Tinjauan Yuridis Terhadap Kepastian Hukum Pelaksanaan Pengadaan Tanah : Studi Kasus Pelaksanaan Pembebasan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

BAB II PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

2.1. Pengertian Pengadaan Tanah

a. Pengertian Pengadaan Tanah dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

  Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya.

  Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.

  Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

   dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

  Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang

  

  menegaskan, kewenangan negara adalah :

  19 20 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bab XIV, Pasal 33 ayat 3.

  Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Bab I, Pasal 2 ayat 2.

  19 a.

  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau pemeliharaannya.

  b.

  Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu c.

  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.

  Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

  Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah. Dalam UUPA,masalah pengadaan tanah diatur dalam pasal 18 UUPA :

  

”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

   layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.”

  Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.

b. Pengertian Pengadaan Tanah menurut UU Nomor 2 Tahun 2012

  Tahun 2012 telah hadir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam bagian menimbang dari undang- undang tersebut disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan. Selanjutnya disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum,diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil.

  Dalam UU No. 2 Tahun 2012 khususnya Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti

   kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”

  21 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bab II, Pasal 18. 22 Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2012, Bab I, Pasal 1 angka 2

c. Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

  Persoalan pengadaan tanah maka dapat dilihat pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 adalah: “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara

  

memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,

tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas

tanah ”.

  

  

2.2. Asas-Asas Hukum dan Tujuan dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum

a. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Para Ahli

1. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Sumardjono

  Setiap rumusan undang-undang agar tercapai tujuan hukumnya(filsufis, sosiologis,

  

dan yuridis), mestinya memiliki prinsip dasar sehingga undang-undang tersebut

  dirancang tidak terkesan sarat pada kepentingan individu semata. Oleh karena itu pengadaan tanah harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas sebagai berikut:

   a.

  Asas kesepakatan yakni seluruh kegiatan pengadaan tanah dan Pemegang Hak Atas Tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak Atas Tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan.

  23 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1 angka 3. 24 Abdurrahman, Opcit , hlm. 30.

  b.

  Asas kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas.

  Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.

  c.

  Asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberi ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomisnya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik.

  d.

  Asas kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

  e.

  Asas keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti bila ada, dan hak masyarakat untuk mencapai keberatan.

  f.

  Asas keikutsertaan/ partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.

  g.

  Asas kesetaraan, asas yang dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak-pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam pengadaan tanah.

  h.

  Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi, dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang karena terkena dampak sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.

2. Asas-Asas Pengadaan Tanah menurut Mertokusumo

  Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita- cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan ”.

  Dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan

  

  menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal-hal berikut: a.

  Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya; b. Ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya, bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan; c. Mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.

  d.

  Untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi; e.

  Perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan pemukiman kembali; f.

  Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan

  25 http://www. e-journal.uajy.ac.id/321/3/2MIH01716.pdf, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014, pukul 22.30 wib. g.

  Perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah.

3. Asas-Asas Pengadaan Tanah Menurut Boedi Harsono

  Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni: a.

  Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya; b.

  Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa; c.

  Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan; d.

  Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa; e. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak; f. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak

   untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi.

4. Asas-Asas Pengadaan Tanah

  Mulai dari Kepres Nomor 55 Tahun 1993, hingga Perpres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tidak ada satupun pencantuman pasal-pasal yang mengatur masalah prinsip-prinsip atau asas yang melandasi sehingga dapat (baca; layak) 26 Abdurrahman, Opcit, hlm. 32 untuk dilakukan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Artinya semua regulasi yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah minim asas. Untuk melindungi hak dan kepentingan dari pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah walaupun kelak akan digunakan untuk kepentingan umum.

  Kemudian pada tahun 2012 dikeluarkan salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Nomor 2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU PTUP. UU ini menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.

  Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi.

  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 satu-satunya UU yang memuat tentang asas-

  

  asas pengadaan Tanah: a.

  Kemanusiaan Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

  b.

  Keadilan Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.

  c.

  Kemanfaatan Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan 27 Republik Indonesia, Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. negara.

  d.

  Kepastian Yang dimaksud dengan "asas kepastian" adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian yang layak.

  e.

  Keterbukaan Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah.

  f.

  Kesepakatan Yang dimaksud dengan "asas kesepakatan" adalah bahwa proses Pengadaan

  Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

  g.

  Keikutsertaan Yang dimaksud dengan "asas keikutsertaan" adalah dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.

  h.

  Kesejahteraan Yang dimaksud dengan "asas kesejahteraan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas i.

  Keberlanjutan; Yang dimaksud dengan "asas keberlanjutan" adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan. j.

  Keselarasan.

  Yang dimaksud dengan "asas keselarasan" adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat.

  

2.3. Dasar Hukum dan Perkembangan Kebijakan Peraturan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum

a. Dasar Hukum Pengadaaan Tanah 1.

  Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Negara Sebagai suatu organisasi kekuasaan, negara harus memiliki suatu otoritas yang besar untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya. Negara juga harus bertindak sejauh mana otoritas terebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari keadaan yang seharusnya. Kekuasaan yang paling dominan berada di tangan negara, akan tetapi awal dari proses beradanya kekuasaan pada negara umumnya dimulai dari warga negara. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dijamin oleh UUD 1945. Untuk pembangunan yang diselenggarakan untuk kepentingan umum, pemerintah diberi kewenangan untuk mengambil hak masyarakat dalam bentuk pengadaan tanah.

  Penyelenggaraan kekuasaan tertinggi adalah Presiden. Dalam hubungannya dengan pengadaan tanah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 memberi kekuasaan yang besar kepada presiden untuk mencabut hak atas tanah dari warganya. Hanya saja kekuasaan negara itu harus berdasarkan hukum dasar dari Negara Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam bentuk apapun suatu negara, dibenarkan untuk mempunyai kekuasaan yang besar atas warganya. Namun kekuasaan yang besar itu selalu harus bersandarkan pada kepentingan yang lebih besar dari warga negara yang bersangkutan.

2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Adat

  Bagi masyarakat hukum adat, tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Selain itu, tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan.

  Dalam kebiasaan pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, ada dua

   jenis hak atas tanah, yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah.

  Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu, mereka juga berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas hak persekutuan hukum sebagai objek.

  Oleh Wignjodipoero diberikan contoh tentang fungsi sosial hak milik sebagai berikut : 1) Warga masyarakat desa yang memiliki rumah dengan pekarangan luas wajib membolehkan tetangganya berjalan melalui pekarangannya; 2) Tiap warga masyarakat desa yang mempunyai sawah atau ladang, harus membolehkan sesama warga lainnya mengembalakan ternaknya di sawah atau ladangnya selama sawah atau ladangnya tersebut masih belum ditanami;

28 Resika,Penyelesaian Masalah Hak Ulayat dalam Hukum Adat,

  iakses pada tanggal 12 Februari 2015, Pukul 12.31 WIB.

  3) Pamong desa berwenang mengambil tanah milik seseorang warganya guna kepentingan desa selama waktu tertentu.

  Dalam hal desa memerlukan tanah untuk kepentingan umum, ia dapat meminta kembali tanah pertanian, tanah perkarangan, kolam ikan dan sebagainya dari pemiliknya.Tanah yang dalam keadaan demikian disebut dipundut. Ada tiga elemen penting dari perbuatan dipundut tersebut, yaitu : 1) Hak milik atas tanah ada pada orang, dari siapa tanah itu diminta; 2) Yang meminta tanah itu adalah penguasa yang berkedudukan di atasnya; 3) Tanah itu dipakai untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan perseorangan. Penyimpangan atas syarat ketiga ini adalah penyimpangan dari ketentuan dan pelanggaran hukum.

3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Barat

  Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, lembaga pencabutan hak atas tanah juga diberlakukan, yang mana untuk melaksanakan sistem hukum ini harus melalui tiga instansi yaitu legislatif, eksekutif dan legislatif.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga merupakan salah satu bukti bahwa hak milik mempunyai batas-batas penikmatannya, hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 570 KUH Perdata, bahwa : Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas berdasarkan ketentuan-ketentuan perundangan.

  Jika dicermati ketentuan yang tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata tersebut, walaupun dikatakan bahwa rumusan ketentuannya sangat individualistis namun tetap ada

  

  pembatasan penggunaan dan penguasaan hak milik, yaitu: 1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan; 2) Batas kesopanan dalam masyarakat yang tidak boleh mengganggu orang lain; 4.

  Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Menurut UUPA Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi pasal ini tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagi pemilik subjeknya adalah orang dan hak itulah yang merupakan hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat dan terpenuh, sama sekali tidak memberikan wewenang yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan alam pikiran hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA. Itulah sebabnya, maka berdasarkan pasal 18 UUPA jika untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut.

5. Peraturan Hukum Mengenai Pengadaan Tanah

  Hak eigendom adalah hak perseorangan yang terkuat menurut hukum Belanda yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Untuk mencabut hak eigendom ini harus 29 Setiawatiiriani, Hak Perseorangan Atas Tanah,

  

  

  melalui lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Itulah sebabnya jika hak tanah dengan hak eigendom ini akan dipergunakan oleh pemerintah, walaupun dalam keadaaan yang sangat mendesak, memerlukan waktu yang lama dan jalan yang panjang. Setelah kemerdekaan, dengan berlakunya UUPA maka onteigeningsordonnantie itu dicabut. Alasannya adalah tidak sesuai dengan jiwa proklamasi kemerdekaan dan jiwa UUPA, yang memandang hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai penggantinya pada tanggal 26 September 1961 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah.

  Dalam kenyataannya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dapat dikatakan tidak pernah diberlakukan karena adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah menjadi sangat lama dan usaha menghindarkan tindakan-tindakan yang bersifat memaksa. Hal ini dapat terjadi karena untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah disyaratkan beberapa unsur yang amat sulit dilaksanakan. Berhubung dengan keadaan ini ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.

  Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 bukanlah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, tetapi adalah pengganti dari ketentuan yang dimuat dalam Bijblad Nomor 11372 Yo.12746 yang mengatur tentang aparat yang pembebasan dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pembangunan. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tidak diatur prosedur pengadaan tanah untuk swasta, sehingga hal ini dianggap merupakan salah satu kekurangan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Padahal pembangunan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan diharapkan peran aktif dari pihak swasta. Untuk itu, oleh pemerintah dianggap perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk 30 Zendrato, Mariati, Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Dasar Hukum Pertanahan di indonesia, Medan, 2012, halaman 21. jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial. Pada tanggal 5 April 1976, ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh

31 Pihak Swasta.

  Pada tanggal 1 Agustus 1985 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa untuk pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar tidak perlu melalui panitia pembebasan tanah sesuai dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, tetapi cukup dilakukan oleh pimpinan proyek dengan camat yang bersangkutan saja. Dengan berlakunya peraturan-peraturan yang terakhir ini, berlakulah dualisme peraturan dan sesungguhnya telah terjadi suatu penyimpangan. Di samping itu karena pelaksanaan pembebasan tanah yang sering melanggar prosedur yang telah ditentukan.

  Untuk memperbaiki keadaan ini, pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ditetapkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sekaligus dengan dicabutnya peraturan-peraturan sebelumnya bertujuan ideal untuk keseimbangan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Tanggal 3 Mei 2005 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang

31 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara

  Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan .

  Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggantikan Keppres 55 Tahun 1993.

  Kepentingan umum yang dimaksud dalam Keppres ini intinya adalah pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah tidaklah mencari keuntungan. Untuk melakukan penyempurnaan terhadap Perpres 36 Tahun 2005, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

  Dalam Perpres 65 tahun 2006. Ditetapkannya Perpres 65 Tahun 2006 karena Perpres 36 Tahun 2005 dianggap akan menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pengadaan tanah, misalnya dengan adanya unsur pemaksaan bagi pemegang hak atas tanah dengan adanya pencabutan hak atas tanah di dalam upaya perolehan hak dalam pengadaan tanah.

b. Perkembangan Dasar Hukum Peraturan-Peraturan Tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah

  Ada banyak peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berkaitan dengan pengadaan tanah. Berikut berbagai peraturan-peraturan tentang Pengadaan Tanah yang dibuat Pemerintah Pusat atau yang bersifat Nasional :

1. UU Nomor 20 Tahun 1961 (L.N. 1961 No. 28) tanggal 26 September 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya.

  Peraturan ini adalah merupakan pengganti dari onteigeningsordonnatie Stbl. 1920 No. 574 dan merupakan pelaksanaan daripada pasal 18 UUPA dan sekaligus sebagai induk dari segala peraturan tentang pencabutan hak atas tanah yang berlaku di Indonesia.

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 (L.N. 1973 No. 39) tanggal 17 November 1973 tentang acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada diatasnya. Peraturan ini adalah pelaksanaan dari pasal 8 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1961.

  3. Instruksi Presiden RI tanggal 17 November No. 9 Tahun 1973 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya. Instruksi ini ditujukan kepada Menteri dan Kepada Daerah untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1961. Karena dlam instruksi ini idcantumkan pedoman tentang pengertian “kepentingan umum” maka ia juga serig dipakai sebagai acuan dalam berbagai kegiatan pengambilan tanah walaupun tidak termasuk pencabutan hak senagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Taun 1961.

  4. Surat Menteri Pertama RI tanggal 30 Desember 1961 No. 32391/61 tentang Peraturan mengenai Panitia Tetap Penaksiran Setempat adalah tindak lanjut dari ketentuan yang dimaksud dalam Bijblad 11372 yang sekarang sudah diganti dengan PMDN 15/1975.

  5. Keputusan Menteri Agraria No. SK. XI/1/Ka/1962 tanggal 16 Januari 1962 (T.L.N. No. 2431) tentang Panitia Penaksiran, Ganti Rugi untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. Adalah merupakan pelaksanaan dari pasal 4 UU No.

  20/1961 tentang masalah Panitia Penaksir.

  6. Surat Edaran Menteri Agrarua tanggal 27 Januari 1958 No. Ka/34/1/14, tentang pembelian tanah untuk kepentingan dinas. Ketentuan ini adalah tindak lanjut dari Bijblad 11372 jo. 12746, tentang Pantia Pembebasan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum.

  7. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969, No.Ba 5/282/5 tentang acara membebaskan/melepaskan hak atas tanah yang akan diminta dengan hal lain. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak.

  8. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 28 Mei 1969 No. Ba 5/282/5 tentang Panitia Pembebasan Tanah Pemerintah. Adalah Penjelasan Dan Penegasan Direktorat Jenderal Agraria Tentang Pengertian Pembebasan Tanah Dan Pelepasan Hak.

  9. UU No. 23 Prp/1959 (L.N. 1959 No. 139) tanggal 16 Desember 1959 tentang pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan UU Keadaan Bahaya, adalah Peraturan Khusus mengenai pengambilan tanah sehubungan dengan keadaan bahaya. Peraturan ini bersifat khusus, akan tetapi kedudukannya memang masih perlu dipersoalkan mengingat dalam UU No. 20 Tahun 1961 juga perlu diatur tentang pencabutan hak atas tanah dalam keadaan darurat.

10. Surat Edaran Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi tanggal 4 Februari 1961 No.

  025/ Peperti/ 1961 tentang pengambilan tanah untuk mendirikan asrama, perluaan ahalam perumahan, jalan, dll.

  11. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tanggal 13 Desember 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata acara pembebasan tanah. Peraturan ini adalah peraturan pokok yang mengatur sekaligus menjadi induk dalam segala peraturan yang mengatur tengang pembebasan tanah yag berlaku di ndonesia sekarang. Yang menggantikan Voorschriften Omtrent Het Verkjigen Van de Vrije Beschiking Over ten behoove Van den Hande Benodigde Grondig Bijblad 11372 jo 12746.

  12. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 3 Februari 1975 No.

  12/108/12/75 tentang pelaksanaan pembebasan tanah. Ketentuan ini sebagai penjelasan dari berbagai PMDN No. 15/1961.

  13. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Tanggal 28 Februari 1976 No.BTU 2/568/2-76 tentang PMDN No. 15/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembabsan hak atas tanah.

  14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahu 1976 tanggal 5 April 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan Tnaah untuk kepentingan swasta. Melalui ketentuan ini telah diberlakukan PMDN No. 15/ 1975 yang hanya dierlakuakn untuk kepentingan pemerintah juga diberlakukan bagi pembebasan tana untuk kepentingan swasta.

  15. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Oktoer 1976 No. SJ 16/10/41 tentang PMDN No. 15/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah dan PMDN No.2/ 1976 untuk kepentingan pemerintah bagi pemebasan tanah oleh swasta.

  16. Keputusan Presiden RI tanggal 6 Januari 1970 No. 2 Tahun 1970 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya yang terletak dibagian kecamatan Taman Sari Jakarta. Keputusan Presiden ini adalah merupakan satu-satunya Keputusan Presiden yang pernah dikeluarkan dalam rangka Pelaksanaan UU No.20 Tahun 1961.

  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 19 Desember 1969 No.

  BA/12/91/69 tentang Pemberian hak atas tanah yang haknya semula telah dibebaskan oleh pemohon.

  18. Instruski Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata tanggal 8 Juni 1978 No. INS/10/VI/1978 tentang penertiban terhadap prosedur/Tata cara dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan Hankam/ABRI.

  19. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 26 Juli 1978 No. BTU. 7/720/7-8 tentang pelaksanaan Instruksi Menhankam No. INS/10/VI/1978.

  20. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 31 Januari 1978 Nomor Btu.

  1/581/1/78 tentang biaya administrasi atau biaya operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Permendagri No. 15 Tahun 1975.

  21. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 9 Oktober 1978 nomor Btu.

  10/178/10-78 tentang Pembelian Tanah untuk kepentingan pemerintah.

  22. Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dari Menteri Dalam Neger tanggal 1 Mei 1980 No. SE-1.35/DJA/VII./5/80 dan Btu 5/169/5-1980 tentang peningkatan aktivitas Panitia Pembebasan Tanah untuk kepentinga pemerintah.

  23. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 7 September 1981 No.11.1/7944/AGR tentang larangan penggunaan personal ABRI untuk pelaksanaan pembebasan tanh/ pengosongan tanah milik rakyat.

  24. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Desember 1982 No. 593. 82/5030/ Agr tentang Pengolahan/penyiapan pemberian izin prinsip dalam rangka pencadangan dan pembesan tanah untuk keprluan proyek-proyek pembangunan.

  25. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria Departemen Keuangan tanggal 13 Juni 1984 No. S-347/PJ.241/1984 tentang PPh atas biaya ganti rugi Pembebasan Tanah dan cara pemotongan PPh pasal 22.

  26. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tanggal 1 Agustus 1985 tentang Tata cara pengadaan Tanah untuk proyek pembangunan di wilayah kecamatan. Peraturan ini merupakan peraturan pertma yang diadakan untuk mengadakan peninjauan dan pembaharuan terhadap PMDN No. 15 Tahun 1975.

  27. Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 2 Agustus 1985 No.

  590/4236/Agr tentang tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan proyek pembangunan di wilayah kecamatan.

  28. Surat Edaran Direktorat Jenderal Anggaran tanggal 3 Agustus 1985 No. SE- 51/A/1985 tentang Pengadaan Tanah sampa dengan 5 Ha untuk proyek Pembangunan.

  29. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum tanggal

  5 November 1984 No.77 Tahun 1984 dan 431/Kpt/1984 tentang tata cara pelaksanaan inventarisasi dan pengukuran dalam rangka pembebasan Tanah Proyek Departemen Pekerjaan Umum.

  30. Keptusan Menteri Pekerjaan Umum No. 467/Kpts/1985 tentang petunjuk pelaksanaan tata cara pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah Kecamatan dan lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.

  31. Surat Edaran Kepala BPN tanggal 15 Desember 1990 No. 580-2-574-DIII tentang biaya administrasi dan biaya operasional Panitia Pembebasan Tanah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975. Ketentuan ini adalah merupakan satu peraturan baru yang dikeluarkan mengenai pembeasan tanah setelah terbentuknya BPN tahun 1988.

  32. Surat Edaran Kepala BPN tanggal 6 desember 1990 No. 580. 2-5568-DIII tentang pembentukan Tim pengawasan dan pengendalian pembebasan tanah untuk keperluan swasta.

  33. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan tentang pencabutan Hak Atas Tanah.

  34. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia

  Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

35. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentigan Umum.

  36. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengadaan

  Tanah untuk Kepentingan Umum dari Tahapan Perencanaan, Tahapan Persiapan, Tahapan Pelaksanaan, sampai Penyerahan Hasil.

  Peraturan-peraturan ini perlu diteliti dan dikaji lebih bijaksana dan saksama lagi, baik yang menyangkut tingkat sinkronisasinya secara vertikal dan horizontal, tingkat efektivitas fungsi dan peranannya dalam menunjang pelaksanaan pembangunan dan sebagainya.

  2.4. Gambaran Umum Dalam Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu.

a. Perencanaan Pembangunan Bandara Kualanamu.

  Bandar Udara Internasional Kualanamu adalah Bandar Udara yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Bandara ini terletak 39 km dari kota Medan. Bandara ini adalah Bandara terbesar kedua di Indonesia setelah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Lokasi Bandara ini dulunya bekas areal perkebunan PT Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa yang terletak di Kecamatan Beringin, Deli Serdang, Sumatera Utara.

32 Pembangunan Bandara ini dilakukan untuk menggantikan Bandar Udara Internasional

  Polonia yang sudah berusia 85 tahun. Bandara Kualanamu diharapkan dapat menjadi 32

  

akses pada tanggal 20 Januari 2015, pukul 21.25 WIB. pangkalan transit internasional untuk kawasan Sumatera dan sekitarnya. Selain itu, adanya kebijakan untuk melakukan pembangunan Bandara Internasional Kualanamu adalah karena keberadaan Bandar Udara Internasional Polonia di tengah kota Medan yang mengalami keterbatasan Operasional dan sulit untuk dapat dikembangkan serta kondisi fasilitas yang tersedia di Bandar Udara Polonia sudah tidak mampu lagi menampung kebutuhan pelayanan angkutan udara yang cenderung terus meningkat.

  Pemindahan bandara ke Kualanamu telah direncanakan sejak tahunrkata bahwa demi keselamatan penerbangan, bandara akan dipindah ke luar kota. Pada tahun 1992 dilakukan studi pemilihan lokasi Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dimana terhadap 6 (enam) alternative lokasi di Propinsi Sumatera Utara yang berada di kawasan Kualanamu, Pantai Cermin & Hamparan Perak (masing-masing dua lokasi). Dengan memperhatikan 6 (enam) aspek

  

  sebagai berikut:

  a. Rencana Tata Ruang Wilayah;

  b. Pertumbuhan Ekonomi;

  c. Kelayakan ekonomis, teknis, operasional, lingkungan dan usaha angkutan udara;

  d. Keamanan dan keselamatan penerbangan;

  e. Keterpaduan intra dan antar moda; dan

  f. Pertahanan keamanan Negara;

  33 iakses pada tanggal 20 Januari 2015, pukul 22.12 WIB.

  Dari hasil studi pemilihan lokasi tersebut, maka terpilih 2 (dua) alternatif lokasi Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia yaitu di kawasan Kualanamu dan Pantai Cermin (masing-masing satu lokasi). Tahun 1994 dilakukan studi pembuatan Master Plan & Basic Design Bandar Udara Baru sebagai pengganti Bandar Udara Polonia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara terhadap 2 alternatif lokasi terpilih yaitu di kawasan Kualanamu & Pantai Cermin (masing-masing satu lokasi).

  Kemudian tahun 1995 telah ditetapan lokasi Bandar Udara Baru di Kualanamu sebagai pengganti Bandar Udara Polonia melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 1995 (21 September 1995) yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 1996 (6 Nopember 1996). Sejak keluarnya putusan menteri tersebut maka dimulai proses pembebasan lahan lokasi Bandar Udara Baru Kualanamu seluas 1.365 Ha oleh PT. Angkasa Pura II (Persero) selaku BUMN penyelengara bandar umum.

  Persiapan pembangunan diawali padadilakukan studi Review Master Plan & Basic Design Fasilitas Sisi Darat Bandar Udara Baru Kualanamu oleh PT. Angkasa Pura II (Persero). Pencanangan membangun Bandara Baru Kualanamu dengan sistem “Ruislag” (tukar guling dengan Bandar Udara Polonia), pada saat itu sudah ada

   investor yang berminat yaitu konsorsium PT. Citra Lamtoro Gung Persada.

  Namunyang dimulai pada tahun yang sama kemudian memaksa rencana pembangunan ditunda. Terkait terjadinya krisis ekonomi pada era pemerintahan Orde Baru, maka status pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu “Ditangguhkan Pelaksanaannya” melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1997 pada tanggal 20 September 1997.

  Kemudian terjadi perubahan status pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu “Untuk

  Diteruskan Pelaksanaannya” melalui Keppres Nomor 47 Tahun 1997 pada tanggal 1 diakses pada tanggal 20 Januari 2015, pukul 22:20 WIB.

35 Nopember 1997. Terjadinya krisis finansial se-Asia saat itu harus membatalkan seluruh rencana matang pembangunan Bandara Kuala Namu.

  Tahun 1998, kembali terjadi perubahan status pembangunan Bandara Udara Baru Kualanamu “Untuk Ditangguhkan Pelaksanaannya” melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1998 . pada tanggal 10 Januari 1998 Kemudian, diterbitkan Keppres Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keppres Nomor 39 Tahun 1997 dengan mengintruksikan kepada Kementrian terkait untuk melakukan penilaian kelayakan penerusan proyek-proyek yang ditangguhkan pelaksanaannya (termasuk proyek pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu) pada

   tanggal 22 Maret 2002.

  Selanjutnya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melakukan pengkajian ulang yang didasarkan pada tingkat kebutuhan, ketersediaan dana dan kriteria/ karakteristik khusus proyek dan dinyatakan pembangunan Bandar Udara Baru di Kualanamu layak untuk diteruskan pelaksanaanya. Dan atas persetujuan Presiden RI pada Era Reformasi, Menteri Perhubungan menetapkan pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu dapat diteruskan pelaksanaanya dengan pola pendanan dari BLN/LOAN, namun kebijakan pemerintah pada Era Indonesia Bersatu menyetujui pendanaan dari APBN dan Sharing dengan PT. Angkasa Pura II (Persero) selaku BUMN penyelenggara Bandar Udara umum.

  Pada tahun 2003, direncanakan dan dilaksanakan Pembuatan Detail Engineering Design pembangunan Bandar Udara Kualanamu oleh Ditjen Perhubungan Udara dan PT.

  Angkasa Pura II (Persero).

  Penangguhan pembangunan bandara kualanamu yang terjadi secara terus-menerus dan berkesinambungan pada awal terjadinya krisis moneer pada taun 1998 akhirnya berakhir karena inside2005. ibid.

  bid. Kecelakaan ini menewaskandan juga menyebabkan beberapa warga yang tinggal di sekitar wilayah bandara tewas akibat letak bandara yang terlalu dekat dengan pemukiman. Hal ini menyebabkan munculnya kembali seruan agar bandara udara di Medan segera dipindahkan ke tempat yang lebih sesuai. Selain itu, kapasitas Polonia yang telah melebihi batasnya juga merupakan salah satu faktor direncanakannya pemindahan bandara. Proyek pembangunan bandara tersebut akhirnya dilanjutkan pada tahun 2006, setahun setelah terjadinya kecelakaan pesawat yang menewaskan Gubernur Sumatera Utara kala itu. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI saat itu,

   meletakkan batu pertama tanda dimulainya pembangunan.

  Rencana pembangunan selama bertahun-tahun terhambat masalah pembebasan lahan. Pada

   dilaporkan bahwatelah menyelesaikan seluruh pembebasan lahan untuk lokasi pembangunan bandara kualanamu. Pada 1 November 2011, bandara ini telah 70% selesai dan direncanakan selesai 100% pada tahun akhir 2012 yang termasuk jalan raya nontol, jalur kereta api dan jalan raya tol yang akan dibangun setelahnya. Peletakan Batu Pertama sebagai awal dimulainya pelaksanaan pembangunan Bandar Udara Baru Kualanamu

   oleh Wakil Presiden RI M. Yusuf Kalla.

  Tahun 2007 dimunculkan Penetapan Rencana Induk Bandar Udara Baru Kualanamu dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 30 Tahun 2007 (16 Juli 2007) dan perubahannya dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. : KM 61 Tahun 2007 (29 November 2007). Penetapan KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan) Bandar Udara Baru Kualanamu dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 3 : KM 57 Tahun 2007. 37 38 bid.

  bid. Pada awal tahun 2013, perkembangannya telah mencapai 95%. Pada 10 Januari 2013, bandara ini melakukan percobaan sistem navigasi dan teknis. Bandara ini dibuka pada 25 Juli 2013. Pada 27 Maret 2014, bandara ini diresmikan operasionalnya oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono bersamaan dengan peresmian pembangunan beberapa bandara di Pulau Sumatera. Pengoperasian Bandar Udara Internasional Kualanamu pada 25 Juli 2013. Dan pada tanggal 27 Maret 2014 Bandar Udara Internasional Kualanamu di resmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

  

  

b. Gambaran Umum Lokasi Pengadaan Tanah Jalan Arteri Bandara Kualanamu

  Pembangunan jalan akses menuju Bandara Kualanamu atau jalan arteri akses non tol dimulai dari Simpang Kayu Besar-Pintu Masuk Bandara (STA. 0+000 – 14+500) sepanjang

  14.50 K yang berada di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari:

   1.

  Sepanjang 13.50 KM –› ROW = 33 M 2. Sepanjang 1.00 KM –› ROW = 60 M (Pintu masuk KA dan Kendaraan Umum

  Menuju Bandara) Hasil identifikasi Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Deli Serdang adalah sebagai berikut :

  • Desa Buntu Bedimbar = 15.550 M2
  • Desa Telaga Sari = 22.111 M2
  • Desa Dalu X – A = 17.658 M2
  • Desa Tumpatan Nibung = 19.562 M2
  • Desa Sena = 15.285 M2
  • Desa Aras Kabu = 37.681 M2
  • 39 Opcit. 40 Data Panitia Pengadaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang.

    • = 200.809 M2

      = 16.047 M2 Desa Sido Urip

    • TOTAL = 344.703 M2 = ± 34 Ha

      PTPN II (HGU dan Eks HGU)

      Bangunan dan tanaman milik masyarakat dan PTPN II juga akan dibayar dengan data luasan bervariasi.