Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

(1)

ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI

FRAKSI ETIL ASETAT TUMBUHAN PAKU

Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

AGUNG PRIYANTO

NIM. 109102000011

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar. `

Nama : Agung Priyanto

NIM : 109102000011

Tanda Tangan :


(3)

Nama : AgungPriyanto

NIM : 109102000011

Program Studi : Farmasi

Judul : Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr

Menyetujui,

Pembimbing I

Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt NIP : 197806302006042001

Pembimbing II

Puteri Amelia, M.Farm., Apt NIP : 198012042011012004

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


(4)

Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Agung Priyanto

NIM : 109102000011

Program Studi : Farmasi

Judul : Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Ismiarni komala, M.Sc., Ph.D., Apt ( )

Pembimbing II : Putei Amelia, M.Farm., Apt ( )

Penguji I : Prof. Atiek Soemiati, M.Si., Apt ( )

Penguji II : Eka Putri, M.Si., Apt ( )

Ditetapkan di : Ciputat Tanggal : Juli 2013


(5)

Nama : Agung Priyanto Program studi : Farmasi

Judul :Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

Tumbuhan paku digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional seperti pengobatan inflamasi, infeksi, impotensi dan permasalahan dalam kehamilan. Ekstrak etanol Nephrolepis falcata dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC5072 µg/mL (Komala, 2012). Studi pendahuluan terhadap aktivitas

antioksidan, menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dan etil asetat dari Nephrolepis falcata aktif dalam menangkap radikal 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). Studi lebih lanjut dalam mengisolasi komponen kimia dari ekstrak etil asetat, memperoleh senyawa aktif antioksidan, yang diduga sebagai senyawa

β-sitosterol. Struktur kimia di elusidasi dengan menggunakan metode spektroskopi antara lain (FTIR, UV-Visible dan 1H-RMI) dan data yang diperoleh di hubungkan dengan literatur data dari β-sitosterol. β-sitosterol telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 389,5 µM (Baskar, et al., 2010)

Kata Kunci : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, tumbuhan paku, β-sitosterol, triterpenoid.


(6)

Name : Agung Priyanto Program study : Pharmacy

Title : Isolation of Active Antioxidant Compound from Ethyl Acetate Fraction of Ferns Nephrolepis falcata (Cav) C. Chr..

Ferns widely used in traditional medicine against inflammation, infection, impotence and problems in pregnancy. Ethanol extract of Nephrolepis falcata was reported to have antioxidant activity with IC50 value31,72 µg/mL (Komala, 2012).

Preliminary study on the antioxidant activity, showed that n-hexane and ethyl acetate extracts of Nephrolepis falcata were active scavenging free radical 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). Further study on the isolation of the chemical components of the Ethyl acetate extract gave the active antioxidant compound, which was suggested as β-sitosterol. The structure were elucidated by using spectroscopic data such as (FTIR, UV-Visible and 1H-NMR) and the data were compared to the reference data of β-sitosterol. β-sitosterol was known to have antioxidant activity with IC50 value389,5 µM (Baskar, et al., 2010).


(7)

Bismillahirahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penyusunan skripsi dengan judul “Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt dan Ibu Puteri Amelia, M.Farm., Apt. Selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, waktu, serta motivasi kepada penulis selama penelitian.

2. Prof.DR (hc). Dr. M. K Tadjudin, Sp. And. Selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Drs. Umar Mansur, M.Sc. Selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

4. Dosen-dosen, staff, karyawan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta serta karyawan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 5. Kepada Ka Eris, Ka Tiwi, Ka Lisna, Ka Liken Ka Rani, Ka Yopi, Ka

Rahmadi yang telah memberi banyak bantuan kepada penulis selama penelitian di kampus.

6. Kepada kedua orang tua penulis bapak Jasmo, dan Ibu Sudjinem, kakak Rahayu Apriyanti dan adik Aisyah Khumairah yang senantiasa memberi


(8)

7. Kepada Dyah Mundir Sari yang telah memberikan motivasi, dukungan dan semangat kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat Farmasi angkatan 2009. Muhammad Arif, Gian Pertela Muchammad Irsyad, Wardah Nabiella, Fauziah Utami, Widya Larasaty Risda Yulianti, Indah fadlul Maula dan seluruh teman-teman farmasi angkatan 2009, Terima kasih untuk semangat dan motivasinya.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan di laboratorium PHA, Ferry Indar Ardiansyah, M. Muaffaq Zaki, Siti Zamilatul Azkiyah, Putri Assifa, Maulida Putri Ahdaini.

10.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima segala saran dan kritik.

Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal ibadah dan dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Aamiin.

Ciputat, Juli 2013 Penulis


(9)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agung Priyanto

NIM : 109102000011

Program studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul

ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI FRAKSI ETIL ASETAT TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : Juli 2013

Yang menyatakan,


(10)

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tumbuhan Paku ... 5

2.1.1 Habitat Tumbuhan Paku ... 5

2.1.2 Penggunaan Tradisional Tumbuhan Paku ... 5

2.2 Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ... 7

2.2.1 Klasifikasi... 7

2.2.2 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologis ... 7

2.3 Radikal Bebas ... 8

2.3.1 Reaksi Perusakan Radikal Bebas Terhadap Sel ... 9

2.4 Antioksidan ... 9

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH ... 10

2.6 Ekstrak dan Ekstraksi ... 12

2.6.1 Ekstraksi Cara Dingin ... 13

2.6.2 Ekstraksi Cara Panas ... 14

2.6.3 Macam-macam Teknik Ekstraksi Lain ... 15

2.7 Pelarut... 16

2.8 Vaccum Rotary Evaporator ... 18

2.9 Metode Isolasi ... 19

2.9.1 Kromatografi ... 19

2.9.2 Kromatografi Lapis Tipis ... 20

2.9.3 Identifikasi Kromatogram ... 23 Halaman


(11)

2.10 Elusidasi Struktur ... 26

2.10.1 UV-Visible ... 26

2.10.2 Spektrofotometri Infra Merah ... 27

2.10.3 Spektrofotometri Massa ... 28

2.10.4 Kromatografi Gas-Spektrofotometri Massa (KG-SM) ... 28

2.10.5 Resonansi Magnetik Inti (RMI) ... 29

2.11 Kerangka Konsep ... 30

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2 ALAT DAN BAHAN ... 31

3.2.1 Alat ... .31

3.2.2 Sampel Tumbuhan ... 31

3.2.3 Bahan Kimia ... 31

3.2.4 Instrumen ... 32

3.3 PROSEDUR KERJA ... 32

3.3.1 Pemeriksaan Sampel Tumbuhan ... 32

3.3.2 Penyiapan Simplisia ... 32

3.3.3 Pembuatan Ekstrak ... 32

3.3.4 Kromatografi Lapis Tipis ... 33

3.3.5 Skrining Fitokimia ... 34

3.3.6 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH ... 35

3.3.7 Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dengan Kromatografi Kolom ... 36

3.3.8 Pemurnian Kristal ... 37

3.3.9 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Senyawa Murni ... 37

3.3.10 Uji Kemurnian Senyawa Aktif Antioksidan ... 37

3.3.10.1 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi ... 38

3.3.10.2 Uji Titik Leleh ... 38

3.3.10.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 39

3.3.11 Penentuan Struktur Molekul ... 39

3.3.11.1 UV-Visible ... 39

3.3.11.2 FTIR ... 39

3.3.11.3 1H-RMI ... 39

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Penyiapan Bahan ... 40

4.2 Ekstraksi ... 41

4.3 Hasil Penapisan Fitokimia ... 41

4.4 Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 42

4.5 Hasil Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH ... 43

4.6 Hasil Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom ... 44


(12)

4.8 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Fraksi F2.D ... 47

4.8.1 Hasil UV-Visible ... 47

4.8.2 Hasil Spektrofotometri Infra Merah ... 48

4.8.3 Hasil Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-RMI) ... 48

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 53


(13)

Gambar 2.1.Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ... 7

Gambar 2.2 Struktur molekul senyawa seskuiterpenoid tipe drimane ... 8

Gambar 2.3 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid ... 10

Gambar 2.4 Reaksi penghambatan antioksidan terhadap radikal DPPH ... 12

Gambar 3.1 KLT 2 dimensi ... 36

Gambar 4.1 Hasil uji kualitatif antioksidan ekstrak ... 42

Gambar 4.2 Hasil uji kualitatif antioksidan isolat ... 44

Gambar 4.3 Hasil KLT 2 dimensi dari senyawa fraksi F2.D ... 46


(14)

Tabel 2.1 Penggunaan Tumbuhan Paku Sebagai Bahan Obat Tradisional ... 6

Tabel 4.1 Hasil Rendemen Ekstrak n-Heksana dan Etil Asetat ... 41

Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat ... 42

Tabel 4.3 Hasil Isolat Dari Ekstrak Etil Asetat ... 45

Tabel 4.4 Data Geseran Kimia Proton Senyawa Fraksi F2.D yang diukur pada frekuensi 500 MHz dengan pelarut CDCl3 ... 49

Tabel 4.5 Perbandingan Serapan Gugus Fungsi Senyawa Fraksi F2.D Dengan Senyawa β-sitosterol ... 50

Tabel 4.6 Perbandingan Geseran Kimia Proton Senyawa Fraksi F2.D Dengan β-sitosterol ... 51


(15)

Lampiran 1. Hasil determinasi tumbuhan paku Nephrolepis falcata ... 61

Lampiran 2. Bagan alur ekstraksi tumbuhan paku Nephrolepis falcata ... 62

Lampiran 3. Uji kromatografi lapis tipis ekstrak etil asetat dan n-heksana Nephrolepis falcata ... 63

Lampiran 4. Bagan isolasi senyawa aktif antioksidan tumbuhan paku Nephrolepis falcata ... 64

Lampiran 5. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan KCKT ... 67

Lampiran 6. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan UV-Visible ... 68

Lampiran 7. Hasil Spektrum IR Senyawa Fraksi F2.D ... 69

Lampiran 8. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa Fraksi F2.D ... 70

Lampiran 9. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 71

Lampiran 10. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 72

Lampiran 11. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 73

Lampiran 12. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 74

Lampiran 13. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 75

Lampiran 14. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ... 76

Lampiran 15. Spektrum 1H-RMI senyawa β-Sitosterol ... 77 Halaman


(16)

1.1 Latar Belakang

Tumbuhan telah banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional sejak zaman dahulu. Berbagai jenis tumbuhan obat telah digunakan oleh sekitar 80% dari populasi masyarakat dunia, meskipun dalam kebanyakan kasus, tidak ada penelitian ilmiah yang telah dilakukan untuk membuktikan khasiat tumbuhan obat tersebut (Verpoorte, et al., 2006). Setidaknya 80% dari populasi masyarakat dunia diperkirakan masih akan menggunakan obat tradisional seperti dalam perawatan kesehatan. Dari 40.000 sampai 70.000 jenis tumbuhan obat, sekitar 20% dari semua spesies adalah tumbuhan tingkat tinggi (Verpoorte, et al., 2006).

Aktivitas farmakologi dari tumbuhan obat, sering tergantung dari keberadaan senyawa bioaktif yang disebut metabolit sekunder (Bruneton, 1999; Heinrich, et al., 2004). Dalam tumbuhan, metabolit sekunder memiliki fungsi penting sebagai perlindungan terhadap predator, mikroba patogen atas dasar sifatnya yang beracun, dan perlindungan terhadap herbivora, mikroba, serta beberapa di antaranya juga terlibat dalam pertahanan terhadap stres abiotik (misalnya paparan UV-B) (Schafer, et al., 2009), metabolit sekunder juga penting untuk komunikasi dari tumbuhan dengan organisme lain (Rosenthal, et al., 1991). Metabolit sekunder dari tumbuhan yang memiliki aktivitas sebagai obat, dilaporkan terdiri dari lilin, asam lemak, alkaloid, terpenoid, fenolat, antara lain fenolat sederhana, flavonoid, glikosida, dan turunannya (Sarker, et al., 2006).

Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tumbuhan obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola secara maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat. Jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia (Pers, 2010). Berdasarkan hasil


(17)

penelitian, dari sekian banyak jenis tumbuhan obat, baru 20-22% yang dibudidayakan (Pers, 2010). Potensi tumbuhan obat di Indonesia, termasuk tumbuhan obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun lingkungan.

Tumbuhan paku merupakan tumbuhan yang distribusinya tersebar luas di Indonesia dan menjadi salah satu sumber kekayaan alam Indonesia. Tumbuhan paku sangat mudah tumbuh di Indonesia karena iklim Indonesia sangat cocok untuk pertumbuhan tumbuhan tersebut. Tumbuhan paku merupakan tumbuhan yang dikenal pertama kali memiliki sistem pembuluh sejati. Tumbuhan ini tidak menghasilkan biji dan mereka merupakan tumbuhan yang paling sederhana diantara tumbuhan yang memiliki sistem pembuluh sejati (Tracheophytes). Tumbuhan paku distribusinya tersebar luas di seluruh dunia dan jumlahnya melimpah dalam studi geologi. Tumbuhan paku tumbuh dengan baik di tempat lembab, dingin dan teduh serta tersedianya air (Fathima, et al., 2007).

Berdasarkan studi fitokimia, tumbuhan paku telah dilaporkan mengandung senyawa golongan flavonoid, terpenoid, senyawa fenol dan xanton (Soeders, 1985). Beberapa tumbuhan paku juga telah dilaporkan memiliki aktivitas biologis seperti antibakteri, antihelmintik, ekspektoran dan antioksidan (Lai, 2011).

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah oksidasi dari molekul lain dengan cara menghalangi inisiasi atau propagasi dari reaksi oksidasi berantai. Di dalam industri makanan, antioksidan digunakan sejak lama sebagai bahan aditif untuk melindungi produk makanan dari reaksi oksidasi yang berhubungan dengan penurunan kualitas makanan seperti berbau tengik (Lee, et al., 2004).

Telah dilaporkan bahwa antioksidan alami terdapat dalam banyak tumbuhan yang berfungsi dalam mengurangi kerusakan sel dan membantu mencegah mutagenesis, karsinogenesis dan penuaan akibat aktivitas radikal bebas (Lee, et al., 2004). Antioksidan alami telah diisolasi dari berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan obat (Boveris et al., 2001).


(18)

Nephrolepis falcata merupakan salah satu tumbuhan paku yang sangat mudah ditemukan di Indonesia yang banyak digunakan sebagai tanaman hias. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian mengenai tumbuhan ini masih sangat sedikit, baik usaha dalam menentukan metabolit sekunder maupun dalam penggunaannya sebagai bahan obat. Tetapi spesies lain dari genus Nephrolepis, yaitu Nephrolepis radicans dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan (Dayanti & Suyatno, 2012), dan Nephrolepis bisserata dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai lC50 0,53 mg/mL (Lai, 2011).

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Komala, 2012), telah dilaporkan bahwa ekstrak etanol 70% dari tumbuhan Nephrolepis falcata yang diambil dari wilayah kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai lC50 31,72

µg/mL. Untuk mengetahui jenis metabolit sekunder dalam tumbuhan ini yang memberikan aktivitas antioksidan, maka dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mengisolasi kandungan metabolit sekunder dari tumbuhan Nephrolepis falcata yang memiliki aktivitas antioksidan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penelusuran pustaka, belum diketahuinya senyawa yang memberikan aktivitas antioksidan dalam tumbuhan paku Nephrolepis falcata (cav,) C.Chr.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui senyawa aktif antioksidan dari fraksi etil asetat tumbuhan paku Nephrolepis falcata.

b. Menentukan struktur kimia dari senyawa murni hasil isolasi yang diduga memiliki aktivitas antioksidan dari tumbuhan paku Nephrolepis falcata.


(19)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai khasiat dari tumbuhan Nephrolepis falcata, sehingga dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dengan memberikan informasi terhadap aktivitas antioksidan tumbuhan Nephrolepis falcata. Mengingat tumbuhan ini belum pernah diteliti sebelumnya, diharapkan ditemukan senyawa baru yang nantinya mungkin didapatkan yang akan memperkaya pengetahuan dalam bidang kimia bahan alam.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Paku

Secara taksonomi tumbuhan paku berada diantara tumbuhan tingkat tinggi (gymnosperma dan angiosperma) dan tumbuhan lumut (bryophyta). Berbeda dengan alga dan lumut, tumbuhan paku telah memiliki jaringan pengangkut seperti xilem dan floem tetapi tidak menghasilkan biji untuk reproduksi seksualnya (Pooja, 2004).

2.1.1 Habitat Tumbuhan Paku

Habitat tumbuhan paku terdiri dari kondisi iklim yang rendah dengan lokasi khusus pada tempat-tempat lembab dan teduh. Gangguan kecil terhadap kondisi iklim tempat tumbuh mereka, dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar spesies.

Tumbuhan paku terdapat dalam jumlah besar di hutan tropis, subtropis, temperatur dan kelembaban yang rendah dan siklus hidup mereka didasarkan pada keberadaan hutan (Dudani, et al., 2010).

2.1.2 Penggunaan Tradisional Tumbuhan Paku

Tumbuhan paku telah banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional di beberapa negara, seperti di kepulauan Hawaii yang menggunakan tumbuhan paku dari spesies Nephrolepis sebagai bahan obat dalam penyembuhan beberapa penyakit, diantaranya penyakit diabetes, infeksi yang disebabkan jamur ataupun bakteri. Selanjutnya tumbuhan paku spesies Nephrolepis tuberosa yang secara tradisional digunakan untuk menurunkan demam. Bagian daun dari tanaman ini digunakan untuk mengobati perdarahan pada luka dan akar dari tanaman ini digunakan dalam mengobati infeksi serta sebagai obat batuk (Ja & Sharma, 2012)

Beberapa tumbuhan paku yang digunakan sebagai bahan obat tradisional antara lain (Lai, et al., 2011):


(21)

Tabel 2.1. Penggunaan Tumbuhan Paku Sebagai Bahan Obat Tradisional.

Nama Tumbuhan Penggunaan Sebagai Obat Tradisional

Acrostichum aureum (Pteridaceae)

Sinus, sakit tenggorokan, kesehatan pada kehamilan, sembelit, obat penurun panas dan nyeri dada.

Blechnum orientale (Blechnaceae)

Untuk pengobatan luka lecet, abses dan impotensi.

Cibotium barometz (Dicksoniaceae)

Untuk pengobatan tifus, dispepsia, batuk dan untuk pengobatan penyakit ginjal dan hati.

Dicranopteris linearis (Gleicheniaceae)

Sebagai antihelmintik, antibakteri, pengobatan penyakit asma, gangguan pencernaan, wasir, tukak lambung, epilepsi dan nyeri usus buntu.

Drynaria quercifolia (Polypodiaceae)

Untuk pengobatan tifus, TBC, dispepsia, penyakit paru-paru, sebagai ekspektoran, antihelmintik, meredakan sakit kepala dan radang usus.

Lygodium circinnatum (Schizaeaceae)

Untuk menetralkan racun ular dan luka akibat sengatan serangga.

Nephrolepis biserrata

(Nephrolepidaceae) Untuk pengobatan luka lecet dan abses Pityrogramma calomelanos

(Hemionitidaceae) Untuk pengobatan sakit ginjal Pyrossia nummularifolia

(Polypodiaceae)


(22)

2.2 Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr

Gambar 2.1. Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr (Sumber: Koleksi Pribadi, Februari 2013) 2.2.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae Divisio : Pteridophyta

Class : Polypodiopsida = Filicopsida Order : Polypodiales

Family : Davalliaceae Genus : Nephrolepis

Species : Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr.

2.2.2 Kandugan Kimia dan Aktivitas Biologis

Belum ada penelitian sebelumnya yang mempublikasikan mengenai kandungan kimia dari Nephrolepis falcata. Tetapi spesies lain dari genus Nephrolepis yaitu Nephrolepis biserrata diketahui bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa seskuiterpenoid tipe drimane (Seims, et al., 1996), dan

dilaporkan bahwa tumbuhan ini memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Lai, et al., 2011). Aktivitas biologis Nephrolepis falcata dilaporkan, bahwa

ekstrak etanol 70% dari tumbuhan tersebut memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai IC50 31,72 µg/mL (Komala, 2012).


(23)

Gambar 2.2. Struktur Molekul Senyawa Seskuiterpenoid Tipe Drimane (Seims, et al., 1996).

2.3 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa-senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan yang bersifat sangat reaktif dan tidak stabil (Surai, 2003). Agar menjadi stabil, radikal bebas memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron di sekitarnya, sehingga terjadi perpindahan elektron dari molekul donor ke molekul radikal untuk menjadikan radikal tersebut stabil (Simanjuntak, et al., 2012).

Senyawa radikal yang terdapat dalam tubuh (prooksidan) dapat berasal dari luar tubuh (eksogen) atau terbentuk di dalam tubuh (endogen) dari hasil metabolisme zat gizi secara normal (Muchtadi, 2000). Secara eksogen, senyawa radikal antara lain berasal dari polutan, makanan atau minuman, radiasi, ozon dan pestisida (Supari, 1996). Sedangkan secara endogen, senyawa radikal dapat timbul melalui beberapa macam mekanisme seperti autooksidasi, aktivitas oksidasi dan sistem transpor elektron.

Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada sel dengan cara mengoksidasi DNA, sehingga DNA mengalami mutasi dan dapat menyebabkan penyakit degeneratif (Wang, et al., 2002), senyawa radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh sehingga terjadi proses penuaan dan menimbulkan penyakit autoimun (Muchtadi, 2000)


(24)

2.3.1 Reaksi Perusakan Radikal Bebas Terhadap Sel a. Peroksidasi Lemak

Membran sel kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi; proses tersebut dinamakan peroksidasi lemak. Hal ini sangat merusak, karena merupakan suatu proses berkelanjutan. Pemecahan hidroperoksida lemak sering melibatkan katalisis ion logam transisi (Droge, 2002).

b. Kerusakan Protein

Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal bebas daripada PUFA, sehingga kecil kemungkinan terjadinya reaksi berantai yang cepat. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali bila sangat ekstensif. Hal ini terjadi hanya jika radikal tersebut mampu berakumulasi (jarang pada sel normal), atau bila kerusakannya terfokus pada daerah tertentu dalam protein. Salah satu penyebab kerusakan terfokus adalah jika protein berikatan dengan ion logam transisi (Droge, 2002).

c. Kerusakan DNA

Seperti pada protein, kecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi, maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis (Allen, et al., 2000).

2.4 Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi dalam tubuh (Goldberd, 2003). Senyawa antioksidan dapat berfungsi


(25)

sebagai penangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam-logam peroksida dan berfungsi sebagai senyawa pereduksi (Andlauer, et al., 1989) . Antioksidan dapat menangkap radikal bebas sehingga dapat menghambat mekanisme oksidatif yang merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, katarak, disfungsi otak dan artritis (Miller, et al., 2000). Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi, fungsi pertama yaitu merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer.

Antioksidan tersebut dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*,ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan radikal lipida. Fungsi kedua merupakan mekanisme fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon, 1990).

Inisiasi : R* + AH RH + A*

Radikal lipid

Propagasi : ROO* + AH RH + A*

Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer Terhadap Radikal Lipid (Gordon, 1990).

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH

Metode DPPH merupakan salah satu metode untuk menentukan aktivitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi (Surai, 2003). DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) adalah senyawa radikal bebas yang stabil yang dapat bereaksi


(26)

dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (Surai, 2003).

Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau atom hidrogen. Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas total antioksidan baik dalam pelarut polar maupun nonpolar. Beberapa metode lain terbatas mengukur komponen yang larut dalam pelarut yang digunakan dalam analisa. Metode DPPH mengukur semua komponen antioksidan, baik yang larut dalam lemak maupun dalam air (Prakash, 2001).

Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah, cepat dan peka, serta hanya memerlukan sedikit sampel. DPPH adalah senyawa radikal bebas stabil kelompok nitrit oksida. Senyawa ini mempunyai ciri-ciri padatan berwarna ungu kehitaman, larut dalam pelarut DMF atau etanol/metanol, dengan rumus molekul C18H12N5O6 (Prakash, 2001).

Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan memberikan warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektronnya berpasangan. Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan jumlah elektron DPPH yang menangkap atom hidrogen. Sehingga pengurangan intensitas warna mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal bebas (Prakash, 2001).

Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan persen aktivitas. Nilai ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Molyneux, 2003).

% Inhibisi = X 100%

Absorbansi kontrol yang digunakan dalam prosedur DPPH ini adalah absorbansi DPPH, sedangkan blanko yang digunakan adalah etanol 95%. Berdasarkan rumus tersebut, semakin tinggi tingkat diskolorisasi (absorbansi semakin kecil) maka semakin tinggi nilai aktivitas penangkapan radikal bebas (Molyneux, 2003).

absorbansi kontrol – absorbansi sampel absorbansi Kontrol


(27)

(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyn) Gambar 2.4. Reaksi Penghambatan Antioksidan Terhadap Radikal DPPH

(Prakash, 2001).

Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50

(Inhibition Concentration). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi

ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik, suatu

senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05

mg/mL,aktivitas kuat untuk IC50 antara 0,05-0,1 mg/mL, aktivitas sedang jika IC50

bernilai 0.101–0.150 mg/mL dan aktivitas lemah jika IC50 bernilai 0,151 – 0,200

mg/mL (Blois, 1958).

2.6 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan massa atau serbuk yang tersisa, diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapakan (Soesilo, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair, dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Tiwari, et al., 2011).


(28)

Parameter yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak adalah (Tiwari, et al., 2011):

a) Bagian dari tumbuhan yang digunakan. b) Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. c) Prosedur ekstraksi

Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektivitas ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada.

a) Bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh b) Keaslian dari tumbuhan yang digunakan c) Proses ekstraksi

d) Ukuran partikel

Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain :

a) Tipe ekstraksi b) Waktu ekstraksi c) Suhu ekstraksi d) Konsentrasi pelarut e) Polaritas pelarut

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Ditjen POM, 2000).

2.6.1 Ekstraksi Cara Dingin a) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi, serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan


(29)

yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, et al., 2011).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali dari bahan (Ditjen POM, 2000).

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman, tahap perkolasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Untuk menentukan akhir dari pada perkolasi dapat dilakukan pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir. Ini adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan aktif dalam penyusunan tincture dan ekstrak cairan (Tiwari, et al., 2011).

2.6.2 Ekstraksi Cara Panas a) Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

b) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).


(30)

c) Infusa

Infusa adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur yang digunakan (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000). Cara ini menghasilkan larutan encer dari komponen yang mudah larut dari simplisia (Tiwari, et al., 2011).

d) Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥300C) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan konstituen yang stabil terhadap panas (Tiwari, et al., 2011).

e) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur lebih tinggi dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Ditjen POM, 2000).

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis ekstraksi maserasi di mana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi (Tiwari, et al., 2011).

2.6.3 Macam-macam Teknik Ekstraksi Lain 1) Sonikasi

Prosedur ekstraksi ini melibatkan penggunaan gelombang ultrasonik dengan frekuensi mulai dari 20 kHz sampai 2000 kHz. Teknik ini meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menghasilkan kavitasi. Meskipun proses ini berguna dalam beberapa kasus, tetapi pada skala besar aplikasinya terbatas karena biayanya yang tinggi. Satu kelemahan dalam teknik ini adalah efek yang merusak dari energi ultrasonik (lebih


(31)

dari 20 KHz) yang menyebabkan konstituen tanaman membentuk radikal bebas yang tidak diharapkan (Tiwari, et al., 2011).

2) Supercritical Fluid

Teknik ekstraksi supercritical fluid memberikan fakta bahwa gas dapat berperilaku sebagai cairan ketika berada dibawah tekanan. Salah satu contohnya adalah karbon dioksida yang dapat digunakan untuk mengekstrak biomassa dan memiliki keuntungan bahwa setelah tekanan dihilangkan, molekul gas akan meninggalkan ekstrak. Karbon dioksida bertindak sebagai pelarut non polar, tetapi polaritas ekstraksi dengan supercritical fluid dapat ditingkatkan dengan menambahkan agen tertentu, yang biasanya berupa pelarut lain seperti metanol atau diklormetan (Heinrich, 2004).

2.7 Pelarut

Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat lain. kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi (Ncube, et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat, dapat mengawetkan dan tidak menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari, et al., 2011).

Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa yang ditargetkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan diekstraksi, kemudahan dalam penanganan ekstrak untuk perlakuan berikutnya, toksisitas pelarut dan potensial bahaya kesehatan dari pelarut (Tiwari, et al., 2011).


(32)

Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi antara lain: 1) Air

Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi produk tumbuhan dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan secara tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tumbuhan dari pelarut organik telah ditemukan untuk memberikan aktivitas antimikroba lebih konsisten dibandingkan dengan ekstrak air (Tiwari, et al., 2011).

Air juga melarutkan flavonoid (kebanyakan antosianin) yang tidak memiliki aktivitas signifikan terhadap antimikroba dan senyawa fenolat yang larut dalam air yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan.

2) Aseton

Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik dari tumbuhan. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah. Aseton digunakan terutama untuk studi antimikroba (Tiwari, et al., 2011).

3) Alkohol

Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang lebih tinggi pada ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air. Konsentrasi yang lebih tinggi dari senyawa flavonoid terdeteksi dengan etanol 70% karena polaritas yang lebih tinggi daripada etanol murni (Tiwari, et al., 2011).

Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan tumbuhan. Metanol lebih polar dibanding etanol namun karena sifatnya yang toksik, sehingga tidak cocok digunakan untuk ekstraksi.


(33)

4) Kloroform

Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut menggunakan n-heksana, kloroform dan metanol dengan konsentrasi aktivitas tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar (Tiwari, et al., 2011).

5) Eter

Eter umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin dan asam lemak (Tiwari, et al., 2011).

6) n-Heksana

n-Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul n-heksana adalah 86,2 gram/mol dengan titik leleh 94,3°C sampai 95,3°C. Titik didih n-heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66°C sampai 71°C (Daintith, 1994). n-Heksana biasanya digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak nabati.

7) Etil Asetat

Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semipolar. Etil asetat secara selektif akan menarik senyawa yang bersifat semipolar seperti fenol dan terpenoid.

2.8 Vacuum Rotary Evaporator

Vacuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah Pelarutnya diuapkan,


(34)

akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho, et al., 1999).

Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan. Penggunaan vacuum rotary evaporator meningkatkan presentase plarut yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan waterbath (Mutairi & Jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul, serta adanya kondensor yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask).

2.9 Metode Isolasi

Suatu ekstrak yang telah dihasilkan dari suatu protokol ekstraksi yang sesuai dan pengujian aktivitas biologis telah dilakukan (contohnya aktivitas antibakteri), langkah selanjutnya adalah fraksinasi ekstrak menggunakan metode pemisahan sehingga komponen biologis aktif dapat diisolasi (Heinrich, et al., 2004).

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari keempat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah: kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi gas cair (KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Harborne, 1987).

2.9.1 Kromatografi

Kromatografi merupakan metode pemisahan fisikokimia untuk memisahkan campuran senyawa berdasarkan perbedaan waktu huni komponen campuran dalam sistem fase diam dan fase gerak (Hostettman, et al., 1995). Prinsip pemisahan dari kromatografi adanya distribusi komponen-komponen dalam fase diam dan fase gerak berdasarkan sifat fisik komponen yang akan dipisahkan. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase diam (stationer) dan fase gerak (mobile).

Menurut (Adrianingsih, 2009), persyaratan utama kromatografi antara lain: 1. Ada fase diam dan fase gerak. Fase diam tidak boleh bereaksi


(35)

2. Komponen sampel harus larut dalam fase gerak dan berinteraksi dengan fase diam.

3. Fase gerak harus bisa mengalir melewati fase diam, sedangkan fase diam harus terikat kuat di posisinya.

2.9.2 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991).

Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan preparatif. KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organik dalam jumlah kecil, misalnya menentukan jumlah komponen dalam campuran dan menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif. Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya, yang selanjutnya fraksi-fraksi tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk analisa berikutnya (Townshend, 1995).

Plat KLT yang umum digunakan adalah plat KLT analitik dengan ketebalan 0,1-0,2 mm dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan adsorben silika gel 60 F254 dengan ketebalan 0,2 mm. Plat kemudian ditempatkan ke dalam bejana

dengan fase gerak yang sesuai, dimana ketinggian fase gerak cukup untuk membasahi bagian bawah plat dan tidak sampai membasahi dimana sampel diaplikasikan. Fase gerak kemudian bermigrasi melewati adsorben dengan gaya kaliper, dan proses ini dikenal sebagai pengembangan (Sarker, et al., 2006).


(36)

KLT merupakan teknik yang benar-benar menguntungkan karena tingkat sensitivitasnya sangat besar dengan jumlah sampel lebih sedikit (Brain & Turner, 1975). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang atau cairan pengelusi, akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gritter, et al., 1991).

Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan deteksi bercak (Gandjar & Rohman, 2007). Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai retardation farctor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007).

Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh, dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991). Adsorben umumnya digunakan dalam KLT meliputi partikel silika gel ukuran 12 µm, alumina, mineral oksida, selulosa, poliamida, polimer penukar ion (Gocan, 2002).

a) Silika Gel

Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan fase stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisa dengan KLT dilakukan dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel.

Fase diam ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Untuk fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat sedikit asam. Silika gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastik seperti ukuran di atas yang umumnya dibuat oleh pabrik.

Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga


(37)

dikenal dengan silika gel 60 F254 yang berarti silika gel dengan fluoresen

yang berpendar pada panjang gelombang 254 nm. Silika gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon, raber gom, atau lilin, dengan fase gerak air yang bersifat polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa namun elusinya sangat lambat dan keterulangannya kurang bagus (Sumarno,2001).

b) Alumina

Alumina merupakan adsorben yang paling banyak digunakan dalam KLT (Gocan, 2002). Fase diam ini bersifat sedikit basa, lebih jarang digunakan. Saat akan digunakan harus diaktifkan kembali dengan pemanasan. Alumina yang digunakan sebagai fase diam untuk KLT umumnya yang bebas air, sehingga mempunyai aktivitas penjerapan lebih tinggi (Sumarno, 2001).

c) Perlit Mineral

Perlit mineral adalah adsorben baru untuk KLT, yang dibuat dengan mengkonversi SiO2 (70-75%) menjadi silikat yang larut dengan Na2CO3

(Gocan, 2002). d) Kiselgur

Fase diam ini sebenarnya merupakan asam silika yang berbentuk amorf, berasal dari kerangka diatomae, maka lebih dikenal dengan nama tanah diatomae, kurang bersifat adsorptif dibanding silika (Sumarno, 2001).

e) Magnesium Silikat

Fase diam ini hanya digunakan bila adsorben atau penjerap lain tidak dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal dengan floresil (Sumarno, 2001). Floresil (magnesium silikat) adalah endapan silika dan magnesium. Sifat dan aplikasi dari floresil pada KLT dan KCKT ditinjau dan dibandingkan dengan adsorben lainnya (Gocan, 2002).


(38)

f) Selulosa

Polaritasnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemisahan secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 m. Fase diam ini sekarang sudah diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomernya (Sumarno, 2001).

g) Resin

Fase diam resin digunakan pada KLT penukar ion. Resin merupakan polimer dari stirendivenil yang mengalami kopolimerisasi dan bersifat non polar. Fase diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot molekul tinggi dan bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim, nukleotida. Sebagai fase gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat (Sumarno, 2001).

2.9.3 Identifikasi Kromatogram

Ada beberapa cara untuk mendeteksi senyawa yang tidak berwarna pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi pada radiasi UV gelombang pendek dan gelombang panjang (365 nm). Pada senyawa yang mempuyai dua ikatan rangkap atau lebih dan senyawa aromatik seperti turunan benzena, mempunyai serapan kuat di daerah 230-300 nm (Stahl, 1985).

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah dari lapisan tipis yaitu dengan menggunakan nilai Rf. Nilai Rf didefinisikan sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 2005).


(39)

Nilai Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga standar. Nilai Rf yang diperoleh hanya berlaku untuk campuran tertentu dari pelarut dan penjerap yang digunakan, meskipun demikian daftar dari harga-harga Rf untuk berbagai campuran dari pelarut dan penjerap dapat diperoleh (Sastrohamidjojo, 2005).

2.9.4 Sistem Fase Gerak Pada KLT

Polaritas fase gerak perlu diperhatikan pada analisa dengan KLT, sebaiknya digunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin. Campuran yang baik memberikan fase gerak yang mempunyai kekuatan bergerak sedang. Secara umum dikatakan bahwa fase diam yang polar akan mengikat senyawa polar dengan kuat sehingga bahan yang kurang sifat kepolarannya akan bergerak lebih cepat dibandingkan bahan-bahan polar (Gritter, et al., 1991).

Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh, dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991).

Pelarut yang ideal harus melarutkan linarut dan harus cukup baik sebagai pelarut yang bersaing dengan daya serap penjerap. Keadaan yang ideal tersebut mungkin terjadi jika pelarut tidak berproton seperti hidrokarbon, eter dan senyawa karbonil dipakai sebagai pelarut pengembang (Gritter, et al., 1991).

2.9.5 Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan senyawa-senyawa gas anorganik dalam suatu campuran. Sampel yang mudah menguap dan stabil terhadap panas akan bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang terantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut dari ujung kolom menghantarkan ke detektor (McNair, et al., 1998).

Kromatografi gas penggunaan utamanya ialah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak, mono dan seskuiterpen, hidrokarbon dan senyawa


(40)

dapat diperbesar dengan mengubahanya menjadi ester dan/atau eter trimetil-silil sehingga hanya sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok untuk dipisahkan dengan cara KGC (Harborne, 1987).

Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisia kualitatif dan kuantitatif. Untuk analisia kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi dari komponen yang akan dianalisa dengan waktu retensi zat baku pembandig (standar) pada kondisi analisa yang sama. Untuk analisa kuantitatif dilakukan dengan cara perhitungan relatif dari tinggi atau luas puncak kromatogram komponen yang dianalisa terhadap zat baku pembanding (standar) yang dianalisa (McNair, et al., 1998).

Untuk pemisahan bahan-bahan yang mudah menguap, kromatografi gas merupakan metode yang tepat karena kecepatannya, resolusinya yang tinggi dan mudah digunakan (McNair, et al., 1998).

2.9.6 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi (Gritter, et al., 1991). Kromatografi kolom membutuhkan zat terlarut yang terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya fase diam dan yang lainnya fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lain yang terelusi lebih awal atau akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas (Harborne, 1987).

Pada kromatografi kolom, tabung pemisah diisi penjerap. Penjerap yang biasa digunakan ialah silika gel. Pengisian ini harus dilakukan secara berhati-hati dan merata. Penjerap dapat dikemas dalam tabung dengan cara basah maupun kering (Harborne, 1987). Cara basah, silika gel terlebih dahulu dijenuhkan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan. Kemudian dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit, sambil kran kolom dibuka.

Kemudian pelarut dialirkan hingga silika gel mampat. Setelah silika gel mampat, pelarut dibiarkan mengalir hingga batas adsorben. Kemudian kran


(41)

ditutup dan sampel dimasukkan, sampel yang dimasukkan terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut hingga diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga semua sampel masuk. Selanjutnya kran dibuka dan diatur tetesannya, serta ditambahkan dengan cairan pengelusi. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Gritter, et al., 1991).

Sedangkan cara kering, yaitu dengan memasukkan silika gel ke dalam kolom yang telah diberi kapas sedikit demi sedikit dan diratakan dengan alat pemampat kemudian ditambahkan dengan cairan pengelusi (Gritter, et al., 1991).

2.10 Elusidasi Struktur

Elusidasi struktur umumnya menggunakan teknik spektroskopi klasik seperti spektrofotometri masa (SM) dan resonansi magnetik inti (RMI). Langkah pertama, bagaimanapun harus memperoleh rekaman spektrum sinar inframerah dan ultraviolet untuk menentukan adanya kelompok gugus fungsi tertentu dalam suatu molekul (Heinrich, 2004).

2.10.1 UV-Visible

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tanwarna diukur pada jangka 200-400 nm, senyawa berwarna pada jangka 200-700 nm. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis ialah interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke orbital lebih tinggi (Harborne, 1987).

Pada kondisi ini, elektron tidak stabil dan dapat melepas energi untuk kembali ke tingkat dasar, dengan disertai emisi cahaya. Besarnya penyerapan cahaya sebanding dengan molekul, sesuai dengan hukum lambert-Beer:


(42)

(Day & Underwood, 1980). A= ɛ B C

Keterangan:

A= Serapan/absorbansi

ɛ= Absortivitas molar B= Tebal kuvet

C= Konsentrasi komponen

Sumber radiasi pada spektrofotometer UV-Vis berdasarkan panjang gelombang terbagi menjadi 2, yaitu lampu deuterium dan tungstent. Lampu deuterium menghasilkan sinar 160-500 nm. Lampu tungstent digunakan di daerah sinar tampak 350-3500 nm. Sumber radiasi dikatakan ideal jika memancarkan spektrum radiasi yang kontinyu, intensitasnya tinggi dan stabil pada semua panjang gelombang.

2.10.2 Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri infra merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75–1.000 m atau pada bilangan gelombang 13.000–10 cm-1. Spektrofotometer infra merah merupakan alat untuk mendeteksi gugus fungsi, mengidentifikasi senyawa dan menganalisis campuran. Banyak pita absorbsi yang terdapat dalam daerah yang di sebut daerah ”sidik jari” spektrum (Harborne, 1987).

Spektrum infra merah suatu sampel dapat di ketahui letak pita serapan yang dikaitkan dengan adanya suatu gugus fungsi tertentu (Day & Underwood, 1999). Spektrofotometer infra merah digunakan sebagai analisa kualitatif untuk menentukan gugus fungsi. Gugus fungsi dapat diintepretasi dengan memeriksa puncak absorbsi dari spektrum infra merah.

Daerah pada spektrum inframerah diatas 1200 cm-1 menunjukkan pita spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang telah ditelaah. Daerah dibawah 1200 cm-1 menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam


(43)

secara subjektif pada skala sederhana yaitu kuat, menengah atau lemah (Harborne, 1987).

2.10.3 Spektrofotometri Massa

Teknik ini memungkinkan untuk mengukur berat molekul dari senyawa dan ion molekular yang diidentifikasi, teknik ini memungkinkan untuk mengukur ion secara akurat, untuk memastikan jumlah dari atom hidrogen, karbon, oksigen dan atom lain yang terdapat dalam suatu molekul. Teknik ini akan memberikan hasil data berupa rumus molekul (Heinrich, 2004).

Sejumlah teknik ionisasi terdapat dalam Spektrofotometri massa, yang mana electron impact digunakan secara luas. Teknik ini memberikan fragmentasi yang baik dari molekul dan berguna untuk menentukan struktur dengan menetapkan fragmentasi untuk kelompok gugus fungsi yang terdapat dalam senyawa (Heinrich, 2004).

2.10.4 KG-SM (Kromatografi Gas-Spektrofotometri Massa)

Kromatografi gas dan spektrofotometri massa dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan memberikan waktu retensi dan puncak elusi yang dapat dimasukkan ke dalam spektrofotometer massa untuk memperoleh berat molekul, karakteristik dan informasi fragmentasi (Heinrich, 2004). Teknik ini juga dapat digunakan untuk komponen yang polar (senyawa yang larut dalam air) seperti calistegines dan polihidroksil alkaloid jika dibuat turunannya dengan komponen yang sesuai (trimetilsilil klorida) untuk meningkatkan volatilitasnya (Heinrich, 2004).

Kromatografi gas saat ini merupakan metode analisa yang penting dalam kimia organik untuk menentukan senyawa tunggal dalam campuran. Spektrofotometri massa sebagai metode deteksi yang memberikan data bermakna, yang diperoleh dari penentuan langsung molekul zat atau fragmen (Heinrich, 2004).


(44)

2.10.5 Resonansi Magnetik Inti (RMI)

Radiasi pada daerah frekuensi radio digunakan untuk mengeksitasi atom-atom, biasanya proton-proton (1H-RMI) atau atom-atom karbon-13 (13C-RMI), sehingga spinnya berubah dari sejajar menjadi sejajar melawan medan magnet yang digunakan. Rentang frekuensi yang dibutuhkan untuk eksitasi dan pola-pola pembagian kompleks yang dihasilkan sangat khas pada struktur kimia molekul tersebut (Watson, 2009).

Spektra RMI biasanya ditentukan dari larutan substansi yang akan dianalisa. Untuk itu pelarut yang digunakan tidak boleh mengandung atom hidrogen karena akan mengganggu puncak spektrum. Ada dua cara untuk mencegah gangguan oleh pelarut. Pertama dapat digunakan pelarut seperti tetraklormetana, CCl4 yang tidak mengandung hidrogen atau pelarut yang atom

hidrogennya telah diganti dengan isotopnya yaitu deuterium, sebagai contoh CDCl3 (Sudjadi, 1985).


(45)

2.11 Kerangka Konsep

Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata

Determinasi

Ekstraksi Bertingkat Dengan Pelarut n-Heksana dan Etil Asetat

Ekstrak n-Heksana Ekstrak Etil Asetat

Uji Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH

Ekstrak Aktif Antioksidan

Fraksinasi Dengan Kromatografi kolom

Senyawa Hasil Isolasi

Uji Kemurnian Senyawa

Penentuan Struktur Molekul Dengan UV, IR, 1H-NMR


(46)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di (Laboratorium Analisis Obat dan Pangan) dan (Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia) Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, yaitu pada bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Juni 2013.

3.2 ALAT DAN BAHAN

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Ayakan No.40, blender, timbangan analitik, kertas label, alumunium foil, kertas saring, kapas, labu erlenmeyer (Duran), beker gelas (Duran), gelas ukur (Duran), corong (Eyela), tabung reaksi, kolom kromatografi, spatula, batang pengaduk, pipet tetes, seperangkat alat vaccum rotary evaporator, kaca arloji, cawan penguap, alat melting point, pipa kapiler, vial, plat KLT dan bejana KLT.

3.2.2 Sampel Tumbuhan

Sampel tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diperoleh di wilayah kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selanjutnya dideterminasi di Herbarium Bogoriense ( LIPI), Cibinong, Bogor.

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: n-heksana (Brataco), etil asetat (Brataco), aquades, metanol grade HPLC, aquabides, silika gel 60 F254 (0,063-0,200 mm for column chromatography) (Merck), lempeng


(47)

KLT (whatman, 250 µm 20 x 20 cm AL SIL G/UV, Felxible Plates for TLC, Cat No. 4420222, coating silica gel) (Merck). Reagen kimia antara lain: Dragendorff, Mayer, Wagner, ferri klorida, asam sulfat, natrium hidroksida, asam asetat, kloroform, Liberman Buchardat, asam kloroda, natrium klorida, gelatin, Vanilin , dan asam perklorat.

3.2.4 Instrumen

Instrumen yang digunakan antara lain: spektrofotometer infra merah, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), resonansi magnetik inti proton (1H-RMI), lampu UV 254 nm dan 366 nm ( bioinstrument atta), UV-Visible.

3.3 PROSEDUR KERJA

3.3.1 Pemeriksaan Sampel Tumbuhan

Sampel tumbuhan Nephrolepis falcata sebanyak 10,1 kg yang diperoleh dari halaman kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor. 3.3.2 Penyiapan Simplisia

Sampel daun tumbuhan Nephrolepis falcata sebanyak 10,1 kg disortasi basah dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air mengalir hingga bersih. Selanjutnya sampel dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan terhindar dari cahaya matahari, pengeringan dilakukan selama satu minggu hingga sampel benar-benar kering. Sampel yang telah kering, disortasi kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan no.40. Serbuk simplisia yang diperoleh kemudian ditimbang, Selanjutnya simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari.

3.3.3 Pembuatan Ekstrak

Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin dengan teknik maserasi bertingkat. Pelarut yang digunakan antara lain, n-heksana dan etil asetat. Serbuk simplisia sebanyak 1,256 kg dimasukkan ke dalam wadah gelap


(48)

sehingga terhindar dari cahaya matahari. Selanjutnya dimasukkan pelarut n-heksana ke dalam wadah yang berisi serbuk simplisia hingga serbuk terendam ±3 cm di atas permukaan simplisia. Pelarut n-heksana yang digunakan untuk maserasi sebanyak 4,5 liter.

Maserasi dilakukan selama 1-2 hari dengan beberapa kali pengadukan. Hasil maserasi disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan vaccum rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental. Ampas yang tersisa, kembali ditambahkan n-heksana dan proses maserasi dilakukan kembali. Maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksana dilakukan sebanyak 15 kali hingga pelarut yang digunakan terlihat bening yang menandakan senyawa telah terekstraksi seluruhnya.

Selanjutnya maserasi diganti dengan perlarut etil asetat, volume etil asetat yang digunakan sebanyak 4,5 liter. Prosedur ekstraksi sesuai dengan kegiatan ekstraksi sebelumnya. Maserasi dengan menggunakan pelarut etil asetat dilakukan sebanyak 10 kali hingga pelarut yang digunakan terlihat bening. Total pelarut n-heksana yang digunakan untuk maserasi sebanyak 18 liter dan pelarut etil asetat yang digunakan sebanyak 10 liter.

3.3.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak yang diperoleh, dianalisa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mengamati pola pemisahannya. Lempeng KLT dengan ukuran 5x10 cm, pada bagian atas dan bawah plat, dibuat garis tepi sepanjang 1 cm. Selanjutnya dibuat sistem fase gerak yang terdiri dari n-heksana dan etil asetat dengan berbagai perbandingan, setiap perbandingan kepolarannya ditingkatkan 10%. Fase gerak yang telah dibuat, dimasukkan ke dalam bejana KLT dan dijenuhkan dengan memasukkan kertas saring ke dalamnya, hingga kertas saring terbasahi semua. Selanjutnya, 10 mg ekstrak dilarutkan dengan 1 mL pelarut etil asetat dan ditotolkan pada garis tepi bagian bawah plat dengan menggunakan pipa kapiler.

Plat KLT dielusi di dalam masing-masing bejana KLT yang berisi fase gerak, hingga fase gerak mencapai garis tepi bagian atas, kemudian diangkat. Plat KLT dibiarkan kering dan dilihat pola pemisahannya secara langsung dan di


(49)

bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Dari hasil KLT, dilihat kombinasi sistem fase gerak yang memberikan pola pemisahan yang baik.

3.3.5 Skrining Fitokimia (Tiwari, et al., 2011; Fransworth, 1969) 1) Uji Alkaloid

Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam larutan HCl encer kemudian disaring dan filtrat dibagi menjadi dua tabung reaksi.

 Tes Mayer: filtrat A ditambahkan reagen Meyer (larutan kalium merkuri iodida). Terjadinya endapan berwarna putih mengindikasikan adanya senyawa alkaloid.

 Tes Dragendorff: filtrat B ditambahkan reagen Dragendorff (larutan kalium bismut iodida) Terjadinya endapan berwarna merah bata mengindikasikan adanya senyawa alkaloid.

2) Uji Flavonoid

Sejumlah Ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air panas, didihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg secukupnya, 1 mL asam klorida pekat dan 2 mL etanol. Dikocok kuat dan dibiarkan terpisah. Terbentuk warna merah, kuning atau jingga pada lapisan etanol menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

3) Uji Saponin

Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam 20 mL aquades, kemudian larutan dikocok dalam labu ukur selama 15 menit. Terbentuknya lapisan busa setinggi 1 cm mengindikasikan adanya senyawa saponin.

4) Uji Steroid dan Terpenoid

 Tes Salkowski: Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna kuning emas mengindikasikan adanya senyawa tepenoid.


(50)

kemudian dipanaskan dan didinginkan. Selanjutnya larutan ditambahkan beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin coklat mengindikasikan adanya senyawa steroid.

5) Uji Fenol

Sejumlah ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3. Terbentuknya

warna biru kehitaman mengindikasikan adanya senyawa fenol. 6) Uji Tanin

Tes gelatin: Sejumlah ekstrak ditambahkan larutan gelatin yang mengandung natrium hidroksida. Terbentuknya endapan putih mengindikasikan adanya senyawa tanin.

7) Uji Asam Lemak

Sejumlah ekstrak dicampur dengan 5 ml eter, kemudian diuapkan. Ekstrak yang telah diuapkan ditotolkan di atas kertas saring dan dibiarkan kering. Bercak transparan pada kertas saring setelah ditotolkan ekstrak mengindikasikan adanya senyawa asam lemak.

8) Uji Kumarin

Sejumlah ekstrak ditambahkan 1 mL NaOH 5 N dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan selama beberapa menit di atas penangas air. Selanjutnya larutan disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dilihat di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Terjadinya fluoresensi dengan warna kuning kehijauan mengindikasikan adanya senyawa kumarin.

3.3.6 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH

Uji kualitatif aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Larutan DPPH dengan konsentrasi 0,04% dalam 20 mL metanol dibuat dengan cara menimbang 8 mg serbuk DPPH, kemudian dilarutkan dalam 20 mL metanol pro analisis. Ekstrak yang sebelumnya telah dilakuakan pemisahan dengan KLT, disemprot dengan reagen tersebut hingga seluruh plat terbasahi. Plat yang telah disemprot dibiarkan selama 30 menit dalam ruangan


(51)

tertutup. Selanjutnya dilihat pola bercak yang memberikan aktivitas antioksidan pada plat KLT (Basma, et al., 2011).

3.3.7 Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dengan Kromatografi Kolom

Ekstrak etil asetat yang memiliki aktivitas antioksidan setelah diuji secara kualitatif dengan DPPH, selanjutnya difraksinasi dengan metode kromatografi kolom. Kolom kromatografi yang digunakan memiliki ukuran tinggi 100 cm dan diameter 5 cm. Kolom disiapkan dengan menyumbat pada bagian dasarnya dengan menggunakan kapas. Selanjutnya kolom dialiri dengan pelarut n-heksana dan kapas ditekan-tekan dengan batang pengaduk hingga tidak ada udara yang terjerap.

Dibuat bubur silika dengan menimbang serbuk silika gel sebanyak 250 gram kemudian didispersikan dengan pelarut n-heksana hingga menjadi bubur suspensi. Bubur silika gel dimasukkan ke dalam kolom kromatografi dan Kolom dialiri dengan menggunakan pelarut n-heksana. Pelarut yang menetes ditampung, kemudian dimasukkan kembali ke dalam kolom sambil diketuk-ketuk. Proses ini dilakukan hingga silika gel mampat. Tahap selanjutnya, ekstrak etil asetat sebanyak 32 gram dipreadsorbsi dengan silika gel sebanyak 15 gram. Ekstrak dimasukkan ke dalam kolom dan disumbat dengan kapas.

Selanjutnya dibuat sistem fase gerak dengan komposisi n-heksana dan etil asetat dengan berbagai perbandingan. Sistem fase gerak yang digunakan adalah sistem gradien, setiap gradien kepolarannya ditingkatkan 10%. Fraksinasi pertama dilakukan dengan mengaliri kolom menggunakan fase gerak n-heksana 100% sebanyak 250 mL. Pelarut yang menetes, ditampung dalam vial yang sebelumnya telah diberi nomor. Penggantian gradien fase gerak dilakukan ketika gradien sebelumnya telah habis digunakan untuk mengaliri kolom.

Fraksinasi dilakukan hingga fase gerak yang digunakan telah mencapai gradien akhir yaitu etil asetat 100%. Pada tahap akhir kromatografi kolom, kolom dicuci dengan mengaliri pelarut metanol 100% sebanyak 300 mL untuk membersihkan silika gel dari sisa ekstrak yang masih menempel. Setiap fraksi yang diperoleh, dilakukan kromatografi lapis tipis dan dilihat pola bercak yang dihasilkan dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.


(52)

Hasil KLT, dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan menyemprot reagen DPPH dengan konsentrasi 0,04%. Fraksi yang memberikan pola bercak dengan nilai Rf yang sama, digabungkan dalam satu vial yang selanjutnya akan difraksinasi kembali untuk melakukan pemisahan lebih lanjut. Fraksinasi dengan kroatografi kolom dilakukan hingga diperoleh senyawa murni.

3.3.8 Pemurnian Kristal

Pemurnian dilakukan terhadap kristal yang diperoleh dari hasil pemisahan dengan kromatografi kolom yaitu (fraksi F2.A, F2.D dan F3.C). Prosedur pemurnian dilakukan dengan mengalirkan pelarut n-heksana pada fraksi F2.A, kemudian dikocok secara perlahan hingga n-heksana dapat melarutkan komponen lain tanpa melarutkan kristal. Kemudian komponen yang terlarut dalam n-heksana ditarik dengan pipet tetes yang sebelumnya telah disumbat kapas pada bagian ujungnya dan komponen tersebut dipisahkan dari kristal. Pemurnian dilakukan hingga kristal bersih. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap kristal dari fraksi F2.D dan fraksi F3.C. Tetapi pada kristal fraksi F3.C menggunakan etil asetat dalam proses pemurniannya karena etil asetat merupakan pelarut yang cocok untuk pemurnian kristal fraksi F3.C.

3.3.9 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Senyawa Murni

Kristal yang diperoleh, diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan DPPH. Setiap fraksi terlebih dahulu dilakukan kromatografi lapis tipis dengan fase gerak n-heksana-etil asetat (8:2). Hasil KLT disemprot dengan DPPH 0,04% dan didiamkan selama 30 menit dalam ruang gelap. Dari ketiga kristal yang diperoleh, hanya kristal dari fraksi F2.D yang memiliki aktivitas antioksidan, sehingga kristal tersebut yang akan diuji lebih lanjut.

3.3.10 Uji Kemurnian Senyawa Aktif Antioksidan

Uji kemurnian senyawa dengan menggunakan 3 metode, antara lain kromatografi lapis tipis 2 dimensi (KLT 2 dimensi), uji titik leleh dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).


(53)

3.3.10.1Kromatografi Lapi Tipis 2 Dimensi (KLT 2 Dimensi)

Uji kemurnian senyawa dengan menggunakan KLT 2 dimensi. Dibuat plat KLT dengan bentuk bujur sangkar yang setiap sisinya memiliki ukuran 5 cm. Kemudian sejumlah kristal dilarutkan dengan etil asetat dan ditotolkan pada salah satu sisi plat dengan pipa kapiler. Plat KLT dielusi dengan fase gerak n-heksana-etil asetat (8:2) dan dibiarkan kering sesaat. Kemudian plat KLT dielusi kembali pada sisi lainnya dengan menggunakan fase gerak yang sama. Bercak dilihat di bawah lampu UV ( 254 nm dan 366 nm) dan disemprot dengan pereaksi godyns sebagai penampak bercak.

3.3.10.2Uji Titik Leleh

Pengujian titik leleh dengan menggunakan alat melting point. Serbuk kristal dimasukkan dalam pipa kapiler yang telah ditutup pada salah satu ujungnya kemudian diketuk-ketuk hingga kristal mampat. Selanjutnya Pipa kapiler dimasukkan ke dalam alat melting point dan temperatur dinaikkan secara perlahan-lahan. Lazimnya setiap menit temperatur dinaikkan sebanyak 10C. Titik leleh ditandai pada saat kristal mulai meleleh hingga meleleh sempurna. Senyawa dikatakan murni apabila memiliki titik leleh dengan rentang ± 20C.

Gambar 3.1. KLT 2 Dimensi

Elusi Kedua

Elusi Pertama Sampel


(54)

3.3.10.3Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Prosedur Pada KCKT, pertama dengan menentukan beberapa metode instrumen yang digunakan, antara lain Fase gerak berupa metanol grade HPLC-aquabides (60%:40%), panjang gelombang UV 239 nm, temperatur kolom 250C, laju alir fase gerak 0,4 mL/menit, volume injeksi sampel 20 µL dan waktu alir adalah 15 menit. Dilakukan pencucian kolom selama 30 menit dengan aquabides. Selanjutnya dilakukan baseline pada alat dan dicek konsistensi kolom dengan melihat adanya puncak atau tidak pada kromatogram. Kristal yang telah dilarutkan dengan metanol, dianalisa dan dilihat puncak yang dihasilkan. Senyawa dikatakan murni apabila menghasilkan puncak tunggal pada kromatogram.

3.3.11 Penentuan Struktur Molekul

Penentuan struktur molekul dilakukan dengan menggunakan 3 alat instrumen antara lain, UV-Visible, FTIR dan 1H-RMI.

3.3.11.1UV-Visible

Kristal fraksi F2.D dilarutkan dengan menggunakan pelarut metanol. Pada alat UV-Vis, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang yang digunakan yaitu 200-400 nm. Kemudian dilakukan baseline pada alat dengan blanko berupa metanol. Sampel dianalisa dan dilihat panjang gelombang yang dihasilkan.

3.3.11.2FTIR

Kristal fraksi F2.D sebanyak 0,5 mg, dicampur dengan KBr sebanyak 50 mg dan digerus homogen. Pada alat terlebih dahulu dilakukan baseline dengan blanko berupa udara. sampel diletakkan ke dalam sel KBr dan dimasukkan ke dalam alat dengan lubang mengarah ke sumber radiasi kemudian dilakukan analisa.

3.3.11.31H-RMI

Kristal fraksi F2.D dilarutkan dalam kloroform dan dilakukan analisa dengan 1H-RMI pada frekuensi 500 MHz.


(55)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyiapan Bahan

Tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor, yang bertujuan untuk mengetahui keaslian tumbuhan yang akan digunakan dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pemilihan tumbuhan. Hasilnya adalah tumbuhan yang diperoleh merupakan tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr (Lampiran 1).

Tumbuhan paku yang diperoleh sebanyak 10,1 kg, disortasi untuk memisahkan antara tumbuhan dengan kotoran dan kontaminan lainnya. Proses pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan yang bertujuan untuk meminimalisir adanya pemanasan yang dapat merusak senyawa yang terkandung, mengingat senyawa yang akan diisolasi merupakan senyawa antioksidan, karena senyawa tersebut sebagian besar dapat mengalami kerusakan dengan adanya pemanasan. Pengeringan dengan cara ini, juga dapat meminimalisir terjadinya kehilangan senyawa yang mudah menguap (atsiri) apabila dalam tanaman tersebut mengandung senyawa minyak atsiri.

Penghalusan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel tumbuhan, yang bertujuan untuk memaksimalkan dalam proses ekstraksi, karena semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaannya, sehingga kontak antara pelarut dengan partikel tumbuhan semakin besar dan proses ekstraksipun dapat berjalan maksimal. Dari 10,1 kg sampel daun segar Nephrolepis falcata, diperoleh 1,256 kg simplisia kering yang selanjutnya Simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat untuk menghindari cemaran oleh mikroba dan mikroorganisme lainnya.


(56)

4.2 Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraksi cara dingin, yaitu dengan metode maserasi. Prosedur ekstrasi dengan cara dingin dipilih, alasannya untuk meminimalisir terjadinya pemanasan yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap senyawa yang tidak tahan panas. Proses ekstraksi ini menggunakan teknik maserasi bertingakat dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda yaitu n-heksana yang merupakan pelarut non polar dan etil asetat yang merupakan pelarut semi polar. Alasan penggunaan teknik ekstraksi bertingkat, yaitu untuk memaksimalkan proses ekstraksi, di mana senyawa akan terekstraksi berdasarkan sifat kepolarannya. Selain itu, teknik ini juga digunakan untuk memperoleh hasil rendemen yang lebih banyak.

Dari proses maserasi, diperoleh 2 ekstrak kental, yaitu ekstrak dari pelarut n-heksana yang memiliki bobot 20 gram dan ekstrak dari pelarut etil asetat yang memiliki bobot 40 gram.

Tabel 4.1. Hasil Rendemen Ekstrak n-Heksana dan Etil Asetat

Total Simplisia Ekstrak Bobot Rendemen

1,256 Kg

n-Heksana 20 gram 1,59%

Etil Asetat 40 gram 3,18%

4.3 Hasil Penapisan Fitokimia

Uji penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi komponen apa saja yang terkandung dalam tanaman, sehingga memungkinkan untuk mengetahui senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan. Dari hasil uji penapisan fitokimia, ekstrak etil asetat positif mengandung beberapa komponen golongan senyawa antara lain, steroid, terpenoid, flavonoid, dan asam lemak.


(57)

Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat

No Golongan Kimia Hasil Pengamatan

1 Alkaloid _

2 Flavonoid +

3 Steroid +

4 Terpenoid +

5 Kumarin _

6 Tanin _

7 Asam Lemak +

8 Fenol _

9 Saponin _

4.4 Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis dilakukan untuk mengetahui pola pemisahan senyawa dari bercak yang dihasilkan. Keuntungan dari metode KLT ini, yaitu analisisnya cepat dan sampel yang digunakan sedikit. Pola pemisahan yang baik tergantung dari fase gerak yang digunakan. Penentuan fase gerak pada KLT berguna dalam menentukan fase gerak yang akan digunakan dalam kromatografi kolom.

Dari hasil uji kromatografi lapis tipis, ekstrak n-heksana dielusi dengan menggunakan fase gerak dengan komposisi n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 8:2, sedangkan ekstrak etil asetat dielusi dengan menggunakan fase gerak n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 6:4. Pemilihan fase gerak untuk kedua ekstrak cukup baik dengan terlihatnya banyak senyawa yang terpisah (Lampiran 3).


(58)

4.5 Hasil Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH

Untuk mengetahui adanya senyawa antioksidan dalam tumbuhan paku Nephrolepis falcata, dilakukan uji pendahuluan aktivitas antioksidan. Metode yang digunakan yaitu dengan metode DPPH, alasannya karena metode ini memiliki kelebihan, diantaranya, analisisnya mudah, cepat dan efisien, serta memungkinkan mengetahui adanya senyawa yang bersifat sebagai antioksidan yang dapat dilihat secara visual.

Gambar 4.1. Hasil Uji Kualitatif Antioksidan Ekstrak. (a). Ekstrak Etil Asetat (b) Ekstrak n-Heksana.

Dari hasil uji aktivitas antioksidan, ekstrak etil asetat dan n-heksana menunjukkan adanya aktivitas senyawa antioksidan. Ini diketahui dengan melihat pola bercak setelah disemprot dengan pereaksi DPPH. Pola bercak yang menimbulkan warna kuning dengan latar belakang ungu setelah disemprot dengan DPPH, mengindikasikan adanya senyawa antioksidan (Aderogba, et al., 2012)

A B

Eluen

n-heksana:E.A (8:2) Eluen


(1)

72

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

74

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

(5)

76

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(6)