Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal
dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. Secara kosmologis,
tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat dari mana mereka berasal, dan akan
ke mana mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,
kultural, dan politik.
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia (mewujudkan
kesejahteraan rakyat), maka pembangunan merupakan sebuah keniscayaan. Untuk
melaksanakan pembangunan, pemerintah memerlukan tanah sebagai tempat
kegiatan proyek yang akan dibangun. Pemerintah mempunyai kewajiban
menyediakan tanah yang diperlukan untuk pembangunan, antara lain dari tanah
negara yang tidak dikuasai oleh rakyat atauoun dengan menyediakan bank tanah
bagi kepentingan pembangunan. Namun fakta menunjukkan, pemerintah tidak
mampu memenuhi penyediaan tanah untuk memenuhi semua kebutuhan
pembangunan sehingga banyak proyek pembangunan yang dilakukan harus
mengambil tanah rakyat.
Seiring

dengan


tuntutan

perkembangan,

keperluan

tanah

untuk

pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh swasta, semakin
meningkat pesat. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia yang cepat dan juga meningkatnya kebutuhan penduduk, yang tidak
mampu diimbangi dengan suplai tanah karena tanah yang tersedia tidak berubah.
Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang sangat serius terhadap pola hubungan

antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang
berobjek tanah. Dan dalam pelaksanaannya dewasa ini, disamping meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ternyata menimbulkan permasalahan. Permasalahan

yang dihadapi oleh pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan diantaranya
adalah penyediaan tanah untuk pembangunan itu sendiri, karena tanah negara
yang dikuasai langsung oleh negara terbatas atau dapat dikatakan hampir tidak ada
lagi. Menurut Soedharyo Soimin, “satu – satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu
dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai oleh hukum adat,
maupun hak-hak lainnya yang melekat diatasnya”.1
Dalam rangka melaksanakan pembangunan adalah suatu keniscayaan
diperlukan tanah sebagai wadahnya. Tanpa tanah, pembangunan hanya akan
menjadi rencana. Tanpa pembangunan, nilai pembangunan tersebut tidak akan
maksimal. Namun, yang terjadi dan menjadi masalah saat ini adalah luas tanah
yang belum dihaki semakin sedikit. Oleh karenanya khusus untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara No.
104 Tahun 1960, Pasal 18 menyebutkan untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota disebutkan urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi dan

1 Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 75.

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota salah satunya adalah pertanahan. Sedangkan
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah tidak ada kejelasan mengenai kewenangan dari Pemerintah
Daerah dalam hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum. Meskipun dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 hanya menyebutkan salah satu urusan wajib Pemerintah
Daerah adalah urusan pertanahan namun tidak secara jelas mengenai pengadaan
tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah.
Sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), suatu daerah di samping
daerah pertanian dan perkebunan juga diperuntukkan bagi kawasan industry.
Dalam kaitan itu, untuk mengantisipasi percepatan pembangunan diberbagai
sector, pemerintah harus melakukan reformasi regulasi terkait penggunaan tanah
untuk kepentingan umum dan kepentingan industry estate yang berkembang
sangat pesat dan diikuti permasalahan – permasalahan sosial di bidang pertanahan.
Negara berkewajiban untuk terus memperbaiki peraturan perundang –
undangan pengadaan tanah terkait tuntutan kebutuhan tanah untuk pembangunan
bagi kepentingan umum, dan pada saat yang sama menghormati hak – hak asasi

pemilik tanah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau yang
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan
dengan pencabutan hak atas bangunan. Asumsi dari konsep dasar yang melandasi
Hukum Tanah Nasional tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kedudukan Pasal 33
Ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945. Ketentuan ini secara terang mengatakan,
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar – besarnya.
Dengan demikian, kewenangan negara ini semata – mata bersifat public. Oleh
karena itu, kepemilikan oleh negara berbeda dengan hubungan hukum yang
bersifat pemilikan antara negara dan tanah berdasarkan konsep domein-verklaring
dalam Hukum Administratif yang pernah berlaku sebelum Undang – Undang
Pokok Agraria (UUPA) berlaku.
Konflik pertanahan menjadi isu nasional karena jumlahnya yang tinggi dan
banyaknya kendala dalam penyelesaiannya. Konflik pertanahan yang rumit dan
tak kunjung mereda dewasa ini disebabkan oleh kelemahan regulasi dan adanya
kesalahan penerapan hukum pertanahan regulasi dan adanya kesalahn penerapan
hukum pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya kepentingan pemegang hak
atas tanah tidak terlindungi dengan pasti. Tidak adanya stabilitas potilik dan

otoritas pemerintah yang sangat tinggi juga menyebabkan masalah agrarian
terabaikan.2 Tak mengherankan jika gagasan reformasi hukum agraria semakin
gencar dibicarakan oleh banyak pihak sebagai jalan penyaluran dari konflik
agrarian yang mencuat ke permukaan dalam kurun waktu tiga dekade terakhir.
Persoalan pembebasan tanah, pencabutan hak atau pengadaan tanah selalu
menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu
“kepentingan pemerintah” dan “kepentingan masyarakat”. Dua pihak yang terlibat
yaitu “Penguasa” dan “Rakyat” harus sama – sama saling memperhatikan dan
menaati ketentuan yang berlaku. Bilamana hal tersebut tidak diindahkan akan
timbul persoalan-persoalan seperti yang sering kita baca dalam publikasi berbagai
media masa, dimana pihak penguasa dengan “keterpaksaannya” melakukan
2 Suryanto, dkk., Studi Identifikasi dan Inventarisasi Masalah Pertanahan, BPN Bekerja Sama
dengan Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 2001, hal. 2.

tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak asasi dan sebagainya, sedangkan
rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk menempatkan apa yang
diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya.
Bagi pihak pemerintah/penguasa penilaiannya dilakukan secara berbeda.
Segala peraturan yang berkenaan dengan masalah tersebut sudah dianggap
diketahui, walaupun mungkin masih banyak aparat pelaksanannya kurang

memahami secara tepat atau mempunyai interprestasi yang berbeda terhadap suatu
ketentuan yang mengatur masalah tersebut. Namun bukan mustahil pula ketentuan
tersebut dirasakan cukup mengekang mereka sehingga sulit mengambil
“kebijaksanaan” yang sebaik – baiknya dalam masalah tersebut. Akan tetapi bagi
rakyat, perlakuan yang dikenakan pada tanahnya hanya akan dinilai merugikan
atau tidak. Yang jelas mereka punya ukuran didalamnua terkait berbagai
kepentingan dan mengenai “nilai” tanah tersebut, sehingga padanya ada nilai yang
bersifat fakta dan ada pula yang bersifat ideal. Apa yang dipersoalkan dalam
pembebasan tanah tidak mungkin berkisar lebih dari nilai fakta, dan makah dalam
mereka masih dituntut untuk “berkorban” atau memberikan pengorbanan berupa
kerelaan menurunkan permintaannya dari nilai fakta yang ada.
Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama
pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan
tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial
dan bukan komersial atau bukan sosial.3 Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah.

3 Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi
Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I), hal.
129.


Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan
yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri,
baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan
bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.4
Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut
dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan
masyarakat dan kepentingan pemerintah. 5 Tanah merupakan hal penting dalam
kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah.
Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu
adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan
kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya
pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.6
Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks,
karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan
untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan

penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari
persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang
efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan

4 Ibid, hal. 131.
5 Ibid.
6 Fauzi Noer, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Fauzi Noer I), hal. 7.

mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah
merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap
negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil
dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah.
Negara – negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang
mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara
berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan
komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah.
Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi
manusia untuk pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang
mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.7

Pembebasan tanah tidak hanya dilakukan untuk sektor publik tetapi juga
sektor swasta. Asal manajemen perubahan spasial dan pelaksanaan struktur fisik
memastikan penggunaan tanah tersebut untuk tujuan yang tepat. Sektor publik
biasanya hanya memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan seluruh
kegiatan yang diperlukan sedangkan sektor swasta mungkin perlu inisiatif
tambahan dan daya dukung resiko. Investasi sektor swasta membutuhkan
kapasitas dan prosedur untuk mencapai hasil yang diinginkan, termasuk margin
keuntungan yang harus ditetapkan melalui Undang – Undang. Sebuah strategi
kunci bagi sektor publik adalah menyediakan infrastruktur lokal dan pelayanan
publik yang relevan, khususnya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu,
mendorong individu dan perusahaan swasta untuk menempatkan dirinya di daerah

7 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 249.

yang sesuai dengan rencana penggunaan lahan yang mencerminkan kebutuhan
dari masyarakat yang lebih luas dan berkembang.8
Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak
atas tanah untuk kepentingan Negara maupun swasta dalam praktik, pelaksanaan
peraturan tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dari ketentuan tersebut.
Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan – akan hak dan kepentingan rakyat

pemilik tanah, tidak mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah
atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan dalam memperoleh
tanah untuk membangun proyeknya, secara fakta pelaksanaan pencabutan,
pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa
konflik, baik dari peraturan dan paradigma hukum,dan pelaksanaaan praktik
peraturan tersebut di lapangan oleh para penegak hukum, pemerintah, dan
masyarakat. 9 Dengan latar belakang demikian, sehingga penulis mengangkat
beberapa permasalahan dalam karya ilmiah ini. Antara lain akan dijelaskan pada
sub bab berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum?
2. Bagaimana kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah
yang dilakukan di jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi?
3. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah jalan Tol Kota Medan –
Tebing Tinggi?

8 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 250.
9 Kalo, Syaffruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta,
2004, hal. 5.


C. Tujuan Penulisan
a. Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum tertentu.
b. Memperdalam pengetahuan tentang suatu gejala hukum, terutama
tentang pengadaan tanah.
c. Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum tertentu.
d. Memperoleh dan menganalisis data tentang hubungan gejala hukum
dalam penelitian dengan gejala lainnya.10
e. Menggunakan

teori

yang

relevan

dengan

permasalahan

dan mengoperasionalisasikan konsep.
f. Menganalisis kesesuaian peraturan dalam pengadaan tanah Jalan Tol
Kota Medan-Tebing Tinggi.
g. Menganalisis perlinduangan hukum terhadap masyarakat yang terkena
pengadaan tanah.
h. Menuliskan hasil penelitian secara sistematis dan logis, sesuai
dengan format dan etika ilmu pengetahuan.Mendapatkan pengetahuan
tentang gejala hukum tertentu.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Secara Teoritis
a. Bagi Penulis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat
mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh
selama perkuliahan. Memberikan pengalaman kepada penulis untuk

10 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 1981, hal 54.

menerapkan dan memperluas wawasan teori hukum dan penerapannya
di masyarakat.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana pengetahuan
mengenai pengadaan tanah bagi peneliti selanjutnya yang tertarik
untuk meneliti tentang Proses Pengadaan tanah dan analisa kasus
pengadaan tanah yang ada di Indonesia.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan mahasiswa dalam Hukum Pengadaan Tanah dan
menambah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan. Skripsi ini juga
diharapkan dapat memudahkan mahasiswa untuk belajar menulis karya
tulis ilmiah sebagai landasan untuk lebih mahir dalam menulis skripsi
secara sistematis dan dikaitkan dengan teori-teori hukum yang ada.
b. Bagi Praktisi
Dengan adanya skripsi ini, diharapkan dapat membantu memudahkan
para praktisi hukum dalam menganalisis dan menyelesaikan masalah
pengadaan tanah di Indonesia yang berkaitan dengan skripsi ini.
c. Bagi Masyarakat
Memudahkan masyarakat dalam memahami bagaimana perlindungan
hukum yang diberikan Undang-Undang terhadap masyarakat yang
terkena proses pengadaan tanah, khususnya masyarakat yang terkena
pengadaan tanah di jalan tol Kota Medan-Tebing Tinggi untuk lebih

mudah memahami kronologi kasus dan penyelesaian atas sengketa
tanah mereka secara hukum.

E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara untuk mengungkapkan kebenaran yang objektif.
Kebenaran tersebut merupakan tujuan, sementara metode itu adalah cara.
Penggunaan metode dimaksudkan agar kebenaran yang diungkapkan benar –
benar berdasarkan bukti ilmiah yang kuat. Oleh karena itu, metode dapat diartikan
pula sebagai prosedur atau rangkaian cara yang secara sistematis dalam menggali
kebenaran ilmiah.11 Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai pekerjaan
ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib, baik mengenai
prosedurnya maupun dalam proses berfikir tentang materinya.
1. Jenis Metode Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan Metode Penelitian
Hukum Empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian
hukum yang berfungsi untuk melihat penerapan hukum di lapangan dan meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Di karenakan dalam
penelitian ini meneliti penerapan hukum dalam pengadaan tanah di lapangan,
khususnya pengadaan tanah jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi, maka metode
penelitian skripsi ini adalah metode penelitian hukum empiris atau dapat
dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Penelitian ini diambil dari fakta –
fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
Dalam hal ini, penulis mengadakan penelitian dan menguji data empiris di

11 Ibid., hlm. 46

lapangan (Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi) dan Badan Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Library Research (Studi Kepustakaan) yaitu mempelajari dan
menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundangundangan dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi yang
dibahas dalam skripsi ini.
b. Field Research (Studi Lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan
secara langsung ke lapangan. Perolehan data ini dilakukan melalui
wawancara langsung dengan pihak masyarakat

yang terkena

pengadaan tanah jalan tol Kota Medan-Tebing Tinggi dan pihak Badan
Pertanahan Nasional Deli Serdang selaku instansi pemerintah terkait.
3. Sumber Data
1. Data Primer 12
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
informan dengan cara melalui wawancara langsung dengan pegawai
bidang pengadaan tanah Badan Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
dan wawancara dengan masyarakat jalan Tol Kota Medan-Tebing
Tinggi yang terkena pengadaan tanah.
2. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
guna mendapatkan landasan teoritis terhadap segi-segi hukum
pengadaan tanah. Selain itu tidak menutup kemungkinan diperoleh

12 Ibid., hlm.52

melalui bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya
dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data
yang terdapat dalam buku, literature, tulisan-tulisan ilmiah, dokumendokumen

hukum

dan

peraturan

perundang-undangan

yang

berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut
berupa:
a.

Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti:

i. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
ii. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
iii. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas tanah dan
benda yang ada diatasnya.
iv. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
v. Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan.
vi. Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
vii. Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
viii. Peraturan

Presiden

Penyelenggaraan

RI

Nomor

Pengadaan

Kepentingan Umum.

Tanah

71

Tahun

Bagi

2012

Pembangunan

Tentang
untuk

ix. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat
dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti :
hasil-hasil Penelitian, karya dari kalangan hukum, pendapat-pendapat
ahli yang ada di dalam buku, jurnal, dan internet.
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
i.

Bahan – bahan yang member petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.

ii.

Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier diluar bidang hukum
seperti kamus, ensiklopedia, majalah, Koran, makalah, dan sebagainya
yang berkaitan dengan permasalahan.

4. Analisis Data
Analisis data dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan data kualitatif,
yaitu suatu analisis data yang secara jelas serta diuraikan ke dalam bentuk kalimat
sehingga dapat diperoleh gambaran jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.
Data dalam skripsi ini merupakan hasil wawancara kepada pihak pegawai bagian
pengadaan tanah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dan
masyarakat jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi.

F. Tinjauan Kepustakaan
1. Konsepsi Mengenai Tanah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian
tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:
“Atas dasar hak menguasai adanya dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang – orang, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain
serta badan – badan hukum”

Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah tanah dalam Pasal diatas
ialah permukaan bumi. 13 Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang
dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak – hak yang
timbul diatas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk didalamnya
bangunan atau benda – benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan
hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan
dianutnya asas – asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan
tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.
Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara – negara
dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas “perlekatan”. Makna asas
perlekatan, yakni bahwa bangunan – bangunan dan benda – benda/ tanaman yang
terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan
bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian
hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas
13 Permukaan bumi memberikan suatu interpretasi autentik tentang apa yang diartikan oleh
pembuat UUPA dengan istilah “tanah”, lihat Sudargo Gautama, Tafsiran Undang – Undang Pokok
– Pokok Agraria (1960) dan Peraturan – Peraturan Pelaksanaannya (1996), Cetekan Kesepuluh,
Citra Aditya Bakti, 1997, Bandung, hal. 94.

tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak lain (Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata Pasal 500 dan 571).14
Dalam prakteknya, tanah merupakan salah satu komponen hak asasi
manusia, maka setiap orang harus diberi hak dan akses untuk memperoleh,
memanfaatkan, dan mempertahankan bidang tanah yang sudah atau yang akan
dipunyainya. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti bagi eksistensi
seseorang,

kebebasan

dan

harkat

dirinya

sebagai

manusia,

sehingga

pemenuhannya harus selalu diupayakan, setiap kebijakan dan tindakan pemerintah
yang bermaksud untuk mengurangi dan meniadakan hak atas tanah dan hak – hak
lain yang ada di atasnya milik warga masyarakat, akan mempengaruhi terhadap
keberadaan dan keutuhan HAM. 15
Diatas sebidang tanah, manusia juga dapat membangun jalan, jembatan,
dan kepentingan umum lainnya. Mengingat sangat terbatasnya kemampuan lahan
menyediakan tata ruang, kebutuhan akan lahan ini dapat menimbulkan
pembenturan kepentingan berbagai pihak, baik dalam hal kepemilikan maupun
peruntukkannya. Masalah pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah
sering menimbulkan persoalan yang kontroversial, dimana kebutuhan tanah, baik
untuk pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta terus meningkat,
sedangkan persediaan tanah menjadi komoditas ekonomi yang tinggi sehingga
nilai tukar tanah cenderung naik sesuai dengan permintaan pasar.
Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu
pengerti yang telah dibatasi dalam UUPA, yakni tanah hanya merupakan
permukaan bumi saja. Dengan demikian, jelas tanah dalam pengertian yuridis
14 Boedi Harsono, 1996., hal. 17.
15 Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta,
2004, hal. 9.

adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1)). Sedangkan hak atas tanah adalah hak
atas sebagian tertentu dari permukaan bumi yang memiliki batas dan dimensi.
Dengan kata lain, tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang – orang dengan
hak – hak yang diberikan oleh UUPA digunakan dan dimanfaatkan. Jadi, tanah
yang diberikan dengan hak – haknya tersebut penggunaannya hanya terbatas pada
permukaan bumi saja.
Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak –
hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian
tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh
bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa.16 Maka yang
mempunyai hak – hak atas tanah tersebut adalah tanahnya sendiri.
Dalam hal penyediaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan,
akan dialami kesulitan dalam mengejar lajunya pertumbuhan harga tanah tersebut.
Disamping itu, pada umumnya diperlukan proyek untuk pembangunan yang sudah
dimilik hanya masing – masing oleh masyarakat yang melakukan penguasan tanah
tanpa hak, dengan berbagai macam alas hak secara yuridis. Namun demikian,
banyak pula warga masyarakat yang melakukan penguasaan tanah secara tanpa
hak, baik untuk mendirikan pemukiman maupun untuk menggarap tanah tersebut
sebagai tanah pertanian. Mereka ini melakukan tindakan melawan hukum, akan
tetapi dalam kenyataannya masih banyak yang dibiarkan melakukannya secara
bebas. Misalnya, di Sumatera Utara adalah penggarap – penggarap diatas tanah
perkebunan. Persoalannya baru timbul bilamana pihak penguasa ingin
memerlukan tanah untuk suatu keperluan pembangunan ekonomi, di areal yang
16 Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tentang Pokok – Pokok Agraria (C.1)
Jakarta, Sekretariat Negara

ditempati secara liar oleh masyarakat. Maka para penghuni liar tersebut bisa juga
menuntut hak sebagaimana selayaknya seorang pemegang hak atas tanah,
walaupun sebenarnya ia tidak berhak karena persoalan tanah bukan hanya sekedar
persoalan hukum, akan tetapi merupakan suatu persoalan multidimensi, dan satu
diantaranya “dimensi kemanusiaan” maka untuk menyelesaikan persoalan ini,
aspek manusia perlu untuk diperhatikan dan diperhitungkan.
2. Pengertian Pengadaan Hak Atas Tanah
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006,
pengadaan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hak

atas

tanah dengan tanah yang

dikuasainya

dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Pengadaan
tanah adalah

setiap

kegiatan

untuk

mendapatkan tanah dengan

cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak

atas

tanah

tersebut.17
Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang,
penggunaannya tidak semata – mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi
apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat,
baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
negara.

17 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan, Bab 1, Pasal 1 angka 3.

Hal tersebut berarti pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan
salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah
dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang
akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar
persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi
yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.
Pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan
dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua
sisi dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan
masyarakat dan kepentingan pemerintah”.
Disatu sisi, pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa, harus
melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau
demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan
pembangunan. Pohak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk
melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki
lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat
dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber penghidupan.18
Apabila kedua pihak ini tidak memerhatikan dan menaati ketentuan yang
berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya
18 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan I,
Kompas, Jakarta, 2001, hal. 32.

sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun
menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat
dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun
juga tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan secara
sukarela.
Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – hak
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak. Selain itu,
ditegaskan juga bahwa suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk
kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.
Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan
tanah membutuhkan pertan serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan
tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Namun, masyarakat sebagai
pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak
penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksan dari siapa
pun.
Tidak dapat dipungkiri memang bahwa pengadaan tanah sangat rentan
terhadap munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah
pengadaan tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari
sisi kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu –
satunya jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah
dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat
mamupun hak – hak yang melekat di atasnya.19

19 Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 75.

Namun demikiaan, tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah.
Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu
adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan
kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanaham khususnya pada
persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.20
Maria Sumardjono pun menganjurkan perlu adanya peraturan perundang –
undangan tentang pengambil alihan tanah dan pemukiman kembali yang didasari
pada pokok – pokok pikiran demokrasi, HAM, pemberian ganti rugi yang layak
dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, sarana untuk menampung keluhan
dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari proses pengadaan tanah, dan
tidak sekadar mengganti Keppres. Pelaksanaan di lapangan perlu dibuat pedoman
oleh provinsi, kabupaten/kota. Pihak swasta dapat menggunakan peraturan yang
lebih memberikan keadilan bagi mereka yang tergusur. 21
Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian
dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah “menyangkut hak – hak atas
tanah yang status dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan. Sehingga,
dapat dikatakan bahwa unsur yang paling pokok dalam pengadaan hak atas tanah
adalah ganti rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut
atau dibebaskan”. 22 Eks pemegang hak atas tanah boleh jadi di telantarkan demi
pembangunan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, hak – hak mereka harus
dipenuhi serta memberikan perlindungan hukum secara proporsional kepada

20 Fauzi Noer, Tanah dan Pembangunan, Cetakan II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal 7.
21 Maria S.W. Sumardjono, 2001, op.cit., , hal. 92.
22 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia,
Alumni, Bandung, hal. 23.

mereka. Sehingga, pada prinsipnya, acuan dalam pengadaan tanah sebagaimana
tersirat dalam Pasal 18 UUPA adalah sebagai berikut: 23 a) Kepentingan Umum; b)
Hak atas tanah dapat dicabut; c) Dengan memberikan ganti kerugian yang layak;
serta d) Diatur dengan suatu undang – undang.
Di dalam mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus
mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau
benda/ tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum. Panitia Pembebasan
Tanah berusaha agar dalam menentukan besamya ganti rugi terdapat kata sepakat
di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para
pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara para
anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran
masing- masing anggota.
3. Konsepsi Kepentingan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini diatur bahwa kepentingan
umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Lebih lanjut, dalam Pasal 10 diatur mengenai jenis pembangunan yang
dapat dikategorikan sebagai Kepentingan Umum, yaitu: 24
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
23

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, Cetakan II, CV Mandar Maju, Bandung,
1994, hal. 80.
24
Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum (C.1) Jakarta, Sekretariat Negara, Bab 4, Pasal 10.

c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah
dengan status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 menjelaskan Kepentingan
adalah

kepentingan

Umum

bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan

oleh pemerintah dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.25
Karena kegiatan tersebut mempunyai sifat kepentingan umum, maka juga
menyangkut kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara untuk pembangunan. 26
Kepentingan bangsa dan negara, setidaknya memberikan penjelasan dari
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria,
tercantum

dalam

Penjelasan

Umum

butir

2

menyebutkan

bahwa

Negara/pemerintah bukanlah subjek yang dapat mempunyai hak milik, demikian
pula tidak dapat sebagai subjek jual – beli dengan pihak lain untuk
kepentingannya sendiri. Dalam arti bahwa Negara tidak dapat berkedudukan
sebagaimana individu. Menurut Prof. Dr. M. Yamin, bahwa Negara sebagai
organisasi kekuasaan dalam tingkatan – tingkatan tertinggi diberi kekuasaan
sebagai badan penguasa untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa dalam arti
bukan memiliki. Dengan demikian, Negara hanya diberi hak untuk mengiasai dan
mengatur dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 27
G. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPASTIAN
HUKUM

PELAKSANAAN

PENGADAAN

TANAH

:

STUDI

KASUS

PELAKSANAAN PEMBEBASAN TANAH JALAN TOL KOTA MEDAN – TEBING
TINGGI”, judul skripsi ini telah melalui tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum USU/Pusat
Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum USU pada tanggal 09 Oktober 2015.
26

Ibid, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
27
Abdurrahman, Opcit, hlm. 12
27

Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar Atas UndangUndang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 5.

Kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini, akan tetapi substansi
pembahasannya berbeda. Dan skripsi ini juga merupakan hasil karya penelitian
sendiri sehingga secara substansi dapat dipertanggung jawabkan.
Pengambilan/pengutipan karya orang lain dilakukan dengan menyebutkan
sumbernya seperti yang tercantum dalam Daftar Kepustakaan.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam skripsi ini merupakan suatu rangkaian yang saling
berkaitan satu sama lainnya untuk dapat memudahkan dalam penyelesaian
sehingga merupakan satu kesatuan yang sistematis. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I

: PENDAHULUAN
Dalam bab ini memuat latar belakang penelitian, perumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, dan
sistematika penulisan.

BAB II

: PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN
PENGADAAN TANAH
Dalam Bab ini akan diuraikan membahas dan menguraikan
defenisi pengadaan tanah, memuat hal mengenai landasan
hukum tata cara pelaksanaan pengadaan tanah dalam
pembangunan kepentingan umum berdasarkan UU Nomor 2
Tahun 2012.

BAB III

: KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSAAN
PENGADAAN TANAH JALAN TOL KOTA MEDAN –
TEBING TINGGI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum
daerah penelitan, sejarah perkebunan PTPN II, dan

kepastian hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah jalan
tol Kota Medan – Tebing Tinggi

BAB IV

: PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH JALAN TOL
KOTA MEDAN – TEBING TINGGI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai proses pelaksanaan,
data yuridis proses pelaksanaan, data yuridis lahan,
bangunan, dan tanaman yang belum dibayarkan, kendala –
kendala, serta upaya pemerintah dan masyarakat dalam
penyelesaian sengketa

BAB V

: PENUTUP
Dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hal yang
dibahas dan diuraikan dalam bab – bab sebelumnya sebagai
hasil analisis penulisan dan permasalahan dalam skripsi.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

5 129 124

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pemberdayaan Koperasi: Studi Pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia Departemen Agama Kota Tebing Tinggi

0 36 124

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

4 48 131

TINJAUAN YURIDIS REALISASI PELAKSANAAN GANTI RUGI PENGADAAN JALAN TOL SOLO-KERTOSONO DI Tinjauan Yuridis Realisasi Pelaksanaan Ganti Rugi Pengadaan Jalan Tol Solo-Kertosono Di Wilayah Sawahan Kabupaten Boyolali.

0 2 20

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 1 7

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 26

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi

0 0 4

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 28

Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

0 0 20