Karya Seni dan Apresiasi (1)

Karya Seni dan Apresiasi
O le h A s e p T o p a n
Pada 8 Oktober 2012 malam, berita pada sebuah surat kabar elektronik kurang lebih
berujar seperti ini: seorang lelaki membuat coretan di atas karya Mark Rotkho di Tate
Modern Gallery, London. Belakangan, pencoret lukisan berjudul Black on Maroon itu
diketahui bernama Vladimir Umanets. Seorang bernama Tim Wright yang pada saat
kejadian berada di lokasi mengunggah foto tagging tersebut ke twitter, berita pun
tersebar luas. Wright mengaku sempat mendengar suara seseorang menggoreskan
sesuatu, dan ia sadar bahwa yang digores ialah lukisan seharga jutaan pounds
karya Mark Rotkho, setelah coretan itu selesai dibuat. Pihak Tate Modern
memberikan konfirmasi bahwa kejadian itu berlangsung pada pukul 15.25, 7 Oktober
waktu setempat; galeri pun sempat ditutup untuk beberapa saat setelah kejadian.
Tepat di pojok kanan bawah lukisan yang dibuat pada 1958 itu, Vladimir
Umanets menuliskan kalimat seperti ini: 'Vladimir Umanets ’12, A Potential Piece of
Yellowism’. Singkatnya, pelaku tertangkap dan diinvestigasi oleh pihak kepolisian
setempat. Pelaku menjelaskan bahwa yang ia perbuat bukanlah tindakan vandal,
bahkan ia beranggapan bahwa Marcel Duchamp akan merasa sangat senang jika ia
mengetahui apa yang ia lakukan. Dari pernyataannya, sangat mungkin ia terinspirasi
oleh karya Fountain yang dibuat Duchamp pada 1917: sebuah tempat kencing
terbuat dari porselen dengan tulisan “R.Mutt” pada salah satu sisinya. Yang juga
menjadi pertanyaan ialah apa itu sebenarnya ‘Yellowism’ yang ia maksud? Meskipun

dalam keterangannya ia mengatakan bahwa ‘Yellowism’ bukanlah sebuah gerakan
seni tertentu, bukan juga gerakan anti-art. “Saya adalah seorang Yellowits, saya
percaya

dengan

apa

yang

saya

lakukan

dan

saya

ingin


semua

orang

mebicarakannya. Itu seperti sebuah landasan.” Ungkapnya. Jelas, tujuan utama ia
sebenarnya ingin memberi tahu dunia, tentang apa itu ‘Yellowisme’ melalui karya
Mark Rothko.
Mark Rothko merupakan seniman Amerika kelahiran Russia pada 1903 dan
meninggal dalam usia 66 tahun di New York –ia pindah ke Amerika pada usia 10
tahun. Merupakan salah satu seniman terpenting Amerika pasca Perang Dunia. Ia
menolak sebutan sebagai seniman abstrak ekspresionis, meskipun karyanya lebih
banyak terlihat seperti itu.
Tentang perusakan sebuah karya seni, sebut saja seperti itu, memang kasus
ini bukan yang pertama kalinya. Pada 1987 sebuah drawing charcoal dan kapur

buah tangan Leonardo Da Vinci, The Virgin and Child with St Anne and St John the
Baptist ditembak oleh seorang yang memiliki gangguan mental dari jarak tujuh kaki,
dan menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Pada 1989, National Gallery
London, tempat karya itu dipajang, menerbitkan sebuah Bulletin yang khusus
membahas restorasi karya yang dibuat sekitar awal abad ke-16 itu. Pada 1985,

karya seniman termashur Rembrandt van Rijn dengan judul Danaë juga mendapat
serangan dari salah seorang pengunjung, menggunakan asam belerang, di Museum
St. Petersburg, Russia. Pada 1972, patung Michelangelo dirusak oleh Laszlo Toth
dengan 15 kali pukulan menggunakan palu. Setelah menghancurkan karya tersebut,
ia berteriak: “I am Jesus Christ – risen from the dead.”
Mungkin masih banyak beberapa contoh serupa yang terjadi di belahan dunia
lainnya. Motifnya pun beragam, bisa saja pelaku perusakan tersebut mengalami
gangguan mental, mencari perhatian publik, atau karya yang ia rusak sangat
kontroversial –seperti pada perusakan karya Andreas Serrano dengan judul
Immersion (Piss Christ) oleh seorang kristen fundamentalis di Perancis.
Mengenai kasus perusakan karya seni, khususnya seni rupa, saya jadi
terpikir akan beberapa kejadian serupa di tanah air. Beberapa di antaranya, dan
yang masih segar dalam ingatan ialah perusakan dan pembongkaran patung Tiga
Mojang karya Nyoman Nuarta di sebuah perumahan di Kota Bekasi, yang dianggap
sebagai lambang Trinitas dan menggambarkan Bunda Maria oleh sekelompok
massa pada 2010. Meskipun Nyoman Nuarta sendiri menegaskan bahwa bukan itu
yang ia maksud. Nyoman Nuarta berkata bahwa tidak ada unsur keagamaan apalagi
agama kristen dalam patung tersebut dan yang terpenting adalah ia sama sekali
tidak berniat untuk membuat patung Bunda Maria tetapi mojang priangan, dan
mengapa baru dibongkar setelah dua tahun dipasang di sana? Ini merupakan

sebuah preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia.
Contoh lain: pada Kamis, 5 Februari 2004, karya instalasi Tisna Sanjaya
Perahu Doa dibakar oleh Satuan Polisi Pamong Praja di Bandung. Dalam amatan
FX Harsono, latar belakang pembakaran karya Tisna bukan karena kesalahpahaman
atau kurangnya pemahaman para Satuan Polisi Pamong Praja akan sebuah karya
seni, melainkan sarat dengan nuansa politis. Daerah babakan Siliwangi yang
menjadi tempat keberadaan karya tersebut adalah aset pemerintah daerah yang
harus dilestarikan dan harus dibersihkan –pernyataan Wali Kota Bandung saat itu.
Dan karya Tisna dianggap mengotori. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa

area

yang

memiliki

nilai

ekonomi


–sebagai

bagian

dari

rencana

pembangunan pusat perbelanjaan dan apartemen– yang berwawasan lingkungan,
harus bersih. Ini berarti ekonomi menjadi tolok ukur penilaian sebuah kegiatan, tak
terkecuali kesenian. Bisa jadi seperti ini: setiap kegiatan kesenian tidak akan
mendapat dukungan pemerintah jika tidak mampu menjadi komoditas.
Mari kita memutar ingatan pada masa 31 tahun sebelum ini, masih di Kota
Kembang.

Seorang

mahasiswa


seni

rupa

ITB

melakukan

protes

dengan

“memperabukan” sebuah karya pematung senior Sunaryo, Orang Irian Barat Dalam
Torso, yang juga merupakan pengajarnya kala itu. Mahasiswa tersebut bernama
Semsar Siahaan. Sebenarnya, Semsar hendak menyandera patung-patung yang
telah dipamerkan di Jepang tersebut, namun ia hanya berhasil memindahkan satu
patung saja. Kemudian arang hasil pembakaran patung tersebut ia pamerkan di ITB
dengan judul Oleh-oleh Dari Desa 2. Selain arang, ia juga bekerja dengan daun
pisang, kemeyan, dan api pada karya itu. Tentu saja peristiwa yang ia sebut sebagai
“kritik terhadap seni rupa kontemporer Indonesia” ini bergema dengan kuat kala itu.

Sudah barang tentu kejadian ini berbeda dengan dua contoh yang saya kemukakan
sebelumnya (Pembakaran karya Tisna dan Pembongkaran patung Nyoman Nuarta).
Semsar Siahaan memiliki gagasan kuat dengan apa yang ia lakukan. Patung-patung
itu ia anggap sebagai upaya mengeksploitasi apa yang dinamakan seni primitif suku
bangsa oleh para seniman kontemporer Indonesia. Semsar berbuat dengan sebuah
gagasan. Ia merespon apa yang ia anggap keliru dalam seni rupa Indonesia pada
masanya. Sebuah buah pikiran, ia juga menyertai Oleh-oleh Dari Desa 2 yang
dibuatnya dengan sebuah manifesto:
“Yang Terhormat Tuan-tuan Serba-Penting
Sudah waktunya kegiatan
Seni rupa dengan Akademiknya
Turun ke bawah dan berada di dalam
Dominasi masyarakat Indonesia
Petani dan Nelayan).
Ia harus berinteraksi dengan masyarakat
Dalam kesederhanaannya tanpa bermimpi sendiri
(beronani). Kenyataan menuntut perhatian
lebih banyak dari para akademisi Seni
atas nama kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana seharusnya.”

Semsar

Ada yang tidak setuju dengan tindakan Semsar ini, dan ada pula yang
membenarkannya, tentu saja. Pada hemat saya, tindakan Semsar sudah
seharusnya diamini sebagai sebuah kerja keartistikan, berupa protes yang sangat
keras. Meskipun di lain pihak ia juga menghancurkan karya orang lain, tetapi ia
melakukannnya atas nama pribadi dan ia siap dengan segala resiko yang akan ia
hadapi kelak. Bahkan, Semsar berharap agar ia dituntut secara hukum dan akan
menggunakan pengadilan untuk menjelaskan pandangannya di muka umum.
Sayang, rencana Semsar harus kandas karena para pejabat ITB mengambil sikap
lunak yang tak diduga. Ia diskors selama dua tahun dan kemudian dikeluarkan dari
ITB tahun 1983. Ini yang menurut saya menjadi inti permasalahnnya: Semsar ingin
mengungkapkan pemikirannya, lebih kurang seperti yang tercantum dalam
manifestonya ke masyarakat yang lebih luas. Ada sedikit kemiripan dengan yang
dilakukan Vladimir Umanets, dengan tagging-nya di atas karya Mark Rothko,
sebagai upaya penyebarluasan gagasannya tentang Yellowism. Tapi tentu saja
terdapat perbedaan, apa yang dilakukan Umanets belum tentu membuat namanya
lebih besar dari Rothko. Sementara Semsar, dengan konsistensi gagasannya
tentang “Seni Pembebasan” bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut, membuat
namanya lebih besar dibandingkan Sunaryo dalam sejarah seni rupa Indonesia,

setidaknya menurut saya pribadi.
Selain pada kasus Semsar, beberapa kejadian perusakan karya seni di atas
menunjukan rendahnya apresiasi masyarakat dalam menilai sebuah karya seni.
Masyarakat seakan dengan mudah mengartikan sebuah karya seni menurut
persepsinya sendiri, tanpa latar belakangan pengetahuan yang kuat tentang apa
yang ia lihat sebagai simbol pada karya-karya itu –seperti pada kasus
pembongkaran patung Nyoman Nuarta. Anehnya lagi, contoh kasus pada perusakan
karya Tisna dan Nyoman Nuarta dilakukan oleh sekelompok orang, bukan individu
perorangan. Di sini terlihat jelas mental pengecut dari orang-orang itu yang tidak bisa
bertindak dan bertanggung jawab atas namanya sendiri. Bisa saja kebanyakan dari
orang-orang tersebut hanya ikut-ikutan, atau sekedar melaksanakan perintah atasan
tanpa tahu duduk perkaranya seperti apa.
Ini soal bagaimana kita menghargai sebuah karya seni. Mengetahui kejadiankejadian seperti di atas, membuat saya terpikirkan akan apa yang saya lakukan
terhadap karya-karya saya sendiri. Apakah saya telah merawatnya dengan baik?
memastikan kebersihannya, dll. Karena dalam menghargai sebuah karya seni,
sudah barang tentu harus dimulai dengan menghargai karya sendiri. Sejumput

pengalaman selama berada di lingkungan kampus kesenian membuat saya merasa
miris jika teringat begitu banyaknya karya yang tidak terusrus dan diacuhkan oleh
senimannya sendiri, para mahasiswa seni rupa. Karya-karya itu menumpuk,

berdebu, di pojokan-pojokan studio yang mempersempit ruang gerak mahasiswa lain
dalam berkarya. Jika kita sendiri sebagai senimannya, tidak menghargai karya
sendiri, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan orang lain untuk menghargai
karya kita. Mungkin karya-karya itu hanya sebatas tugas wajib perkuliahan, bisa juga
hanya eksperimentasi atau coba-coba dalam proses keartistikan. Sangat mungkin
karya-karya kita itu tidak akan semahal karya Mark Rothko, atau lebih terkenal dari
karya Michelangelo. Tapi yang pasti, setiap karya seni yang kita buat –dengan
segala kekurangan dan kekonyolannya– merupakan anak rohani seorang seniman
yang, dibentuk dari setumpuk pengetahuan, serta dibuat dengan sepenuh hati –
setidaknya, dengan kehendak untuk membuat sebuah karya seni.
-Oktober 2012

Sumber:
Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat – Beberapa Aspek Seni Rupa
Kontemporer Indonesia Sejak 1966, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1997.
FX Harsono, Seni Rupa, Perubahan, Politik, Langgeng Galeri, Jakarta: 2009.
Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa, Yayasan Kalam, Jakarta: 2001.
http://www.guardian.co.uk/artanddesign/jonathanjonesblog/2012/oct/08/rothko-vandalismpainting-attacked?INTCMP=SRCH
http://www.huffingtonpost.com/2012/10/08/vladimir-umanets-vandaliz_n_1947674.html
http://www.guardian.co.uk/artanddesign/2012/oct/08/defaced-tate-modern-rothko

http://www.metro.co.uk/news/914386-man-arrested-after-rothko-painting-vandalised-at-thetate-modern
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/06/20/120714-nyomannuarta-patung-tiga-mojang-bukan-bunda-maria