Hubungan Karakteristik, Personal Hygine Ibu, dan Kondisi Sanitasi Jamban Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Sei Dua Hulu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten asahan Tahun 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Acuan pembangunan kesehatan saat ini adalah konsep “ Paradigma Sehat“
yaitu pembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya
pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventive).
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud melalui
terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh
penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan
merata (Depkes RI, 2008).
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah
menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset
Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab
utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah
tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat.
(Kemenkes RI, 2011).
Masa perkembangan yang paling menentukan dalam kehidupan seorang anak
terjadi pada masa balita. Sistem kekebalan tubuh yang belum terbangun sempurna
1
Universitas Sumatera Utara
2
pada balita menyebabkan balita menjadi suatu kelompok umur yang rawan gizi dan
rawan akan suatu penyakit, terutama penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi
yang sering menyerang balita adalah diare (Salma, 2012).
Diare dapat didefenisikan sebagai pembuangan air besar yang tidak normal
(normal 100-200ml perjam tinja) atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih
banyak dari biasanya yakni > 4x sehari pada bayi dan >3x sehari pada anak. Diare
yang bersifat akut biasanya berlangsung sekitar < 14 hari dengan pengeluaran tinja
yang lunak atau cair tanpa darah, sedangkan diare yang bersifat kronik berlangsung
terus menerus selama > 14 hari. Akibat dari diare akut maupun kronis tersebut adalah
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan asam basa yang berupa asidosis metabolit, hipokalemia dan
sebagainya.
Keadaan
dehidrasi
yang
tidak
segera
ditangani
akan
dapat
mengakibatkan kematian, oleh karena itulah diare memerlukan penatalaksanaan yang
optimal berdasarkan standar pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
(Hasan, 2002).
Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak diseluruh dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2009, diare adalah penyebab kematian kedua pada anak dibawah 5 tahun. Secara
global setiap tahunnya ada sekitar 2 miliar kasus diare dengan angka kematian 1.5
juta pertahun. Anak-anak di negara berkembang yang berusia dibawah 3 tahun ratarata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya diare akan menyebabkan
kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh. Gangguan gizi pada
penderita diare ini terjadi karena masukan makanan berkurang, gangguan penyerapan
Universitas Sumatera Utara
3
makanan, dan katabolisme, sehingga diare dapat dinyatakan sebagai salah satu
penyebab terjadinya malnutrisi pada anak (WHO, 2009).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR
penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk,
tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR
yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah
kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24
Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR
1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah
penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.). (Kemenkes RI, 2011)
Data nasional Depkes menyebutkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000
balita meninggal dunia karena diare. Itu artinya setiap hari ada 273 balita yang
meninggal dunia dengan sia-sia, sama dengan 11 jiwa meninggal setiap jamnya atau 1
jiwa meninggal setiap 5,5 menit akibat diare (Depkes RI, 2007).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Berdasarkan hasil survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare (Depkes
RI, 2010), terlihat adanya kecenderungan insidens naik dari tahun 2003 sampai 2010.
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi dengan CFR yang masih
Universitas Sumatera Utara
4
tinggi. Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang
dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare
di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74
%). (Depkes RI, 2007)
Angka prevalensi diare pada tahun 2007 di Provinsi Sumatera Utara adalah
sebesar 8,8%, dimana angka prevalensi nasional adalah 9%. Sekarang diperkirakan
ada 60 % penduduk di kota Medan ini sulit untuk mendapat akses air bersih dan
kebanyakan dari masyarakat berpenghasilan rendah. Meski ini masih berupa
persentasi perkiraan, paling tidak pemerintah harus memberikan perhatian serius pada
persoalan air bersih. Sulitnya penduduk memperoleh air bersih dapat menimbulkan
persoalan baru salah satunya buruknya kesehatan masyarakat. (Dinas Kesehatan
Sumatera Utara, 2007).
Ruang lingkup sanitasi mencakup: Air limbah domestik (Black water )
meliputi: air buangan jamban (urin, tinja, dan air gelontoran); Air limbah cucian
(Grey water ) meliputi: air buangan mandi dan cuci; Drainase lingkungan/tersier:
Sistem saluran awal yang melayani perkotaan seperti: kompleks perumahan, area
pasar, perkantoran, area lindustri, dan perkantoran; Pengelolaan persampahan
meliputi: sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga; Perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) meliputi: promosi kesehatan, perubahan perilaku; dan
Menggunakan air bersih yang aman.
Dari beberapa studi evaluasi terhadap beberapa program pembangunan
sanitasi didapatkan hasil bahwa banyak sarana yang dibangun tidak digunakan dan
dipelihara masyarakat. Banyak faktor penyebab mengenai kegagalan tersebut, salah
Universitas Sumatera Utara
5
satu diantaranya adalah tidak adanya demand dan responsive yang muncul pada
masyarakat ketika program dilaksanakan. Sampai saat ini praktek sanitasi di
masyarakat sangat memprihatinkan, dari hasil studi Indonesian Sanitation Sector
Development Program (ISSDP) tahun 2006 menunjukkan 47 % masyarakat masih
berperilaku buang air besar (BAB) sembarangan, sementara itu berdasarkan studi
Basic Human Service (BHS) ditahun yang sama menghasilkan data bahwa perilaku
masyarakat terhadap pola Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah setelah buang air
besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%,
sebelum memberi makan bayi 7% dan sebelum menyiapkan makanan 6%, merebus
air untuk mendapatkan air minum tapi 47,50% air tersebut mengandung Echericia
coli (E.coli), belum lagi kesadaran masyarakat untuk membuang sampah dan limbah
rumah tangga dengan aman masih rendah. (Depkes RI, 2008).
Penelitian yang berbasis masyarakat, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007, melaporkan bahwa angka nasional
prevalensi klinis Diare (9%), dengan rentang 4,2% - 18,9%. Beberapa provinsi
mempunyai prevalensi Diare klinis diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi,
prevalensi tertinggi di NAD dan terendah di DI Yogyakarta. (Riskesdas, 2007).
Terlihat ada kecenderungan peningkatan prevalensi Diare bila dibandingkan dengan
SKRT 2001. Prevalensi Diare pada SKRT tahun 2001 yaitu 4,0%, pada Riskesdas
2007 dilaporkan prevalensi Diare 9.0%. Prevalensi Diare berdasarkan kelompok
umur, dari SKRT 2001 prevalensi diare pada balita (1-4 tahun) 9,4% dan terlihat
tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 16,7%. Demikian pula pada bayi (
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Acuan pembangunan kesehatan saat ini adalah konsep “ Paradigma Sehat“
yaitu pembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya
pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventive).
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud melalui
terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh
penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan
merata (Depkes RI, 2008).
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah
menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset
Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab
utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah
tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat.
(Kemenkes RI, 2011).
Masa perkembangan yang paling menentukan dalam kehidupan seorang anak
terjadi pada masa balita. Sistem kekebalan tubuh yang belum terbangun sempurna
1
Universitas Sumatera Utara
2
pada balita menyebabkan balita menjadi suatu kelompok umur yang rawan gizi dan
rawan akan suatu penyakit, terutama penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi
yang sering menyerang balita adalah diare (Salma, 2012).
Diare dapat didefenisikan sebagai pembuangan air besar yang tidak normal
(normal 100-200ml perjam tinja) atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih
banyak dari biasanya yakni > 4x sehari pada bayi dan >3x sehari pada anak. Diare
yang bersifat akut biasanya berlangsung sekitar < 14 hari dengan pengeluaran tinja
yang lunak atau cair tanpa darah, sedangkan diare yang bersifat kronik berlangsung
terus menerus selama > 14 hari. Akibat dari diare akut maupun kronis tersebut adalah
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan asam basa yang berupa asidosis metabolit, hipokalemia dan
sebagainya.
Keadaan
dehidrasi
yang
tidak
segera
ditangani
akan
dapat
mengakibatkan kematian, oleh karena itulah diare memerlukan penatalaksanaan yang
optimal berdasarkan standar pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
(Hasan, 2002).
Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak diseluruh dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2009, diare adalah penyebab kematian kedua pada anak dibawah 5 tahun. Secara
global setiap tahunnya ada sekitar 2 miliar kasus diare dengan angka kematian 1.5
juta pertahun. Anak-anak di negara berkembang yang berusia dibawah 3 tahun ratarata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya diare akan menyebabkan
kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh. Gangguan gizi pada
penderita diare ini terjadi karena masukan makanan berkurang, gangguan penyerapan
Universitas Sumatera Utara
3
makanan, dan katabolisme, sehingga diare dapat dinyatakan sebagai salah satu
penyebab terjadinya malnutrisi pada anak (WHO, 2009).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR
penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk,
tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR
yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah
kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24
Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR
1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah
penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.). (Kemenkes RI, 2011)
Data nasional Depkes menyebutkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000
balita meninggal dunia karena diare. Itu artinya setiap hari ada 273 balita yang
meninggal dunia dengan sia-sia, sama dengan 11 jiwa meninggal setiap jamnya atau 1
jiwa meninggal setiap 5,5 menit akibat diare (Depkes RI, 2007).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Berdasarkan hasil survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare (Depkes
RI, 2010), terlihat adanya kecenderungan insidens naik dari tahun 2003 sampai 2010.
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi dengan CFR yang masih
Universitas Sumatera Utara
4
tinggi. Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang
dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare
di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74
%). (Depkes RI, 2007)
Angka prevalensi diare pada tahun 2007 di Provinsi Sumatera Utara adalah
sebesar 8,8%, dimana angka prevalensi nasional adalah 9%. Sekarang diperkirakan
ada 60 % penduduk di kota Medan ini sulit untuk mendapat akses air bersih dan
kebanyakan dari masyarakat berpenghasilan rendah. Meski ini masih berupa
persentasi perkiraan, paling tidak pemerintah harus memberikan perhatian serius pada
persoalan air bersih. Sulitnya penduduk memperoleh air bersih dapat menimbulkan
persoalan baru salah satunya buruknya kesehatan masyarakat. (Dinas Kesehatan
Sumatera Utara, 2007).
Ruang lingkup sanitasi mencakup: Air limbah domestik (Black water )
meliputi: air buangan jamban (urin, tinja, dan air gelontoran); Air limbah cucian
(Grey water ) meliputi: air buangan mandi dan cuci; Drainase lingkungan/tersier:
Sistem saluran awal yang melayani perkotaan seperti: kompleks perumahan, area
pasar, perkantoran, area lindustri, dan perkantoran; Pengelolaan persampahan
meliputi: sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga; Perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) meliputi: promosi kesehatan, perubahan perilaku; dan
Menggunakan air bersih yang aman.
Dari beberapa studi evaluasi terhadap beberapa program pembangunan
sanitasi didapatkan hasil bahwa banyak sarana yang dibangun tidak digunakan dan
dipelihara masyarakat. Banyak faktor penyebab mengenai kegagalan tersebut, salah
Universitas Sumatera Utara
5
satu diantaranya adalah tidak adanya demand dan responsive yang muncul pada
masyarakat ketika program dilaksanakan. Sampai saat ini praktek sanitasi di
masyarakat sangat memprihatinkan, dari hasil studi Indonesian Sanitation Sector
Development Program (ISSDP) tahun 2006 menunjukkan 47 % masyarakat masih
berperilaku buang air besar (BAB) sembarangan, sementara itu berdasarkan studi
Basic Human Service (BHS) ditahun yang sama menghasilkan data bahwa perilaku
masyarakat terhadap pola Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah setelah buang air
besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%,
sebelum memberi makan bayi 7% dan sebelum menyiapkan makanan 6%, merebus
air untuk mendapatkan air minum tapi 47,50% air tersebut mengandung Echericia
coli (E.coli), belum lagi kesadaran masyarakat untuk membuang sampah dan limbah
rumah tangga dengan aman masih rendah. (Depkes RI, 2008).
Penelitian yang berbasis masyarakat, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007, melaporkan bahwa angka nasional
prevalensi klinis Diare (9%), dengan rentang 4,2% - 18,9%. Beberapa provinsi
mempunyai prevalensi Diare klinis diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi,
prevalensi tertinggi di NAD dan terendah di DI Yogyakarta. (Riskesdas, 2007).
Terlihat ada kecenderungan peningkatan prevalensi Diare bila dibandingkan dengan
SKRT 2001. Prevalensi Diare pada SKRT tahun 2001 yaitu 4,0%, pada Riskesdas
2007 dilaporkan prevalensi Diare 9.0%. Prevalensi Diare berdasarkan kelompok
umur, dari SKRT 2001 prevalensi diare pada balita (1-4 tahun) 9,4% dan terlihat
tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 16,7%. Demikian pula pada bayi (