Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Pencapaian Tugas Perkembangan Remaja di SMA Negeri 1 Kualuh Selatan Kabupaten Labuhanbatu Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
2.1.1

Pengertian Pola Asuh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu

bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing
anak. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Gunarsa (2000 dalam Dani, 2014), pola asuh orang tua
merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan
hanya pemenuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku
dimasyarakat agar dapat hidup selaras dengan lingkungan.
Kenny & Kenny (1991 dalam Fortuna, 2008), menyatakan bahwa pola
asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk
perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan
perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman.
2.1.2


Jenis Pola Asuh
Menurut Baumrind, (1991 dalam Papalia, 2009) mengemukakan bahwa

pola asuh dari orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak.
Ada tiga pola asuh orang tua, yaitu:
1. Otoritarian atau Otoriter
Adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan dan kontrol. Orang tua
berusaha membuat anak mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka

8
Universitas Sumatera Utara

9

secara tegas jika melanggarnya. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat
dikontrol oleh anak. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat di
bandingkan orang tua yang lain. Anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga anak
kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder
dalam pergaulan; tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan
diri dari kenyataan. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini,

cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi,
anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orangtua, padahal dalam
hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan
bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang
tua . jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan semu.
2. Permisif
Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan
keluarga ditangan anak. Orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan
membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Orang tua hangat, tidak
mengontrol, dan menuntut. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang
tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semenamena, tanpa pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang
diinginkan. Dari sisi negarif, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial
yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara
bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang madiri, kreatif,
inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

Universitas Sumatera Utara

10


3. Otoritatif atau Demokratis
Pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas anak
tetapi juga

menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan

kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan
mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Kedudukan orang tua dan anak
sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah
pihak. Orang tua menyayangi dan menerima, tetapi juga meminta perilaku yang
baik, tegas dalam menetapkan standar dan berkenan untuk menetapkan hukuman
yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan
mendukung. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang
dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat
semena-mena.

Anak

diberi


kepercayaan

dan

dilatih

untuk

mempertanggungjawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini,
anak menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab
terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, dan jujur. Namun akibat negatif,
anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala
sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-orang tua.
Menurut Wong (2008), tipe pola asuh orang tua dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Otoriter atau Diktator

Orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui
perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh


Universitas Sumatera Utara

11

dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut,
sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan kepercayaan
keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa setiap perilaku yang
berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan
penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil
keputusan. Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa
penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali
mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang cendrung untuk
menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah dan tunduk. Mereka
cendrung menjadi sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah
dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika pengguna kekuasaan
diktator orang tua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih sayang yang
masuk akal. Jika tidak, pengggunaan kekuasaan diktator lebih cendrung untuk
dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial.
2. Permisif atau Laissez-Faire


Orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan
anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung
antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk
memaksakan standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk
mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap
diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model peran.
Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya,
mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan mereka dalam proses

Universitas Sumatera Utara

12

pembuatan keputusan. Mereka memberlakukan kebebasan dalam bertindak,
disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang masuk akal, dan
tidak mencegah anak yang merusak rutinitas dirumah. Orang tua jarang
menghukum anak, karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.
3. Otoritatif atau Demokratik


Orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak dari dua gaya yang
ekstrim. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan
alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka
menghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk
menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol
orang tua kuat dan konsiten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan
keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau
takut pada hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri pribadi” suatu
kesadaran mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk
melakukan hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum.
Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak
dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan anak lain.
Menurut Hurlock (1999 dalam Jayanti, 2012), membagi bentuk pola asuh
orang tua menjadi tiga macam yaitu:
1. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung
memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang

Universitas Sumatera Utara


13

dikatakan orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang
tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya
bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya
untuk mengerti mengenai anaknya.
2. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola
asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya berdasarkan rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang
cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak
apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan

oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering
kali disukai anak.
Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada
variabel pola asuh adalah teori dari Hurlock (1999).

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.3

Ciri-ciri Pola Asuh
Hurlock (1978) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu:
a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri:
1. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
2. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir
tidak pernah memberi pujian
3. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan
memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua
4. Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal

b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:
1. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan
kontrol internal
2. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan
dalam pengambilan keputusan
3. Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak.
c. Pola asuh permisif mempunyai ciri:
1.

Kontrol orang tua kurang

2.

Bersifat longgar atau bebas

3.

Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya

4.


Hampir tidak menggunakan hukuman

5.

Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat
sekehendaknya sendiri.

Universitas Sumatera Utara

15

2.1.4

Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward

(2006 dalam Yulita, 2014) adalah:
a. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya
sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan
antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala
sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi
keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson
menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan
atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau
permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua
yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih
mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang
normal (Supartini, 2004).
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola pengasuhan yang
diberikan orang tua terhadap anak.

Universitas Sumatera Utara

16

c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya
dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggapnya berhasil
dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak
anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karen itu
kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga
mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap
anaknya.
2.2 Remaja
2.2.1

Pengertian Remaja
Hurlock (1980), mengatakan remaja adalah suatu usia dimana individu

menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama atau paling tidak sejajar. Rentang usia remaja yaitu antara 13 sampai
21 tahun, yang dibagi dalam usia remaja awal 13 sampai 17 tahun dan 18 sampai
21 tahun remaja akhir. Masa remaja menurut Mappiare (dalam Ali, 2004),
berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun
sampai 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini di bagi menjadi dua bagian
yaitu, usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, usia 17/18
tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.
Menurut

WHO,

remaja

adalah

suatu

masa

pertumbuhan

dan

perkembangan dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia

Universitas Sumatera Utara

17

menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan
seksual, individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosialekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO membagi
kurun waktu usia remaja dalam dua bagian yaitu remaja awal 10 sampai 14 tahun
dan remaja akhir 15 sampai 20 tahun (Sunarto, 2008).
2.2.2

Ciri-Ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1980), seperti halnya dengan semua periode yang

penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut
adalah :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting.
Dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung terhadap sikap
dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Pada periode
remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting.
Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat
psikologis. Awal masa remaja, perkembangan fisik yang cepat dan
perkembangan mental yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya
penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan.
Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke
tahap perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi

Universitas Sumatera Utara

18

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang
dan yang akan datang. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal
masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan
diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik.
Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :
1. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi
biasanya terjadi lebih cepat selama masa awal remaja, maka
meningginya masa emosi lebih menonjol pada masa periode akhir.
2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok
sosial menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru
yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit di selesaikan
dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap
merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya
menurut kepuasannya.
3.

Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilainilai. Apa yang dianggap penting pada masa kanak-kanak, sekarang
setelah hampir dewasa tidak penting lagi.

4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mareka sering

Universitas Sumatera Utara

19

takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan
mareka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan kesulitan. Pertama
sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak sebagian diselesaikan oleh
orang

tua

dan

guru-guru,

sehingga

kebanyakan

remaja

tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa
mandiri, sehingga mareka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak
bantuan orang tua dan guru-guru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.
Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan
kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan anak perempuan.
Lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan
menjadi sama seperti temannya dalam segala hal. Salah satu cara untuk
mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan
menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan
barang-barang mewah lain yang mudah terlihat. Remaja menarik perhatian
pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat
yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok
sebaya.

Universitas Sumatera Utara

20

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.
Anggapan Stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapi, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan
mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap
tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal. stereotip berfungsi
sebagai

cermin

yang

ditegakkan

masyarakat

bagi

remaja

yang

menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya
sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai
gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan
bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja,
membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal citacita. Semakin tidak realistiknya cita-cita semakin menjadi marah. Remaja
akan sakit hari dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau
kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri.
Menjelang berakhirnya masa remaja, pada umunya baik anak laki-laki
maupun anak perempuan sering terganggu oleh idealisme yang berlebihan
bahwa mereka segera harus melepaskan kehidupan mereka yang bebas bila
telah mencapai status orang dewasa.

Universitas Sumatera Utara

21

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu
merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat
dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan
memberikan citra yang mereka inginkan.
2.3 Tugas Perkembangan Remaja
2.3.1

Pengertian Tugas Perkembangan
Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), pengertian tugas perkembangan

adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari
kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, akan
tetapi bila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas Perkembangan adalah setiap tahapan perkembangan manusia yang
berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu. Keberhasilan
atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia
tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang dalam menjalankan
tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Pada usia remaja terdapat pula tugastugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu. Pada akhir
remaja diharapkan tugas-tugas tersebut telah terpenuhi sehingga individu siap
memasuki masa dewasa dengan peran-peran dan tugas-tugas barunya sebagai
orang dewasa (Agustiani, 2009).

Universitas Sumatera Utara

22

2.3.2

Tujuan Tugas dalam Perkembangan
Menurut Hurlock (1980), tujuan tugas perkembangan ada tiga yaitu:
1. Sebagai petunjuk sehingga individu mengetahui apa yang diharapkan
oleh masyarakat dari mereka.
2. Sebagai pendorong individu untuk melakukan apa yang diharapkan
oleh masyarakat.
3. Untuk menunjukkan individu apa yang terjadi dan apa yang
diharapkan dari mareka dikemudian hari.

2.3.3

Faktor Pencapaian Tugas Perkembangan

Menurut Yusuf (2011) faktor yang mempengaruhi pencapaian tugas
perkembangan ada 2 yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal terkait dengan kondisi individu, misalnya anak yang dari
kecil sering menderita sakit, mungkin tugas perkembangannya akan
tersendat. Untuk mencegah hal tersebut, maka penting sekali bagi orang
tua, khususnya ibu untuk memperhatikan kesehatan anak pada saat berada
dalam kandungan, seperti: mengkonsumsi makanan dan minuman yang
halal dan bergizi, tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras dan
obat-obatan terlarang dan secara rutin memeriksa kandungan ke dokter.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan, seperti faktor
keluarga. Hubungan anak yang paling intensif dan paling awal terjadi
adalah dalam keluarga. Keluarga mempengaruhi dalam pencapaian tugas

Universitas Sumatera Utara

23

perkembangan usia tumbuh kembang termasuk remaja. Keluarga atau
orang tua memiliki gaya pengasuhan yang berdeda-beda. Misalnya orang
tua yang memiliki gaya pengasuhan otoriter akan menghambat tugas
perkembangan anak dalam aspek kemandirian, atau kemampuan bergaul
dengan orang lain secara baik.
Faktor

eksternal

lainnya

yang

mempengaruhi

pencapaian

tugas

perkembangan anak dan remaja adalah sekolah.
Menurut Al-Mighwar (2006) faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian
tugas-tugas perkembangan adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan fisik remaja
Tugas perkembangan akan sukses bila pertumbuhan fisik remaja berjalan
dengan sewajarnya.
2. Perkembangan psikis remaja
Tugas perkembangan akan sukses bila perkembangan psikisnya, seperti
mental, sikap, perasaannya berkembang dengan wajar.
3. Posisi remaja dalam keluarga
Kelancaran tugas perkembangan juga banyak dipengaruhi oleh posisinya
ditengah keluarga; sebagai anak tunggal atau bukan, anak kandung atau
anak angkat, anak pertama atau terakhir.
4. Kesempatan remaja untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan.
Banyak sedikitnya kesempatan yang dimiliki remaja sangat berpengaruh
pada pelaksanaan tugas perkembangan remaja.

Universitas Sumatera Utara

24

5. Motivasi diri
Ada tidak adanya motivasi, kuat atau lemahnya, atau faktor pendorong
yang ada dalam diri seorang remaja akan memperlancar atau menghambat
pelaksanaan tugastugas perkembangan remaja. Motivasi dapat bersumber
dari dalam diri remaja, seperti semangat dan obsesi, dan dari luar diri
remaja, seperti penghargaan orangtua atau masyarakat terhadap remaja.
6. Lancarnya pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada masa sebelumnya.
Kelancaran pelaksanaan tugas-tugas perkembangan remaja selama masa
kanak-kanak atau masa puber akan berpengaruh terhadap kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada masa berikutnya.
2.3.4

Bahaya Tugas-Tugas Perkembangan
Menurut Hurlock (1980) tugas-tugas perkembangan memegang peranan

penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal, maka apapun yang
menghalangi penguasaan sesuatu dapat dianggap sebagai bahaya potensial. Ada
tiga bahaya potensial yang umum berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan
yaitu :
1. Harapan-harapan yang kurang tepat, baik individu sendiri maupun
lingkungan sosial mengharapkan perilaku yang tidak mungkin dalam
perkembangan pada saat itu karena keterbatasan kemampuan fisik maupun
psikologis.
2. Melangkahi tahapan tertentu dalam perkembangan sebagai akibat
kegagalan menguasai tugas-tugas tertentu.

Universitas Sumatera Utara

25

3. Krisis individu ketika melewati suatu tahapan perkembangan ke tahapan
yang lain. Sekalipun individu berhasil menguasai tugas pada suatu tahap
secara baik, namun keharusan menguasai sekelompok tugas-tugas baru
yang tepat untuk tahap berikutnya pasti akan membawa ketegangan dan
tekanan kondisi-kondisi yang dapat mengarah pada suatu krisis.
2.3.5

Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), tugas yang harus diselesaikan

dengan baik oleh remaja yaitu:
1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita.
a. Tujuan Utama
Mempelajari peran anak perempuan sebagai wanita dan anak laki-laki
sebagai pria, menjadi lebih dewasa diantara orang dewasa, dan belajar
memimpin tanpa menekan orang lain.
b. Dasar Biologis
Kematangan seksual dicapai selama masa remaja. Daya tarik seksual
menjadi suatu kebutuhan yang dominan dalam kehidupan remaja.
Hubungan sosial dipengaruhi oleh kematangan fisik yang telah dicapai.
c. Dasar Psikologis
Dalam kelompok sejenis, remaja belajar untuk bertingkah laku
sebagaimana orang dewasa. Adapun dalam kelompok lain jenis, remaja
belajar menguasai keterampilan sosial. Remaja putri umumnya lebih
cepat matang dari pada remaja putra, dan cenderung lebih tertarik kepada

Universitas Sumatera Utara

26

remaja putra yang usia beberapa tahun lebih tua. Kecenderungan seperti
ini akan berlangsung sampai mereka kuliah di perguruan tinggi.
Keberhasilan dalam melaksanakan tugas perkembangan akan membawa
penyesuaian sosial yang lebih baik sepanjang kehidupannya.
2. Mencapai peran sosial pria dan wanita
a. Tujuan Utama
Menerima dan belajar mengenai peran sosial sesuai jenis kelaminnya
sebagai pria dan wanita.
b. Dasar Biologis
Ditinjau dari kekuatan fisik, remaja putri menjadi orang yang lebih lemah
dibandingkan dengan remaja putra. Namun remaja putri memiliki
kekuatan lain meskipun memiliki kelemahan fisik.
c. Dasar Psikologis
Peranan sosial pria dan wanita memang berbeda. Remaja putra perlu
menerima peranan sebagai seorang pria dan remaja putri perlu menerima
peranan sebagai wanita. Meskipun demikian, sering terjadi kesulitan pada
remaja

putri,

kadang-kadang

cenderung

lebih

mengutamakan

ketertarikannya kepada karir, cenderung lebih mengagumi ayahnya dan
kakaknya, serta ingin bebas dari peranan sosialnya sebagai istri atau ibu
yang memerlukan dukungan suami.

Universitas Sumatera Utara

27

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
a. Tujuan Utama
Merasa bangga atau memiliki toleransi terhadap kondisi fisiknya, serta
dapat menggunakan dan memeliharanya secara efektif dengan kepuasan
pribadi.
b. Dasar Biologis
Perkembangan remaja disertai dengan pertumbuhan fisik dan seksual.
Laju pertumbuhan tubuh gadis lebih cepat apabila dibandingan dengan
pemuda. Waktunya bagi remaja untuk mempelajari bagaimana jadinya
fisiknya kelak, menjadi tinggi, pendek, besar atau kurus. Umumnya gadis
yang berusia 15-16 tahun, tubuhnya mencapai bentuk akhir. Adapun pada
pemuda keadaan ini akan dicapai sekitar usia 18 tahun.
c. Dasar Psikologis
Setiap orang selama masa remaja menaruh minat yang kuat terhadap
perkembangannya/perubahan fisiknya. Remaja suka memperhatikan
perubahan tubuh yang sedang dialaminya sendiri. Individu akan
membandingkan dirinya dengan teman seusianya. Remaja putri lebih suka
berdandan dan berhias untuk menarik lawan jenisnya manakala dia sudah
mulai menstruasi.

Universitas Sumatera Utara

28

4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
a. Tujuan Utama
Membebaskan sifat kekanak-kanakan yang selalu menggantungkan diri
pada orang tua, mengembangkan sikap perasaan tertentu kepada orang tau
tanpa menggantungkan diri padanya.
b. Dasar Biologis
Kematangan seksual individu. Individu yang tidak memperoleh kepuasan
didalam keluarganya akan keluar untuk membangun ikatan emosiaonal
dengan teman sebaya. Ini bisa berlangsung tanpa mengubah ikatan
emosional yang meningkat terhadap orang tua.
c. Dasar Psikologis
Pada masa ini, remaja mengalami sikap ambivalen terhadap orang tuanya.
Remaja ingin bebas, namun dunia dewasa itu cukup rumit dan asing
baginya. Dalam keadaan seperti ini, remaja masih mengharapkan
perlindungan orang tua, sebaliknya orang tua menginginkan anaknya
berkembang menjadi lebih dewasa. Keadaan inilah yang menjadikan
remaja sering memberontak pada otoritas orang tua. Guru adalah salah
satu tempat bertumpu. Di sinilah peranan guru cukup besar dalam rangka
penyapihan psikologi remaja. Kegagalan dalam melaksanakan tugas
cenderung dapat diasosiasikan dengan kegagalan dalam membina
hubungan yang bersifat dewasa dengan teman sebaya.

Universitas Sumatera Utara

29

5. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
a. Tujuan Umum
Berpartisipasi sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam
kehidupan masyarakat dan mampu menjunjung nilai-nilai masyarakat
dalam bertingkah laku.
b. Dasar Biologis
Tugas ini tidak menuntut dasar biologis. Tugas ini berkaitan erat dengan
pengaruh masyarakat terhadap individu, kecuali jika menerima adanya
insting sosial pada manusia atau memandang bagus tingkah laku remaja
merupakan sublimasi dari dorongan seksual.
c. Dasar Psikologis
Suatu proses untuk mengikat diri individu kepada kelompok sosialnya,
yang telah berlangsung sejak individu dilahirkan. Sejak kecil anak
diminta untuk belajar menjaga hubungan baik dengan kelompok,
berpartisipasi sebagai anggota kelompok sebaya, dan belajar bagaimana
caranya berbuat sesuatu untuk kelompoknya. Ini berlangsung sampai
dengan individu itu mencapai fase remaja.
6. Mempersiapkan karier ekonomi
a. Tujuan Utama
Untuk mengorganisasikan suatu perencanaan dan berusaha dengan
berbagai cara untuk mencapai tingkat karir yang teratur, untuk merasa
mampu membina “kehidupan”.

Universitas Sumatera Utara

30

b. Dasar Biologis
Tidak ada dasar biologis yang penting untuk tugas ini
c. Dasar Psikologis
Hasrat yang tumbuh pada setiap anak terdapat berbagai macam simbol
untuk tumbuh, seperti memilih pakaian sendiri, berpergian sendiri dan
memilihkan baju untuk teman. Namun berdasarkan fakta yang
meyakinkan, adanya kemampuan untuk mau bekerja.
7. Menyiapkan perkawinan dan keluarga
a. Tujuan Utama
Untuk mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan keluarga.
Khususnya wanita untuk mendapatkan pengetahuan penting dalam
mengelolah rumah dan mengasuh anak.
b. Dasar Biologis
Kematangan seksual yang normal menghasilkan keterikatan yang cukup
kuat terhadap lawan jenis. hal ini merupakan satu dasar terjadinya
pernikahan.
c. Dasar Psikologis
Remaja menunjukkan perbedaan yang bermacam-macam dalam sikap
mereka terhadap pernikahan. Beberapa orang melihat pernikahan sebagai
suatu hal yang menakutkan, sementara yang lain melihat menikah sebagai
kesenangan, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam
kehidupannya. Sikap-sikap seperti ini sangat mungkin dipengaruhi oleh
pengalaman afeksi pada remaja dirumahnya.

Universitas Sumatera Utara

31

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dan mengembangkan ideologi
a. Tujuan Utama
Membentuk suatu himpunan nilai-nilai sehingga memungkinkan remaja
mengembangkan dan merealisasikan nilai-nilai, mendefenisikan posisi
individu dalam hubungannya dengan individu lain, dan memegang suatu
gambaran dunia dan suatu nilai untuk kepentingan hubungan dengan
individu lain. Tugas utama dari remaja adalah mencapai identitas. Proses
ini dalam lingkungan yang modern mengakibatkan elemen yaitu:
menyeleksi dan menyiapkan karir dalam bekerja atau pekerjaan rumah
dan politik/pembentukan dari ideologi sosial.
b. Dasar Psikologis
Terdapat fakta yang berdasarkan observasi bahwa anak muda/remaja
memiliki minat yang besar terhadap hal-hal yang sifatnya filosofis, politik
dan agama.
Menurut Oerter (Agustiani, 2009), tugas perkembangan pada masa remaja
yaitu:
1. Mampu mencapai relasi matang dengan teman
2. Mampu menjalankan peran sebagai pria dan wanita dewasa
3. Menerima perubahan fisik sebagai sesuatu yang penting
4. Mampu mencapai ketidaktergantungan secara emosional dari orang tua
dan orang dewasa lain
5. Mampu mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga

Universitas Sumatera Utara

32

6. Mampu mempersiapkan diri untuk sekolah dan kerja
7. Mampu menunjukkan minat terhadap masalah-masalah filosofi dan agama
8. Mampu menunjukkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
9. Mampu menjalin komunikasi dengan orang tua
10. Mampu mengekspresikan reaksi suka dan tidak suka terhadap lawan jenis
11. Mampu melakukan cara mengatur diri
Pikunas (Agustiani, 2009), mengemukakan beberapa tugas perkembangan
remaja yang penting pada tahap pertengahan dan akhir masa remaja yaitu:
1. Menerima bentuk tubuh orang dewasa yang dimiliki dan hal-hal yang
berkaitan dengan fisiknya
2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur otoritas
3. Mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar
membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara
individu maupun dalam kelompok
4. Menemukan model untuk identifikasi
5. Menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber
yang ada pada dirinya
6. Memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
ada
7. Meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekenakkanakan.

Universitas Sumatera Utara