Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat, n-Heksana Daun Jambu Air (Syzygium aqueum (Burm. F)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Jambu Air (Syzygium aqueum (Burm. F)
Jambu air adalah tumbuhan dalam suku jambu-jambuan atau Myrtaceae yang
berasal dari Asia Tenggara. Umumnya bagian-bagian tumbuhan jambu air berukuran
lebih kecil dan kurang berbau aromatis apabila dibandingkan dengan jambu air
lainnya. Jambu air umumnya berupa perdu, dengan tinggi 3-10 m. Batangnya
bengkok dan bercabang mulai dari pangkal pohon mencapai 50 cm. Daun tunggal
terletak berhadapan, bertangkai 0,5-1,5 cm sedikit berbau aromatis apabila diremas
(Panggabean, 1992).

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a) Pohon Jambu Air (b) Daun Jambu Air
Jambu air adalah tumbuhan dalam suku jambu-jambuan atau Myrtaceae yang
berasal dari Asia Tenggara. Secara rinci, sistematika jambu air diuraikan sebagai
berikut:
Kerajaan : Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Myrtales

Familia

: Myrtaceae

Genus

: Syzygium


Spesies : Syzygium aqueum (Burm. F)
(Herbarium Medanese, 2016)

Universitas Sumatera Utara

6
Syzygium aquea asli dari Malaysia dan Indonesia yang tergolong kedalam
famili Myrtaceae dan dikenal sebagai jambu air. Marga Syzygium umumnya
berbunga tipe duduk. Bunga itu tersusun dan terhimpit oleh daun pelindung yang
berukuran kecil. Syzygium diduga merupakan marga benua Asia, sedangkan Eugenia
marga benua Amerika. Bunga marga Eugenia juga berbunga tipe duduk, berada
diantara dua daun pelindung yang letaknya berhadap-hadapan dan tersusun dengan
rapat. Bunga marga Syzygium ini berjenis amat banyak. Sehingga, untuk tidak
membingungkan dan untuk memudahkan pengenalan, marga ini dibagi lagi atas dua
seksi, yaitu S.section Jambosa dan S.section Syzygium. Perbedaan kedua seksi itu
terletak pada perkembangan kelopak bunganya. S.section Jambosa, kelopak
bunganya akan membesar, melengkung ke dalam, berdaging dan berair. Sedangkan
kelopak bunganya S.section Syzygium, bentuknya tetap, awet seperti semula, baik
ketika masih dalam bentuk bunga maupun setelah menjadi buah. Tanaman yang
termasuk anggota S.section Syzygium adalah jambu mawar. Sedangkan jambu air

(S.aquea), jambu semarang (S. Semarangengse) tergolong anggota S.section
Jambosa (Susan, 2011).
Tumbuhan Jambu Air telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
sejak dulu, khususnya buahnya yang digunakan sebagai komponen diuretik atau
merangsang pembuangan air seni atau melancarkan buang air seni. Hal ini sangat
baik bagi kandung kemih. Dan untuk sebagian orang, jambu air juga sangat
bermanfaat dalam meredakan bengkak pada kulit kaki maupun tangan. Di Malaysia,
serbuk daun yang telah kering digunakan untuk menyembuhkan penyakit kudis dan
mengurangi bengkak. Manfaat daun jambu air lainnya adalah menurunkan panas
pada penderita demam khususnya pada anak-anak, mengobati sendi yang keseleo,
masuk angin, dan yang lainnya (Osman, 2009).
2.2 Kandungan Kimia Daun Jambu Air
Tanaman jambu air digunakan sebagai obat alami yang berperan dalam
menyembuhkan kondisi kesehatan masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya
kandungan steroid, fenolik dan saponin. Senyawa kimia lain yang paling banyak
ditemukan pada daun jambu air yaitu flavonoid, senyawa fenolik, dan tanin sebagai
antibakteri dan senyawa hexahydroxyflavone, Myricetin

sebagai antikanker,


antidiabetes dan antihiperglikemik (Panggabean, 1992).

Universitas Sumatera Utara

7
2.3 Metabolit Sekunder
Hutan tropis yang kaya dengan berbagai jenis tumbuhan merupakan sumber daya
hayati dan sekaligus sebagai gudang senyawa kimia baik berupa senyawa kimia hasil
metabolit primer, yang disebut juga sebagai senyawa metabolit primer seperti
protein, karbohidrat, lemak yang digunakan sendiri oleh tumbuhan tersebut untuk
pertumbuhannya, maupun sebagai sumber senyawa metabolit sekunder seperti
terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid dan alkaloid. Senyawa metabolit sekunder
merupakan senyawa kimia yang umumya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan
berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk
tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2006).

2.3.1 Flavonoid
Secara biologis, flavonoid merupakan peranan penting dalam kaitannya dengan
penyerbukan pada tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit
hingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu (Sastrohamidjojo, 1996).

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon. Flavonoid
umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid terdapat pada
seluruh bagian tumbuhan termasuk pada buah, tepung sari dan akar (Sirait, 2000).
Istilah flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang bersal dari
kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon, suatu jembatan
oksigen terdapat diatara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil
yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosiklik ini, pada tingkat oksidasi
yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang
mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai
struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini (Manitto,1981).

2.3.2 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein
membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Secara kimia terdapat dua jenis
utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan yaitu:
1.

Tanin terkondensasi (Proantosianidin tannin)
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk

dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk

Universitas Sumatera Utara

8
senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Proantosianidin
merupakan nama lain dari tanin terkondensasi karena jika direaksikan dengan
asam panas, beberapa ikatan karbon penghubung satuan terputus dan
dibebaskan monomer antosianidin (Harborne, 1987).
2.

Tanin terhidrolisis
Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika
dididihkan dalam asam klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya
gula dan seringkali glukosa, tetapi dalam beberapa tanin mungkin saja ada gula
lain, inosistol, asam kuinat, atau senyawa sejenis lainnya. Asam elagat
merupakan hasil sekunder yang terbentuk pada hidrolisis beberapa tanin yang
sesungguhnya merupakan ester asam heksaoksidifenat (Robinson, 1995).

2.3.3 Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis
terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid tidak saja ditemukan
pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba.
Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, kerangka terpenoid terbentuk
dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena (C 5). Terpenoid yang disebut juga
isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprena. Terpenoid dapat juga
dikelompokkan menjadi monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen, dan
tetraterpen (Sirait, 2007).
Triterpenoida merupakan golongan terpenoida yang berpotensi sebagai
antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan
penyakit gangguan kulit. Triterpeneoida memiliki sifat antijamur, insektisida,
antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).

2.3.4 Saponin
Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun, karena sifatnya
menyerupai sabun. Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin
merupakan senyawa yang berasa pahit, berbusa dalam air serta larut dalam air dan
alkohol tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).
Saponin dapat digunakan sebagai racun dan antimikroba (jamur, bakteri dan
virus). Saponin memberikan hasil yang lebih baik sebagai antibakteri jika

menggunakan pelarut polar seperti etanol 70%. Pada konsentrasi rendah, saponin

Universitas Sumatera Utara

9
menyebabkan hemolisis sel darah merah sehingga berfungsi sebagai antibakteri
(Harborne, 1987).

2.4 Bakteri
Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa
yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri
mempunyai ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan
bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0µm, dan
terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau
bacillus, dan bentuk spiral (Dwijoseputro, 1985).
2.4.1 Penggolongan Bakteri
Bakteri dibedakan atas dua kelompok berdasarkan komposisi dinding sel
serta serta sifat pewarnaannya, yaitu bakteri gram positif dan negatif. Selain
perbedaan dalam sifat pewarnaannya, bakteri gram positif dan bakteri gram negatif
berbeda dalam sensitivitasnya terhadap kerusakan mekanis/fisis, terhadap enzim,

desinfektan dan antibiotik.

2.4.1.1 Bakteri Gram Positif
Yaitu memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-80µm) dan berlapis
tunggal dengan komposisi dinding sel terdiri atas lipid, peptidoglikan. Kandungan
lipid pada bakteri gram positif antara 1-4%. Dinding sel terdiri dari lapisan tunggal
peptidoglikan yang mencapai lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Bakteri gram
positif rentan terhadap gangguan fisik (Pelzcar & Chan, 1986).
Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan
terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif
sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel.
Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan kemampuannya
untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna merah seperti
bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh perubahan
kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan (Fardiaz, 1992).

Universitas Sumatera Utara

10
2.4.1.2 Staphylococcus epidermis

Staphylococcus epidermis secara mikroskopis morfologinya tidak dapat
dibedakan dengan Staphylococcus aureus. Koloninya bulat, halus pada umumnya
tidak menghasilkan pigmen dan warnanya putih pucat. Perbedaan dengan S.aureus
adalah bakteri ini memberikan hasil negatif pada tes koagulase, Staphylococcus
epidermis merupakan penyebab yang penting dari endokarditis baterial pada
penderita setelah operasi jantung (Dzen, dkk., 2003).

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus epidermis
2.5.1.3 Bakteri Gram Negatif
Yaitu memiliki struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan 10-15µm.
Komposisi dinding sel terdiri atas lipid dan peptidoglikan yang berada dalam lapisan
dengan jumlah sekitar 10% berat kering. Kandungan lipid pada bakteri gram negatif
cukup tinggi yaitu 11-22%. Bakteri ini umumnya kurang rentan terhadap penisilin
dan gangguan fisik. Selain itu, dinding sel bakteri gram negatif lebih tipis dari pada
bakteri gram positif (Pelzcar & Chan, 1986).
Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti
streptomisin dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan. Dinding sel
bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikon dan membran luar.
Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran luar tersusun atas
lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001).


Universitas Sumatera Utara

11
2.4.1.4 Salmonella typhi
Berbeda dengan Shigella, genus Salmonella terdiri atas kelompok
mikroorganisme yang secara bikimiawi dan serologis beragam. Disamping manusia,
Salmonella dapat menginfeksi banyak macam binatang dan mampu menginvasi
jaringan di luar usus, menyebabkan demam enterik, dimana bentuk yang terberat
adalah demam tifoid. (Dzen, dkk. 2003).

Gambar 2.3 Bakteri Saalmonella typhi
Perbedaan relatif sifat bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dapat
dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Perbedaan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Fardiaz, 1992)
Perbedaan Relatif
No

1.

Sifat

Komposisi dinding sel

2.

Ketahanan terhadap penisilin

3.

Penghambat

Bakteri Gram

Bakteri Gram

Positif

Negatif

Kandunganolipid

Kandunganolipid

rendah (1-4%)

tinggi (11-22%)

Lebih sensitif

Lebih tahan lama

oleh pewarna Lebih dihambat

Kurang dihambat

biasa (misalnya violet kristal)
4.

Kebutuhan nutrisi

Kebanyakanospesies

Relatif sederhana

relatif kompleks
5

Ketahanan terhadap

Lebih tahan

Kurang tahan

perlakuaan fisik

Universitas Sumatera Utara

12
2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri
1. Air. Bakteri memerlukan air dalam konsentrasi tinngi (cukup) disekitarnya
karena diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembagbiakan. Air merupakan
pengantar semua bahan gizi yang diperlukan sel dan untuk membuang semua
zat-zat yang tak diperlukan keluar sel.
2. Garam-garam anorganik, diperlukan untuk mempertahankan keadaan
koloidal dan tekanan osmotik didalam sel, untuk memelihara keseimbangan
asam-basa, dan berfungsi sebagai bagian enzim atau sebagai aktivator reaksi
enzim.
3. Mineral, selain karbon dan nitrogen, sel-sel hidup memerlukan sejumlah
mineral-mineral lainnya untuk pertumbuhannya.


Belerang (sulfur): seperti halnya dengan nitrogen, sulfur juga
merupakan substansi sel.



Fosfor-Fosfat (PO4): diperlukan sebagai komponen asam-asam
nukleat dan berupa ko-enzim.



Aktivator enzim: sejumlah mineral diperlukan sebagai aktivator
enzim seperti Mg, Fe juga K dan Ca.

4. Sumber Nitrogen, banyak isi sel terutama protein, mengandung nitrogen.
Pada bakteri, nitrogen mencapai 10% berat kering selbakteri. Nitrogen yang
dipakai oleh bakteri diambil dalam bentuk: NO3, NO2, NH3, N2 dan R-NH2
(R-radikal organik). Kebanyakan mikroorganisme menggunakan NH3 sebagai
satu-satunya sumber nitrogen.
5. CO2, diperlukan dalam proses-proses sintesis dengan timbulnya asimilasi CO2
didalam sel (Nasution, 2014).

2.5 Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya
dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh
bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Faktorfaktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas
senyawa, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme
bakteri. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas bakteriostatik

Universitas Sumatera Utara

13
(menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh bakteri patogen) dan aktivitas
bakterisidal (dapat membunuh bakteri patogen) (Bakhriansyah, 2008).

2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak dan untuk
mengetahui tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri. Uji aktivitas
antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran (dilusi).
Disc diffusion test atau uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona
bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Sedangkan
metode dilusi atau pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga
diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi
ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair (Hermawan, dkk., 2007).
Pengujian aktivitas antibakteri akan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18-24 jam
dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya
kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan Kadar Hambat Tumbuh Minimum
(KHTM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Selanjutnya biakan dari
semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan pada
suhu 37oC selama 18-24 jam, lalu diamati ada atau tidaknya koloni bakteri yang
tumbuh. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai
Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC)
(Irianto, 2006).
Ada beberapa macam metode uji resistensi bakteri terhadap obat-obatan,
antimikroba, dan lain sebagainya, antara lain :
1. Metode Dilusi
Metode dilusi, prisipnya yaitu antibiotik diencerkan sehingga diperoleh
beberapa kosentrasi.
a) Dilusi cair, masing-masing konsentrasi obat ditambahkan suspensi kuman
atau bakteri dalam media.
b) Difusi padat, masing-masing konsentrasi obat ditambahkan media agar,
lalu ditanamin bakteri (Hermawan, dkk., 2007).

Universitas Sumatera Utara

14
2. Metode Difusi Agar
Metode difusi agar diperkenalkan oleh William Kirby dan Alfred
Bauer pada tahun 1966. Selanjutnya, metode Kirby-Bauer digunakan untuk
menentukan keampuhan bahan antimikrobial. Pada uji ini, cakram kertas
steril berukuran 6 mm ditetesi ekstrak tanaman dengan konsentrasi tertentu
(Lay, 1994).
Metode difusi dilakukan dengan cara menginokulasi kuman kedalam
media pembenihan yang berupa agar dan antibakteri uji diberikan pada
permukaan agar dalam tempat tertentu sehingga antibakteri uji akan berdifusi
dalam permukaan agar yang telah diinokulasi dengan kuman (Jawetz et al.,
2001). Apabila efektif, maka zona hambat akan terbentuk disekitar cakram
setelah inkubasi (Tortora, 2001).
Ada beberapa jenis metode difusi pada uji resistensi antibakteri,
antara lain :
a) Kertas Cakram (Kirby-Bauer)
-

Koloni kuman diambil dan dibiakkan dalam media agar yang
sesuai dengan keperluan selama 24 jam kemudian disuspensi
kedalam 1 ml BHI (Brain Heart Infussion) cair dan diinkubasikan
pada suhu 37oC selama 5-8 jam. Suspensi bakteri ditambahkan
dengan NaCl fisiologis sampai kekeruhan tertentu sesuai dengan
standart Mc Farland 108 CFU/ml (Colony Forming Unit).

-

Zona radikal atau zona bening adalah daerah disekitar disk dimana
sama sekali tidak ditemukan bakteri. Daya antibakteri dinilai
dengan mengukur diameter zona bening. Zona bening adalah
suatu daerah disk yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri
yang dihambat oleh antibiotik tetapi tidak dimatikan (Darmayasa,
2008).

b) Cara Seumuran
Tahap awal sama dengan kertas cakram. Pada media Muller Hinton
dibuat secara seumuran dengan garis tengah tertentu sesuai dengan
kebutuhan. Kedalaman seumuran tersebut dimasukkan atau diteteskan
larutan antibiotik yang akan digunakan, kemudian diinkubasi pada
suhu 37oC selama 18-24 jam, dan dibaca hasilnya sama seperti pada
cara kertas cakram (Rambe, 2012).

Universitas Sumatera Utara

15
c) Cara Pour Plate
Tahap awal sama dengan Kirby-Bauer. Satu mata ose diambil dengan
menggunakan jarum ose khusus dan dimasukkan kedalam 4 ml agar
base 1,5% yang mempunyai suhu 50 oC. setelah suspensi kuman
dibuat homogen, dituang pada media Mueller Hinton Agar dan
ditunggu sampai agar membeku. Kemudian disk antibiotik dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Suspensi kuman dibaca
sesuai dengan standar masing-masing antibiotik (Darmayasa, 2008).
d) E-test
Menggunakan plastik strip yang mengandung antibiotik yang sudah
diketahui konsentrasinya.
e) Gradiant test
Seperti cara seumuran, hanya saja lubang yang dibuat menyerupai
garis tengah, sehingga media pada petri terbelah dua (Rambe, 2012).

2.7 Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan
distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya zat
terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut tetapi
mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditemukan oleh tekstur
kandungan air bahan-bahan yang akan diekstrak dan senyawa-senyawa yang akan
diisolasi (Harborne, 1987).
Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu
sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut berdasarkan
kaidah ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut
polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tergantung dari
tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang diinginkan. Metode
ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi (Pratiwi, 2008).
Maserasi berasal dari kata „macerace‟ yang artinya melunakkan. Maserat
adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah
cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari
dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada tempratur kamar,
sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes,2000).

Universitas Sumatera Utara

16
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat kedalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar
muka kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut.
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan
beberapa cara sebagai berikut:
a. Cara Dingin
1. Ekstraksi secara Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakkan simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokkan/pengadukkan pada temperatur ruangan
selama beberapa hari, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk
kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, yang akan larut dan karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang
ada diluar sel, maka larutan yang terpekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar dan
didalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan

peralatan

yang

digunakan

sederhana

dan

mudah

diusahakan

(Harborne, 1987).
2. Ekstraksi secara Perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan
penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan
penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka
dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat
dipindahkan kedalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat
terlindung dari cahaya (Harborne, 1987).

Universitas Sumatera Utara

17
b. Cara Panas
1. Ekstraksi secara Refluks
Refluks adalah proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan pelarutnya akan terdestilasi menuju pendinginan dan
kembali ke labu. Ekstraksi dengan cara refluks pada dasarnya adalah ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari
dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu
dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan
diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zak aktif dalam
simplisia tersebut, demikian seterusnya (Depkes, 2000).
2. Ekstraksi secara Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontiniu yang menggunakan alat soklet, dimana
pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi
dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah pada soklet, setelah pelarut
mencapai tinggi tertentu maka akan turun kedalam labu destilasi (Depkes, 2000).
3. Ekstraksi seacara Infus
Infus atau infusdasi yaitu ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air, bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, pada
temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (Depkes, 2000).
4. Ekstraksi secara Dekok
Ekstraksi dengan infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai
titik didih air (Depkes, 2000).

Universitas Sumatera Utara