan kekuatan lembut (soft power) dan kekuatan keras
(hard power). 91
3.2.2. Otoritarianisme
90
Terjemahan. Militaristic - definition of militaristic by The Free Dictionary. Dikutip melalui
http://www.thefreedictionary.com/militaristic. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017 pukul 16.23 WIB.
91
Militerisme. Dikutip melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Militerisme. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017
pukul 17.21 WIB.
65
Universitas Sumatera Utara
Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai
dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter
adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu
pemimpin.Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik
otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan
hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan
individu. 92Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada
umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi
(pemilihan umum).
Istilah
otoritarianisme
berasal
dari
bahasa
Inggris,
authoritarian.Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris
authority,
yang
sebetulnya
merupakan
turunan
dari
kata
Latin
auctoritas.Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.Oleh otoritas
itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku
orang, baik secara perorangan maupun kelompok.Otoritarianisme adalah
paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan
kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak. 93
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai
acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir.
Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya,
mereka akan menanyakan kedudukannya dalam lembaga dan organisasi.
Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan
92
Baskara T. Wardaya. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat. 2007. hal. 3.
93
A. Mangunhardjana. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. 1997. hal. 174.
66
Universitas Sumatera Utara
kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang
dipersoalkannya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang
lain, orang yang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu
agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika
orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia
akan dianggap salah. 94
Penganut otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi,
yaitu satu arah. Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan
model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan
pendapat secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tetapi sulit
untuk dihayati. Komunikasi yang bebas dan terbuka, berasal dari berbagai
arah dan tertuju ke segala penjuru akan asing baginya, karena gaya
komunikasi tersebut tidak masuk dan klop dalam kerangka berpikirnya.
Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan bagi orang ini
dalam menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya baik dalam
menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya
mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi. Istilah yang dikenalnya
terbatas pada pengarahan, petunjuk, wejangan, perintah, pembinaan,
sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu
perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi. Bentuk komunikasi
yang persuasif untuk meyakinkan, dinilai menghabiskan waktu dan tidak
efisien. 95
94
Ibid., hal. 175.
Ibid., hal. 176.
95
67
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam komunikasi penganut otoritarianisme hanya mengenal
komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam bertindak mereka suka “main
kuasa”. Yang dimaksud dengan “main kuasa” adalah pemaksaan kuasa
dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menyepelekan
perkara. Orang yang otoritarian juga akan mempermainkan perasaan
bawahannya dengan sengaja membuat mereka salah dan malu. Dengan
kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara,
keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang ada, dalam
bertindak penganut otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang
dimilikinya. 96
3.3. Perbandingan Gaya Kepemimpinan Kedua Tokoh
3.3.1. Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1970)
Saloth Sar sebagai pemimpin Kamboja yang baru setelah masa
pemerintahan Lon Nol yang berakhir pada tahun 1975, merubah semua
kebijakan yang telah ada sebelumnya. Saloth Sar menerapkan gaya
kepemimpinan yang sangat otoriter dan militeristik di Kamboja pada
waktu itu. Rezim Saloth Sar terkenal sebagai rezim yang kaku, keras,
brutal, dan banyak memusuhi rakyatnya sendiri. 97 Gaya kepemimpinannya
yang sangat otoriter ini dapat dilihat darikebijakan-kebijakan nya, antara
lain:
96
Ibid., hal. 177.
Sardiman A. M. Analisis Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty. 1983. hal. 67.
97
68
Universitas Sumatera Utara
1. Bidang Sosial
Kebijakan dalam bidang sosial yang dilaksanakan pemerintahan
Saloth Sar di Kamboja antara lain:
a. Evakuasi penduduk kota ke pedesaan
Pemindahan penduduk kota ke pedesaan atau pedalaman
merupakan bagian dari revolusi yang dilaksanakan Saloth Sar. Saloth
Sar ingin mengubah Kamboja menjadi negara agraris dengan
mempekerjakan semua penduduk sebagai petani dari berbagai
golongan. Dengan mempekerjakan seluruh penduduk sebagai petani
diharapkan kebutuhan pangan dapat terpenuhi sehingga Kamboja tidak
perlu melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Evakuasi itu juga diharapkan mampu memecah stratifikasi sosial yang
mengakar dan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas di Kamboja
yang dicita-citakan oleh Saloth Sar waktu itu. 98
Evakuasi dari kota ke pedesaan yang dilakukan pemerintah
secara tidak langsung menghapus kota yang telah ada. Pemerintah tidak
menghendaki adanya perkembangan di daerah perkotaan. Bahkan
dalam propaganda mereka, pemerintah menyebut Phnom Penh sebagai
The great prostitute on Mekong. 99Sehingga semua kota-kota yang ada
di Kamboja dikosongkan kecuali beberapaanggota Khmer Merah yang
tinggal di daerah itu untuk kepentingan pemerintahan.
98
David Chandler. A History of Cambodia. Chiang Mai : Silkworm Books. 1998. hal. 210.
Nazaruddin Nasution. Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja. Jakarta : Metro Pos. 2002.
hal. 75.
99
69
Universitas Sumatera Utara
b. Penghapusan Pendidikan
Untuk melanggengkan pemerintahan, rezim Saloth Sar juga
meniadakan pendidikan formal. Penduduk Kamboja tidak boleh
mendapatkan pendidikan kecuali untuk kebutuhan propaganda. 100
Jangankan menempuh pendidikan, buku juga tidak boleh beredar di
masyarakat. Penghapusan pendidikan dilakukan agar masyarakat tidak
dapat mengakses informasi yang dapat membuat mereka melakukan
perlawanan terhadap pemerintah. Pelarangan pendidikan formal lazim
dilakukan oleh penjajah didaerah jajahannya. Agar mereka tetap patuh
dan tunduk terhadap pemerintahan yang berlaku.
c. Penghapusan Agama
Komunis merupakan ideologi yang tidak percaya akan adanya
Tuhan. Hal itu juga yang diberlakukan di Kamboja saat Saloth Sar
berkuasa. Saloth Sar melarang agama dan menghancurkan tempattempat ibadah yang ada di Kamboja. 101 Biksu-biksu yang tadinya
sangat dihormati oleh masyarakat Kamboja dan memilikikedudukan
penting dalam upacara keagamaan dijadikan masyarakat biasa. Mereka
juga harus bekerja seperti penduduk lainnya.
Masyarakat Kamboja merupakan masyarakat yang menganut
agama Budha. Seperti yang kita tahu bahwa agama Budha sarat akan
upacara adat dalam kehidupan sehari-harinya. Pada masa pemerintahan
Saloth Sar segala bentuk upacara keagamaan dihapuskan. Masyarakat
100
Allen and Unwin. Focus on Southeast Asia. Singapore : KHL Printing Co Pte Ltd. 1995. hal. 26.
Ibid.,
101
70
Universitas Sumatera Utara
tidak boleh memeluk agama apapun, hal itu merupakan bagian dari
revolusi yang telah direncanakan. Sehingga pada masa itu agama di
Kamboja tidak mengalami perkembangan bahkan dapat dikatakan
bahwa kegiatan keagamaan mengalami kemunduran.
2. Bidang Ekonomi
Rezim Saloth Sar merubah tatanan perekonomian di Kamboja
seperti zaman pra modern. Saloth Sar melakukan kebijakan yang
membuat rakyatnya menderitadan banyak yang tewas akibat kebijakan
yang tidak masuk akal itu. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
a. Menciptakan masyarakat tanpa uang
Sejalan dengan kebijakan evakuasi penduduk kota ke pedesaan
dan isolasi bagi dunia luar. Rezim Saloth Sar mengeluarkan kebijakan
masyarakat tanpa uang. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah
melakukan
penghapusan
terhadap
pasar,
perdagangan
swasta,
kepemilikan pribadi, dan pelayanan publik. 102Penghapusan mata uang
bertujuan untuk mewujudkan cita-cita revolusi yang digagas oleh
Saloth Sar. Ia ingin membangun negara tanpa kelas sesuai tujuan
ideologi komunis.
102
Afred Suci. Op.Cit., hal. 127-128.
71
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan kerja paksa
Kerja paksa biasanya terjadi ketika suatu negara dikuasai oleh
negara lain atau terjajah. Keadaan itu tidak berlaku untuk negara
Kamboja saat itu. Di bawah pemerintahan anak negeri sendiri, Kamboja
mengalami masa kelam yang tidak dapat terlupakan. Masyarakat
Kamboja harus mengalami kerja paksa untuk dapat bertahan hidup.
Seluruh penduduk diwajibkan melakukan kerja paksa di pedesaan.
Mereka bekerja untuk menggarap sawah, menggali saluran air,
membuat
bendungan,
dan
melakukan
segala
kegiatan
yang
berhubungan dengan pertanian. 103 Pekerjaan itu dilakukan oleh
perempuan maupun laki-laki yang selalu dalam pengawasan serdadu
Khmer Merah.
Penduduk sangat menderita dengan sistem ini, bagaimana tidak
mereka diharuskan bekerja selama empat belas jam sehari, dua puluh
tujuh hari dalam sebulan. 104 Mereka tidak mendapatkan upah dalam
pekerjaan ini karena adanya sistem penghapusan mata uang yang
dilakukan oleh pemerintah. Sebagai imbalandari pekerjaan itu, mereka
hanya mendapatkan jatah makan, tempat tinggal, dan pakaian seadanya.
103
David Chandler. The Emergene of Modern Southeast Asia A New History. Singapore: Singapore
University Press. 2005. hal. 483.
104
Ibid.,
72
Universitas Sumatera Utara
3. Bidang Politik
Saloth Sar sebagai pemimpin baru Kamboja menerapkan
kebijakan di bidang politik yang dapat melanggengkan kekuasaannya.
Kebijakan itu antara lain:
a. Melakukan pembunuhan massal atau genoside
Kebijakan yang membuat Kamboja terkenal dan menjadi
masalah internasional adalah pembunuhan massal yang dilakukan rezim
Saloth Sar. Dibuktikan dengan ditemukannya lebih kurang 343 ladang
pembantaian. 105Banyak ditemukan tulang belulang manusia yang tewas
akibat kekejaman rezim Saloth Sar di ladang-ladang tersebut.
Pembunuhan itu dilaksanakan setelah rezim Saloth Sar berkuasa di
Kamboja pada 17 April 1975. Sejak saat itu penduduk Kamboja banyak
yang menghilang tanpa ada penjelasan dari pemerintah.
Pembunuhan massal dimulai ketika Phnom Penh jatuh ke tangan
pasukan Khmer Merah. Mereka menembak semua tentara yang
berseragam pasukan Lon Nol. Rezim Saloth Sar melakukan
pembunuhan tanpa proses peradilan, tidak peduli mereka bersalah atau
tidak semua orang yang berhubungan dengan rezim Lon Nol akan
disingkirkan.
Ini
merupakan
program
dari
revolusi
untuk
menghilangkan kekuatan yang telah ada sebelumnya.
Tidak ada yang tahu dengan pasti berapa jumlah penduduk yang
tewas akibat pembunuhan itu. Banyak orang yang memperkirakan
105
Afred Suci. Op.Cit., hal. 128.
73
Universitas Sumatera Utara
antara 1,7 juta sampai 2 juta orang tewas dalam kurun waktu 19751979.Saloth Sar sendiri tidak dapat memastikan berapa banyak orang
yang tewas saat ia memerintah Kamboja. 106Berdasarkan bukti-bukti
yang ditemukan, jutaan penduduk tewas saat Saloth Sar memerintah
Kamboja.
Ada tiga faktor penyebab tewasnya jutaan penduduk Kamboja,
pertama pembunuhan terhadap bekas pendukung Lon Nol, kedua
pembersihan partai, dan yang ketiga pembunuhan terhadap orang-orang
yang disinyalir tidak mendukung pemerintahan Saloth Sar. Pemerintah
melakukan program itu untuk tetap melanggengkan kekuasaan dan
memaksa penduduk untuk tetap tunduk dan patuh. Mereka akan takut
karena Khmer Merah tidak akan segan untuk melakukan pembunuhan
terhadap mereka yang dianggap bersalah. 107
Tewasnya jutaan penduduk Kamboja tidak hanya karena
penyiksaan namun pemindahan penduduk dari kota ke pedesaan dan
tanam paksa yang dicanangkan rezim Saloth Sar. Penduduk kota yang
tidak mengerti tentang pertanian, dipaksa mengolah tanah, menanam
padi, menggali saluran air dan pekerjaan lainnya yang tidak pernah
mereka kerjakan. Akibatnya banyak dari mereka yang tewas karena
kekurangan gizi dan kelelahan. Selain itu, banyak penduduk yang tewas
karena penyakit yang tidak mendapatkan perawatan medis.Para pekerja
tidak mendapatkan makanan yang memadai dan istirahat yang cukup
106
Syamdani. Kisah Diktator-Diktator Psikopat. Yogyakarta : Narasi. 2009. hal. 178.
Ben Kiernan. The Pol Pot Regime : Race, Power, and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge,
1975-79. Thailand: Silkworm Books. 1997. hal. 166.
107
74
Universitas Sumatera Utara
karena mereka harus bekerja sepanjang waktu untuk mengolah lahan
pertanian. Mereka selalu dalam penjagaan serdadu Khmer Merah
sehingga hanya dapat melakukan pekerjaan yang diperintahkan.
Kekejaman serdadu Khmer Merah sangat kontras dengan ikrar setia
yang selalu mereka ucapkan setiap pagi, yaitu:
1. Cintai dan hormatilah kaum pekerja dan petani, serta berbaktilah
kepada mereka;
2. Berbaktilah kepada rakyat ke manapun kita pergi dengan sepenuh
hati dan pikiran;
3. Hargailah rakyat tanpa merugikan kepentingan mereka, tanpa
menyentuh barang-barang atau tanaman mereka, dan jangan mencuri
bahkan sebutirmerica pun, dan jaga diri jangan sampai terlontar
sepatah kata pun yang bernada kasar terhadap mereka;
4. Minta maaflah jika melakukan kekeliruan. Jika ada kepentingan
rakyat yang dilanggar, maka kerugian yang terjadi harus diganti;
5. Dst. 108
Ikrar yang selalu mereka ucapkan sebelum beraktifitas
berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Para serdadu
bertindak sangat kasar dan tidak mempedulikan nasib para pekerja.
Mereka hanya menghendaki para pekerja bekerja sesuai dengan arahan
108
Haing Ngor dan Roger Warner. Neraka Kamboja: Siksa dan Derita, Buku kedua. Jakarta : Gramedia.
1990. Hal. 241-242.
75
Universitas Sumatera Utara
mereka dan pekerjaan selesai tepat pada waktunya sehingga tujuan
revolusi dapat tercapai.
b. Kamboja tertutup bagi dunia luar
Kamboja jatuh ke tangan pemerintahan Saloth Sar pada bulan
April 1975. Saloth Sar melakukan berbagai kebijakan yang sangat
mengejutkan, baik bagi Kamboja sendiri maupun dunia internasional.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Saloth Sar menganut
ideologi komunis, ia melakukan revolusi secara radikal dan berbeda
dengan revolusi yang terjadi di zaman modern sebelumnya. Salah satu
kebijakannya adalah menutup Kamboja bagi dunia luar. Saloth Sar
tidak menghendaki hubungan dengan dunia internasional kecuali
beberapa negara yang menjadi sekutunya.
Kebijakan itu direalisasikan dengan melakukan deportasi
terhadap seluruh warga negara asing yang berada di Kamboja. Tidak
menunggu lama, setelah Kamboja jatuh ke tangan rezim Saloth Sar,
seluruh warga negara asing dipulangkan ke negaranya masing-masing.
Hal ini untuk mendukung kebijakan isolasi yang dilakukan rezim Saloth
Sar, dimana hampir tidak ada hubungan diplomatik yang dilakukan
Kamboja dengan negara lain. Pemerintahan Saloth Sar memutus hampir
semua hubungan kerja sama dengan negara-negara di dunia, kecuali
negara-negara yang berhaluan komunis. 109
109
Nazaruddin Nasution. Op.Cit., hal. 78.
76
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada masa kepemimpinan
Saloth Sar saat itu membuat rakyat Kamboja menderita. Kebijakan itu
tidak terlepas dari paham komunis yang dianut oleh rezim Saloth Sar.
Kebijakan yang radikal dan brutal itu membuat Kamboja menjadi sorotan
dunia internasional. Akibat dari kebijakan-kebijakan brutal itu, membuat
rakyat Kamboja memiliki ketakutan yang tidak wajar sehingga
menimbulkan trauma psikologi bagi mereka yang hidup pada masa
kepemimpinanSaloth Sar yang sangat kejam dan otoriter tersebut.
3.3.2. Gaya Kepemimpinan Soeharto di Indonesia (Periode 1975-1970)
Tahun-tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik
militeristik dan juga otoritarian di mana tentara memiliki peran yang
dominan di dalamnya, khususnya pada awal masa kepemimpinan Soeharto
di Indonesia. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada
militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai
alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari
30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri
dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan
penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua
tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu
partai penguasa yaitu Golkar. 110
110
Warisan Soeharto. Dikutip melalui http://dte.gn.apc.org/76ais.htm. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017
pukul 20.12.
77
Universitas Sumatera Utara
Penulisakan menjabarkan tentang bagaimana gaya kepemimpinan
otoriter dan militeristik yang diterapkan oleh Soeharto di Indonesia, secara
khusus pada masa periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru tahun
1965-1970 yang merupakan awal dimulainya masa pemerintahanSoeharto
pasca tragedi Gerakan 30 September / PKI 1965 dan dikeluarkannya
Supersemar. Gaya kepemimpinan Soeharto saat itu dapat dilihat dari
sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Soeharto dalam kurun waktu
tersebut. Kebijakan-kebijakannya tersebut antara lain :
1. Bidang Sosial
Kebijakan dalam bidang sosial yang diterapkan oleh Soeharto saat
itu antara lain :
a. Persekusi
Sebelum pengesahannya selaku Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 27 Maret 1968, kewenangan yang dimiliki Soeharto
telah
memungkinkannya
peraturan/perundangan
yang
untuk
amat
mengesahkan
penting.
sejumlah
Kesemuanya
ini
memberikan legitimasi baginya untuk naik ke panggung kekuasaan,
memfasilitasi proses persekusi dan diskriminasi terhadap para
anggota PKI dan orang-orang yang dituduh bersimpati dengan
organisasi tersebut. 111
111
KontraS. Op.Cit., hal.11.
78
Universitas Sumatera Utara
b. Perampasan Pekerjaan dan Tanah, Kerja Paksa dan Stigmatisasi
Selama proses ini semua sekolah, tempat usaha dan
perkebunan yang sebelumnya merupakan milik PKI ataupun
simpatisannya ditutup, dan bangunannya secara fisik diambil alih
oleh militer. Banyak dari hak milik ini yang kini merepresentasikan
aspek bisnis Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kontroversial.
Banyak dari tahanan yang kemudian dikaryakan menjadi pekerja
paksa untuk menggarap tanah yang sebenarnya adalah milik mereka
sendiri yang telah dirampas. Beberapa di antara mereka ada juga
yang diberikan upah sangat kecil, sedangkan selebihnya tidak
menerima apa pun. Para tahanan biasa dipekerjakan untuk
membangun
proyek-proyek
infrastruktur,
seperti
jalan
raya,
jembatan, waduk dan kanal. 112
Proses terjadinya Stigmatisasi terhadap anggota keluarga dari
para Tahanan Politik juga sangat dramatis. Stigmatisasi tersebut
terus berlangsung sampai pembebasan para Tahanan Politik tersebut
pada 1971. Stigmatisasi tersebut bahkan terus berlangsung pada
generasi berikutnya dengan penolakan terhadap anak-anak mereka,
ketika mendaftar ke Akademi Kepolisian setelah pihak Akademi
mengetahui catatan penahanan ayahnya. 113
Stigmatisasi terhadap korban 1965 dilestarikan melalui
propaganda budaya populer lewat berbagai cara, seperti pertunjukan
112
John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed). Tahun yang Tak Pernah Berakhir; Memahami Pengalaman
Korban ‘65. Jakarta : Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2004. Hal. 141.
113
Ibid., hal. 82.
79
Universitas Sumatera Utara
wayang dan pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang
diproduksi tahun 1984 dan disutradari oleh Arifin C. Noer itu
ditayangkan secara rutin di televisi, dan dimasukkan ke dalam
kurikulum
sekolah.
Ada
pula
pembangunanmonumen
dan
pelaksanaan upacara, seperti monumen “Lubang Buaya” di Jakarta
yang berfungsi untuk “mengingatkan” tindakan kejam yang
dilakukan oleh Komunis. Semua proses ini melanjutkan stigma
terhadap para korban 1965. 114
2. Bidang Politik
Kebijakan dalam bidang politik yang diterapkan pada masa
kepemimpinan Soeharto saat itu antara lain :
a. Pembunuhan Massal dan Penangkapan Paksa
Setelah peristiwa 30 September 1965, Soeharto dan
kekuasaan de factonya atas TNI melancarkan tindak kekerasan masif
hampir di seluruh Nusantara yang terus berkelanjutan sampai Maret
1966. Target pembunuhan dan penahanan paksa tersebut adalah
semua orang yang dituduh sebagai anggota PKI, ataupun memiliki
keterkaitan tidak langsung dengan organisasi-organisasi bawahannya
PKI. Pembunuhan massal terjadi sebagian besar disebabkan karena
kekuasaan dan kewenangan absolut yang disandang Soeharto untuk
“mengambil segala langkah yang dianggap perlu” guna untuk
menghancurkan PKI.
114
Ibid., hal. 83.
80
Universitas Sumatera Utara
Banyak di antara orang-orang yang dibunuh, ditangkap dan
juga ditahan, memiliki kaitan yang amat minim atau bahkan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan PKI. Di banyak wilayah,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, anggota-anggota
Angkatan Bersenjata Indonesia di bawah naungan komando tertinggi
Soeharto menjadi pelaku dari rangkaian tindak kekerasan tersebut.
Lebih jauh lagi, militer memobilisasi laskar-laskar sipil, seperti
organisasi pemuda, mahasiswa ataupun organisasi-organisasi massa
berlatarkan keagamaan. 115
Di seluruh negeri, mayoritas pembunuhan massal dan
penahanan paksa terjadi setelah kedatangan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD). Komandan RPKAD Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo menyatakan;
“Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil antiKomunis untuk membantu pekerjaan ini… Kami melatih
mereka dua atau tiga hari, lalu mengirim mereka untuk
membunuh orang Komunis.” 116
Pihak berwenang melancarkan pembunuhan dan penyiksaan,
serta penahanan paksa terhadap orang-orang yang dituduh sebagai
Komunis. Mayoritas pembunuhan dan penahanan paksa terjadi
antara bulan September 1965 hingga Maret 1966. Jumlah persis
orang yang dibunuh dan dihilangkan selama periode ini masih
menjadi perdebatan sengit sampai kini. Disebutkan 800.000 jiwa
115
John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed).Op.Cit., hal. 29.
Sarwo Edhie Wibowo, Hughes. Indonesian Upheaval. New York : Fawcett. 1967. hal. 132.
116
81
Universitas Sumatera Utara
terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan masing – masing
100.000 di Bali dan Sumatera. 117Versi resmi memberikan gambaran
berbeda-beda mulai dari 70.000, sampai dengan “sesumbar” yang
diucapkan oleh Kolonel Sarwo Edhie misalnya, yang mengklaim
bahwa tiga juta orang telah dibunuh. 118Jumlah tersebut belum
termasuk
korban
penangkapan,
penahanan,
penyiksaan,
pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, pengusiran, pemecatan,
pengambilalihan properti, kerja paksa dan lain-lain. Berbagai
organisasi korban dan Organisasi Non-Pemerintah, baik di Indonesia
maupun di luar negeri, kerap merujuk angka sampai dengan satu juta
orang yang terbunuh. 119 Beberapa perkiraan yang “konservatif”
menyatakan bahwa jumlah korban hanya mencapai level ratusan ribu
jiwa. 120
b. “Pembersihan” Besar-Besaran, Penyaringan Ideologi, dan Pencabutan
Hak Suara
Pada dekade 1970-an, sejumlah prosedur dan peraturan baru
ditetapkan, sehingga orang-orang yang hendak bekerja sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil
harus
menunjukkan
sertifikat
tanda
ketidakterlibatan mereka di dalam peristiwa 30 September 1965.
Rincian tentang kapan sertifikat tersebut dibutuhkan dan kepada
117
E. Alkhattab dan N. Rusli, Robert Cribb (ed). Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965-1966.
Yogyakarta: Mata Bangsa. 2003. Hal. 15.
118
Manai Sophian.Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI. Jakarta : Yayasan
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. 1994. hal. 344.
119
Human Rights Watch. Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers (Aug. 1,
1998) Bab III.
120
Amnesty International. Power and Impunity: Human Rights Under the New Order (1994-ASA 21/17/94).
82
Universitas Sumatera Utara
siapa saja itu berlaku, tercantum di dalam Instruksi Kopkamtib.121
Pimpinan Kopkamtib juga menetapkan satuan tugas untuk
melakukan screening (penyaringan) ideologi. 122 Lebih dari itu,
beberapa panduan peraturan lainnya menyatakan bahwa setiap orang
yang termasuk golongan A, B, atau C tidak dapat berpartisipasi di
dalam dinas kemiliteran, jika mereka tetap bekerjasebagai pegawai
negeri sipil, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan
promosi. 123
Di sisi lain, korban 1965 tidak boleh berpartisipasi di dalam
Pemilu, ataupun ikut berkampanye memperebutkan posisi legislatif,
termasuk
lokal,
regional,
ataupun
pemilihan
yang
bersifat
nasional. 124 Pada tahun 1996, Direktur Jenderal Urusan Sosial
Politik Soetoyo, menyatakan bahwa pada Pemilu 1971 sekitar 1,7
juta “mantan Komunis” dilarang untuk berpartisipasi. UU No.
4/1975 dan UU No. 1/1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No
2 Tahun 1980 memperbolehkan beberapa korban 1965 untuk
berpartisipasi, tetapi hanya dengan izin dari pemerintah. 125
121
Instruksi Kopkamtib No. KEP-06/KOPKAM/XI/1975 sesuai dengan“Perbaikan atas Prosedur untuk
Mengeluarkan Surat Keterangan Bebas G-30-S/PKI”.
122
Ibid., sesuai dengan“Penetapan Satuan Tugas Screening Ideologi” (17 Desember 1975).
123
Surat Edaran BAKN No. 01/SE/1976 dengan acuan kepada Surat Keterangan Bebas G30S/PKI yang
diwajibkan untuk promosi Pegawai Negeri.
124
Undang-Undang No. 15/1969 mengenai Pemilihan Anggota Badan Permusyawaratan Dewan Perwakilan
Rakyat.
125
Majalah. “The Controversy of an Activists Right to Vote”. Gatra, 4 Mei 1996.
83
Universitas Sumatera Utara
Melalui beberapa kebijakan Soeharto yang telah dipaparkan
sebelumnya sangat jelas sekali terlihat gaya kepemimpinan otoriter dan
berciri khas militeristik yang diterapkan oleh Soeharto saat itu, dimana ia
menerapkan regulasi atau peraturan-peraturan yang sangat keras terhadap
orang-orang yang waktu itu dianggap sebagai bagian dari PKI. Bahkan
orang-orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI waktu itu
pun ikut menjadi “korban” dari kekejaman Soeharto saat itu.
3.4. Persamaan Dan Perbedaan
3.4.1. Persamaan
Terdapat
beberapa
persamaan
yang
dapat
dijabarkan
dari
kepemimpinan yang diterapkan oleh Saloth Sar di Kamboja pada tahun
1975 sampai 1979 dan Soeharto di Indonesia pada tahun 1965 sampai 1970.
Pertama, Saloth Sar dan Soeharto menerapkan gaya kepemimpinan
yang otoriter di negara mereka masing-masing.Keduanya sama sama
menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap rezim sebelumnya di
negara mereka masing-masing. Dimana “kebebasan” di masa pemerintahan
mereka adalah sebuah hal yang langka, dikarenakan peraturan-peraturan
yang Saloth Sar dan Soeharto terapkan di masing-masing negara sangat
ketat dan mengikat. Kekuasaan mereka juga sangat absolut di negaranya,
tidak ada yang boleh untuk mengkritisi kebijakan atau peraturan yang
mereka buat di negaranya masing-masing.
Kedua, Saloth Sar dan Soeharto sama-sama bertitik tumpu pada
militer sebagai kekuatan politik mereka. Dalam hal ini Saloth Sar dengan
84
Universitas Sumatera Utara
tentara Khmer Merah nya dan Soeharto dengan TNI AD nya. Hal ini juga
yang membuat gaya kepemimpinan Otoriter Saloth Sar dan Soeharto sangat
militeristik, karena keduanya sama sama menerapkan peraturan di negara
mereka dengan sistem komando dan sifatnya vertikal (dari atas ke bawah).
Tentara Khmer Merah dan TNI AD memiliki peranan yang besar dalam
penerapan peraturan yang dibuat oleh Saloth Sar di Kamboja dan Soeharto
di Indonesia disaat mereka memimpin. Dalam karir militer, Saloth Sar dan
Soeharto juga sama-sama berpangkat Jenderal.
Ketiga,Saloth
Sar dan
Soeharto
juga sama-sama melakukan
pembunuhan massal di negara mereka masing-masing. Pembunuhan massal
ini bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik dari rezim sebelum Saloth
Sar dan Soeharto memimpin. Untuk di kamboja, orang-orang yang
tergabung dalam rezim sebelum Saloth Sar memimpin, yaitu rezim Lon Nol
pada tahun 1970, baik yang duduk di dalam pemerintahan maupun
pendukung dari rezim Lon Nol, semuanya dieksekusi oleh Saloth Sar (selain
rakyat Kamboja itu sendiri). Begitu pula dengan Soeharto yang
memerintahkan “pembantaian” terhadap orang-orang yang tergabung dalam
Partai Komunis Indonesia, baik anggota maupun simpatisannya, pada tahun
1965 sampai 1966.
3.4.2. Perbedaan
Selain persamaan, ada juga yang menjadi perbedaan diantara
kepemimpinan Saloth Sar dan Soeharto, yaitu dari segi ideologi politik yang
dianut oleh Saloth Sar dan Soeharto. Saloth Sar menganut idelogi
85
Universitas Sumatera Utara
Komunisdengan perpaduan konsep Stalinis dan Maois. 126 Sedangkan
Soeharto adalah seorang Nasionalis yang sangat menjunjung tinggi nilainilai pancasila. Berbanding terbalik dengan Saloth Sar, Soeharto adalah
orang yang sangat anti-komunis. Ini yang menjadikan kedua tokoh ini unik,
dikarenakan Saloth Sar dan Soeharto memiliki ideologi yang sangat kontras
dan berlawanan, namun dalam segi kepemimpinannya mereka memiliki
gaya kepemimpinan yang sama.
126
Ben Kiernan. Op.Cit., hal. 77.
86
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis
mengenai Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (19751979) Dan Soeharto Di Indonesia (Periode 1965-1970), maka penulis mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari
seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai
tujuan organisasi dimana terdapat seni mengatur, mengelola dan
mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan,
kerjasama, semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan
yang di cita-citakan. Sedangkan Kepemimpinan Politik menunjukkan
kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga
pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai
politik dan organisasi kemasyarakatan).
2. Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan
keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa
perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan
itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini memberikan
kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer
dalam
kebijakannya
daripada
kekuatan-kekuatan
politik
87
Universitas Sumatera Utara
lainnya.Sedangkan Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang
ditandai dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan
otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu
pemimpin.Otoritarianisme ini juga biasa disebut juga sebagai paham
politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan
kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat
kebebasan individu.
3. Saloth Sar dan Soeharto memiliki persamaan, dimana mereka menerapkan
gaya kepemimpinan yang otoriter di negara mereka masing-masing.
Keduanya sama sama menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap
rezim sebelumnya di negara mereka masing-masing.Saloth Sar dan
Soeharto sama-sama bertitik tumpu pada militer sebagai kekuatan politik
mereka. Dalam hal ini Saloth Sar dengan tentara Khmer Merah nya dan
Soeharto dengan TNI AD nya.Saloth Sar dan Soeharto juga sama-sama
melakukan pembunuhan massal di negara mereka masing-masing.
Pembunuhan massal ini bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik dari
rezim sebelum Saloth Sar dan Soeharto memimpin. Sedangkan yang
membedakan mereka adalah dari segi ideologi politik yang dianut oleh
Saloth Sar dan Soeharto. Saloth Sar menganut idelogi Komunis dan anti
terhadap Kebudayaan Barat dan Amerika Serikat. Sedangkan Soeharto
adalah seorang Nasionalis yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
pancasila. Berbanding terbalik dengan Saloth Sar, Soeharto adalah orang
yang sangat anti-komunis. Soeharto juga dikenal menjalin hubungan yang
baik dengan Amerika Serikat.
88
Universitas Sumatera Utara
4.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis telah lakukan, Penulis juga
mengemukakan beberapa saran atas pembahasan mengenaiPerbandingan Gaya
Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (1975-1979) Dan Soeharto Di Indonesia
(Periode 1965-1970), yaitu sebagai berikut:
1. Sebaiknya gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin sebuah
negara atau organisasi janganlah bersifat kaku dan otoriter serta
berorientasi
pada
pemikiran
sendiri,
namun
tetap
harus
mempertimbangkan saran atau gagasan yang dikemukakan oleh masingmasing orang yang turut ambil bagian di dalam pemerintahan ataupun
organisasi, karena mereka yang turut mengambil bagian di dalam
pemerintahan suatu negara ataupun organisasi pastilah mempunyai ide
atau gagasan yang dapat berkontribusi untuk dapat memajukan negara
ataupun organisasi tersebut.
2. Pemimpin yang memiliki kekuatan politik dalam bidang militer haruslah
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM). Jangan
sampai menyalahgunakan kekuatan militer yang dipunyai untuk
menyingkirkan, bahkan mengeksekusi lawan-lawan politik yang yang
berseberangan dengannya, terlebih masyarakat yang tidak bersalah.
Karena pada dasarnya semua manusia memiliki hak untuk hidup, apapun
suku, agama dan ideologinya. Jadikan kekuatan militer yang dipunyai oleh
pemimpin sebagai senjata utama dalam mengayomi masyarakat dan
menjaga keutuhan negara tersebut.
89
Universitas Sumatera Utara