Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam

MEMBEDAH ANATOMI PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Mohamad Abdun Nasir
Abstrak: Para penggagas pembaharuan Hukum Islam menilai telah
terjadi fosilisasi hukum Islam sehingga ia tidak mampu lagi menjawab
kompleksitas problematika sosial. Oleh karena itu, hukum Islam harus
didesign ulang guna menyelaraskan dirinya dengan aspirasi-apirasi
masyarakat dan tantangan modernitas. Struktur bangunan
pembaharuan hukum Islam tidak jauh berbeda dengan bentuk reformasi
hukum Islam yang terjadi secara global. Persisnya, kesamaan itu dapat
dilihat dari arsitektur pembentukannya, bahkan dalam banyak hal
persis pula dalam bahan material pembuatannya, terutama yang
menyangkut hukum keluarga Islam. Kalau pembaharuan hukum Islam
di Indonesia diperhatikan secara lebih seksama, maka strukturnya
meliputi penggagas, metode, materi serta tujuan pembaharuan itu
sendiri. Selain berorientasi internal, reformasi hukum tersebut secara
eksternal ditujukan pula bagi terciptanya relasi yang harmonis antar
umat beragama.
Kata Kunci: pembaharuan, reformasi, tajdîd, takhayyur, siyâsah,
fiqh sosial, fiqh minoritas dan fiqh lintas agama.


Umat Islam percaya bahwa hukum Islam bersifat ilahiyah. Dalam
pandangan mereka, Tuhan sendirilah yang menentukan hukum untuk
diterapkan kepada para hamba-Nya. Oleh karena ia berasal dari Tuhan,
maka kebenarannyapun diyakini bersifat absolut dan tidak boleh diubah.1
Akan tetapi, studi kesejarahan menunjukkan bahwa dalam praktiknya,
hukum Islam mengalami banyak perubahan. Hasil penelitian paling akhir
tentang hukum keluarga Islam secara jelas menggambarkan terjadinya



Penulis adalah dosen tetap Jurusan Syari’ah IAIN Mataram
ketuhanan menjadi pembeda yang jelas antara hukum Islam dengan sistem
hukum yang lain. Lihat, J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (Connecticut:
Greenwood Press, 1975), 2.
1Sifat

201

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)


reformasi hukum dalam bidang tersebut.2 Ini menguatkan hipotesis bahwa
jika dilihat dari perspektif sosio-historis, hukum Islam merupakan fenomena
perdaban, kultur, dan sosial manusia. Pada level ini sebagian hukum Islam
telah teraplikasikan melalui institusi-institusi sosial, seperti pengadilan, yang
dipengaruhi oleh dinamika perubahan masyarakat. Dengan demikian,
hukum Islam yang bersifat universal tersebut, pada level praktis tidak bisa
menghindar dari keniscayaan, yakni perubahan-perubahan yang menjadi
ciri fundamental kehidupan sosial. Di sinilah pembaharuan hukum sangat
diperlukan dalam rangka menjawab perubahan zaman. Demikian pula
dengan yang terjadi di Indonesia. Pada tahapan tertentu hukum Islam
berubah untuk menyelaraskan dirinya dengan dinamika perubahan
masyarakat.
Tulisan ini akan mengupas struktur bangunan pembaharuan hukum
Islam di Indonesia. Pembahasannya dimulai dari penyingkapan arti
pembaharuan dan keterkaitan organis-terminologisnya dengan gerakan
pembaharuan Islam secara umum. Bagian berikutnya adalah diskusi di
seputar gejala umum reformasi hukum Islam di beberapa negara dengan
menitikberatkan pada pendekatan dan metode pembaharuan hukumnya. Ini
dimaksudkan untuk melacak keterkaitan antara pembaharuan hukum Islam
dalam konteks global dengan gagasan pembaharuan hukum Islam dalam

konteks keindonesiaan. Bagian terakhir mendiskusiakan secara lebih
mendalam reformasi hukum Islam di Indonesia, yang meliputi: tema-arah,
metode-materi, penggagas-gagasannya serta munculnya tema-tema baru
dalam fiqh di Indonesia.
Arti dan Signifikansi Pembaharuan Hukum Islam
Secara organis ide pembaharuan hukum Islam tidak bisa dilepaskan
dari munculnya grand theme pembaharuan Islam secara general. Hal ini bisa
dilacak dari istilah-istilah yang dipakai untuk menjelaskan arti pembaharuan
itu sendiri. Pada mulanya ide pembaharuan lebih banyak ditujukan pada
bidang teologi dan akidah daripada bidang hukum. Berbagai istilah sering
dipergunakan untuk melukiskan gerakan pembaharuan Islam, seperti

Abdullahi A. An-Na’im (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A
Global Resource Book (London: Zed Books, 2002).
2Lihat,

202

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222


“reformasi”, “pemurnian”, “pembaharuan”, rethingking Islam,3 resurgent
Islam,4 dan lain sebagainya. Reformasi mempunyai pengertian membentuk
kembali pemahaman baru sebagai antitesa dari pola pemahaman lama.
Sejalan dengan itu, para penulis tentang gerakan pemikiran Islam, misalnya
Persatuan Islam, menyebutnya dengan istilah Islamic reform.5 Adapun kata
pemurnian lebih banyak diarahkan pada bidang akidah dan ibadah dengan
dasar pertimbangan bahwa perkembangan sejarah telah membawa akibat
semakin kaburnya kemurnian iman dan ibadah serta munculnya kurafat
dan bid’ah sehingga diperlukan upaya untuk mengembalikan pemahaman
ajaran agama Islam ke bentuk aslinya.
Sedangkan istilah pembaharuan adalah upaya memahami kembali
sumber Islam dengan melepaskan diri dari pemahaman lama dengan
maksud untuk merelevankan Islam dalam menatap masa depan. Kata
pembaharuan mengandung uraian sasaran pembaharuan yang ditujukan
kepada pengembangan pemikiran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
hadis Nabi SAW. Karena itu, pembaharuan bukan ditujukan untuk
mempertanyakan keabsahan sumber ajaran Islam, melainkan upaya
mengubah pola pemikiran umat Islam agar tidak terikat secara kaku kepada
pola pemahaman dan pemikiran masa lampau.6 Pembaharuan ini timbul
sebagai akibat dari perubahan-perubahan besar dalam segala bidang

kehidupan manusia yang dibawa oleh kemajuan pesat yang terjadi dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.7 Salah satu implikasinya, menurut
3Mohammed

Arkoum, Rethingking Islam: Common Questions Uncommon Answers,
Translated and Edited by Robert D. Lee (Colorado and Oxford: Westview Press, 1994).
4Istilah lain adalah tajdîd atau islah. Tajdid biasanya diartikan “pembaharuan” dan
islah di artikan “reformasi”. Secara bersamaan kedua kata tersebut merefleksikan
sebuah tradisi yang berlanjut dari revitalisasi praktik dan kepercayaan Islam dalam
komunitas-komunitas masyarakat muslim. Ia memberikan dasar bagi keyakinan bahwa
gerakan-gerakan dari pembaharuan tetap merupakan bagian yang sah dari penjabaran
wahyu Islam dalam sejarah. Lihat, John O. Voll “Renewal and Reform in Islamic
History, Tajdid and Islah,” dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgence Islam
(Oxford: Oxford University press, 1983), 32.
5Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
terj. Yudian W. Asmin dan Affandi Mukhtar (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996).
6Ridwan Lubis dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam (Medan:
Pustaka Widyasarana, 1994), 7-8.
7Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam

(Jakarta: Obor, 1985), 1.

203

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

Sharon Shiddiq, adalah munculnya usaha yang giat untuk mangarahkan
tatanan masyarakat yang harmonis atas dasar sistem tata hakum yang
aspiratif.8
Secara lebih spesifik, Iskandar Usman menggarisbawahi inti
pembaharuan hukum Islam. Menurutnya inti pembaharuan adalah ijtihad.9
Ijtihad diartikan sebagai usaha untuk menetapkan hukum guna menjawab
permasalahan dan perkembangan baru dengan cara kembali kepada alQur’an dan hadis dan tidak mesti terikat kepada ketentuan-ketentuan
hukum Islam hasil ijtihad ulama sebelumnya. Dengan demikian diharapkan
bahwa ketentuan hukum Islam yang dihasilkan dengan cara ini akan betulbetul mampu menjawab permasalahan umat dan mampu merealisasikan
kemaslahatan yang menjadi inti dan tujuan hukum Islam.
Menurut al-Zahawî dalam Our Women in Religious Law and in Society,
seperti dikutip H. A.R. Gibb, hukum-hukum dalam al-Qur’an dan berbagai
rumusan hukum dari fuqaha seharusnya tidak dianggap final serta tidak
dapat diubah, tetapi merupakan pandangan yang bersifat evolusioner.10

Tujuan al-Qur’an dalam tatanan sosial adalah untuk menciptakan suatu
sistem kemasyarakatan yang etis dan egalitarian. Oleh sebab itu, Fazlur
Rahman memandang hukum Islam bersifat dinamis dan harus
dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.11 Bersikeras dalam
implementasi harfiah dari aturan-aturan al-Quran dengan menutup mata
terhadap perubahan sosial yang terjadi secara real, sama saja artinya dengan
mengabaikan tujuan moral-sosial al-Qur’an. Syari’ah, menurut Bassam Tibbi
adalah “tekstur terbuka”, yaitu sebuah struktur norma yang tertulis secara
baku, tetapi terbuka atas intepretasi. Oleh karenanya, dalam era modern ini
dituntut untuk memikirkan hukum sebagai gagasan yang lebih fleksibel
sehingga dapat memberikan kontribusi akomodasi budaya untuk sebuah
perubahan.12
8Abdul Aziz (ed.), Gerakan Kontemporer Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989), 1.
9Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali dan
LSIK, 1998), 111.
10H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnum Husein (Jakarta:
Rajawali Press, 1993), 154.
11Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1983), 55.

12Bassam Tibbi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Ahsin Muhamad dan
Zainul Abbas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 98-102.

204

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Dalam konteks inilah gagasan untuk melakukan pembaharuan
hukum Islam mendapatkan signifikansinya. Para ahli dan cendekiawan
hukum Islam ingin mengkaji kembali hukum Islam dalam konteks kekinian,
sehingga hukum Islam itu bisa menjadi hukum yang aktual pada masa ini
sebagaimana aktualnya hukum Islam pada masa perumusannya oleh
mujtahid pada masa dulu. Hal inilah yang menyebabkan usaha untuk
mengkaji hukum Islam dengan tujuan untuk mengembalikan aktualitasnya
menjadi sebuah discourse yang menarik.
Trend Pembaharuan Hukum Islam
Beberapa ahli hukum Islam dari Barat tak kurang seriusnya dalam
mengkaji perkembangan dan pembaharuan hukum Islam yang terjadi di
beberapa negara dewasa ini. Anderson, salah seorang peneliti hukum
Islam, menyimpulkan adanya beberapa poin penting dalam proses

pembaharuan di beberapa negara.13 Pertama, sejak kira-kira tahun 1850
terjadi dikotomi hukum dalam dunia Islam; satu bagian diwarnai oleh
aturan-aturan yang khas berinspirasi Barat, seperti hukum dagang,
sementara bagian lainnya tetap berada di bawah naungan syari’ah, seperti
hukum keluarga. Berikutnya, sejak tahun 1915 proses perubahan hukum
keluarga itu berkembang dengan pesat. Pembaharuan di sini dilaksanakan
dengan tiga bahan pokok, yaitu (a) adanya sarana untuk memperoleh
pengakuan berlakunya hukum atas tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh
syari’ah. (b) Prinsip yang mengatakan bahwa sebagai pengganti pelaksanaan
pandangan-pandangan dominan dari mazhab tertentu, seperti dari mazhab
Hanafi, mengenai persoalan yang rinci (furû’). Di sini badan legislatif
diperbolehkan menerapkan variasi tertentu dari pandangan-pandangan
tersebut, seperti yang dikemukakan oleh beberapa mazhab lain dan (c)
diperlakukannya aturan-aturan hukum acara untuk melengkapi syari’ah
yang pelaksanaannya disertai dengan sanksi-sanksi pidana.
Sedangkan Coulson mengklasifikasikan pembaharuan hukum Islam
ke dalam empat bentuk.14 Pertama, adanya upaya kodifikasi hukum Islam
menjadi undang-undang hukum negara; sejumlah hukum Islam dijadikan
sebagai hukum negara, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat
13J.N.D.


Anderson, Ibid., 109-111.
Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1971), 182-217.
14N.J.

205

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

bagi warga negara dan memiliki sanksi bagi pelanggarnya. Ini disebut
prinsip siyâsah. Kedua, munculnya prinsip takhayyur,15 yaitu kaum muslimin
bebas memilih pendapat para imam mazhab dan menggunakannya sesuai
dengan kemaslahatan masyarakat. Ketiga, munculnya upaya untuk
mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru dengan mencari
alternatif-alternatif hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum
Islam yang luwes dan elastis. Ini disebut prinsip tathbîq. Keempat, timbulnya
upaya perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru, sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis yang disebut konsep tajdîd
(neo-ijtihad).

Sementara menurut analisis Abdullahi Ahmad an-Na’im,16
pembaharuan hukum keluarga dan waris Islam di beberapa negara bangsa
mengambil beberapa teknik, yaitu takhayyur dan siyâsah, seperti penjelasan
Coulson tersebut. Namun, ia menambahkan tiga bentuk yang lain, yaitu,
pertama, takhsîsh al-Qadha atau hak penguasa untuk memutuskan dan
menguatkan keputusan pengadilan. Ini digunakan sebagai prosedur untuk
membatasi penerapan syari’ah pada persoalan-persoalan hukum perdata.
Prosedur yang sama juga digunakan untuk mencegah pengadilan dari
penerapan syari’ah dalam keadaan yang spesifik tanpa mengubah substansi
aturan-aturan syari’ah yang relevan. Kedua, reinterpretasi atas ketentuanketentuan hukum yang berlaku, misalnya dalam Hukum Status Personal
Tunisia Tahun 1956 dinyatakan bahwa perceraian tidak sah kecuali dengan
keputusan pengadilan. Ketiga, pembaharuan dilakukan dengan cara yang
digunakan dalam tradisi hukum adat tanpa menentang dan mengubah
prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis
seperti yang terjadi di India.17
Fenomena lain yang perlu disimak dari ide reformasi hukum Islam
adalah apa yang kini tengah terjadi di negara-negara yang mayoritas
penduduknya non-Islam. Di Eropa Barat, misalnya, kalangan umat Islam
tengah melangsungkan diskusi mengenai hukum Islam bagi status minoritas
15Prinsip

takhayyur juga dianjurkan oleh Abdurrahman I. Doi. Lihat,
Abdurrahman I. Doi, Muamalah: Syari’ah III, terj. Nurhadi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1985), 207-213.
16Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. A. Suaedi dan
Amiruddin (Yogyakarta: LkiS, 1997), 74.
17Contoh dalam kasus-kasus yang dimaksud, lihat, A. A. Fayzee, Outlines of
Muhammadan Law (Oxford: Oxford University Press, 1964), 104.

206

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Muslim. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hukum Islam yang
berlaku di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa
diterapkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak memeluk
Islam? Pertanyaan ini muncul seiring dengan timbulnya masalah yang jauh
lebih kompleks di negara-negara tersebut. Sebagai contoh adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh Mufti Besar al-Azhar terkait soal pelarangan jilbab di
sekolah-sekolah negeri di Prancis. Menurut fatwa tersebut, wanita Muslim di
Prancis tidak wajib memakai jilbab, karena Prancis bukan negara Islam.
Tentu saja fatwa ini menimbulkan pertanyaan besar di seputar aplikasi
hukum Islam dan menyeret persoalannya ke wilayah wacana negara Islam
dan negara non-Islam.
Oleh karena itu, muncullah gagasan untuk memformulasikan hukum
Islam bagi umat Islam minoritas. Istilah ini dikenal dengan Fiqh al-Aqalliyat.18
Probematika hukum yang terkait soal makanan, kawin campur, perceraian,
partisipasi politik, transaksi perbankan dengan sistem kartu kredit di negaranegara nonmuslim sangat kompleks dan memerlukan metode dan
pendekatan tersendiri dalam mencari solusinya. Persoalan politik bagi umat
Islam untuk memberi prioritas ketundukan mereka kepada hukum Islam
atau hukum penguasa turut pula memperuncing masalah ini. Beberapa
langkah metodologis pun disuguhkan dalam memecahkan masalah ini
meskipun masih muncul ketidaksetujuan terhadapnya. Pertama,
mengidentifikasi jenis masalah dan melakukan analisis isi atas masalah
tersebut. Kedua, telaah komparatif atas pendapat fuqaha dalam masalah
tersebut.
Ketiga,
pendekatan
sosial-budaya
sebagai
alternatif
pemecahannya.19
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
1. Tema dan Arah. Bagaimana dengan pembaharuan hukum Islam di
Indonesia? Menurut Amir Syarifuddin, pembaharuan pemikiran hukum
Islam di Indonesia tidak lepas dari pembaharuan hukum Islam yang terjadi
di dunia Islam pada umumnya. Para ulama Indonesia merasakan bahwa
hukum Islam seperti yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh banyak yang
kehilangan aktualitasnya. Banyak terjadi kesukaran dalam menjalankan
18Welmoet Boender, “Islamic Law and Muslim Minorities,” ISIM Newsletter, No.
12, June 2003, 13.
19Ibid.

207

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

bagian-bagian dari hukum Islam. Adanya kesukaran itu dirasakan sebagai
sesuatu yang wajar karena ia diformulasikan oleh mujtahid dalam masa yang
sudah lama dan dalam situasi yang berbeda. Hal inilah yang mendorong
para ahli saat ini untuk mengadakan kajian ulang dalam rangka reaktualisasi
hukum Islam.20
Pembaharuan kalau diletakkan dalam konteks hukum Islam di
Indonesia maka konotasinya lebih bersifat meluruskan kembali pemahaman
umat Islam. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang
menganggap fiqh sudah final, baku dan tidak bisa berubah. Pemahaman
seperti ini sering berakibat pada upaya pengkultusan pemikiran keagamaan
atau taqdîs al-afkâr al-dînî, termasuk terhadap fiqh. Disamping itu,
pembaharuan ini juga berarti upaya mengadaptasikan hukum Islam dengan
perubahan sosial. Konsep yang kedua ini sering disebut dengan modernisasi
hukum Islam. Secara garis besar, ada dua tema besar pembaharuan hukum
Islam di Indonesia, yaitu kembali ke al-Qur’an dan isu keindonesiaan.21
Tema pertama ditandai dengan langkah-langkah yang bertujuan
untuk membersihkan praktik-praktik peribadatan umat Islam yang
disinyalir terpengaruh oleh unsur-unsur non Islam yang sering didefinisikan
sebagai TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Kemudian tema besar lainnya
seperti membuka pintu ijtihad yang lama dianggap tertutup, mengganyang
taqlîd, membolehkan talfîq dengan cara memperkenalkan kembali studi
perbandingan mazhab. Reformasi model ini dimotori oleh ulama yang
kurang menguasai sistem hukum Indonesia, seperti A. Hasan, Munawar
Cholil, dan Hasbi as-Siddiqy. Disamping itu, tentunya juga tidak berlebihan
untuk menyebut organisasi-organisasi Islam semisal Muhammadiyah,
Persatuan Islam, dan Al-Irsyad ke dalam kategori pendukungnya.22
Keindonesiaan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tema
kembali ke al-Qur’an dan sunnah. Di sisi lain, ini merupakan sikap kembali
kepada pandangan tradisional yang berusaha mempertahankan adat
20Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam (Medan: Angkasa
Raya, 1993), 5.
21Yudian W. Asmin “Reorientasi Fiqh Indonesia,” dalam Sudarnoto Abdul
Hakim (ed.), Islam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995), 224.
22Ibid. Untuk membatasi masalah dan obyek kajian, maka dalam artikel ini,
metode pengambilan hukum dalam organisasi-organisasi Islam semisal NU,
Muhammadiyah, Persis, maupun MUI tidak dibahas. Penyebutan mereka hanya sebatas
karena diantara beberapa tokoh pembaharu itu berlatar belakang organisasi-organisasi
tersebut.

208

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Indonesia yang dulu justru ditolak oleh kaum reformis yang hendak
menyesuaikan dengan syari’ah. Ada dua kecenderungan utama dalam tema
keindonesiaan, yaitu cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri
khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya
Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum
Islam. Kecenderungan pertama ini ditandai dengan munculnya konsep “fiqh
Indonesia” (Hasbi, 1940), “mazhab nasional” (Hazairin, 1950-an),
“pribumisasi Islam” (Abdurrahman Wahid, 1988), “reaktualisasi ajaran
Islam” (Munawir Sadzali, 1988), dan “zakat sebagai pajak” (Masdar, 1991).
Kecenderungan yang kedua ialah keindonesiaan yang berorientasi
konstitusional yang dimotori oleh para sarjana umum yang menguasai
sistem hukum Indonesia, tetapi kurang mendalami prinsip “kembali ke alQur’an dan Sunnah”.23
2. Metode dan Materi. Kalau memakai pola sebagaimana yang
diajukan baik oleh Anderson, Coulson maupun an-Naim, maka akan
ditemukan common denominator model pembaharuan hukum Islam di
dunia dewasa ini dengan apa yang terjadi di Indonesia, terutama sekali
bila diterapkan dalam konteks perundang-undangan maupun bentuk
hukum positif lainnya. Sementara Amir Syarifuddin dalam melihat
pembaharuan hukum Islam di Indonesia lebih suka menyebut sebagai
upaya reaktualisasi hukum Islam yang ditandai dengan diterapkannya
beberapa metode antara lain; kebijaksanaan administratif, aturan tambahan,
takhayyur, reinterpretasi dan reformulasi.24
Secara lebih elaboratif Ahmad Rofiq membongkar lebih jauh nuansanuansa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dalam bidang perkawinan,
kewarisan dan perwakafan.25 Dalam bidang perkawinan, misalnya, terdapat
beberapa bentuk pembaharuan seperti pencatatan perkawinan, batas usia
kawin, persetujuan calon mempelai, izin poligami, perceraian di depan
sidang pengadilan, dan semua tindakan hukum yang merupakan upayaupaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya.
Makinudin secara lebih spesifik dan komparatif mencoba menganalisis
ketentuan fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai rujuk. Dalam
225.
Syarifuddin, Ibid., 121-125.
25Ahmad Rofiq, Nuansa dan Tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Raja Grafindo Rosada, 1998), 111.
23Ibid.,

24Amir

209

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

penelitiannya, ia menemukan adanya bentuk ketentuan baru yang selama ini
belum diatur, bahkan di dalam fiqh empat mazhab sekalipun.26
KHI, misalnya, telah mengatur secara lengkap tentang rujuk, baik
yang bersifat normatif, teknis maupun administratif, yaitu diatur dalam Bab
XVIII Pasal 163, 164, 165 dan 166, sedang secara teknis diatur dalam Pasal 168
dan 169. Persoalan yang bukan bersifat normatif tidak disinggung dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Sedangkan yang bersifat teknis dan administratif, KHI hanya
memperkuat ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Permenag No. 3
Tahun 1975, bahkan hampir semua kata yang dipakai sama. Hal ini dapat
dimaklumi karena KHI dibuat untuk memperkokoh atau mencari rujukan
undang-undang atau peraturan-peraturan sebelumnya dan menambah yang
belum ada. Oleh karena itu, materi KHI tidak hanya terbatas pada satu
mazhab, tetapi beberapa mazhab.27 Pasal 163 (2) point b menegaskan bahwa
rujuk tidak dapat dilakukan jika perpisahan itu terjadi disebabkan zina yang
pelaksanaannya berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Pasal ini juga
menegaskan bahwa rujuk dapat terjadi dengan putusnya perkawinan
berdasarkan putusan Pengadilan Agama dengan satu atau beberapa alasan.
Dalam hal ini, KHI tidak menyebutkan secara rinci, selain zina dan khulu’.
Alasan-alasan ini bersifat umum, yakni dapat berwujud istri tidak diberi
nafkah, istri selalu disakiti, suami pergi tanpa ada berita dan suami
dipenjara. Tentang bunyi Pasal 163 (2) point b, kompilasi berbeda dengan
kebanyakan ulama. Menurut KHI, alasan yang dapat dimasukkan ke dalam
talak raj’i yang dapat dilakukan rujuk hanya talak yang diputuskan
pengadilan karena suami tidak memberi nafkah, sebagaimana pendapat
Hanafiyah.
Oleh karena itu, pasal ini merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia
yang concern terhadap persoalan yang muncul antara suami dan istri. Jika
dicermati lebih mendalam, maka pasal ini merupakan pengembangan atau
analog dari pendapat ulama Hanafiyah yang memasukkan thalaq raj’i
dengan alasan tidak memberi nafkah. Dalam hal ini ditemukan alasan
adanya bahaya kepada istri. Pasal 164 KHI menegaskan bahwa mantan istri
yang akan dirujuk memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas kehendak
26Makinudin, “Komparasi Studi Hukum Islam tentang Ruju’: Problematika
Hukum Ruju’ antara Fiqh dan KHI,” Jurnal Akademika, (Surabaya: Pascasarjana IAIN
Sunan Ampel, 1999), 68-84.
27Ibid., 79-80.

210

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

rujuk mantan suaminya, yang akan merujuk. Artinya, jika dia keberatan
dirujuk, maka suami tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk rujuk.
Pernyataan ini berbeda dengan pendapat mayoritas fuqaha. Demikian juga
Pasal 165 KHI menegaskan bahwa rujuk yang tidak mendapat persetujuan
mantan istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Unsur kerelaan menjadi faktor determinan. Pasal ini juga berbeda dengan
seluruh pendapat fuqaha. Kewajiban untuk mencatatkan rujuk yang
dimaksudkan sebagai bukti otentik dalam kepastian hukum, seperti yang
dinyatakan dalam Pasal 165, juga merupakan ketentuan baru dalam proses
rujuk28.
Dalam bidang kewarisan juga dapat ditemukan beberapa ketentuan
yang tidak terdapat dalam fiqh. Menurut bunyi Pasal 49 Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum waris yang
dipraktikkan di Pengadilan Agama adalah Hukum Waris Islam. Selama ini,
ketika disebut hukum waris Islam, maka asumsinya adalah hukum waris
menurut mazhab Syafi’i atau menurut pendapat Hazairin. Hukum Waris
Islam adalah hukum waris yang bercorak patrilineal. KHI ternyata
memperkenalkan beberapa cara yang tidak lazim menurut mazhab Syafi’i,
antara lain tentang pembagian warisan dengan cara damai (Pasal 183),
penggantian kedudukan, mawali atau Platsvervullings (Pasal 185),
pembagian warisan ketika pewaris masih hidup (Pasal 187), dan ketentuan
harta bersama atau gono-gini (Pasal 190).29
Demikian pula halnya dengan yang terjadi pada bidang pewakafan.
Pengertian pewakafan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
Pasal 1 dan KHI Pasal 215 adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian dari
harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam.30 Prinsip mu’abbad pada dasarnya dianut oleh semua mazhab fiqh.
Namun dalam perkembangan selanjutnya terdapat variasi lain. Contoh,
dalam PP No. 28 Tahun 1977, Bab IV Pasal 11 ayat 1 dinyatakan: “Pada
dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf”. Tampaknya pasal ini berangkat dari prinsip mu’abbad
81-82.
Rofiq, Ibid., 124-134.
30Ibid., 135-136.

28Ibid.,

29Ahmad

211

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

dalam wakaf, disamping untuk memelihara kelestarian benda wakaf. Tetapi
penyimpangan dimungkinkan dengan tercantumnya ayat 2 pada bab dan
pasal yang sama. Disebutkan bahwa “Penyimpangan dari ketentuan
tersebut ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari menteri agama, yakni (a)
karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh
wakif dan (b) karena kepentingan umum.31
Ketentuan lain yang perlu disebutkan adalah mengenai kewajiban
untuk mendaftarkan benda wakaf (Pasal 223 KHI). Sebenarnya masalah
pencatatan atau sertifikasi wakaf lebih dekat untuk diqiaskan kepada soal
utang-piutang (Q.S. Al-Baqarah : 282). Namun pencatatan ini belum
disinggung dalam kitab-kitab fiqh. Itu artinya sekarang ini, menurut Ahmad
Rofiq, rumusan yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh pengamalannya
perlu dilengkapi dengan penambahan-penambahan yang bersifat yuridis
adiministratif. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan jangkauan
kemaslahatan yang ingin dicapai oleh pelaksanaan wakaf itu sendiri,
misalnya, dengan disertai akta ikrar wakaf atau pengganti akta ikrar wakaf
atau sertifikat tanah wakaf.32
3. Penggagas dan Gagasannya. Dengan mendiskripsikan beberapa
contoh kecenderungan hukum Islam tersebut, kini menjadi terbukti
kebenaran pernyataan bahwa terdapat semacam kesamaan pola dasar
pembaharuan antara hukum Islam di Indonesia dengan hukum Islam di
beberapa negara. Prinsip siyasah, takhayyur, maupun tatbiq secara jelas
dapat dilihat dari contoh-contoh di atas. Kenyataan ini sekali lagi
memperkuat tesis bahwa model atau kecenderungan pembaharuan hukum
Islam di dunia sekarang ini, sebagaimana ditemukan beberapa pakar hukum
Islam sebelumnya, dalam beberapa hal cocok dengan apa yang terjadi di
Indonesia, khususnya jika diletakkan dalam konteks perundangundangannya. Meskipun pembaharuan hukum Islam di Indonesia relatif
agak terlambat, seperti komentar Daniel S. Lev,33 bila dibandingkan dengan
beberapa negara di Timur Tengah dan di Afrika Utara; di sana pembaharuan
31Cucu Cuanda dan Miftah Fauzi Rahmat (peny), Gerakan Kembali ke Islam,
Warisan Terakhir A. Lathief Muchtar (Bandung: Rosdakarya, 1998), 268-289.
32Ahmad Rofiq, Ibid., 137.
33Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh (Jakarta:
Intermasa, 1982), 282.

212

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

hukum Islam dengan cara positivisasi hukum Islam telah dimulai sejak era
1950-an, sedang di Indonesia baru mulai sekitar era 1970-an.
Munculnya gerakan pembaharuan yang dimotori A. Hasan (18871958) melalui organisasi Persatuan Islam (Persis) adalah dilatarbelakangi
oleh persepsi bahwa praktik Islam, termasuk hukumnya, di Indonesia
tidaklah pure, tetapi telah diwarnai oleh tradisi-tradisi lokal atau bid’ah.
Melalui karya utamanya, Soal Jawab Masalah Agama, A. Hasan menghadirkan
sejumlah kritik keras terhadap pemahaman dan praktik-praktik keagamaan
kaum tradisionalis yang dianggap telah “menyimpang” dari ajaran Islam.
Praktik-praktik itu seperti qunut, melafalkan niat shalat (ushalli) dan talqin
dipandang tidak berdasar pada Islam. Oleh karena itu, ia mengajak umat
Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah, dan menganjurkan
pentingnya ijtihad serta menjauhkan diri dari praktik-praktik taqlid.34 Seruan
Hassan ini kemudian menimbulkan reaksi kontra, terutama dari
kalangan tradisionalis.35
Perbedaan pada masalah furû’ ini ternyata berimbas pada perdebatan
yang lebih substansial yang menyangkut dasar perumusan ushûl. Memang
tidak terdapat perbedaan antara A. Hassan dengan kaum tradisionalis
tentang sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Menurut Hassan, seorang muslim harus kembali kepada al-Qur’an dan
sunnah, dan menjadikan keduanya sebagai sumber bagi sumber hukum lain
di bawahnya. Sementara Sirajuddin Abbas berpendapat sebaliknya. Dia
berpendapat al-Qur’an dan sunnah harus dipahami berdasarkan ijma’ dan
qiyas. Kritik serupa juga disampaikan oleh NU, hanya saja tidak seperti Perti
yang mengharuskan mazhab Syafi’i, NU mengakui tiga mazhab lainnya,
yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali.36
Tidak seperti A. Hasan yang ide pembaharuannya mendapat banyak
tantangan, Hasbi as-Siddiqi tidaklah demikian. Idenya tidak dirilis dengan
cara menyerang praktik-praktik hukum Islam yang telah established, tapi
34Akhmad Minhaji, “Islamic Reform in Contest: Ahmad Hasan and His
Trodisionalist Oppenents,” Studia Islamika, vol. 7 no. 2, 2000, 87-88, Ibid, Ahmad. Hasan
and Islamic Reform in Indonesia (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).
35Dalam artikel tersebut, Akhmad Minhaji menyebutkan beberapa pihak yang
secara keras mengkritik gerakan pemikiran Ahmad Hasan, antara lain adalah Sirajuddin
Abbas dan Persatuan Tarbiah Islamiyah (Perti), Husein al-Habsyi, seorang ulama
keturunan Arab yang mewakili kaum tradisionalis, serta beberapa ulama dari Nahdlatul
Ulama (NU). Lihat, ibid.
36Ibid.

213

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

disampaikan dalam frame yang lebih bersifat dialogis. Disamping itu,
menurut penulis, Hasbi termasuk salah seorang pembaharu yang
menawarkan ide-idenya secara komprehensif, mulai dari konsep “fiqh
Indonesia”-nya, sampai pembaharuan hukum yang meliputi prinsip dan
sekaligus metodenya.
Ide pembaharuan hukumnya sebagian mulai masuk dalam diskursus
hukum Islam di Indonesia pada tahun 1940 dan kemudian diulangi lagi
pada tahun 1961. Gagasan utamanya adalah pentingnya formulasi fiqh
Indonesia. Menurut Hasbi, fiqh Indonesia adalah fiqh yang sesuai dengan
budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Artinya fiqh yang
berkepribadian Indonesia.37 Menurut pengamatannya, jika fiqh diharapkan
bisa dipakai dan memasyarakat di Indonesia, maka ia bukan saja harus
mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat
dengan adil dan mashlahah, tapi fiqh juga harus mudah dipahami dan tidak
asing. Menurutnya fiqh yang berkepribadian Indonesia dapat diwujudkan.
Jika ‘urf di Arab bisa menjadi sumber fiqh yang berlaku di Arab, maka ‘urf
Indonesia tentunya juga bisa menjadi sumber hukum yang bisa ditetapkan
di Indonesia.38
Sistem hukum yang dianut Hasbi berpijak pada prinsip mashlahah
mursalahah yang berdasarkan keadilan dan kemanfaatan serta sad al-dzari’ah.
Hasbi berpendapat, prinsip yang merupakan gabungan dari prinsip-prinsip
yang dipegang para imam mazhab, khususnya aliran Madinah dan Kufah,
mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat serta
akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi dilakukannya ijtihadijtihad baru.39 Dalam penggalian hukum, ia menggunakan metode analogi
deduksi yang memberi kebebasan berijtihad seperti yang dipakai oleh Abu
Hanifah dalam membahas masalah-masalah yang tidak diperintah dan tidak
pula dilarang serta yang belum ada ketetapan hukumnya. Adapun terhadap
masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya, Hasbi memakai
metode komparasi, yakni membandingkan satu pendapat dengan pendapat
lain dari seluruh aliran hukum yang ada dan memilih yang lebih baik dan
lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat (tarjih).

37Nouruzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 1986), 218.
38Ibid., 230-231.
39Ibid., 228, lihat pula ibid., Fiqh …, 6.

214

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Dengan demikian, Hasbi menganut sistem berpikir eklektif.40 Inilah
kelebihan Hasbi dibanding dengan pembaharu yang lain. Jika ulama
tradisionalis dalam membahas hukum berpijak pada salah satu mazhab
secara utuh, karena menolak talfiq, Hasbi secara tegas menerima talfiq dan
secara eklektif memilih mana yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia.
Jika ulama pembaharu selain Hasbi, baik secara kolektif maupun
perorangan, membahas materi ketetapan hukum terhadap suatu masalah,
seperti transplantasi organ tubuh, atau seperti Hazairin yang hanya
membahas materi hukum waris, maka Hasbi selain membicarakan materi
hukum seperti tranfusi darah, pendayagunaan harta wakaf dan
sebagainya,41 juga memberikan alternatif metodologi hukumnya.
Pembaharuan hukum versi Hasbi ternyata bergema cukup banyak
dan telah membuka wacana baru fiqh di Indonesia. Perubahan sentral studi
dari orientasi pada satu mazhab telah melebar pada studi hukum dengan
pendekatan komparatif. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya kitab-kitab
ushûl yang dianjurkan sebagai bahan rujukan di lingkungan perguruan
tinggi Islam (IAIN), kitab-kitab itu antara lain :
- Irsyâd al-Fukhûl oleh al-Syaukanî;
- Jam al-Jawâmi’ oleh Taj al-Dîn as-Subhî;
- Al-Mustasyfa oleh al-Ghazâlî;
- Al-Muwâfaqat oleh al-Syathibî;
- Ushûl al-Fiqh oleh Muhammad Abû Zahrah;
- Ushûl al-Fiqh oleh Muhammad Khudhari Bek;
- ‘Ilm Ushûl al-Fiqh oleh Abd al-Wahaf Khallaf;
- Al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islamiyah oleh Yusûf Qardhawi;
- Al-Ijtihâd oleh Muhammad Yusûf Mûsâ;
- Ushûl al-Fiqh al-Islâmî oleh Wahbah al-Zuhailî;
- Al-‘Uddah oleh Abû Ya’la;
- Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm oleh Saif al-Dîn al-‘Amidî;
- Asbâb al-Ikhtilâf al-Fuqahâ fî Ahkâm as-Syarî’ah oleh Mushthafa Ibrâhîm;
- Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî oleh ‘Ali Hasballah;
- Mabâhits al-Hukûm ‘Ind al-Ushûliyyîn oleh Muhammad Salâm Madkûr;

40Ibid.,
41Ibid.,

69.
171.

215

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

- Tafsîr al-Nushûsh oleh Muhammad Adib Shalîh.42
Disamping itu, pembaharuan hukum Islam dalam bidang tertentu,
dalam hal ini waris, juga muncul dari beberapa tokoh. Misalnya apa yang
dikemukakan oleh Hazairin dengan konsep hukum “waris bilateral”.43
Hazairin memiliki pandangan lain tentang sistem keluarga menurut alQur’an. Menurut Anwar Harjono, ketika mengomentari pendapat Hazairin
ini, pandangan fiqh tersebut didasarkan atas susunan masyarakat Arab yang
menurut ilmu antropologi sosial disebut patrilineal, sedangkan pandangan
Hazairin didasarkan atas susunan masyarakat al-Qur’an, yang menurut
ijtihadnya, adalah masyarakat bilateral. Dalam masyarakat patrilineal, pihak
laki-laki senantiasa mendapat keistimewaan hampir dalam segala hal ihwal
kekeluargaan. Dalam hukum kewarisan model ini, hukum mewarisi bahkan
hanya ada pada pihak laki-laki saja, sedangkan pihak perempuan tidak
mempunyai hak mewarisi. Berbeda dari itu, dalam masyarakat bilateral baik
laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk sama-sama mewarisi.
Dalam masyarakat bilateral biasa, bagian dari laki-laki dan perempuan itu
tergantung pada kedudukan mereka dalam ahli waris dan peranan
perempuan dalam ekonomi rumah tangga mereka; oleh karena itu, keadaan
di suatu tempat mungkin sekali berbeda dengan keadaan di tempat lain.44
Ide pembaharuan dalam bidang waris juga datang dari mantan
Menteri Agama Munawir Sadzali. Idenya terkenal dengan istilah
“reaktulisasi ajaran Islam”.45 Ini berawal dari pernyataan dia bahwa umat
Islam di Indonesia memiliki sikap ambiguitas dalam beragama, terutama
berkaitan dengan hukum Islam.46 Dia mencontohkan umat Islam bersikap
42Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Topik Inti
Kurikulum Faulitas Syari’ah (Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama
Islam, 1995).
43Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
Tintamas, 1982).
44Anwar Harjono, “Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Komentar
Singkat atas Teori Prof. Hazairin,” dalam Sayuti Thalib (ed.), Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia, in Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: UI Press, 1976), 62-63.
45Lihat, Muhammad Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualitas Ajaran Islam, 70 tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995).
46Penilaian serupa secara implisit dikemukakan oleh David Bonderman dan
Anderson. Dalam konteks tertentu, umat Islam masih membiarkan ketentuan hukum
seperti yang tertuang dalam nash, meskipun dalam praktik tidak dijalankan. Kata
Anderson “bagi orang Islam lebih baik jauh dari dosa yang mengerikan akibat menolak
atau mempermasalahkan wahyu Ilahiyah dari pada gagal untuk mentaatinya. Maka

216

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

mendua dalam dua hal, yaitu dalam hal bunga bank dan pembagian
warisan. Kebanyakan umat Islam masih menganggap bunga bank itu riba,
tetapi mereka juga terlibat dalam transaksi-transaksi dengan perbankan yang
memakai sistem konvensional ini. Sedangkan dalam masalah warisan,
mereka masih memegang teguh pendirian bahwa perbandingan perolehan
harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 dibanding 1.
Akan tetapi, menurut laporan yang dia terima sebagai Menteri Agama saat
itu, dalam praktiknya ketentuan ini sering dilanggar, kasus ini terjadi di
daerah yang Islamnya terkenal cukup kental seperti di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Selatan. Di kedua daerah itu ketentuan faraid banyak yang tidak
berlaku, sebaliknya mereka membawa kasus harta warisan ke Pengadilan
Negeri. Ada juga pembagian waris dengan mengambil langkah preventif,
yaitu dibagikan sebelum pewaris meninggal dunia. Bahkan menurutnya,
dari hasil penelitian tokoh Muhammadiyah tentang pelaksanaann waris di
salah satu wilayah di Daerah Istimewa Aceh, ternyata 81% dari sejumlah
kasus yang ia teliti melepaskan ketentuan-ketentuan faraid dan mencari
penyelesaiannya di Pengadilan Negeri.47 Oleh karenanya, Munawir
menghimbau agar diadakan kajian ulang atau reaktualisasi atas beberapa
ketentuan hukum Islam yang dianggap tidak aktual lagi. Dengan
menyandarkan argumennya pada beberapa ulama, seperti Ibn al-Katsîr,
Mushthafa al-Maraghî, Muhammad Rasyid Ridha, Izz al-Din Ibn Abd asSalam, maka ia berkesimpulan bahwa hukum itu memang fleksibel dan
dengan demikian perlu adanya reaktualisasi, ketika dirasa hukum tersebut
sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat saat ini.48
4. Wacana Baru Fiqh di Indonesia. Bentuk pembaharuan hukum Islam
yang lainnya adalah berkaitan dengan aspek pemahaman terhadap fiqh.
Sebagaiman yang telah penulis jelaskan sebelumya, bahwa berdasarkan
penilaian dari beberapa ahli hukum Islam, salah satu masalah laten yang
berkaitan dengan hukum Islam adalah masalah pemahaman. Fiqh sebagai
tampaknya umat Islam lebih baik terus menerus berpura-pura tidak melanggar syari’ah,
sebagai satu-satunya hukum yang mempunyai otoritas fudamental, dan menghindar
untuk mengamalkannya dengan memakai doktrin darurat, daripada mencoba untuk
menyesuaikan hukum tersebut dengan kehidupan kontemporer”. Dikutip dari Ahmad
an-Na’im, Ibid., 43.
47Munawir Sadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Iqbal Abdur Rauf (ed.),
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 2-4.
48Ibid., 7-8.

217

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

sebuah produk pemikiran ulama telah salah dipersepsikan dengan
mendudukkanya sebagai hukum agama, atau hukum Tuhan itu sendiri,
yang dengan demikian ia bersifat absolut.
Dalam konteks ini ada fenomena yang cukup menarik yang terjadi di
tubuh Nahdhatul Ulama (NU). NU yang biasanya diasosiasikan sebagai
golongan tradisionalis, yang konotasinya cenderung ortodoks, telah
mengalami perubahan visi pemahaman fiqh-nya. Ini terlihat dari hasil
Munas Alim Ulama di Bandar Lampung Tahun 1992 dan Konferensi Besar
NU di Nusa Tenggara Barat Tahun 1997 yang memutuskan untuk
mengubah cara bermazhabnya, yaitu dari qaulî ke manhajî. Kyai Sahal secara
lebih elaboratif menjelaskan “gejolak ijtihad santri” ini dalam memandang
produk pemikiran ulama fiqh yang umumnya tertuang dalam kitab kuning.
Akibatnya adalah adanya pergeseran pemahaman dari fiqh sebagai
kebenaran ortodoksi menjadi paradigma “pemaknaan sosial”. Jika yang
pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqh, maka yang kedua
menggunakan fiqh sebagai counter discourse dalam belantara politik
pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan
watak “hitam putih” dalam memandang realitas, maka yang kedua
memperlihatkan wataknya yang bernuansa dan kadang-kadang rumit
dalam menyikapi realitas.49
Ada lima ciri menonjol dari paradigma baru itu. Pertama, selalu
diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari
konteksnya yang baru. Kedua, bermazhab secara metodologis. Ketiga,
verifikasi mendasar atas ajaran yang pokok dengan cabang. Keempat, fiqh
dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima,
pengenalan metodologi pemikiran fisolofis, terutama dalam masalah budaya
dan sosial. Fiqh dengan demikian telah mengemban tugas baru sebagai
perangkat hermeunetika, yang implikasinya sangat besar dalam kehidupan.
Sifat fiqh sebagai perangkat hermeunetika ini di satu sisi mempunyai watak
relatif yang sangat tinggi karena itu harus mengakomodasi pluralitas realitas
(dengan demikian pluraritas kebenaran), dan karena itu ia harus
melunakkan kepastian normatifnya.50
Gagasan untuk terus mengaktualkan hukum Islam dalam rangka
menjawab tantangan modernitas adalah munculnya istilah “Fiqh Lintas
49KH.

M.A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994), vii.
viii.

50Ibid.,

218

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Agama”. Ide ini dilalarbelakangi oleh paradigma fiqh klasik yang dianggap
kurang bersahabat terhadap orang-orang non-Muslim. Istilah “kafir”,
“murtad” maupun “musyrik” yang ditujukan pada kelompok non-Muslim
oleh para penggagas fiqh ini dipandang sebagai sebuah stigma yang
menghalangi terajutnya kerjasama antarumat beragama.51 Untuk itu perlu
dipikirkan ulang konsep fiqh guna menopang terciptanya masyarakat yang
multi kultural dan multi relijius. Untuk memuluskan proyek ini, maka
landasan utama yang hendak dibangun oleh para penggagasnya adalah
dengan meletakkan dasar yang kokoh bagi fiqh lintas agama ini.
Diantaranya dengan cara menemukan kalimatun sawa (titik temu)
antaragama, pengakuan terhadap ahl kitab serta menegaskan kesinambungan
dan kesamaan agama-agama.52 Gagasan ini diakhiri dengan appeal untuk
berdialog serta membangun kerja sama antar umat beragama.53
Meskipun dalam mukaddimahnya tidak disebut background empiris
yang melatarbelakanginya, penulis berasumsi bahwa ide “fiqih lintas
agama” ini banyak didorong oleh sebuah fakta di lapangan berkaitan
dengan konflik antarumat beragama yang akhir-akhir ini sering terjadi dan
bahkan konflik ini telah menjadi salah satu bentuk kerusuhan yang paling
mencolok secara nasional di Indonesia dewasa ini. Sisa-sisanya pun masih
terasa, sebagaimana yang baru saja terjadi di Ambon dan yang secara
sporadis terjadi di Poso. Sejauh ini memang belum tampak ada respon dari
masyarakat atas gagasan ini. Perlu dilakukan studi lebih mendalam untuk
mengevaluasi sejauh mana ide ini diterima (maupun ditolak) serta
pengaruhnya di kalangan umat Islam secara spesifik dan dalam skala
nasional secara lebih luas.
Penutup
Itulah beberapa bentuk, metode, langkah dan gagasan pembaharuan
hukum Islam di Indonesia. Reformasi hukum Islam merupakan bagian tak
terpisahkan dari ide pembaharuan Islam secara umum. Tidak bisa
dipungkiri pula bahwa secara metodologis-tematis ada kesamaan pola yang
terjadi antara pembaharuan hukum Islam di beberapa negara dengan apa
51Mun’in A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis
(Jakarta: Paramadina, 2004), 2.
52Ibid., khususnya bab I, 17-54.
53Ibid., bab IV, 195-240.

219

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

yang terjadi di Indonesia. Selain itu, reformasi hukum Islam di Indonesia
juga diproyeksikan untuk lebih mengakrabkan fiqh dengan realitas
keindonesiaan. Melangkah sedikit ke depan, fiqh juga diproyeksikan sebagai
sebuah sarana untuk menjembatani terciptanya dialog dan kerjasama yang
baik antarumat beragama di Indonesia. Dengan demikian, reformasi hukum
Islam tidak saja berorientasi ke dalam (umat Islam saja), tapi juga ke luar,
yakni demi tercapainya masyarakat yang plural dan toleran.■
Daftar Pustaka
Anderson, J.N.D., Islamic Law in the Modern World (Connecticut: Greenwood
Press, 1975).
Arkoum, Mohammed, Rethingking Islam: Common Questions Uncommon
Answers, Translated and Edited by Robert D. Lee (Colorado and
Oxford: Westview Press, 1994).
Aziz, Abdul (ed.), Gerakan Kontemporer Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989).
Boender, Welmoet, “Islamic Law and Muslim Minorities,” ISIM Newsletter,
No. 12, June 2003.
Coulson, N.J., A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1971).
Cuanda, Cucu dan Miftah Fauzi Rahmat (peny), Gerakan Kembali ke Islam,
Warisan Terakhir A. Lathief Muchtar (Bandung: Rosdakarya, 1998).
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Topik
Inti Kurikulum Faulitas Syari’ah (Jakarta: Proyek Pengembangan
Pendidikan Tinggi Agama Islam, 1995).
Doi, Abdurrahman I., Muamalah: Syari’ah III, terj. Nurhadi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1985).
Esposito, John L. (ed.), Voices of Resurgence Islam (Oxford: Oxford University
press, 1983).
Fayzee, A. A., Outlines of Muhammadan Law (Oxford: Oxford University
Press, 1964).
Federspiel, Howard M., Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad
XX, terj. Yudian W. Asmin dan Affandi Mukhtar (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996).

220

Istinbâth, No. 2 Vol. 1 Juni 2004: 201-222

Gibb, H.A.R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnum Husein
(Jakarta: Rajawali Press, 1993).
Hakim, Sudarnoto Abdul (ed.), Islam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 1995).
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
Tintamas, 1982).
Lev, Daniel S., Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh (Jakarta:
Intermasa, 1982).
Lubis, Ridwan dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam
(Medan: Pustaka Widyasarana, 1994).
Mahfudz, M.A. Sahal, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994).
Makinudin, “Komparasi Studi Hukum Islam tentang Ruju’: Problematika
Hukum Ruju’ antara Fiqh dan KHI,” Jurnal Akademika, (Surabaya:
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 1999).
Minhaji, Akhmad, “Islamic Reform in Contest: Ahmad Hasan and His
Trodisionalist Oppenents,” Studia Islamika, vol. 7 no. 2, 2000.
an-Na’im (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Books, 2002).
_______, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syari’ah, terj. A. Suaedi dan
Amiruddin (Yogyakarta: LkiS, 1997).
Nafis, Muhammad Wahyu dkk. (ed.), Kontekstualitas Ajaran Islam, 70 tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995).
Nasir, Mohamad Abdun, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 1970-2000,
Tesis, (Semarang: IAIN Walisongo, 2002).
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam
(Jakarta: Obor, 1985).
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1983).
Rofiq, Ahmad, Ahmad. Hasan and Islamic Reform in Indonesia (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1999).
______, Nuansa dan Tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Raja Grafindo Rosada, 1998).
Sadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” Iqbal Abdur Rauf (ed.),
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
Shiddiqi, Nouruzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 1986).

221

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Mohamad Abdun Nasir)

Sirry, Mun’in A. (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat InklusifPluralis (Jakarta: Paramadina, 2004).
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam (Medan:
Angkasa Raya, 1993).
Thalib, Sayuti (ed.), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, in Memoriam Prof.
Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: UI Press, 1976).
Tibbi, Bassam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Ahsin Muhamad
dan Zainul Abbas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
Usman, Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali
dan LSIK