Garis Garis Besar Haluan Negara GBHN Dal

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Dalam
Perspektif UUD 1945 Pasca Amandemen

Tugas Negara Hukum dan Demokrasi
diasuh oleh
Dr. Muntoha, S.H, M.Ag

OLEH :

Nama Mhs.

:

No. Pokok Mhs. :
BKU
:

Muhammad Tabrani Mutalib
15912042
HTN & HAN


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016

GBHN Dalam Perspektif UUD 1945 Pasca Amandemen

A. Pendahuluan
Dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P 2016 Megawati Soekarnoputri selaku ketua Partai
PDI-P melontarkan kritik terhadap perencanaan pembangunan nasional dan mengusulkan
perlunya menghidupkan pola perencanaan pembangunan jangka panjang dalam sebuah GBHN
yang ditetapkan oleh MPR. wacana yang disampaikan ketua umum PDI-P tersebut kemudian
juga direspon baik oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo sebagaimana diberitakan surat kabar
kompas mengatakan Indonesia harus memiliki haluan yang jelas tentang ke mana arah Indonesia.
Pembangunan Nasional Semesta Berencana menjadi pekerjaan rumah yang harus dirumuskan
sejak sekarang untuk memperjelas pembangunan ke depan.1
Hal ini menunjukan bahwa sekalipun UUD 1945 telah di amandemen beberapa kali,
namun pergulatan pemikiran ketatanegaraan tetap berkembang kearah mencari sistem yang ideal
kenegaraan Bangsa Indonesia. ha tersebut juga sejalan dengan penjelasan oleh Janedri M. Gaffar
dalam surat kabar Sindo, bahwa Pemikiran ketatanegaraan Indonesia tampaknya tetap dinamis

walaupun telah terjadi perubahan terhadap UUD 1945 pada 1999 sampai 2002. Bahkan, hasil
perubahan UUD 1945 itu sendiri menjadi pangkal berbagai pemikiran, baik yang cenderung ke
arah sebelum perubahan maupun gagasan-gagasan baru memperbaiki kelemahan yang sering kali
memang baru dapat diketahui dan disadari ketika dilaksanakan. setelah gagasan mengembalikan
GBHN dengan konsekuensi mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, muncul
gagasan penghapusan lembaga DPD.2
1

Saldi Isra, Wacana Menghidupkan Kembali GBHN, opini di surat kabar Kompas,
tanggal 12 Februari 2016.
2
Janedri M. Gaffar, Revitalisasi DPD, opini di surat kabar Sindo, tanggal 22 Februari
2016.

Dalam Tugas Paper ini, Penulis hanya menitikberatkan pada isu menghidupkan kembali
GBHN dengan menggunakan optik konstitusi (UUD 1945 Pasca Amandemen), isu ini
sebenarnya bukan isu yang baru sebenarnya karena MPR sendiri dalam pelbagai kesempatan
diskusi, dialog dan sosialisasi empat pilar Negara Republik Indonesia, MPR sendiri merasa
melahirkan kembali kewenangan yang pernah dimiliki MPR tersebut untuk dihidupkan kembali.
akan tetapi, senyampang GBHN dihidupkan kembali, pertanyaan yang harus dijawab ialah

bagaimana wacana menghidupkan kembali GBHN relevan dengan UUD 1945 pasca
amandemen? hal ini penting agar isu terkait menghidupkan kembali GBHN tidak hanya dari
perspektif politik semata, tetapi harus juga dilihat dari perpektif hukum (normatif) juga.
B. Pembahasan

Argumentasi UUD 1945 sebelum perubahan disebutkan bahwa fungsi MPR salah satunya
untuk menetapkan UUD dan GBHN (Pasal 3). 3 wewenang penetapan GBHN juga tidak terlepas
dari kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. karena MPR sebelum perubahan
konstitusi merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan tertinggi maka, semua lembaga
negara lain bertanggung jawab kepada MPR. mengambil contoh pada masa demokrasi terpimpin
dalam 3 kali masa sidang umum telah menghasilkan 8 ketetapan diantaranya yang paling penting
ilah ketetapan No. I/MPRS/1960 tentang manifesto politik R.I sebagai garis-garis besar haluan
negara dan ketetapan No. VIII/MPRS/1965 tentang prinsip musyawarah untuk mufakat dalam
demokrasi terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga permusyawaratan/perwakilan. 4 pada masa
orde baru MPR mengeluarkan 36 ketetapan dan yang paling penting diantara ketetapan lain yaitu
ketetapan No. IX/MPRS/1966 tentang SP 11 maret dijadikan Tap MPRS dan No.

3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke-21, (Jakarta: gramedia

pustaka utama, 2001), hlm. 200
4
Ibid, hlm. 202

XXXIII/MPRS/67 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari presiden sukarno. 5
produk-produk hukum tersebut tidak bisa terlepas dari posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum
perubahan.
Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Sebagaimana dikemukakan Penjelasan UUD 1945, MPR merupakan
penyelenggara negara yang tertinggi dan sekaligus pemegang kuasa negara tertinggi (die
gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Penegasan posisi ini tak terlepas dari posisi
MPR yang dianggap penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.6
Melanjutkan posisi tersebut, Penjelasan UUD 1945 menyatakan: kedaulatan rakyat
dipegang oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
(vertretungsorgan des willens des staatsvolkes). Karena posisi sentral dalam desain bernegara,
Pasal 3 UUD 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dalam Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 dinyatakan, karena MPR memegang kedaulatan negara,
kekuasaannya tidak terbatas. Lebih lanjut, posisi sentral MPR dalam hubungan antar lembaga
negara bisa dilacak dari Penjelasan UUD 1945: MPR juga mengangkat kepala negara (presiden)

dan wakil kepala negara (wakil presiden). Karena itu, MPR memegang kekuasaan negara yang
tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan oleh MPR. Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam lima tahun MPR
menetapkan haluan negara yang dipakai di kemudian hari. 7 Membaca konstruksi yuridis Pasal 1
Ayat (2) UUD 1945 serta penjelasannya yang dikaitkan dengan Pasal 3 UUD 1945 serta
5
6
7

Ibid, hlm. 203
Saldi Isra, wacana...op,cit, opini di surat kabar Kompas, tanggal 12 Februari 2016.
Ibid,.

penjelasannya, secara konstitusional pembentukan GBHN tak terlepas dari posisi MPR sebagai
pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara. Posisi sentral semakin tak
terhindarkan karena bertemu dengan peran MPR dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam hal ini, Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh
MPR dengan suara terbanyak.8
Konstuksi hukum seperti itu, memberikan posisi penting kepada MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakayat untuk menentukan haluan pembangunan negara, dan apabila presiden tidak

menjalankan haluan yang telah ditetapkan oleh MPR, MPR dapat memanggil dan meminta
pertanggungjawaban presiden.
Sedangkan, setelah adanya beberapa kali perubahan UUD 1945 konstruksi hukum
sebagaimana diatas telah berubah, lembaga MPR sudah tidak lagi memegang kekuasaan “daulat
rakyat” tetapi setara dengan lembaga negara lain, berikut bunyi UUD 1945 hasil amandemen ke3 Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksankan menurut UndangUndang dasar. lebih lanjut pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
hanya dapat memberhentikan Pesiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD. akibat amandemen kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi memiliki
konsekuensi secara hukum yakni MPR tidak dapat lagi menentukan lagi haluan negara.
perencanaan pembangunan dilakukan oleh pemerintah (presiden) berdasarkan UU, sedangkan
apabila setiap presiden yang terpilih dalam sebuah pemilu tidak menjalankan program
perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan presiden sebelumnya, MPR tidak dapat
memberhentikan Presiden tersebut begitu saja tanpa proses peradilan di MK.
C. Kesimpulan
8

Ibid,.

Oleh karena itu, dari uraian singkat di atas, dapat simpulkan bahwa kedudukan Lembaga
MPR Pasca Amandemen tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tidak lagi pemegang
kedaulatan rakyat. pada saat sekarang MPR hanyalah salah satu dari berbagai macam lembaga

negara yang tunduk pada pengaturan konstitusi. olehnya itu MPR pasca perubahan konstitusi
dari segi hukum tatanegara tidak dapat lagi menetapkan GBHN sebagaimana yang di wacanakan
oleh Megawati Soekarnoputri dan sebagian anggota MPR RI. apabila keinginan dan dukungan
politik ingin GBHN eksis kembali perlu adanya upaya perubahan konstitusi yang tentu akan
panjang prosesnya dan tidak mudah. apalagi setiap pemerintahan saat ini telah memiliki
prencanaan pembangunan baik jangka pendek, menengah dan panjang yang diataur dalam
bentuk UU hanya penamaannya saja bukan GBHN tapi sesungguhnya itulah GBHN dalam arti
materiil. menurut penulis wacana menghidupkan kembali GBHN perlu dipikirkan secara
mendalam, tidak hanya pemikiran pendek yang hanya sebagai “moment opname” pada situasi
tertentu. isu ini harus dipotret dengan kacamata hukum tidak hanya menggunakan logika politik
semata.

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke-21, Jakarta: gramedia pustaka utama,
2001.
Gaffar, Janedri M., Revitalisasi DPD, opini di surat kabar Sindo, tanggal 22 Februari 2016.
Isra, Saldi, Wacana Menghidupkan Kembali GBHN, opini di surat kabar Kompas, tanggal 12
Februari 2016.