PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA BAGI TERPIDA

PE MBE RLAKUAN PIDANA PE NJARA BAGI TE RPIDANA ANAK
ME NURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAH UN 2012
DALAM PE RSPE KTIF KE ADILAN RE STORATIF

Rakimah Ohoiulun1, Masruchin Ruba’i2, Nurini Aprilianda3
Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang.

E mail:rakimahohoiulun@ rocketmail.com.

ABSTRACT
The prevailing of Act No.11 of 2012 on Child Criminal Justice System is the answer for
the failure of previous regulation, which is Act No.3 of 1997 on Child Judicial.
Restorative justice approach is used because this approach is considered as able to
restore the condition before the criminal action is taken. However, the replacement
act still enforces prison punishment as the main punishment, as explained in its
Article 71. It is truly not consistent to the restorative justice. It may be suggested that
prison punishment shall be removed and be reformulated to the indemnification
based on the seriousness rate of the criminal action.
Keywords: Prison Punishment, Restorative Justice
ABSTRAK
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak merupakan jawaban atas kegagalan atas undang undang sebelumnya
yakniUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Digunakannya pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dipandang mampu
untuk merestorasikeadaan sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana terjadi.
Namun sayangnya, dalam undang-undang ini masih saja menempatkan pidana
penjara dalam ketentuan pidana pokok yakni di Pasal 71. Hal ini tidak sejalan dengan
keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri sehingga pidana penjara sudah
seharusnya dihapuskan dengan reformulasi sanksi tindakan ganti rugi sesuai dengan
tingkat keseriusan tindak pidananya.
Kata Kunci: Pidana Penjara, Keadilan Restoratif.

1

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011.
Pembimbing Utama dalam Penelitian Tesis.
3
Pembimbing Kedua dalam Penelitian Tesis.
2

1


A. PE NDAHULUAN
Masih banyaknya fakta di lapangan dimana dari tahun ke tahun jumlah kejahatan
yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya 4 menunjukan bahwa penjatuhan sanksi
pemidanaan bagi mereka belum mencapai tujuannya yakni sebagai upaya meresosialisasi ke
dalam ruang lingkup bermasyarakat.Kondisi semakin parah dengan sikap hakim yang
nampaknya lebih mudah untuk menjatuhkan putusan terhadap anak-anak yang terlibat tindak
pidana untuk masuk ke dalam penjara.Putusan hakim ini tidak didukung dengan penyediaan
fasilitas penjara yang memadai yang mampu menampung terpidana anak lebih banyak
sehingga tidak melebihi daya tampunguntuk menjalani masa hukumannya. Sehingga, lumrah
bagi kita untuk memahami bahwa permasalahan baru akan terus bermunculan dan akan
semakin kompleks.
Dimasukannya narapidana tertentu ke dalam lembaga pemasyarakatan hanyalah akan
berpeluang untuk belajar atau setidaknya memperoleh hal-hal atau semacam informasi
lainnya yang buruk dari para narapidana lainnya yang sudah professional, sementara program
lembaga pemasyarakatan untuk meresosialisasi dapat dikatakan gagal total.5
Sebagaimana kita ketahui dimana masa anak-anak adalah masa dimana seseorang
sangat membutuhkan kasih sayang terutama dari orang tua/ walinya untuk dapat
berkembang dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak pada umumnya. Keadaan ini tidak
akan ditemui jika anak ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan yang dibatasi oleh

tembok tinggi serta dalam suasana yang tidak harmonis antara satu dan lainnya.6
Pidana tidak selalu dapat dipahami oleh anak.Pidana tidak jarang justru menyisakan
luka di hati mereka.Masih tingginya angka kriminalitas yang berakhir dengan pemenjaraan,
menunjukan bahwa pidana tipe ini tidak efektif dan belum mencapai tujuan yang
diinginkan.Pidana penjara yang dijatuhkan dimaksudkan agar si anak menjadi jera dan tidak
mau mengulangi lagi kejahatannya lagi, justru tidak jarang menurunkan harga diri anak dan
menimbulkan dendam yang mendalam.

4

http:/ / metro.news.viva.co.id/ news/ read/ 312779-2-008-k asus-k riminal-dilak uk an-anak -anak , diakses
pada tanggal 13 November 2012.
5
Niniek Suparnie.E k sistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.(Jakarta: Sinar
Grafika,1996), hlm.7.
6
Marlina.Peradilan Pidana A nak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice.(Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hlm.118.
2


Seringkali undang-undang disesuaikan dengan pandangan atau perspektif dari
masyarakatnya.7Hal ini pun juga yang diterapkan dalam undang-undang ini, yakni dalam Pasal
81 Ayat 1 dimana anak dapat dipidana penjara apabila keadaan dan perbuatan anak
membahayakan masyarakat.Membahayakan masyarakat tidak mempunyai pengertian atau
tolak ukur yang jelas dalam undang-undang ini atau aturan pelaksananya, sehingga bisa
menjadi multitafsir bahkan bias. Padahal kepada masyarakat jualah, mereka ini akan kembali
lagi menjalani kehidupannya selepas menjalani masa hukumannya di penjara.
Diterbitkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak dan akan berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang telah menempatkan anak sebagai
subyek hukum pidana yang tidak lagi diberikan sanki bersandarkan pada orientasi
pembalasan semata, namun lebih mengarah kepada sanksi-sanksi yang bersifat restoratif
(pemulihan keadaan). Hanya saja, ada beberapa catatan dalam undang-undang ini yang masih
perlu mendapatkan koreksi agar ke depan bisa diperbaiki. Penulis mengamati bahwa
pemerintah kita masih setengah hati dalam melakukan upaya restorasi terhadap anak pelaku
tindak pidana yang terancam dengan pidana penjara. Artinya selama di dalam penjara yang
dinamakan LKPA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) sebagaimana yang dimaksudkan
dalam undang-undang ini8 , maka ia harus menjalani masa pidananya sembari melakukan
aktifitas lain yang memang harus dikerjakannya yang kiranya bisa bermanfat di kemudian
hari. Bukankah semangat awal terbentuknya undang-undang ini demi pemulihan atau

perbaikan keadaan baik pelaku maupun korban seperti yang diinginkan dalam keadilan
restoratif?
Penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi berfokus pada dua hal yakni;
pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah serta mencari hukuman apa yang pantas
diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut, karena yang diinginkan oleh restorative
justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan,

pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan
antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula. 9
7

David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison.Menyingk ap Dunia Gelap Penjara;
A uthorised translation from the E nglish L anguage edition of Psychology in Prisons. (Jakarta: PT.Gramedia,
2008), hlm.28.
8
Lihat Pasal 1 Angka 20 UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
9
http://rachmatharyanto.wordpress.com,diakses 29 November 2012.
3


Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis yaitu apakah pidana penjara bagi
terpidana anak yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sesuai
dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ? dan bagaimana reformulasi sanksi yang
berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam undang-undang tersebut?
Tujuan penulisan ini yaitu untuk menganalisis lebih mendalam bagaimana pidana
penjara dalam mencapai tujuannya yakni meresosialkan kembali para narapidana anak
tersebut dalam kehidupan bermasyarakat agar berguna bagi dirinya sendiri juga bagi orang
lain di sekitarnya serta memberikan jawaban atas kelemahan yang ada dalam pelaksanaan
pidana penjara bagi anak tersebut sehingga ke depan akan terjadi perubahan ke arah yang
lebih baik lagi Untuk menganalisis bahwa beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

belum sepenuhnya

mengaktualisasikan semangat keadilan restoratif itu sendiri yang menggantikan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

B. ME TODE PE NE LITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif, yaitu suatu
metode yang bertujuan untuk memperoleh bahan hukum pustaka dengan cara
mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas. Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari serta mengumpulkan pendapat
para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur yang memuat tentang isu hukum yang
akan diteliti.Penelitian hukum normatif ini dikenal juga dengan penelitian hukum doktriner
atau penelitian hukum kepustakaan. Dikatakan penelitian hukum doktriner, karena penelitian
ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan
hukum

yang

lain.

Penelitian

ini

juga

dapat

dikatakan


sebagai

penelitian

kepustakaandikarenakan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data-data yang
bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.10
Dalam penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach) juga memerlukan interpretasi / penafsiran karena tidak semua teks undang-

undang jelas. 11 Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan
kata-kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang,
interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris
10

Bambang Waluyo,Penelitian Huk um Dalam Prak tek ,(Jakarta : Sinar Grafika, 1991), hlm.13-14.
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Huk um, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.105.

11


4

dan interpretasi modern.12 Disamping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan
perbandingan (comparative approach).
Analisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian hukum normatif yaitu dengan
cara studi kepustakaan diuraikan dan dikolerasikan antara bahan hukum yang satu dengan
bahan hukum yang lain sedemikian rupa baik antara bahan hukum primer, sekunder maupun
bahan hukum tersier, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Sebagai pisau analisis penulismengunakan
teori hukum pidana, teori tujuan pemidanaan dan teori kebijakan penanggulangan kejahatan.
Cara pengolahan bahan hukum ini dilakukan secara induktif yaitu menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan konkret yang bersifat khusus kepada permasalahan abstrak yang bersifat
umum.Untuk data primer, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis preskriptif
yakni menilai apakah pasal-pasal yang dipermasalahkan dalam penelitian sesuai tidak dengan
tujuan yang dikehendaki dalam keadilan restoratif yaitu keadilan yang tidak hanya bagi
korban dan/ atau keluarga korban dari tindak pidana saja tapi juga keadilan bagi pelakunya
yang masih terkategori anak-anak tersebut.

C. HASIL DAN PE MBAHASAN
1. Pidana Penjara Bagi Terpidana Anak yang Diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 dan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Adanya pengaruh kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek,
budaya, hingga pembangunan membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar
norma terutama norma hukum. Dalam hal ini, seseorang yang masih terkategori masih anakanak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun
secara tidak sadar. Anak-anak ini pada umumnya terjebak dalam pola hidup konsumerisme
dan asosial yang makin lama semakin menjurus ke arah tindakan kriminal, seperti
menggunakan ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan,
pencurian, penganiayaan, dan sebagainya.13
Belum lagi ditambah dalam era saat ini, para orang tua yang lebih disibukkan
mengurus pemenuhan kebutuhan duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan,

12
13

Ibid, hlm.107.
Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan.(Jakarta : Sinar Grafika. 2008,Cet ke-3), hlm.3.
5

jabatan, ataupun hanya sekedar gengsi, sehingga dengan adanya kondisi demikian si buah hati
sering dilupakan, minimnya kasih sayang, perhatian, bimbingan untuk pengembangan sikap

serta perilaku yang baik serta pengawasan dari orang tuanya.Anak yang kurang mendapatkan
atau bahkan tidak mendapatkan perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial seperti ini
lebih beresiko untuk berperilaku dan bertindak asosial dan bisa sampai bersikap anti-sosial
yang hanya merugikan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.
Faktor faktor diatas belum dipandang sebagai suatu faktor terbesar penyebab
mengapa seorang anak melakukan tindak pidana, sehingga walaupun penjatuhan pidana
penjara telah banyak dijatuhkan, namun hal ini tidak banyak memberikan dampak
positif.Penerapan pidana kepada anak pelaku kejahatan diharapkan dapat memberikan
pencegahan kepada anak-anak lain dan masyarakat secara umum untuk tidak berbuat
kejahatan. Namun tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, karena justru pelaku
kejahatancenderung akan mengulangi kembali kejahatan yang telah ia lakukan (residivis) dan
belum lagi jika masyarakat bisa meniru melakukan aksi kejahatan tersebut. Hal ini
dikarenakan penerapan sanksi pidana tidak dapat melihat akar persoalan yang menjadi
penyebab timbulnya suatu perbuatan pidana.Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemikiran
untuk melakukan suatu pendekatan sosial di samping penerapan sanksi pidana.14
Penjatuhan pidana oleh hakim bukanlah merupakan suatu hal yang salah akan tetapi
sebaiknya hakim harus menimbang kembali apakah putusan hukuman yang dijatuhkan telah
memberikan perlindungan terhadap kepentingan si anak tadi. Pertanyaan ini muncul karena
setelah si terpidana anak selesai menjalani masa hukumannya, dapatkah ia menjadi orang
yang baik dan tidak akan melakukan tindakan kriminal lagi?15
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap telah
gagal dalam menangani masalah hukum bagi anak pelaku tindak pidana, maka pemerintah
mencari pendekatan lain agar tujuan mulia tadi bisa tepat sasaran sehingga lahirlah UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diharapkan bisa
memberikan dampak positif lebih banyak bagi anak.Pendekatan penyelesaian masalah anak

14
15

Marlina.Op.Cit, hlm.17.
Ibid, hlm.12.
6

yang berhadapan dengan hukum melalui jalur pidana semata-mata tidaklah tepat karena
penerapan hukum pidana mempunyai keterbatasan yakni sebagai berikut: 16
1)

Dari sisi hakikat terjadinya kejahatan.
Kejahatan sebagai masalah sosial dan kemanusiaan tentu faktor penyebab lahirnya

kejahatan cukup kompleks.Banyaknya faktor penyebab kejahatan tidak mampu dijangkau
oleh hukum pidana itu sendiri.Ketidakmampuan hukum pidana menganalisis penyebab
lahirnya kejahatan menyebabkan hukum pidana membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu
lainnya.Oleh karena itu, membahas upaya penanggulangan kejahatan, hukum pidana harus
dipadukan dengan pendekatan sosial.
2)

Dari sisi hakikat berfungsinya hukum pidana karena adanya keterbatasan hukum
pidana itu sendiri.
Penggunaan hukum pidana hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan

gejala semata

dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber

penyebab penyakitnya. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum
kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan yang
berada di tengah masyarakat.Namun dalam kehidupan riilnya adanya penjatuhan sanksi
pidana terutama pidana penjara bagi anak pelaku tindak pidana telah membantah perintah
pasal di atas.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Dr.Arifin, S.H menerangkan bahwa ada
beberapa dampak psikologis yang diderita oleh anak-anak didik Lapas Anak Tangerang
berdasarkan hasil analisis lapangan yang telah ia lakukan, yakni:17
1. Hilangnya kepribadian diri dan identitas diri yang diakibatkan oleh peraturan dan tata
cara kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan;
2. Hilangnya rasa aman, dimana seorang anak didik selalu berada dalam pengawasan
petugas. Seseorang yang secara terus menerus diawasi akan merasa kurang aman, merasa

16

Barda Nawawi Arief. Beberapa A spek Kebijak an Penegak an dan Pengembangan Huk um Pidana.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.44-45.
17
Arifin.Pendidik an A nak Berk onflik Huk um; Model Konvergensi A ntara Fungsionalis dan
Religius.(Bandung: CV.Alfabeta, 2007), hlm.63.
7

selalu dicurigai dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu karena takut kalau
tindakannya merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan diberikan sanksi;
3. Hilang kemerdekaan, karena telah dirampas kemerdekaan individual. Misal kemerdekaan
berpendapat, bergaul dengan dengan masyarakat sekitar dan hak-hak kemerdekaan
lainnya. Secara psikologis, keadaan demikian menyebabkan anak didik lapas menjadi
tertekan jiwanya, menjadi pemurung, pemalas, mudah marah dan kurang bergairah
mengikuti program-program pembinaan bagi pengembangan diri anak didik;
4. Terbatasnya komunikasi dengan siapapun. Anak didik tidak bisa bebas berkomunikasi
dengan relasinya, keluarganya, atau teman-temannya di luar karena keterbatasan tadi
disebabkan oleh setiap pertemuan memang sangat dibatasi bahkan kadangkala
pembicaraan didengar oleh petugas yang mengawasinya. Begitu pula dengan surat-surat
yang harus diperiksa terlebih dahulu, buku bacaan dan surat kabar yang harus disensor
terlebih dahulu. Tentu saja keterbatasan kesempatan ini merupakan salah satu beban
berat bagi si anak dalam menjalani hari-harinya di dalam lapas anak;
5. Merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam lapas, seorang anak didik harus mampu
mengurus dirinya sendiri seperti mencuci pakaian, menyapu ruangan, mengatur dan
merapikan tempat tidurnya sendiri. Anak didik tidak boleh memilih warna dan model
pakaian sesuai dengan kehendaknya, karena aturan lapas mewajibkan anak harus
memakai seragam yang sama. Begitu juga dengan masakan, menu makanan yang
diberikan telah diatur oleh pihak lapas anak. Hilangnya pelayanan yang biasa didapatkan
dalam lingkungan keluarganya menyebabkan si anak bisa menjadi sosok yang garang,
cepat marah, atau melakukan hal-hal lain sebagai kompensasi kejiwaannya;
6. Hilangnya rasa kasih sayang dan rasa aman bersama keluarga. Anak didik ditempatkan
dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya, penempatan ini menyebabkan anak
didik merasakan betapa kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas;
7. Hilangnya harga diri. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap anak didik telah
membuat anak didik merasa terampas harga dirinya. Misalnya, penyediaan tempat mandi
yang terbuka untuk mandi secara bersama-sama, kamar tidur yang hanya berterali besi
dan lain sebagainya. Adanya kebiasaan tadi akan membuat si anak memiliki harga diri
yang rendah;

8

8. Kehilangan rasa kepercayaan diri. Rasa ketidakpercayaan diri sendiri dikarenakan oleh
tidak adanya rasa aman, tidak adanya kesempatan untuk membuat keputusan sehingga
kurang mantap dalam bertindak serta kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap.
Prinsip-prinsip yang ada dalam“Beijing Rules”telah mengatur anak pelaku tindak
pidana dihindarkan dari penjatuhan sanksi pidana, 18 sehingga penjatuhan sanksi pidana
merupakan upaya terakhir karena penjatuhan pidana penjara utamanya akan membawa si
anak masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga pemasyarakatan anak ini
sendiri merupakan tempat pembinaan terhadap narapidana anak yang diharapkan dapat
memberikan proses pembinaan yang baik agar si anak. Sehingga setelah keluar bisa menjadi
anggota masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.Kondisi lembaga pemasyarakatan anak
yang overloaded, keterbatasan sarana dan prasarana serta pembina yang terbatas secara jumlah
dan keterampilan, panjangnya proses peradilan pidana yang harus dijalani si anak tersangka
pelaku tindak pidana sejak proses penyidikan di kepolisian hingga selesai menjalankan masa
hukumannya dalam lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan bagi si
anak.19
Pidana penjara sudah tidak mempunyai tempat lagi dalam sistem peradilan pidana
anak karena beberapa alasan yakni:20
a. Alasan Psikologis.
Masa anak-anak adalah masa masa ketika seorang pribadi tumbuh dan berkembang
mencapai kedewasaan diri. Dalam proses tumbuh kembang tadi, seorang anak akan melewati
peristiwa-peristiwa yang negatif maupun positif dan hal ini akan terus terjadi hingga ia
dewasa nanti. Sebagai suatu proses, sudah selayaknya ia harus menanggung beban hukuman
berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian terhadap masa depan si anak.
Pada masa anak-anak ini pula adalah masa dimana mereka sedang memenuhi
kewajiban dan memperoleh haknya untuk belajar. Pemenjaraan akan merampas haknya
untuk belajar karena selama dalam proses peradilan hingga menuju pemenjaraan dapat
dipastikan si anak akan mengalami gangguan dalam mendapatkan hak itu.

18

Ibid, hlm.12.
Ibid.
20
Hadi Supeno. Kriminalisasi A nak : Tawaran Gagasan Radik al Peradilan A nak Tanpa Pemidanaan.
(Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama,2010),hlm.183-191.
19

9

Konstitusi negara kita meamanatkan hak atas memperoleh pendidikan dijamin oleh
negara, hal ini ditemukan dalam Pasal 28 C dan Pasal 28 E Ayat 1 Amandemen ke II, Pasal
31 Ayat 1, Ayat 2, Ayat 4 Amandemen ke IV. Hak ini sangat penting baik bagi pemenuhan
hak-hak sipil Walau kelak dalam Lapas atau dalam bahasa undang-undang dinamakan LPKA
(Lembaga Pembinaan Khusus Anak) 21 pun diwajibkan adanya pendidikan atau pelatihan
atau kegiatan ajar-mengajar lainnya, namun hal itu hanya sekedar pengajaran ilmu
pengetahuan semata. Karena proses belajar yang sesungguhnya adalah berinteraksi dan
berkomunikasi dengan teman sebaya dalam suasana kegembiraan untuk saling berimajinasi
dan berobsesi untuk meraih cita-cita masa depan, dipastikan tidak ada lagi. Pengajaran yang
ada sangatlah kering karena semuanya berada dalam suasana pengurungan baik lahir maupun
batin. Selain itu, pemenjaraan juga akan menggangu tumbuh kembang anak karena ragam
makanan yang tidak memenuhi standart gizi (1 hari untuk makan hanya Rp.8.000), sementara
bakat dan minat si anak tidak bisa berkembang maksimal.
b. Alasan E mpiris
1) Pemenjaraan di Indonesia sangat tidak manusiawi. Banyak anak-anak yang dipenjara
dicampur dengan orang dewasa. Menurut UNICEF, ada sekitar 6.000 anak yang telah
ditahan atau dipenjara, 84% diantaranya telah ditempatkan dalam penjara dewasa. Dari
33 provinsi di Indonesia, hanya ada 16 lapas anak, artinya provinsi yang tidak mempunyai
lapas anak maka akan dimasukan ke dalam lapas dewasa. Walaupun si anak tetap
dimasukan ke dalam lapas anak, hal itu tetap saja membuat si anak berjauhan dengan
orang tuanya.
2) Pemenjaraan di Indonesia banyak overkapasitas. Dari kapasitas lapas anak sebanyak
88.599 ternyata diisi sebanyak 140.739 atau over kapasitas 52.140 anak. Hal ini tidak
hanya berlangsung pada kurun waktu tertentu saja, tetapi hampir sepanjang tahun.
3) Pemenjaraan di Indonesia menjadi media internalisasi tindak kejahatan dari senior kepada
yunior (penghuni lama kepada penghuni baru) karena semua anak didik di lapas anak
dicampur, tanpa melihat tindak jenis pidana yang dilakukan. Akibatnya tujuan
pemenjaraan untuk mencapai perbaikan anak dan mendapatkan efek jera tidak pernah
tercapai.

21

Lihat Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
10

4) Pemenjaraan telah melahirkan banyak praktik kekerasan dan diskriminasi, baik selama
proses peradilannya maupun setelah masuk ke dalam lapas anak.
5) Penjara di Indonesia banyak yang menjadi tempat transaksi bahkan penggunaan obat
terlarang, narkotika dan zat adiktif lainnya. Tak pelak banyak narapidana yang keluar
penjara justru telah mahir dalam pengunaan obat terlarang, kebiasaan yang tak dimiliki
sebelum masuk penjara. Peran anak selain diajari sebagai pengguna juga dimanfaatkan
sebagai kurir dalam praktik penggunaan obat-obatan terlarang tersebut.
6) Bahwa secara normatif, pemenjaraan tidak menghilangkan hak-hak perdata dan hak sipil
sebagai warga negara. Namun pada kenyataannya dalam situasi proses peradilan dan
pemenjaraan kerap kali si anak kehilangan hak perdata dan hak sipil yang mereka miliki.,
salah satu diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan. Sudah seharusnyalah
pemenjaraan anak tidak menghambat sifat progresif pemenuhan hak pendidikan. Yang
terjadi justru sebaliknya, pemenjaraan anak secara objektif dan rasional hampir selalu
mengakibatkan hilangnya hak pendidikan bagi anak. Padahal hak pendidikan merupakan
hak fundamental yang harus diberikan secara progresif dan direalisasikan secara penuh
karena :
a. Hak pendidikan diatur dalam konstitusi Indonesia yakni pada Pasal 31 Ayat 1 UndangUndang Dasar 1945 yang memberikan hak konstitusional warga negara Indonesia
termasuk anak, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”;
b. Hak atas pendidikan merupakan harmonisasi Pasal 28 dan 29 KHA dan dipertegas lagi
dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak serta kewajiban pemerintah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 54;
c. Pendidikan bukan hanya sekedar program pemerintah semata, namun juga merupakan
hak dasar (fundamental right) bagi semua anak, bahkan dalam segala situasi apapun (in all
situation). Pendidikan dasar merupakan fondasi untuk pembelajaran seumur hidup dan

pembangunan manusia.22;
d. Pemenuhan hak pendidikan anak bukan hanya program normatif, tetapi juga dilakukan
dengan langkah-langkah serius. Pasal 28 Ayat 1 KHA menegaskan hak atas pendidikan
anak :“State parties recognizes the right of child to education and with a view to achieving this right
progressively and on the basis of equal oppurtinity”.
22

Unicef. Technical Notes: Special Considerations for Programming in Unstable Situations. (Tanpa
Kota, Tanpa Penerbit, 2003), hlm.265, dikutip dari Hadi Supeno,Op.Cit, hlm.189.
11

c. Alasan hukum
Dalam sejarah hukum pidana , sebagaimana diungkapkan oleh E .Y Kanter, S.H dan S.R
Sianturi,S.H (2002) terhadap anak ada gagasan hukum pidana yang besar dan bersesuaian
dengan justifikasi sosiologis bahwa pemenjaraan anak dicegah dan dihindarkan dengan
memberi alternatif kepada tindakan (maatregel). Sementara tindakan merupakan bentuk
pembinaan anak yang diutamakan sebagaimana yang diterapkan dalam KUHP Nasional
Belanda. Rujukan yang bisa disampaikan yakni:23
1) Sistem Penal Code di Belanda sampai tahun 1886 (di Hindia Belanda sampi tahun
1918) memberlakukan pembatasan umur. Seorang anak yang belum mencapai usia 16
tahun yang melakukan suatu tindak pidana tidak dipidana , tetapi anak itu dapat
diperintahkan oleh hakim perdata untuk mendapatkan pendidikan paksa (dwangopvoeding).

2) Tahun 1886 semenjak berlakunya KUHP Nasional Belanda yang dalam banyak hal
mencontoh KUHP Jerman, terjadi perubahan dalam pembatasan usia sebagai
berikut:
a. seorang anak yang belum mencapai usia 10 tahun, jika melakukan suatu tindak
pidana maka tidak boleh dipidana tetapi diharuskan mendapatkan pendidikan
paksa dari pemerintah;
b. Seorang anak yang berusia 10 tahun hingga 16 tahun, jika melakukan suatu tindak
pidana dan sudah berakal (ordel des onderscheid) , anak harus dipidana dengan
pengurangan sepertiganya. Jika belum berakal, anak itu tidak boleh dipidana
tetapi harus diperintahkan oleh hakim pidana untuk di didik

paksa oleh

pemerintah sampai si anak berusia 18 tahun;
c. Seorang anak yang berusia 16 tahun atau lebih, jika melakukan suatu tindak
pidana harus dipidana.
3) Dalam rujukan sejarah hukum pidana di atas, terbukti bahwa hukum pidana KUHP
Nasional Belanda menganut asas yang mempriritaskan tindakan, bukan hanya
memberikan pidana semata, termasuk didalamnya pidana penjara.
4) Anak sebagai subjek yang sedang berkembang dan menjalani masa “evolving capacities”,
anak sepatutnya dididik bukan dibebankan penderitaan atas perbuatannya. Hal ini
23

Lihat Tim Litigasi KPAI untuk Penghapusan Kriminalisasi Anak.(2009), hlm.63, dikutip
dari Hadi Supeno.Ibid.
12

sangat berkaitan dengan aliran filsafat yang memayunginya. Dalam aliran filsafat
interdeterminisme mengasumsikan bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak
bebas termasuk saat melakukan kejahatan. Sehingga sebagai konsekuensi hukumnya
adalah setiap pemidanaan harus diarahkan kepada pencelaan moral dan pengenaan
penderitaan bagi pelaku. Aliran ini merupakan sumber ide dasar dari sanksi pidana.
Sedangkan aliran filsafat determinisme bertolak belakang dari aliran filsafat
interdeterminisme, artinya bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik
perseorangan maupun masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor psikologis, fisik,
geografis, biologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan.
Pemidanaan bagi anak pelaku tindak pidana atau anak nakal merupakan ketentuan
yang ahistoris dan juga tidak memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat, bahkan semenjak
zaman kolonial ketika hukum pidana Belanda masih berlaku mutlak yang kemudian menjadi
rujukan sistem hukum nasional terhadap anak di bawah umur, sedapat mungkin tidak
dijatuhkan hukum pidana, tetapi dilakukan pendidikan paksa dengan mengesampingkan
menjatauhkan pidana.
Prof.Dr.Barda Nawawi Arief, S.H dalam sebuah bukunya menjelaskan bahwa jika
dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dapat
dikatakan efektif jika pidana tersebut sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi
kejahatan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek “pencegahan
umum” (general prevention)dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada
umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.24Berdasarkan sebuah penelitian yang telah beliau
lakukan, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang
paling banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Di sisi
lainnya, kejahatan terus saja meningkat pesat.Sehingga tidak ada pengaruh pencegahan atau
setidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan dengan
menurunnya jumlah kejahatan.25
Dr.Wagiati Soetodjo, SH., MS dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa tidak
jarang para narapidana anak selama menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan
24

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijak an Huk um Pidana; Perk embangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru.(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hlm.214.
25
Barda Nawawi Arief. Kebijak an Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. (Semarang:
CV.Ananta, 1994), hlm.106-107.
13

Anak Tangerang telah mengalami atau menghadapi adanya tekanan-tekanan emosi dalam
berhubungan dengan para petugas di Lapas tadi.26 Setiap petugas lapas tadi dalam melakukan
hubungan interaksi sosial dengan para narapidana anak, baik disadari atau tidak mereka telah
menempatkan mereka sebagai anak pesakitan yang sedang menjalani masa hukumannya,27
bukan sebagai bagian dari anak bangsa yang masih membutuhkan bimbingan dan pembinaan
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor
M.02-PK.04.10 Tanggal 10 April 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan yang
di suatu saat kelak mereka dapat kembali dan berguna bagi keluarganya, masyarakat dan
bangsanya.
Narapidana anak bukanlah sebagai objek, namun juga merupakan subjek sama seperti
orang dewasa lainnya yang sewaktu-waktu bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam
hidupnya. Oleh karena itu selama dalam pembinaan dalam Lapas Anak Tangerang mereka
sangat membutuhkan pembinaan yang sejalan dengan tujuan rehabilitasi sosial,28 yakni secara
umum bertujuan agar narapidana anak berhasil memantapkan kembali harga diri dan
kepercayaan serta bersikap optimis akan masa depannya. Tidak hanya itu, mereka juga
diharapkan dapat berintegrasi secara wajar kelak di dalam kehidupan bermasyarakat setelah
mereka bebas / keluar dari penjara.Untuk mencapai tujuan ini, mekanisme pelaksanaanya
dilakukan melalui program pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa
dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran
hukum dan pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.29
Narapidana anak yang dipenjarakan di Lapas Anak Tangerang merupakan narapidana
anak yang melakukan kejahatan dari tingkat ringan hingga berat, namun kelak dengan
diberlakukannya undang-undang ini hanya narapidana anak yang melakukan tindak pidana
dengan ancaman hukuman minimal 7 tahun, kemudian anak yang telah melakukan berulangulang kali atas kejahatan yang sama/ lainnya, serta tindakana/ perbuatan anak yang dianggap
dapat membahayakan masyarakat yang dapat dimasukan ke dalam penjara. Namun
pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya penjatuhan pidana penjara para

26

Wagiati Soetodjo.Huk um Pidana A nak .(Bandung: PT.Refika Aditama, 2006),hlm.127.
Ibid, hlm.128.
28
Ibid.
29
Ibid.

27

14

narapidana akan semakin baik mengingat perlakuan petugas lapas yang sehari-hari mengurusi
mereka?.
Ironis ketika kita hidup dalam zaman modern seperti saat ini dimana kemerdekaan
telah kita raih dengan penuh perjuangan serta dimana hak asasi manusia telah menjadi arus
utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru terjadi perampasan sistem hukum
yang berpotensi merampas hak anak itu sendiri. Faktanya pemidanaan pun

tidak

menghentikan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum sehingga bisa disimpulkan bahwa
pemidanaan anak telah gagal mengemban misinya yakni mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan masyarakat.30
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengecam tindakan
pemidanaan terhadap anak. Pemidanan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
anak. Karena itu, harus distop segera. Jika mereka melakukan tindak pidana, tidak seharusnya
dimasukkan ke dalam lapas.Solusinya adalah dengan memberikan restorasi terhadap anak
misalnya anak dipulangkan kepada orangtua, atau diserahkan kepada negara untuk dibimbing
dipanti pembinaan.31Dilema lainnya yang akan dihadapi oleh narapidana anak adalah adanya
penilaian tertentu dari lingkungan atau kelompok sosial atau masyarakatnya sehingga
menimbulkan stigma atau stempel yang biasanya bersifat negatif.
Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih menilai anak melakukan tindak pidana
dan/ atau yang pernah melalui sistem peradilan pidana biasanya akan terlibat lagi tindak
pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi ini sangat sulit dihilangkan dari pandangan
masyarakat kita. Adanya persoalan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia tadi menuntut pentingnya dikaji kembali mengenai restorative justice.
Kini restorative justice tidak lagi hanya sekedar konsep saja, namun telah
diimplementasikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana yang
diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait

30

Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.181.
http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/23/semakin-banyak-anak-penghuni-penjara,
diakses pada tanggal 5 Juli 2013.
31

15

dalam tindak pidana yang telah terjadi dimana bentuk penyelesaian tindak pidananya telah
berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.32
Dalam restorative justice ini mempunyai pemikiran dasar bahwa kejahatan merupakan
sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran
sebagai suatu pengrusakan norma hukum.33Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merusak
tatanan hukum (law break ing) yang dibuat oleh negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat
(society value)34karena merupakan tindak kejahatan menyangkut kepentingan masyarakat luas

dan negara. Pendapat ini dikemukakan oleh Howard Zehr, menurutnya:35
“Meskipun tindak pidana telah merusak tatanan nilai masyarakat, akan tetapi tetap
menjadi sentral atau pokok permasalahan terhadap tindak pidana yang dilakukan
yaitu masalah pelanggaran tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal
state) dan tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan kejahatan.”

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak ditegaskan :
Pasal 71

Ayat (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat;
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga;
e. penjara.
Ayat (2) Pidana tambahan terdiri atas:

32

Hadi Supeno. Op.Cit, hlm.17.
Allinson Morris and C.Brielle Maxwell.Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and
Circles.(Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001), hlm.3.
34
Marlina, Op.Cit, hlm.23.
35
Howard Zehr. Changing L enses: A New Focus for Crime and Justice.(Pensylvania: Herald Press.
1990), hlm.181.
33

16

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. pemenuhan kewajiban adat.
Pasal Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang masih saja melegitimasi adanya penjatuhan sanksi pidana penjara bagi anak
pelaku tindak pidana dengan beberapa persyaratannya sebagai berikut :
1. Pasal 69 ayat (2) mensyaratkan usia minimal 14 tahun anak dapat dikenakan sanksi
pidana, ada kemungkinan hakim bisa menjatuhkan pidana penjara;
2. Pasal 79 mensyaratkan ada dua hal seorang anak bisa dipidana yakni yang pertama
melakukan tindak pidana berat; dan/atau yang k edua tindak pidana yang disertai dengan
kekerasan;
3. Pasal 81 mencantumkan syarat apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan
masyarakat, maka anak dapat dijatuhi pidana penjara. Membahayakan seperti apa yang
dimaksud dalam undang-undang ini pun menjadi tidak jelas, bahkan saat dicari dalam
penjelasan, distu hanya menuliskan cukup jelas. Hal ini menyebabkan si anak menjadi
korban ketidakpastian hukum karena makna dari kata membahayakan masyarakat
menjadi bebas untuk ditafsirkan oleh hakim. Padahal dalam pendekatan keadilan
restoratif, peran masyarakat turut pula disertakan dalam meresosialisasi kembali si
terpidana anak. Karena bagaimana pun juga pada akhirnya si anak akan kembali ke
lingkungan masyarakatnya.
Dengan adanya faktor-fator diatas sudah cukup menjadi dasar alasan mengapa pidana
penjara sudah selayaknya ditiadakan dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang akan mulai berlaku efektif pada tahun 2014 mendatang.
Klausula yang paling relevan adalah mengenai pidana perampasan kemerdekaan
menurut Beijing Rules sebaiknya harus mempertimbangkan dua hal yakni :36
a.

Pidana merupakan suatu upaya terkahir dan tidak dapat dielakkan lagi (sehubungan
dengan keseriusan tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang)

b.

Pidana dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat mungkin.37
Dalam ketentuan undang-undang ini hanya mengimplementasikan poin huruf a saja,

sedangkan poin huruf b belum diatur.Memang dalam Pasal 81 Ayat 2 mengamanatkan
36

Wagiati Soetodjo. Op.Cit, hlm.117.
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice “The
Beijing Rules”, butir 13.1. “Detention pending trialshal be use only as a measure of last resort and for the shortest
possible period of time”.
37

17

bahwa bilamana pidana penjara dijatuhkan maka paling lama adalah ½ (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Misalkan seorang anak anak beinisial
A telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang mana ancaman
pidananya 15 tahun penjara, maka pidana yang dijatuhkan atasnya hanya maksimal selama 7,5
(tujuh setengah) tahun. Hal ini tentu sangat tidak memberikan keuntungan bagi si anak,
selain hal-hal negatif yang akan ia terima.

2. Reformulasi Sanksi yang Berkesesuaian Dengan Keadilan Restoratif dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Konsep restorasi (restorative justice) diawali dari pelaksanaan sebuah program
penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak diluar mekanisme peradilan
konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang di sebut victim offender mediation dimana
program ini di laksanakan di Negara Kanada pada tahun 1970.38Program ini pada awalnya
dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak
pelaku tindak pidana.
E va Achjani Zulfa dalam disertasinya mengungkapkan bahwa pendekatan keadilan
restoratif merupakan sebuah pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang
mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih
dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak pelaku
yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Dalam
program ini menganggap bahwa pelaku dan korban sama-sama mendapat manfaat sebaikbaiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak
pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak. Susan Sharpe
mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu:39
1.

Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban

dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan
penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi

38

http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/05/teori-teori-pemidanaan.html, diakses
pada tanggal 16 Juni 2013.
39

Marlina. Huk um Penitensier. (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.74-75.
18

masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh
pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini.
2.

Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan

atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk
jugaupaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidanya yang
menimpanya.
3.

Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk

bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyelesaian
dan mengakui semua kesalahan-kesalahan serta menyadari bahwa perbuatannya
tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain.
4.

Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat

dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini
dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta
mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal.
Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan uang lebih cerah.
5.

Restorative justice memberikan kekuatan bagi masyarakat unutk mencegah supaya

tindak kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam
kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat
untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena
faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada dalam
masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya, dan bukan bersumber
dari dalam diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali
ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dalam
fungsinya dalam kehidupan masyarakat.
Konsep restorasi ini telah dijadikan sebagai tujuan pemidanaan dalam rangka uupaya
penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa tangung
jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu, salah satunya dalam sistem peradilan pidana
anak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Tidak hanya itu saja,
diharapkan dengan pendekatan keadilan restoratif juga bisa memberikan nuansa edukatif
kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai
kebahagian hidup bersama.

19

Menurut seorang pemerhati anak Indonesia, Seto Mulyadi mengatakan bahwa
tahanan anak tidak perlu ditahan di lembaga pemasyarakatan karena mereka memerlukan
pembinaan positif yang diharapkan akan membuat mereka lebih baik di masa depan.40
"Bisa dititipkan di panti-panti asuhan terdekat.Supaya anak ini tidak merasa menjadi
pelaku kriminal.Mohon ada pendekatan manusiawi seperti yang diamanatkan
Undang- Undang Perlindungan Anak." 41
Menurut Kak Seto, pada prinsipnya anak yang berhadapan dengan hukum juga
membutuhkan perlindungan, dan perlakuan ramah.
"Mereka anak yang butuh perlindungan.Tapi bukan di dalam tahanan karena akan
jadi korban, dan membuat mereka malah mendapat pelajaran negatif." 42
Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, saya pun
berpendapat bahwa sanksi pidana penjara tidak akan memberikan banyak dampak positif,
sehingga sanksi pidana penjara yang ada di atur dalam Pasal 71 dihapuskan saja dan bisa
digantikan dengan bentuk sanksi lain yang lebih merestorasi pelaku, yakni dengan tindakan
ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya.43Ganti rugi yang dimaksud adalah
sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan pidana anak yang mengharuskan si anak
untuk membayar sejumlah uang atau kerja/ service, baik langsung maupun tidak
langsung.Namun yang paling tepat adalah ganti rugi yang berbentuk kerja dengan alasan
tidak semua narapidana anak berasal dari keluarga mampu secara ekonomi.Sehingga hakim
anak bisa memutuskan bentuk sanksi seperti ini untuk melatih anak bersikap jujur dan
bertanggung-jawab atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya.Bentuk sanksi seperti ini dirasa
lebih memberikan perlindungan kepada mereka, selain menghindarkan dari stigma negatif
masyarakat jika mereka harus di didik melalui sanksi penjara.

3. PE NUTUP
Kesimpulan

40

http://www.okefood.com/read/2010/03/19/340/314039/selalu-jadi-korban-anak-tidaklayak-di-penjara, diakses pada tanggal 5 Juli 2013.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Marlina, Op.Cit, hlm.115.
20

Masih terdapatnya pencantuman sanksi pidana penjara dalam Pasal 71 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah
jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, bertentangan dengan konstitusi yakni
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta mengancam masa depan si anak,
bahkan menghambat tujuan dari keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri, sehingga
keberadaan pidana penjara dalam pasal ini sudah tidak layak sebagai salah satu alternatif
sanksi pidana bagi anak. Walaupun pidana penjara menempati urutan terakhir dalam
pidana pokok bukan berarti hakim tidak bisa memberikan putusan yang menempatkan si
pelaku anak untuk menjalani sanksi pidana ini.
Pemerintah seharusnya segera melakukan revisi undang-undang ini agar
pendekatan restorative justice bisa dirasakan lebih banyak manfaatnya.Selain itu, paradigma
yang digunakan pun seharusnya menggunakan perspektif anak dimana dalam hal
perspektif anak tidak ada pemidanaan dan penjara bagi anak. 44 Apapun alasannya dan
apapun tindakan yang dilakukan oleh anak, proses pemidanaan apalagi hingga
pemenjaraan hanya berlaku bagi orang dewasa saja. 45 Untuk reformulasi sanksi yang
berkesesuaian dengan keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012,
hukuman terbaik bagi anak dalam sistem peradilan pidana bukan pidana penjara
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 71 huruf e. Sanksi pembinaan dalam lembaga sudah
cukup adil dan layak diberikan bagi narapidana anak dimana selama pembinaan tadi
mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi berupa ganti rugi menurut
tingkat keseriusan tindak pidananyaAdanya sanksi pidana yang yang telah diatur
sebelumnya sudah dianggap sesuai dengan tujuan dari keadilan restoratif.
Daftar Pustaka

Buku :
Allinson Morris and C.Brielle Maxwell, Restorative Justice for Juveniles; Conferencing Mediation and Circles,
Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2001.
Arifin,Pendidik an A nak Berk onflik Huk um; Model Konvergensi A ntara Fungsionalis dan Religius, Bandung:
CV.Alfabeta, 2007.
Bambang Waluyo,Penelitian Huk um Dalam Prak tek ,Jakarta : Sinar Grafika, 1991.
44
45

Hadi Supeno. Op.Cit. hlm.194.
Ibid.
21

------------------------,Pidana dan Pemidanaan,Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Barda Nawawi Arief,Kebijak an Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta,
1994.
------------------------,Beberapa A spek Kebijak an Penegak an dan Pengembangan Huk um Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1998.
------------------------,Bunga Rampai Kebijak an Huk um Pidana; Perk embangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.

David J Cocke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison,Menyingk ap Dunia Gelap Penjara; A uthorised
translation from the E nglish L anguage edition of Psychology in Prisons, Jakarta: PT.Gramedia, 2008.

Hadi Supeno,Kriminalisasi A nak : Tawaran Gagasan Radik al Peradilan A nak Tanpa Pemidanaan, Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Howard Zehr,Changing L enses: A New Focus for Crime and Justice, Pensylvania: Herald Press, 1990.
Marlina,Peradilan Pidana A nak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung:
PT.Refika Aditama, 2009.
Marlina, Huk um Penitensier, Bandung: PT.Refika Aditama, 2011.
Niniek Suparnie,E k sistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,
1996.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Huk um, Jakarta: Kencana, 2010.
Wagiati Soetodjo, Huk um Pidana A nak , Bandung: PT.Refika Aditama, 2006.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Internet :
http://luqmanpinturicchio.blogspot.com/2012/05/teori-teori-pemidanaan.html

22

http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak
http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/23/semakin-banyak-anak-penghuni-penjara.
http://rachmatharyanto.wordpress.com
http://www.okefood.com/read/2010/03/19/340/314039/selalu-jadi-korban-anak-tidak-layak-dipenjara.

23