suhu tubuh hewan . docx

I.

JUDUL
Suhu Tubuh Hewan

II. TUJUAN
Mengetahui pengaruh beberapa faktor terhadap suhu tubuh hewan
III. TINJAUAN PUSTAKA
Setiap sistem hidup (pada semua tingkatan) selalu bereaksi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungannya, juga mengatur dan
mengontrol reaksi yang ditimbulkannya. Pada tahun 1879, seorang ahli
fisiologi asal Perancis bernama Claude Bernard mengusulkan suatu syarat
penting bagi hewan yang ingin dapat bertahan hidup di lingkungannya, yakni
bahwa hewan harus mempertahankan stabilitas pada lingkungan internal atau
cairan tubuhnya. Menurut Tim Dosen Fisiologi Hewan (2014:4), ada beberapa
hewan yang suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan, ada pula yang stabil
dan faktor yang mempengaruhi suhu tubuh hewan dapat dari dalam
(metabolisme) maupun dari luar. Pada tahun 1855, Bernard mengemukakan
bahwa penyebab terjadinya berbagai reaksi yang menstabilkan lingkungan
internal ialah adanya senyawa khusus, yang dihasilkan oleh semua organ dan
dikeluarkan ke cairan jaringan. Pernyataan tersebut menjadi pelopor

munculnya gagasan mengenai hormone dan regulasi/pengaturan kimia
(Isnaeni, 2006 : 22-23).
Pengaturan lain yang merupakan bentuk dari homeostasis, yaitu
pengaturan suhu tubuh yang melibatkan suatu mekanisme yang mempunyai
dampak pada laju metabolisme, tekanan darah, oksigenasi jaringan, dan bobot
tubuh. (Campbell, 2004:125).
Homeostasis ialah keadaan lingkungan internal yang konstan dan
mekanisme yang bertanggung jawab atas keadaan konstan tersebut.
Lingkungan internal ialah cairan dalam tubuh hewan yang merupakan tempat
hidup bagi sel penyusun tubuh. Cairan tubuh hewan meliputi darah, cairan
interstisial, cairan selomik, dan cairan lain yang terdapat dalam tubuh. Untuk
dapat bertahan hidup, hewan harus menjaga stabilitas lingkungan internalnya,
antara lain keasaman atau pH, suhu tubuh, kadar garam, kandungan air, dan
kandungan nutrien atau zat gizi. Mamalia (golongan hewan yang memiliki
kelenjar susu) dan aves (golongan burung) memiliki kemampuan mengatur

berbagai faktor tersebut dengan sangat tepat. Oleh karena itu, aves dan
mamalia disebut regulator (Isnaeni, 2006 : 22-23).
Sistem thermoregulatori ayam disebut juga sistem pengaturan suhu
tubuh, dimana pada ayam bersifat homeotermik atau suhu tubuh ayam relatif

stabil pada kisaran tertentu yaitu 40-41oC. Namun saat berumur 0-5 hari, ayam
masih belum bisa mengatur suhu tubuhnya sendiri. Ayam baru bisa mengatur
suhu tubuhnya secara optimal sejak umur 2 minggu (Okarini, 2009: 39).
Pada hewan homoiterm suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan
adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan
homoiterm dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda
akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan homoioterm mempunyai
variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin,
faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan
yang dikonsumsi dan faktor jenuh pencernaan air. Hewan homoioterm adalah
hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang
konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya. Sebagian
panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan badan.
Melalui evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Contoh
hewan homoioterm adalah bangsa burung dan mamalia (Jamaria, 2012).
Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang
diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Panas yang hilang dapat
berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi. Radiasi adalah
transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk
merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas

secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan lansung tanpa ada
transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi kebagian
yang memiliki suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan
panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas
kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair
menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi .
Hewan

mempunyai

kemampuan

adaptasi

terhadap

perubahan

suhu


lingkungan. Sebagai contoh, pada suhu dingin, mamalia dan burung akan
meningkatkan laju metabolisme dengan perubahan hormon-hormon yang
terlibat di dalamnya, sehingga meningkatkan produksi panas. Pada ektoterm
(misal pada lebah madu), adaptasi terhadap suhu dingin dengan cara

berkelompok dalam sarangnya. Hasil metabolisme lebah secara kelompok
mampu menghasilkan panas di dalam sarangnya (Jamaria, 2012).
Berbagai bentuk energi yang ada di dalam tubuh hewan adalah hasil
dari reaksi-reaksi biokimia. Seluruh reaksi biokimia termasuk dalam cakupan
metabolisme yang terdiri atas proses degradasi (katabolisme) dan penyusunan
atau sintesis (anabolisme). Reaksi sintesis membutuhkan energi yang telah
tersedia dalam sistem melalui oksidasi. Seluruh energi yang dilepaskan selama
proses oksidasi tidak digunakan, akan tetapi sebagian energi tersebut akan
dilepaskan keluar tubuh dalam bentuk panas. Oleh sebab itu, metabolisme dan
panas tubuh sangat berhubungan erat satu sama lain. Kebanyakan reaksi
biokimia secara ekstrim sangat sensitif terhadap temperatur. Peningkatan suhu
100C akan meningkatkan kecepatan reaksi dua kali lipat, sedangkan suhu
rendah akan memberikan efek berkebalikan. (Santoso, 2009 : 154).
Menurut Rastogi (2007), kisaran temperatur dari berbagai hewan
adalah sebagai berikut :


Hewan ektotermik dan endotermik mempertahankan suhu tubuhya
dengan mengkombinasikan empat kategori umum dari adaptasi, yaitu:
1. Penyesuaian

laju

pertukaran

panas

antara

hewan

dengan

sekelilingnya.Insulasi tubuh seperti, rambut, bulu, lemak yang terletak
persis di bawah kulit untuk mengurangi kehilangan panas. Penyesuaian
ini terdiri dari beberapa mekanisme, diantaranya: Hewan endotermik

mengubah jumlah darah yang mengalir ke kulitnya berdasarkan suhu di
sekitarnya. Misal pada suhu dingin maka hewan endotermik akan
mengecilkan diameterpembuluh darahnya (vasokontriksi) sehingga terjadi
penurunan aliran darah, sedangkan pada musim panas hewan endotermik

akan membesarkan diameter pembuluh darahnya (vasodilatasi) sehingga
terjadi peningkatan aliran darah. Pengaturan arteri dan vena yang disebut
penukar panas lawan arus(countercurrent heat exchanger). Pengaturan
lawan arus ini memudahkan pemindahan panas dari arteri ke vena di
sepanjang pembuluh darah tersebut
2. Pendinginan melalui kehilangan panas evaporatif. Hewan endotermik dan
ektotermik terestial kehilangan air melalui pernapasan dan melaluikulit.
Jika kelembapan udara cukup rendah, air akan menguap dan hewan
tersebut akan kehilangan panas dengan cara pendingin melalui evaporasi.
Evaporasi dari sistem respirasidapat ditingkatkan dengan cara panting
(menjulurkan lidah ke luar). Pendinginan melaluievaporasi pada kulit
dapat ditingkatkan dengan cara berendam atau berkeringat
3. Respons perilaku. Banyak hewan dapat meningkatkan atau menurunkan
hilangnya panas tubuh dengan caraberpindah tempat. Mereka akan
berjemur dibawah terik matahari atau pada batu panas selama musim

dingin, menemukan tempat sejuk, lembab atau masuk ke dalam lubang di
dalam tanah pada musim panas, dan bahkan bermigrasi ke lingkungan yang
lebih sesuai.4. Pengubahan laju produksi panas metabolik.Kategori
penyesuaian ini hanya berlaku bagi hewan endotermik, khususnya unggas
danmamalia. Hewan endotermik akan meningkatkan produksi panas
metaboliknya sebanyak duatau tiga kali lipat ketika terpapar ke keadaan
dingin (Campbell, 2004).
Beberapa adaptasi hewan untuk mengurangi kehilangan panas,
misalnya adanya bulu dan rambut pada burung dan mamalia, otot, dan
modifikasi sistim sirkulasi di bagian kulit. Kontriksi pembuluh darah di bagian
kulit dan countercurrent heat exchange adalah salah satu cara untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh. Perilaku adalah hal yang penting dalam
hubungannya dengan termoregulasi. Migrasi, relokasi, dan sembunyi
ditemukan pada beberapa hewan untuk menurunkan atau menaikkan suhu
tubuh. Gajah di daerah tropis untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara
mandi atau mengipaskan daun telinga ke tubuh. Manusia menggunakan
pakaian adalah salah satu perilaku unik dalam termoregulasi (Jamaria, 2012).
Ayam

petelur


termasuk

hewan

homoioterm

dengan

tingkat

metabolisme yang tinggi, termasuk hewan yang dapat menjaga dan mengatur
suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses yang disebut homeostasis,
temperatur tubuh akan konstan meskipun hidup pada temperatur lebih rendah

atau lebih tinggi dari pada temperatur tubuhnya, hal ini dikarenakan adanya
reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh. Ayam
petelur dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat
dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Ayam petelur mempunyai variasi
temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor

lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang
dikonsumsi (Latipuin, 2011: 77-78).
Kemampuan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal
merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses
fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini akan
mempengaruhi perubahan yang terjadi pada temperatur tubuh ayam petelur.
Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam berbedabeda, karena temperatur tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu derajat
panas yang tetap, Tetapi kisaran di atas batas tertentu, karena proses
metabolisme di dalam tubuh tidak selalu tetap dan faktor di sekitar tubuh
(yang diterima tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi) (Sahara, 2011:
138).
Umumnya unggas, khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar
keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah
pelepasan panas melalui penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran
pernafasan dengan cara panting. Indikator yang sangat sederhana untuk
mengetahui fenomena ini adalah dengan mengukur permukaan bagian-bagian
tubuh ayam dan beberapa parameter fisiologik. Perbedaan aktivitas
metabolisme akan menunjukkan respon yang berbeda dalam mempertahankan
suhu tubuhnya (Latipuin, 2011: 78).


IV. METODE PENGAMATAN
4. 1 Alat dan Bahan
Alat :
1. Timbangan
2. Bak plastik
3. Termometer raksa
4. Stopwatch
Bahan :
1. Ayam jantan dewasa
2. Ayam betina dewasa
3. Ayam jantan remaja
4. Ayam betina remaja
5. Ayam jantan anak-anak
6. Ayam betina anak-anak
7. Tali rafia
8. Air

4. 2 Cara kerja
a. Suhu tubuh ayam
Menyiapkan ayam dan timbangan


Menimbang masing-masing berat badan ayam

Menurunkan air raksa termometer

Memasukkan termometer pada kloaka ayam
selama 5 menit

Mengamati dan mecatat suhu yang terukur

b. Pengaruh gerakan terhadap suhu tubuh ayam
Mengikat salah satu kaki ayam dengan tali rafia

Melepaskan ayam dan membuat ayam lari-lari dan/atau
terbang selama 5 menit

Menurunkan air raksa termometer

Memasukkan termometer pada kloaka ayam selama 2
menit
Mengamati dan mecatat suhu yang terukur

Mengulangi langkah-langkah di atas sebanyak 3 kali
c. Pengaruh perendaman terhadap suhu tubuh ayam

Merendam ayam di dalam bak plastik yang berisi air
selama 5 menit

Menurunkan air raksa termometer

Memasukkan termometer pada kloaka ayam
selama 2 menit
Mengamati dan mecatat suhu yang terukur

Mengulangi langkah-langkah di atas sebanyak 3 kali
V. HASIL PERCOBAAN

K

Jenis

E
L

Kelamin

1
2

Ayam
Jantan
muda
Betina
muda

Suhu (0)
BB
(kg)
2,5
1

Setelah berlari

Umur
4
bulan
-

Setelah

1direndam
2
3

To

1

2

3

41

42

42,5

42,5

38

38

>42

40,5

39,3

39

35,5

36

38,
5
35,
5

3

Jantan
dewasa

5

4

Betina
dewasa

4

2
tahun
8
bulan

41

>42

>42

>42

>42

41,4

41,9

41,5

41,6

41,3

>42

>42

35,

36,

5

3

VI. PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan pada hari Rabu, 5 November 2014 yakni
tentang Suhu Tubuh Hewan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
beberapa faktor terhadap suhu tubuh hewan. Hewan yang digunakan adalah
ayam (Gallus sp.). Alasan menggunakan ayam adalah karena ayam merupakan
hewan yang mudah didapatkan dengan berbagai rentangan usia tertentu.
Sedangkan faktor-faktor yang dimaksud adalah pengaruh gerakan ayam dan
pengaruh perendaman ayam ke dalam air, sehingga variabel dalam percobaan
ini adalah sebagai berikut :
Variabel bebas

: usia ayam, pengaruh yang diberikan kepada ayam

Variabel kontrol
Variabel terikat

(gerakan dan perendaman)
: waktu pengamatan, 3 kali ulangan setiap percobaan
: suhu tubuh ayam

Ayam termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme
yang tinggi, termasuk hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu
tubuhnya agar tetap normal melalui proses yang disebut homeostasis,
temperatur tubuh akan konstan meskipun hidup pada temperatur lebih
rendah atau lebih tinggi dari pada temperatur tubuhnya, hal ini dikarenakan
adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu
tubuh. Sistem thermoregulatori ayam disebut juga sistem pengaturan suhu
tubuh, dimana pada ayam bersifat homeotermik atau suhu tubuh ayam
relatif stabil pada kisaran tertentu yaitu 40-41oC.
Dalam percobaan ini, pengukuran suhu dilakukan pada kloaka
ayam. Hal ini dengan alasan bahwa pengukuran suhu tubuh melalui kloaka
adalah yang paling akurat karena daerah pengukuran sangat tertutup. Waktu
untuk mengukur suhu adalah minimal 2 menit karena termometer yang
digunakan adalah termometer raksa, sehingga yang diamati adalah
tingginya raksa dalam skala yang ada di termometer. Berbeda dengan
termometer digital yang mungkin hanya membutuhkan waktu 1 menit
untuk dapat mengukur suhu tubuh hewan.
Dari tabel hasil percobaan di atas, secara umum dapat diketahui
bahwa gerakan ayam yang berupa lari dan terbang menyebabkan suhu di
dalam tubuh ayam lebih tinggi dari pada suhu awal sebelum melakukan
aktivitas lari dan terbang tersebut. Dan perlakuan perendaman di dalam air
menyebabkan suhu di dalam tubuh ayam lebih rendah dari pada suhu awal
ayam sebelum diberi perlakuan perendaman.

Pada percobaan memberi perlakuan aktivitas (lari dan terbang)
pada ayam, di kelompok 1 yang menggunakan ayam jantan muda memiliki
berat tubuh 2,5 kg dengan tiga kali pengulangan, masing-masing suhunya
adalah 420C, 42,50C, dan 42,50C hasil pengukuran tersebut menunjukkan
bahwa suhu tubuh ayam meningkat dari suhu awalnya (410C). Di kelompok
2 yang menggunakan ayam betina muda dengan berat tubuh 1 kg memiliki
suhu awal >42 0C dengan tiga kali pengulangan, masing-masing suhunya
adalah 40,50C, 39,30C, dan 390C. Di kelompok 3 yang menggunakan ayam
jantan dewasa dengan berat tubuh 5 kg dengan suhu awalnya 410C
menunjukkan hasil bahwa suhu tubuh ayam dari ketiga pengulangan sama,
yakni lebih dari 420C. sedangkan di kelompok 4 yang menggunakan ayam
betina dewasa dengan berat tubuh 4 kg memiliki suhu awal 41,4 0C
menunjukkan hasil bahwa setelah 3 kali pengulangan hasil pengukuran
suhu tubuh ayam naik turun, tidak stabil yakni: 41,9 0C, 41,5 0C dan 41,6
0

C.
Kenaikan suhu pada perlakuan ini disebabkan karena adanya

aktivitas yang mendorong laju metabolisme semakin cepat dan produksi
panas dalam tubuh semakin besar. Menurut Jamaria (2012), mekanisme
pengaturan suhu tubuh merupakan penggabungan fungsi dari organ-organ
tubuh yang saling berhubungan. Di dalam pengaturan suhu tubuh, terdapat
dua jenis sensor pengatur suhu, yaitu sensor panas dan sensor dingin yang
berbeda tempat pada jaringan sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti
(penerima di dalam) dari tubuh. Dari kedua jenis sensor ini, isyarat yang
diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan kemudian dikirim
ke saraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas
untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah itu
terjadi umpan balik, di mana isyarat diterima kembali oleh sensor panas
dan sensor dingin melalui peredaran darah. Dengan demikian maka panas
di dalam tubuh hewan akan meningkat. Teori tersebut sesuai dengan hasil
pengamatan kami, dimana ketika ayam diberi perlakuan berupa gerakan
dengan cari membuat ayam lari atau terbang menjadikan suhu ayam-ayam
tersebut mayoritas mengalami kenaikan dari suhu awalnya.
Berbagai bentuk energi yang ada di dalam tubuh hewan adalah hasil
dari reaksi-reaksi biokimia. Seluruh reaksi biokimia termasuk dalam
cakupan metabolisme yang terdiri atas proses degradasi (katabolisme) dan
penyusunan atau sintesis (anabolisme). Reaksi sintesis membutuhkan

energi yang telah tersedia dalam sistem melalui oksidasi. Seluruh energi
yang dilepaskan selama proses oksidasi tidak digunakan, akan tetapi
sebagian energi tersebut akan dilepaskan keluar tubuh dalam bentuk panas.
Oleh sebab itu, metabolisme dan panas tubuh sangat berhubungan erat satu
sama lain. Kebanyakan reaksi biokimia secara ekstrim sangat sensitif
terhadap temperatur. Peningkatan suhu 100C akan meningkatkan kecepatan
reaksi dua kali lipat, sedangkan suhu rendah akan memberikan efek
berkebalikan.
Kejanggalan yang terjadi di kelompok 2 yang menunjukkan hasil
yang suhu tubuh ayam setelah beraktivitas semakin menurun yakni yang
awalnya memiliki suhu >420 C menjadi 40,50C, 39,30C, dan 390C hal ini
dapat disebabkan karena kurang aktifnya ayam tersebut untuk bergerak,
sehingga kurang memicu laju metabolisme dan produksi panas di dalam
tubuhnya. Begitupula pada hasil dari kelompok 4 yang suhu setelah
pengulangan menjadi naik turun yaitu 41,9 0C, 41,5 0C dan 41,6 0C.
dibanding dengan suhu awalnya 41,40C.
Sedangkan pada percobaan memberi perlakuan perendaman pada
ayam, di kelompok 1 yang menggunakan ayam jantan muda dengan berat
tubuh 2,5 kg menunjukkan hasil bahwa suhu tubuh ayam menurun dari
suhu awalnya 410C, menjadi 380C pada pengulangan pertama dan pada
pengulangan kedua juga sama, sedangkan pada pengulangan ketiga 38,5 0C.
Kelompok 2 yang menggunakan ayam betina muda dengan berat tubuh 1
kg menunjukkan hasil bahwa suhu tubuh ayam menurun dari suhu awalnya
>420C, menjadi 35,50C sedangkan pada pengulangan kedua mengalami
kenaikan menjadi 360C, untuk pengulangan ketiga menurun menjadi
35,50C. Untuk Kelompok 3 yang menggunakan ayam jantan dewasa
dengan berat tubuh 5Kg menunjukkan hasil bahwa suhu tubuh ayam ratarata tetap, atau stabil, antara pengulangan pertama perendaman sampai
ketiga tidak ada perubahan dalam suhu tubuhnya, satu derajat lebih tinggu
dibanding dengan suhu awalnya (>420C). Kelompok terakhir yakni
kelompok 4 yang menggunakan ayam betina dewasa dengan berat tubuh 4
kilo gram menunjukkan hasil bahwa suhu tubuh ayam rata-rata menurun
6,630C dari suhu awalnya.
Penurunan suhu tubuh ayam dari suhu normal (sebelumnya) ini
dapat terjadi karena faktor lingkungan. Air menyebabkan ayam menggigil
dan terjadi penurunan produksi panas di dalam tubuh ayam. Mekanisme

pengaruh ini hampir sama dengan mekanisme pengaruh gerakan/aktivitas
ayam di atas, yaitu sensor pengatur suhu berupa sensor menerima isyarat
dan langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan kemudian dikirim ke
saraf motorik yang mengatur produksi panas untuk berhenti dan tidak
dilanjutkan ke jantung, paru-paru, maupun seluruh tubuh. Dengan demikian
maka terjadi penurunan suhu di dalam tubuh ayam. Soewolo (2000: 334)
menyatakan bahwa bila suhu lingkungan diturunkan, hewan endoterm akan
merespon dengan berbagai refleks yang cenderung mengkonservasi panas.
Pembuluh darah di kulit akan menyempit, rambut dan bulu berdiri, dan
hewan akan mempersempit permukaan tubuhnya yang bersinggungan
dengan udara, misalnya dengan menekuk tubuhnya, meyembunyikan
anggota tubuh, dan sebagainya.
Kejanggalan yang terjadi di kelompok 3 yang menunjukkan hasil
yang suhu tubuh ayam setelah direndam yakni yang awalnya memiliki suhu
410 C, ketika diberi perlakuan perendaman suhunya tidak mengalami
penurunan tetapi mengalami kenaikan 1 derajat, menjadi >42 0C, hal ini
mungkin dapat disebabkan karena ketika perendaman, bak yang digunakan
terlalu kecil sehingga badan ayam jago dewasa yang memiliki badan besar
tersebut

terendam

secara

keseluruhan,

sehingga

tidak

mampu

mempengaruhi suhu ayam untuk mengikuti suhu lingkungannya yang
dingin.
Menurut Soewolo (2000: 333), kelas Aves (termasuk di dalamnya
adalah ayam) kebanyakan kemampuan untuk mempertahankan suhu
tubuhnya di atas suhu lingkungan. Suhu tubuh dari golongan burung yaitu
berkisar antara 41-42,50C. Dalam percobaan ini suhu tubuh ayam bisa
mencapai lebih dari 42,50C dan kurang dari 410C karena perlakuan yang
diberikan kepada ayam tersebut adalah terlalu berat dan dalam waktu yang
lama (5 menit dengan 3 kali pengulangan) sehingga pengaturan panas di
dalam tubuh ayam tidak mampu lagi menyesuaikan dengan suhu
normalnya.
Secara umum, suhu tubuh hewan dipengaruhi oleh faktor luar dan
faktor dalam. Faktor-faktor luar yang mempengaruhi suhu tubuh hewan
antara lain adalah kondisi lingkungan, seperti yang telah dilakukan dalam
percobaan ini yaitu lingkungan air yang berlebihan sampai merendam
tubuh, akan menurunkan suhu tubuh. Sedangkan faktor dalam yang
mempengaruhi suhu tubuh hewan selalu berkaitan dengan aktivitas

metabolisme dan produksi panas di dalam tubuh. Semakin besar laju
metabolisme, maka produksi panas akan meningkat sehingga suhu tubuh
juga akan naik. Faktor lain yang mempengaruhi suhu tubuh hewan juga
dapat disebabkan karena stress faktor jenis kelamin, berat badan dan faktor
usia. Namun dalam hal ini, faktor jenis kelamin, berat badan, dan usia
adalah berkaitan dengan bentuk aktivitas yang dilakukan, sehingga tidak
dapat ditarik kesimpulan bahwa suhu tubuh ayam yang berjenis kelamin
jantan harus harus lebih tinggi dari pada suhu tubuh ayam yang betina.
Tetapi karena pada umumnya aktivitas pejantan lebih aktif dan lebih
banyak, maka banyak yang mengatakan bahwa suhu tubuh jantan lebih
tinggi dari pada suhu tubuh betina. Demikian juga untuk faktor usia dan
berat badan. Untuk faktor usia, pada ayam dengan usia dewasa dapat dilihat
bahwa perubahan suhu yang terjadi setelah lari dan beterbangan paling
tinggi daripada ayam yang usia muda. Hal ini disebabkan aktivitas oleh
ayam dewasa adalah lebih aktif.

VII. PENUTUP
VII.1

Kesimpulan

ayam termasuk kedalam homoiotermik. termasuk hewan yang dapat
menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses
yang disebut homeostasis. Pengaruh gerakan (aktivitas lari dan terbang)
adalah menyebabkan suhu tubuh ayam meningkat dari sebelumnya.
Pengaruh perendaman menyebabkan suhu tubuh ayam menurun dari
sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh ayam yaitu
lingkungan, usia, aktivitas, jenis kelamin, dan proses metabolisme serta
produksi panas di dalam tubuh.
VII.2

Saran
Pada percobaan ini sebaiknya tidak hanya menggunakan satu jenis

hewan saja untuk dijadikan sebagai perbandingan. Lebih banyak hewan uji
lebih baik supaya kita dapat mengetahui pengaruh pada hewan yang
berbeda, sehingga nantinya mendapatkan ilmu yang bervariasi

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N.A., Reece J.B., Urry, L.A., & Cain, M.L. 2004. Biologi Jilid 3 edisi 5.
Jakarta : Erlangga.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kanisius.
Jamaria. 2012. Termoregulasi pada Hewan. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Latipudin, Diding dan Andi Mushawwir. 2011. Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras
Petelur Fase Grower dan Layer . Jurnal Sain Peternakan Indonesia. ISSN
1978—3000. Vol. 6, No 2 : 77-82.
Okarini, Ida Ayu., Anak Agung Sagung Putu Kartini dan Martini Hartawan, 2009.
Retensi Protein Dan Nilai Organoleptik Daging Broiler Yang Diberi Susu
Kedelai Asam Dalam Air Minum Ternak Selama Pemeliharaan (1-5
Minggu). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. ISSN : 1978 – 0303. Vol.
4, No. 1 : 38-45.
Rastogi, S.C. 2007. Essentials of Animal Physiology. 4Th edition. New Delhi: New
Age International (P) Ltd.
Sahara, Eli., Sofia Sandi, dan Muhakka . 2011. Peforman Produksi Ayam Pedaging
dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian
Bungkil Kedelai dalam Ransum. ISSN 1978 - 3000 . Vol. 6, No 2: 137142.
Santoso, Putra. 2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Padang : Universitas Andalas
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Proyek Pengembangan Guru
Sekolah Menengah.

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

SUHU TUBUH HEWAN
(disusun guna memenuhi tugas praktikum mata kuliah Fisiologi Hewan)

Oleh
Nama
NIM
Kelas
Kelompok

:
:
:
:

Ahdatu Uli Khikamil M
120210103024
C
3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014