Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

(1)

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

SKRIPSI

Dewi Sartika Panjaitan 081101030

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Darwin Siregar, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan yang telah memberikan izin penelitian dan guru kelas yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang telah memotivasi dan menuntun penulis dalam menjalani masa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I, Ibu Siti Saidah Nasution, SKp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji II, dan Ibu Siti Zahara Nasution , S.Kp, MNS selaku dosen uji validitas.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak baik yang bersifat moril maupun materil. Terima kasih kepada keluargaku


(4)

tercinta, Papa (Kapten. Inf. G. Panjaitan) dan Mama (B. Simanjuntak, S.Pd) yang senantiasa dengan penuh cinta mendukung dan memberikan segala hal yang terbaik untuk saya. Terima kasih kepada Kakak Roselyna R. D. Panjaitan, S.Pd dan adik Frans Heryanto Panjaitan untuk setiap dukungan, perhatian, dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih kepada teman seperjuangan stambuk 2008, terkhusus kelompok B buat kebersamaannya selama ini. Terimakasih kepada sahabatku Yemima Dayfiventy, Christine Handayani Siburian, Martia Lindawaty Tondang, dan Juliana Pardede untuk dukungan dan perhatiannya selama ini yang mengajarkanku banyak hal dalam menghadapi dunia perkuliahan. Terima kasih kepada Ririn Sartika Dewi untuk kehadirannya yang selalu memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, dan terima kasih kepada Sophie Devita Sihotang selaku teman seperjuangan dalam melakukan penelitian di SMA Negeri 15 Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak Tiomsi Hernawati Hutagalung, SH dan kakak Nita Riany Sitio, SE untuk dukungan doanya selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di Komisi Pemuda GKI Sumut Medan untuk kebersamaaan dan dukungannnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh kasih melimpahkan berkat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Terima kasih.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Kata Pengantar………. iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... viii

Daftar Tabel ... ix

Abstrak ………. x

Abstract ……….... xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 5

3. Pertanyaan Penelitian ... 5

4. Hipotesis Penelitian ... 5

5. Tujuan Peneltian ... 6

6. Manfaat Peneltian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh ... 8

1.1. Pengertian Pola Asuh ... 8

1.2. Tipe Pola Asuh ... 8

2. Remaja ... 21

2.1. Pengertian Remaja ... 21

2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja ... 21

2.3. Tugas Perkembangan Remaja ... 24

3. Perkembangan Sosialisasi ... 26

3.3. Pengertian Sosialisasi Remaja ... 26

3.4. Perubahan Sosialisasi Remaja ... 26

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 39

2. Defenisi Operasional ... 40

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 43

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 43

2.1. Populasi ... 43

2.2 Sampel ... 44

2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45


(6)

5. Instrumen Penelitian ... 46

5.1. Data Demografi ... 46

5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 46

5.3. Kuesioner Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 47

5.4. Uji Validitas Instrumen ... 48

5.5. Uji Reliabilitas Instrumen ... 49

6. Pengumpulan Data ... 50

8. Analisa Data ... 51

7.1 Pengolahan Data ... 51

7.2 Teknik Analisa Data ... 52

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 54

1.1 Karakteristik Responden ... 54

1.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 57

1.3 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 57

1.4 Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57

2. Pembahasan ... 60

2.1 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 60

2.2 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 67

2.3 HubunganTipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 78

2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Responden (Inform Consent) 2. Instrumen Penelitian

3. Jadwal Penelitian 4. Taksasi Dana Penelitian 5. Lembar Bukti Bimbingan 6. Daftar Riwayat Hidup

7. Uji Reliabilitas Instrumen Pola Asuh Orang Tua

8. Uji Reliabilitas Instrumen Perkembangan Sosialisasi Remaja 9. Tabel Cross Tab Pola Asuh Otoriter dengan Sosialisasi 10. Tabel Cross Tab Pola Asuh Demokratis dengan Sosialisasi 11. Tabel Cross Tab Pola Asuh Permisif dengan Sosialisasi 12. Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan Pemko Medan 13. Surat Izin Pengambilan Data dari Fakultas Keperawatan USU 14. Surat Selesai Melakukan Penelitian dari SMA Negeri 15 Medan


(7)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Independen ... 40 Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Dependen ... 42 Tabel 3. Jumlah Populasi ... 43 Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Berdasarkan Karakteristik

Responden ……... 56 Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Tipe Pola Asuh Orang Tua

di SMA Negeri 15 Medan ... 57 Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perkembangan Sosialisasi

Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57 Tabel 7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Orang Tua dengan

Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan …… 58 Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Otoriter dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 58 Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 59 Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Permisif dengan Perkembangan


(9)

Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan NIM : 081101030

Jurusan : Keperawatan Tahun : 2012

Abstrak

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.


(10)

Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan

Name : Dewi Sartika Panjaitan NIM : 081101030

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year : 2012

Abstract

Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.


(11)

Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan NIM : 081101030

Jurusan : Keperawatan Tahun : 2012

Abstrak

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.


(12)

Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan

Name : Dewi Sartika Panjaitan NIM : 081101030

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year : 2012

Abstract

Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain (Mubarak, 2009). Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan seorang anak, tempat belajar segala sesuatu dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial (Kartono, 1992 dalam Yusniah, 2008). Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga umumnya anak dan orang tua memiliki hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang dapat menjalankan peran dan fungsi dari keluarga tersebut dengan baik sehingga akan terwujud hidup yang sejahtera. Untuk dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera, faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting adalah penerapan pola asuh orang tua (Hisyam, 1994 dalam Sipahutar, 2009).

Pola asuh merupakan suatu proses mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma dalam masyarakat. Baumrind (1978 dalam Santrock, 2007) mengklasifikasikan gaya-gaya pola asuh ke dalam gaya yang bersifat otoriter, demokratis, dan permisif. Gaya orang tua yang permisif dicirikan oleh sifat menerima dan tidak menghukum dalam menghadapi perilaku anak-anak. Gaya orang tua yang otoriter menekankan kepatuhan terhadap aturan-aturan dan otoritas


(14)

orang tua. Gaya demokratis menekankan suatu cara yang rasional, berorientasi kepada isu “memberi dan menerima.”

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan sosial semua usia tumbuh kembang, termaksud pada remaja. Anwar dan Kasmih Astuti (2004 dalam Sujoko, 2011) dalam penelitiannya tentang pola asuh, tipe kepribadian dan disiplin remaja menunjukkan bahwa pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku disiplin dan kepribadian anak. Selain itu, Lestari (2006) dalam penelitiannya tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan moral remaja menunjukkan bahwa pola asuh mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral remaja. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan perkembangan moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai signifikansi sebesar 0,007 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,226. Pola asuh otoriter juga mempunyai hubungan dengan perkembangan mora remaja, yakni dengan diperolehnya nilai signifikansi 0,024 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,188. Selain itu, ada hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai signifikansi sebesar 0,003 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,243.

Orang tua dalam menerapkan pola asuh kepada anak tujuan sebenarnya adalah bukan memberikan hukuman terhadap tindakan-tindakan yang salah, melainkan membantu anak-anak khususnya remaja untuk mengontrol perilaku mereka sendiri, mengembangkan disiplin diri, menerima tanggung jawab atas perilaku mereka sendiri, dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan


(15)

perasaan dari orang lain. Pola asuh dapat bekerja sangat baik ketika pola ini diterapkan pada anak secara individu dan dalam situasi yang spesifik sehingga dapat terbina hubungan yang baik antar remaja dan orang tua (Soetjiningsih, 2004 dalam Sipahutar, 2009).

Hubungan yang baik antara orang tua dan remaja akan membantu pembinaan diri remaja dalam upaya menyelesaikan setiap tugas perkembangan remaja. Tugas perkembangan yang paling penting pada saat remaja adalah perkembangan sosialisasi, yakni kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai baru dalam memilih teman, nilai baru dalam penerimaan sosial, dan nilai baru dalam memilih pemimpin (Hurlock, 1999). Perkembangan sosialisasi remaja yang buruk dapat menimbulkan masalah pada masa remaja, seperti pergi keluar rumah untuk mencari penyaluran dari kecemasan dan kegoncangan jiwanya kepada teman-teman yang senasib atau para remaja yang memahaminya. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan remaja mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif akibat dari perkembangan sosialisasi yang tidak baik (Panuju, 1999 dalam Sipahutar, 2009).

Masa remaja menjadi masa yang penting karena merupakan masa transisi dimana terjadi peralihan dari masa kanak-kanak kemasa remaja dan masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil (storm and stress). Masa transisi memungkinkan timbulnya masa krisis yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang (Hurlock, 1999).

Salah satu bukti perilaku menyimpang yang dilakukan remaja adalah seperti yang disampaikan oleh Wakil Walikota Medan, Drs. H. Dzulmi Eldin S, MSi,


(16)

bahwa kenakalan remaja saat ini cukup untuk mendapat perhatian serius, selain tawuran pelajar, narkoba, pergaulan bebas, juga masalah geng motor yang menjadi perhatian serius dari berbagai pihak (Eldin, 2011). Hal ini terbukti dengan sering terjadinya tawuran antar pelajar, seperti tawuran pelajar antara pelajar SMUN 1 Medan dengan pelajar SMU Swasta Methodis di Jalan Cik Ditiro yang terjadi pada Senin, 24 Januari 2011 (Kito, 2011). Selain itu, tawuran antar pelajar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama pun terjadi, yaitu antar pelajar SMPN 13 Medan dan SMAN 8 Medan dengan SMP dan SMA Letjen S Parman yang terjadi di Jalan Wahidin Medan pada tanggal 18 November 2011. Tawuran antar pelajar ini terjadi akibat adanya tindakan saling mengejek antar pelajar yang berbeda sekolah yang memicu kemarahan pelajar (Banjarnahor, 2011). Tingkat kenakalan remaja terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini terbukti dari seringnya kita melihat tawuran antar remaja yang terus disiarkan di telivisi baik di Medan maupun di daerah lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan data diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Peneliti memilih SMA karena siswa SMA merupakan remaja yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan SMA Negeri 15 Medan adalah salah satu sekolah menengah atas yang siswanya berasal dari lingkup dan lingkungan yang berbeda sehingga memungkinkan orang tua siswa menerapkan pola asuh yang berbeda. Hal ini juga akan menjadikan setiap remaja memiliki perkembangan sosialisasi yang berbeda pula.


(17)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk memilih judul penelitian yakni “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan”.

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah yang ada, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian 1. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

2. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

3. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang diharapkan pada penelitian ini adalah 1. Ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan sosialisasi

remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

2. Ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

3. Ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?


(18)

5. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 5.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

5.2. Tujuan Khusus

5.2.1. Mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua pada remaja yang terdiri dari pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif di SMA Negeri 15 Medan.

5.2.2. Mengidentifikasi perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

5.2.3. Mengidentifikasi hubungan pola asuh yang diterapkan orang tua yang terdiri dari pola asuh pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif pada remaja dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. 6. Manfaat Penelitian

6.1. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk persiapan materi penyuluhan yang berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan anak dan keluarga.

6.2. Pelayanan Keperawatan

Mengetahui lebih dalam mengenai perkembangan psikososial remaja khususnya perkembangan sosialisasi sehingga dapat membantu di dalam


(19)

pemberian pelayanan yang tepat apabila berhadapan dengan pengguna jasa pelayanan keperawatan, khususnya remaja.

6.3 Penelitian Berikutnya

Dapat memberikan informasi bagi peneliti berikutnya mengenai pengaruh pola asuh orang tua terhadap perkembangan sosialisasi remaja dan tipe pola asuh yang diterapkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya di dalam keluarga. 6.4. Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi keluarga, khususnya orang tua agar dapat menentukan pola asuh yang tepat untuk menerapkan disiplin pada anak.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pola Asuh

1.1.Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing anak kecil. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian pengasuhan menurut Porwadarminto (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Sedangkan pengertian mengasuh anak menurut Darajat (dalam Amal, 2005) adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa. Pengasuhan adalah kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

1.2. Tipe Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind (1971, dalam Santrock, 2005), ada empat gaya pengasuhan, yaitu :

1. Pengasuhan Otoriter

Pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menguhukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan


(21)

menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif. 2. Pengasuhan Demokrasi

Pengasuhan demokrasi mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyanyang terhadap anak. Orang tua yang demokrasi mungkin merangkul anak dengan mesra. Orang tua yang demokrasi mungkin menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan ceria, bisa mengendalikan diri dan berorientasi, dan berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.

3. Pengasuhan yang Mengabaikan/Permisif

Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting


(22)

daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.

4. Pengasuhan yang Menuruti/Neglectful

Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya.

Menurut Elizabet B. Hurlock (1999) ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain :

1. Melindungi secara berlebihan.

Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan.


(23)

2. Permisivitas

Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.

3. Memanjakan

Permisivitas yang berlebih, memanjakan membuat anak egois dan menuntut 4. Penolakan

Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka.

5. Penerimaan

Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.

6. Dominasi

Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.

7. Tunduk pada anak

Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.


(24)

8. Favoritisme

Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga. 9. Ambisi orang tua

Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial

Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes (1986 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu :

a. Otoriter

Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi.

b. Demokratis

Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. c. Permisif

Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.

Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan


(25)

permisif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas.

1. Otoriter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), otoriter berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003 dalam Yusniah, 2008), pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri.

Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak, serta orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau membantah, maka orang tua tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi karena apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua. (Yusniah, 2008)

Menurut Parsono (1994 dalam Yusniah, 2008), pada pola asuhan ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jadi, anak melakukan perintah orang tua karena takut dan bukan


(26)

karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak.

Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak, terutama dalam pembentukan kepribadiannya karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan bahwa sikap orang tua yang otoriter paling tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas dan kurang percaya diri.

Menurut Abu Ahmadi (1991 dalam Yusniah, 2008) perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-lama anak akan


(27)

mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada. Setelah dewasapun anak akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan (Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut :

1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.

2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.

3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak. 4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak

dianggap pembangkang.

5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin.

6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.

7) Tidak ada komunikasi dua arah antara orang tua dan anak 2. Demokratis

Menurut Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008), pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang


(28)

penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua (Yusniah, 2008)

Orang tua selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Pola asuh ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya, serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak (Yusniah, 2008)

Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Dengan pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif (Yatim, 1991 dalam Yusniah, 2008)

Rumah tangga yang hangat dan demokratis berarti bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu, dan bahwa orang tua memberinya


(29)

kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua ialah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Beck, 1992 dalam Yusniah, 2008)

Pendapat Fromm (dalam Yusniah, 2008) bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasan sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Ini mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang kekuasaan.

Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993), dan Nur Hidayah dkk (1995) ( dalam Yusniah, 2008) adalah bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis terjadinya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :

1)Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak.


(30)

2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan.

3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian. 4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.

5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.

Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun permisif. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu macam pola (Yusniah, 2008).

3. Permisif

Menurut Poebakawatja (1976 dalam Yusniah, 2008), permisif adalah suatu sistem di mana pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut campur). Pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan ataupun


(31)

menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya karena kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, ketergantungan dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional (Yusniah, 2008).

Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku mereka dan ketika mereka kecewa, mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan dan hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata (Hauck, 1993 dalam Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh permisif adalah sebagai berikut :

1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya. 2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.


(32)

4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua).

5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga

Menurut Mohammad Shochib (1998 dalam Yusniah, 2008), setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah kenakalan remaja. Akan tetapi, anak tersebut cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki depresi yang lebih tinggi.

Sementara pola asuh permisif membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah, tetapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.

Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam menciptakan karyanya. Oleh karena itu, pola asuh yang dianggap lebih cocok untuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya adalah demokratis. Dalam pola asuh ini, orang tua memberi kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan untuk hal-hal yang esensial saja, dengan tetap menunjukkan


(33)

dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa berusaha mendiktenya (Shochib, 1998 dalam Yusniah, 2008).

2. Remaja

2.1. Pengertian Remaja

John W. Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Sedangkan menurut PBB, remaja adalah individu yang berada dalam rentang usia 15-24 tahun.

2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Dianggap periode yang penting karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Awal masa remaja ditandai dengan perkembangan fungsi fisik dan perkembangan mental yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.


(34)

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :

1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru.

3) Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilai-nilai. 4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.

Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi takut bertanggung jawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah namun merasa dirinya mandiri untuk mengatasi masalahnya sendiri sehingga menolak bantuan orang lain. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri mengakibatkan penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan.


(35)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.

Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya didalam masyarakat, apakah ia seorang anak-anak atau orang dewasa. Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting namun lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam segala hal.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan barang-barang mewah lain, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya didalam kelompok dengan mengikuti apa yang dilakukan kelompok seperti merokok dan minum minuman keras.

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.

Stereotip yang berlaku dalam masyarakat berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana dirinya.


(36)

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3 Tugas Perkembangan Remaja

Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan merupakan pengharapan atas apa yang akan dilakukan oleh individu pada masa perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan bersifat normatif, tepat waktu, dan diharapkan, serta diantisipasi oleh individu. Tugas-tugas perkembangan harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya atau individu tersebut akan mengalami kesulitan untuk meyelesaikannnya di waktu yang lain atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahap yang lebih lanjut (Hurlock, 1999).

Adapun tugas perkembangan remaja menurut Marheni (2004 dalam Soetjiningsih, 2004), yaitu :

1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin.

2. Memperoleh peran sosial.


(37)

4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua.

5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri. 6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.

7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 8. Mengembangkan dan membentuk kemampuan konsep-konsep moral. Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu :

1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karier ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

3. Perkembangan Sosialisasi 3.1. Pengertian Sosialisasi Remaja

Menurut Hurlock (1999), pengertian sosialisasi adalah perolehan kemampuan berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Nur’aeni (1997 dalam Junita, 2006), sosialisasi adalah suatu proses seseorang belajar berperilaku sesuai dengan tuntutan budaya tempat ia hidup.


(38)

Soelaeman (2001 dalam Junita, 2006), sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri bagaimana cara hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam. Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak ditentukan melalui interaksi sosial (Khairudin, 1997 dalam Junita, 2006). Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif masyarakat dan lingkungan. (Munandar, 1985 dalam Junita, 2006).

3.2. Perubahan Sosial Remaja

Bertrand (1980 dalam Hurlock, 1999) proses sosialisasi membuat seseorang menjadi tahu bagaimana ia harus bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi seorang anak akan menjadi masyarakat yang beradab (Hurlock, 1999).

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999).

Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Perubahan sosial yang terjadi remaja menurut Hurlock (1999), antara lain :


(39)

1. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri sebagai akibatnya.

Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan pengaruh teman sebaya pada masa remaja sebagai berikut :

Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan panggung di mana remaja dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya, remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Disinilah remaja dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia orang dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pulalah remaja dapat


(40)

menemukan dunia yang memungkinkannnya bertindak sebagai pemimpin apabila mampu melakukannya. Selain itu, kelompok kelompok sebaya merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Kelompok sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya remaja bergantung.

Keremajaan memiliki sifat yang selalu maju, maka kelompok sebaya pun mulai akan berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja. Faktor kedua timbul dari akibat pemilihan sahabat. Remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu berada pada masa kanak-kanak. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat, maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh teman-teman.

2. Perubahan dalam perilaku sosial

Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya


(41)

daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas.

Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang.

Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, semakin terlihat dalam kemampuan berdansa, dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial.

Bertambah dan berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja berada dan oleh sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-teman baiknya. Remaja, sebagai kelompok, cenderung lebih “pemilih-milih” dalam memilih rekan dan teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, remaja


(42)

cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar.

3. Pengelompokan sosial baru

Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan sehingga terjadi pengelompokan sosial baru. Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau akrab dibandingkan dengan pengelompokan anak perempuan yang kecil dan terumus lebih pasti. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi selama masa remaja, yaitu:

a. Teman dekat

Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat atau sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis kelamin yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama lain meskipun kadang-kadang juga bertengkar.

b. Kelompok kecil

Kelompok biasa ini terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis seks.

c. Kelompok besar

Kelompok besar, yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman dekat, berkembang dengan meningkatnya minat akan


(43)

pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang dia antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka.

d. Kelompok yang terorganisasi

Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja yang tidak mempuyai kelompok besar. Banyak remaja yang mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun.

e. Kelompok Geng

Remaja yang tidak termaksud kelompok besar dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial dengan berlangsungnya masa remaja, terdapat perubahan pada beberapa pengelompokkan sosial ini. Minat terhadap kelompok yang terorganisasi yang kegiatannya direncanakan dan diawasi oleh orang dewasa dengan cepat menurun karena remaja yang dewasa dan merdeka tidak mau diperintah. Hanya kalau pengendalian kegiatan diserahkan kepada remaja dengan sedikit orang campur tangan dan nasihat orang dewasa, minat ini dapat terus berlangsung.

Kelompok yang terlalu banyak anggota cenderung bubar pada akhir masa remaja dan digantikan dengan kelompok-kelompok kecil yang


(44)

hubungannya tidak terlampau akrab. Hal ini terutama terdapat pada remaja yang bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Di tempat kerja kelompok berhubungan dengan orang-orang dari segala usia yang sebagian besar mempunyai teman dan keluarga sendiri di luar pekerjaan, kecuali jikalau remaja mempunyai bekas teman-teman sekolah yang tinggal atau bekerja di dekat tempat kerjanya sehingga masih dapat berhubungan. Teman-temannya akan terbatas pada beberapa teman sekerja saja dan kehilangan hubungan dengan kelompok yang cukup besar.

Pengaruh dari geng cenderung meningkat selama masa remaja. Perilaku ini sering diungkapkan dengan perilaku pelanggaran yang dilakukan anggota-anggota geng. Seperti yang diterangkan oleh Friedman, dkk, yaitu bahwa kekuasaan yang mempengaruhi anggota-anggota geng jalanan hampir menuntut pengawasan mutlak dari kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan geng, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah.

4. Nilai baru dalam memilih teman

Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya, baik di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak, dan kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi merupakan faktor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan


(45)

masalah-masalah dan membahasa hal-hal yang tidak dibicarakan orang tua ataupun guru.

Dalam suatu penelitian mengenai apa yang diinginkan remaja sebagai teman, Joseph menunjukan bahwa sebagian besar remaja mengatakan mereka ingin “seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak berbicara, seseorang yang dapat diandalakan”. Karena adanya perubahan nilai, maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman di masa remaja.

Para remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan demikian, pada akhir remaja sering kali para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.

Bagi sebagian besar kawula muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak. Semakin remaja bertambah tua, maka jenis teman menjadi lebih penting daripada jumlah. Namun terlepas dari jenis teman yang “benar”, nilai remaja cenderung berubah dari tahun ke tahun, bergantung pada nilai-nilai yang dianut kelompok dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri saat itu.

Remaja mengerti apa yang diharapkan dari teman-temannya, sehingga remaja berkeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa. Seringkali hal ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu stabilitas persahabatan remaja. Pertama, karena kurangnya pengalaman terutama dengan lawan jenis, remaja memilih teman-teman yang kurang


(46)

sesuai, tidak seperti yang diharapkan sehingga pertengkaran sering terjadi dan kemudian persahabatan mereka bubar.

Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja cenderung tidak realistis dengan standar yang ia tetapkan untuk teman-temannya. Remaja menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standar dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja menjadi lebih realistis terhadap orang-orang lain dan diri sendiri. Dengan demikian, remaja tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima teman-temannya.

5. Nilai baru dalam penerimaaan sosial

Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota berbagai kelompok sebaya seperti kelompok besar atau geng. Nilai ini terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.

Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja. Penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku, yaitu sindroma penerimaan yang disenangi remaja dan dapat menambah gengsi kelompok besar yang diidentifikasinya.


(47)

Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat sindroma aliensi yang membuat orang lain tidak menyukainya atau menolaknya. Beberapa unsur yang umum dari sindroma penerimaan dan sindroma aliensi dalam masa remaja, yaitu :

a. Sindroma Peneriman

- Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira.

- Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.

- Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebayanya. - Perilaku sosial yang ditandai oleh kerja sama, tanggung jawab, panjang

akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan.

- Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan.

- Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri.

- Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam kelompok dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga.

- Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan dan partisipasi berbagai kegiatan kelompok.


(48)

b. Sistem Aliensi

- Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, dan yang mementingkan diri sendiri. - Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif.

- Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok, dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan.

- Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, mengganggu, dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama, dan kurang bijaksana.

- Kurang kematangan, terutama terlihat dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan.

- Sifat-sifat kepribadian yang menggangu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.

- Status sosial ekonomi berada di bawah status sosial ekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota kelompok keluarga. - Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk

berpartisispasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena kerja sambilan.

6. Nilai baru dalam memilih pemimpin

Karena remaja merasa bahwa pemimpin kelompok sebaya mewakili mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan pemimpin yang berkepemimpinan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain dan dengan demikian akan menguntungkan mereka. Terdapat banyak


(49)

macam kelompok pada masa remaja, seperti kelompok atletik, sosial, intelektual, agama, kelas atau masyarakat, dan pemimpin satu kelompok tidak perlu mempunyai kemampuan untuk memimpin kelompok lain. Kepemimpinan sekarang merupakan fungsi dari situasi seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa.

Remaja mengharapakan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat tertentu, karena jikalau hanya fisik yang baik pada dirinya tidak membuat seorang menjadi pemimpin. Hal ini memberikan prestise dan memberikan konsep diri yang baik. Pemimpin remaja harus mempunyai kesehatan yang baik sehingga bersemangat dan bergairah untuk melakukan sesuatu, dimana hal ini akan menentukan mutu inisiatif.

Remaja yang sangat memperhatikan pakaian mengharapkan seorang pemimpin yang menarik dan rapih. Ciri lain dari pemimpin adalah tingkat intelegensi sedikit di atas rata-rata, prestasi akademik yang baik dan tingkat kematangan di atas rata-rata.

Pada umumnya, para pemimpin dalam berbagai kegiatan sosial remaja berasal dari keluarga yang status sosioekonominya lebih tinggi dari status sosioekonomi keluarga remaja yang buka pemimpin. Keadaan ini tidak hanya memberikan prestise dalam pandangan teman-teman sebaya, tetapi juga memungkinkan mereka berpakaian lebih baik dan lebih rapih, memiliki pengertian tentang berbagai masalah sosial, memiliki kesempatan untuk menyenangkan orang, dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok.


(50)

Pemimpin biasanya berperan lebih aktif dan berpartisipasi dalam kelompok sosial dibandingkan dengan remaja bukan pemimpin, sehingga pemimpin mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri yang lebih mendalam. Pemimpin juga dapat menilai diri sendiri secara realistik dan dapat memperhitungkan minat serta kehendak anggota-anggota kelompok yang dipimpinnya. Pemimpin tidaklah “terikat pada diri sendiri” dalam artian sangat memikirkan minat dan masalah pribadi sehingga tidak sempat memperhatikan minat dan masalah anggota kelompok yang lain.

Faktor utama yang terpenting dalam kepemimpinan adalah kepribadian. Pemimpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat, lebih banyak akal, dan lebih mengambil inisiatif dibandingkan yang bukan pemimpin. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia, dan hanya mempunyai sedikit kecenderungan neurotik.


(51)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual Penelitian

Skema 1 : Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja.

Pola Asuh Orang Tua Perkemban ck,gan Sosialisasi Remaja

(Hurlo 1999)

- kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

- perubahan dalam perilaku sosial - pengelompokan sosial baru - nilai baru dalam memilih teman - nilai baru dalam penerimaan

sosial

- nilai baru dalam memilih pemimpin.

1. Otoriter 2. Demokratis 3. Permisif


(52)

2. Definisi Operasional 2.1. Variabel Independen

Variabel independen dari penelitian ini adalah tipe pola asuh orang tua, meliputi pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.

Tabel 3.1

Definisi Operasional Variabel Independen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala a. Otoriter

b. Demokratis

a. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua remaja di SMA Negeri 15 Medan dengan ciri-ciri : pemberian perintah keras, pemberian hukuman, dan intervensi fisik negatif.

a. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang diterapkan oleh

Kuesioner

dengan 10 pernyataan

dengan 2 pilihan jawaban.

0 = Tidak 1 = Ya

Kuesioner dengan 10 pernyataan Jika remaja cenderung menjawab “Ya” pada pernyataan nomor 1,4,7,10,13, 16,19,22,25,28, maka pola asuh yang diterapkan pada remaja tersebut adalah Otoriter. Jika remaja cenderung menjawab “Ya” Nominal Nominal


(53)

c. Permisif

orang tua remaja di SMA Negeri 15 Medan dengan ciri-ciri : pemberian informasi, reaksi yang positif, dan pemberian

pertanyaan.

b. Pola asuh permisif adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua remaja di SMA Negeri 15 Medan dengan ciri-ciri : reaksi penolakan secara verbal, mengabaikan anak, dan pengalihan perhatian pada hal lain.

dengan 2 pilihan jawaban.

0 = Tidak 1 = Ya

Kuesioner

dengan 10 pernyataan

dengan 2 pilihan jawaban.

0 = Tidak 1 = Ya

pada pernyataan nomor

2,5,8,11,14, 17,20,23,26,29, maka pola asuh yang diterapkan pada remaja tersebut adalah Demokratis. Jika remaja cenderung menjawab “Ya” pada pernyataan nomor 3,6,9,12,15, 18,21,24,27,30, maka pola asuh yang diterapkan pada remaja adalah Permisif.


(54)

2.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dari penelitian ini adalah perkembangan sosialisasi remaja.

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel Dependen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Perkembangan Sosialisasi

Perkembangan Sosialisasi adalah proses perubahan yang terjadi pada remaja di SMA Negeri 15 Medan sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran dari aturan-aturan sosial.

Sosialisasi remaja berkaitan dengan kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai baru dalam memilih teman, nilai baru dalam penerimaan sosial, dan nilai baru dalam memilih pemimpin yang akan diteliti pada remaja di SMA Negeri 15 Medan.

Kuesioner dengan 25 pernyataan dengan 3 pilihan jawaban. 1 = Tidak

Pernah (TP) 2 = Jarang (JR) 3 = Sering

(SR)

.

Sosialisasi Baik

= 51 - 75

Sosialisas i Buruk = 25 - 50


(55)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode deskriptif komparatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua pada remaja di SMA Negeri 15 Medan, perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan, serta mengidentifikasi hubungan antara tipe pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Adapun yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 15 Medan sebanyak 357 orang, dengan rincian sebagai berikut

Tabel 4.1 Jumlah Populasi

No. Kelas Pria Wanita Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

XI IPA 1 XI IPA 2 XI IPA 3 XI IPA 4 XI IPA 5 XI IPS 1 XI IPS 2 XI IPS 3 XI IPS 4

15 12 14 14 13 24 26 25 23 23 26 25 24 26 17 16 16 18 38 38 39 38 39 41 42 41 41

Jumlah 166 191 357


(56)

2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti. Apabila terdapat populasi lebih dari 100 maka pengambilan sampel adalah 25%-30% dari jumlah populasi (Arikunto, 2010). Proporsi sampel yang diambil adalah 28% dari populasi (357 siswa), sehingga yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 100 siswa kelas XI SMA Negeri 15 Medan, tetapi hanya 90 sampel yang diuji statistik karena ada 10 sampel yang ridak memenuhi kriteria sampel.

Adapun kriteria sampel dari penelitian ini adalah : 1. Siswa kelas XI SMA Negeri 15 Medan

2. Siswa tinggal bersama orang tua yang lengkap (ayah dan ibu) 3. Siswa bersedia menjadi responden

2.3. Teknik sampling

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Metode Simple Random Sampling, dimana sampel ditarik secara acak dari populasi yang ada (Arikunto, 2010). Peneliti mengambil sampel secara acak dengan mengundi sehingga didapat siswa sebanyak 90 siswa.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 15 Medan yang beralamat di Jalan Sekolah Pembangunan No.7 Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei 2012. Alasan pemilihan lokasi ini adalah belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja dan lokasi ini memadai untuk mendapatkan jumlah sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian.


(57)

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini menggunakan objek manusia sebagai objek penelitian, untuk itu hakikatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tidak, tanpa ada sangsi, dan tidak menimbulkan penderitaan bagi responden. Peneliti juga memberi penjelasan dan informasi secara lengkap dan rinci serta tanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada responden. Responden juga harus diperlakukan secara baik sebelum, selama, dan sesudah penelitian. Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk menjadi responden. Selain itu ada prinsip-prinsip etik yang meliputi : Informed consent yaitu lembar persetujuan yang diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subjek menolak maka peneliti tidak dapat memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek. Confidentiality yaitu kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2003).

5. Instrumen penelitian 5.3. Kuesioner Demografi

Kuesioner data demografi remaja (identitas siswa) disusun oleh Nuru (1994) dalam penelitiannya tentang pengaruh pola asuh remaja terhadap prestasi belajar siswa SMA Negeri VI Medan yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku, jumlah saudara kandung, kedudukan/status dalam keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Kuesioner ini hanya digunakan


(58)

untuk melihat distribusi demografi dari responden saja dan tidak akan dianalisa terhadap hubungan perkembangan sosialisasi remaja.

5.4. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua

Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran pola asuh yang digunakan orang tua. Kuesioner disusun berdasarkan literatur yang mengacu pada teori Diana Baumrind (1971 dalam Santrock, 2007). Kuesioner disusun dalam bentuk tertutup dengan menggunakan skala Guttman, yaitu jawaban responden telah termuat dalam dua option skala. Option yang digunakan adalah “Ya”, yang bernilai 1 (satu) atau “Tidak”, yang bernilai 0 (nol). Kuesioner pola asuh terdiri dari 30 pernyataan. Kuesioner ini terbagi atas tiga kategori pola asuh orang tua meliputi :

a. Kuesioner tentang pola asuh otoriter berisi 10 pernyataan, diwakili oleh pernyataan No. 1,4,7,10,13,16,19,22,25,28, dan pernyataan kunci terdapat pada nomor 7,16,25

b. Kuesioner tentang pola asuh demokratis berisi 10 orang pernyataan, diwakili oleh pernyataan No. 2,5,8,11,14,17,20,23,26,29, dan pernyataan kunci terdapat pada nomor 5,14,20

c. Kuesioner tentang pola asuh permissive berisi 10 pernyataan diwakili oleh pernyataan No. 3,6,9,12,15,18,21,24,27,30, dan pernyataan kunci terdapat pada nomor 3,21,27

5.5. Kuesioner Perkembangan Sosialisasi Remaja

Kuesioner perkembangan sosialisasi remaja disusun berdasarkan literatur dengan mengacu pada teori Hurlock (1999). Kuesioner disusun dalam bentuk


(59)

tertutup dengan menggunakan skala Likert, yaitu jawaban responden telah termuat dalam tiga option skala. Option yang digunakan adalah sering (SR) yang bernilai 3 (tiga), jarang (JR) yang bernilai 2 (dua), tidak pernah (TP) yang bernilai 1 (satu). Pengembangan kuesioner dikembangkan dalam bentuk item-item. Item-item tersebutlah yang diberikan kepada responden. Banyaknya sebaran Item-item tentang sosialisasi adalah 25 item, yaitu empat pernyataan untuk menilai kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya, lima pernyataan untuk menilai perubahan dalam perilaku sosial, empat pernyataan untuk menilai pengelompokan sosial baru, tiga pernyataan untuk menilai pemilihan teman, lima pernyataan untuk menilai penerimaan sosial, dan empat pernyataan untuk menilai pemilihan pemimpin.

Untuk melihat gambaran umum tentang perkembangan sosialisasi remaja, dilakukan dengan mencari panjang kelas (p) berdasarkan rumus statistik (Wahyuni, 2008) yaitu :

p = Range i

Berdasarkan rumus statistik tersebut, maka didapat panjang kelas untuk sosialisasi remaja adalah :

25 - 50 = Buruk (Sosialisasi Buruk) 51 - 75 = Baik (Sosialisasi Baik) 5.6. Uji validitas instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument (Arikunto, 2010). Uji validitas instrument


(60)

bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrument untuk mengukur apa yang diukur (Notoatmojo, 2002 dalam Arikunto, 2010). Kuesioner ini divalidasi dengan menggunakan validitas isi (content validity) yang dilakukan oleh dosen ahli dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan mengajukan kuesioner dan proposal penelitian kepada penguji validitas. Ahli diminta untuk mengamati secara cermat semua item dalam tes yang hendak divalidasi. Kemudian mengoreksi semua item yang telah dibuat. Pada akhir perbaikan, ahli diminta untuk memberikan pertimbangan tentang bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang akan diukur. Pertimbangan ahli tersebut juga menyangkut apakah semua aspek yang hendak diukur telah dicakup melalui item pertanyaan dalam tes (Sukardi, 2009 dalam Arikunto, 2010). Pernyataan yang tidak valid langsung diganti oleh peneliti berdasarkan saran dari penguji validitas. Uji validitas ini dilakukan pada tanggal 21 April 2012 dan dapat disimpulkan bahwa instrumen kuesioner pola asuh orang tua dan kuesioner perkembangan sosialisasi remaja valid dan layak dipergunakan untuk penelitian.

5.7. Uji reliabilitas instrumen

Reliabilitas (keandalan) adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat ukur memperlihatkan hasil yang relatif sama dalam beberapa kali pengukuran terhadap sekelompok subjek yang sama (Fajar, 2009). Hasil pengukuran yang relatif sama menunjukan bahwa ada toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran tersebut. Apabila dari waktu ke waktu perbedaan sangat besar, maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan alat ukur tidak reliabel. Uji reliabilitas akan dilakukan pada 10 siswa


(61)

SMA Negeri 17 Medan karena sekolah tersebut memiliki karakteristik siswa yang hampir sama dengan siswa SMA Negeri 15 Medan, tetapi peneliti tidak mendapatkan izin untuk melakukan uji reliabilitas, sehingga akhirnya peneliti melakukan uji reliabilitas instrumen penelitian ini terhadap 10 orang remaja SMA Negeri 2 Medan. Data tersebut diolah dengan menggunakan program komputerisasi, yaitu Cronbach Alfa. Alasan digunakannya Cronbach Alfa sebab dapat digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen skala likert untuk kuesioner perkembangan sosialisasi remaja (Dahlan, 2008). Menurut Djemari (2003, dalam Riwidikdo, 2008), kuesioner dikatakan reliabel jika memiliki alpha minimal 0,7. Setelah dilakukan uji reliabilitas, didapatkan nilai r=0,802. Nilai ini lebih tinggi dari nilai standar minimal Cronbach Alfa (0,7), sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen kuesioner sosialisasi remaja yang digunakan reliabel dan layak dipergunakan untuk penelitian.

Kuesioner pola asuh orang tua diuji reliabilitasnya dengan menggunakan uji K-R 21 karena mempunyai jumlah pernyataan yang genap, yaitu 30 pernyataan (Arikunto, 2010). Hasil uji reliabilitas instrument terhadap 10 orang responden menghasilkan nilai “r” sebesar 0,99. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki koefisien sebesar 0,7 atau lebih, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen kuesioner pola asuh yang digunakan reliabel dan layak dipergunakan untuk penelitian (Purbayu, 2005 dalam Ariefyenni, 2007)


(62)

6. Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1)Mengajukan permohonan izin melakukan survey awal untuk melihat karakteristik siswa (populasi) yang akan dijadikan sampel penelitian. 2)Melakukan perhitungan untuk menentukan jumlah siswa yang akan

dijadikan sampel dengan menggunakan metode Metode Simple Random Sampling, dimana sampel diambil secara acak dari keseluruhan populasi. 3)Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi

pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara).

4)Mengirimkan permohonan izin pengambilan data yang diperoleh dari fakultas ke tempat penelitian (SMA Negeri 15 Medan) dan ke Dinas Pendidikan Pemerintahan Kota Medan.

5)Setelah mendapat persetujuan dari Kepala SMA Negeri 15 Medan, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

6)Menjelaskan pada calon responden tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner.

7)Calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani informed consent (surat persetujuan).

8)Peneliti melakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner terhadap responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami.


(63)

7. Analisa data 7.1 Pengolahan Data

Proses pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah kegiatan melakukan pemeriksaan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden, meliputi kelengkapan isian dan kejelasan jawaban dan tulisan.

b. Coding

Coding adalah proses merubah data yang berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk angka. Hal utama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah memberikan kode untuk jawaban yang diberikan responden penelitian. Penilaian pola asuh orangtua untuk jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “Tidak” diberi nilai 0. Penilaian sosialisasi remaja : “Sering” diberi kode 3, “Kadang-kadang” diberi kode 2, dan “Tidak Pernah” diberi kode 1.

c. Processing

Processing yaitu memasukkan data ke dalam komputer untuk diproses. d. Cleaning

Cleaning yaitu melakukan pembersihan dan pengecekan kembali data yang telah dimasukkan. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada kesalahan ketika memasukkan data.

e. Komputerisasi


(64)

7.2 Teknik Analisa Data

Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Proses pengolahan data dilakukan dengan :

1. Analisa Univariat

Statistika univariat digunakan untuk menyajikan data – data demografi remaja meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku, jumlah saudara kandung, kedudukan/status dalam keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Hasil dari data demografi akan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentasenya.

2. Analisa Bivariat

Statistika bivariat merupakan metode analisa data untuk menganalisa antara dua variabel. Untuk mengetahui apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja, maka uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik Chi Square. Analisis dilakukan secara komputerisasi untuk melihat hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisai remaja. Hasil analisa diperoleh nilai p. Jika nilai p<0,05 maka Ho ditolak, ini berarti ada hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisai remaja (Dahlan, 2008).


(1)

Lampiran 9

CROSSTAB POLA ASUH OTORITER DENGAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent OTORITER * SOSIALISASI 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%

OTORITER * SOSIALISASI Crosstabulation SOSIALISASI

Total

48 55 56 57 58 60

OTORITER 5 Count 1 0 0 0 0 0 1

% within OTORITER 100.0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

7 Count 0 1 0 0 1 0 2

% within OTORITER .0% 50.0% .0% .0% 50.0% .0% 100.0%

8 Count 0 0 2 3 1 0 6

% within OTORITER .0% .0% 33.3% 50.0% 16.7% .0% 100.0%

9 Count 0 0 0 0 0 1 1

% within OTORITER .0% .0% .0% .0% .0% 100.0% 100.0%

Total Count 1 1 2 3 2 1 10

% within OTORITER 10.0% 10.0% 20.0% 30.0% 20.0% 10.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 26.667a 15 .032

Likelihood Ratio 19.005 15 .213

Linear-by-Linear Association 7.301 1 .007


(2)

Lampiran 10

CROSSTABS POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

DEMOKRATIS * SOSIALISASI 74 100.0% 0 .0% 74 100.0%

DEMOKRATIS * SOSIALISASI Crosstabulation SOSIALISASI

Total 46 47 49 50 52 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 68

DEMOKRATIS 5 Count 0 3 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5

% within DEMOKRATIS .0% 60.0% 20.0% 20.0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

6 Count 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2

% within DEMOKRATIS .0% .0% .0% 50.0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 50.0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

7 Count 0 0 0 1 0 1 3 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7

% within DEMOKRATIS .0% .0% .0% 14.3% .0% 14.3% 42.9% .0% 28.6% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

8 Count 1 0 0 0 1 2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 8

% within DEMOKRATIS 12.5% .0% .0% .0% 12.5% 25.0% 12.5% 12.5% .0% .0% 12.5% 12.5% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

9 Count 0 0 0 1 0 0 0 2 4 2 3 3 1 0 1 1 0 1 0 19

% within DEMOKRATIS .0% .0% .0% 5.3% .0% .0% .0% 10.5% 21.1% 10.5% 15.8% 15.8% 5.3% .0% 5.3% 5.3% .0% 5.3% .0% 100.0% 1

0

Count 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 3 7 7 1 4 2 1 2 1 33

% within DEMOKRATIS .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 3.0% 3.0% 9.1% 9.1% 21.2% 21.2% 3.0% 12.1% 6.1% 3.0% 6.1% 3.0% 100.0%

Total Count 1 3 1 4 1 3 4 4 7 5 7 12 8 1 5 3 1 3 1 74

% within DEMOKRATIS 1.4% 4.1% 1.4% 5.4% 1.4% 4.1% 5.4% 5.4% 9.5% 6.8% 9.5% 16.2% 10.8% 1.4% 6.8% 4.1% 1.4% 4.1% 1.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.540E2a 90 .000

Likelihood Ratio 108.594 90 .089

Linear-by-Linear Association 41.526 1 .000


(3)

Lampiran 11

CROSSTABS POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent PERMISIF * SOSIALISASI 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

PERMISIF * SOSIALISASI Crosstabulation SOSIALISASI

Total

48 52 54 56 58 60

PERMISIF 4 Count 1 0 0 0 0 0 1

% within PERMISIF 100.0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

5 Count 0 1 0 0 0 0 1

% within PERMISIF .0% 100.0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

6 Count 0 0 1 1 0 0 2

% within PERMISIF .0% .0% 50.0% 50.0% .0% .0% 100.0%

7 Count 0 0 0 0 1 0 1

% within PERMISIF .0% .0% .0% .0% 100.0% .0% 100.0%

9 Count 0 0 0 0 0 1 1

% within PERMISIF .0% .0% .0% .0% .0% 100.0% 100.0%

Total Count 1 1 1 1 1 1 6

% within PERMISIF 16.7% 16.7% 16.7% 16.7% 16.7% 16.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 24.000a 20 .242

Likelihood Ratio 18.729 20 .540

Linear-by-Linear Association 4.509 1 .034


(4)

(5)

(6)