Analisis Hukum Mengenai Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Usaha Pertambangan Tanah Tanpa Izin Usaha Pertambangan Di Kabupaten Deli Serdang

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Perkembangan tata hukum indonesia, tidak terlepas dari sejarah perkembangan

bangsa indonesia dari masa ke masa. Tiap masa perkembangan bangsa indonesia,
menciptakan pula tata hukum sesuai dengan masanya. Perkembangan tata hukum ini
sangat terkait dengan perkembangan antara lain aspek sosial, budaya, politik dan
ekonomi masyarakat pada saat hukum tersebut di buat dan diterapkan oleh suatu
otoritas yang berwenang. Tata hukum indonesia, secara historis dapat di kelompokan
ke dalam berbagai dimensi masa, misalnya masa indonesia sebelum kolonial, masa
indonesia pada masa kolonial, masa indonesia pada orde lama, masa indonesia pada
orde baru dan pada masa indonesia pada era reformasi.
Tata hukum tersebut sangat terkait dengan politik hukum. Pollitik hukum
memilki beragam pengertian dari berbagai literatur ilmiah. Padmo Wahyono
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi dari hukum yang di bentuk.1 Dalam hal ini kebijakan tersebut
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakkanya
sendiri. Arah, bentuk, dan isi hukum inilah yang kemudian menjadi kebijakan dasar

bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan hukum yang dibentuk.

1

Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. II (Jakarta, PT Ghalia
Indonesia, 1986), halaman 160.

Universitas Sumatera Utara

Di bidang pertambangan, politik hukum pembentukan peraturan perundangundangan dapat dilihat dari setiap produk hukum yang dibuat pada saat peraturan
tersebut dibentuk, secara umum, pengaturan di bidang pertambangan terbagi menjadi
beberapa periode pengaturan, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah
kemerdekaan. Pengaturan mengenai pertambangan sudah di mulai pada masa Hindia
Belanda melalui Indische Mijnwet Staatsblad Tahun 1899 Nomor 214. Staatsblad
tersebut mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan
pertambangan.2 Setelah Staatsblad tersebut Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya
mengeluarkan

beberapa


peraturan

lainnya

terkait

pertambangan,

yaitu

Mijnordonnantie 1907 yang mengatur mengenai pengawasan keselamatan kerja,
Mijnordonnantie

1930

yang

mencabut

Mijnordonnatie


1907

yang

dalam

Mijnordonnatie 1930 pengaturan pengawasan kerja dihapus.3
Setelah kemerdekaan tahun 1945, pemerintah Indonesia memulai membuat
instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen positivistik.
Sebagai bentuk pembuatan instrumen hukum, pemerintah menerbitkan UndangUndang No. 10 Tahun 1959 Tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan digantikan
dengan Undang-Undang No. 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan seelanjutnya
digantikan dengan Undang-Undang N0. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok

2

Ahmad Redi, Hukum Pertambangan Indonesia, (Bekasi : Gramata Publishing, 2014),
halaman 40.
3
Ibid, halaman 40-41.


Universitas Sumatera Utara

Pertambangan dan terakhir undang-undang tentang pertambangan yaitu UndangUndang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Di dalam Undang-Undang No. Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara terdapat sanksi pidana. Sanksi pidana dalam pertambangan merupakan
hukuman yang dijatuhkan kepada orang dan atau badan usaha yang melanggar
undang-undang di bidang pertambangan. Fungsi hukum pidana berfungsi mengatur
dan menyelengarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya
ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan.
Antara satu kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling
bertentangan.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.4 Dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini, manusia bersikap dan berbuat.
Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain,
hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu sehingga manusia
tidak sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan

memenuhi kepentingannya itu. Fungsi yang demikian itu terdapat pada setiap jenis

4

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Surabaya,
2005, halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

hukum, termasuk di dalamnya hukum pidana. Fungsi hukum pidana melindungi
kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memerkosanya, memberi
dasar

legitimasi

bagi

negara

dalam


rangka

negara

menjalankan

fungsi

mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, fungsi mengatur dan
membatasi

kekuasaan

negara

dalam

rangka


negara

menjalankan

fungsi

mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Pada dasarnya pidana dijatuhkan bukan karena seseorang telah berbuat jahat
tetapi agar seseorang yang dianggap telah berbuat jahat (pelaku kejahatan) tidak lagi
berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pemidanaan itu sama
sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya
pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap
terjadinya kejahatan serupa.
Hukuman Indonesia mengenal 2 (dua) jenis hukuman pidana yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP yakni :
1.

2.

Pidana Pokok, terdiri dari :

a.

Pidana Mati

b.

Pidana Penjara

c.

Pidana Kurungan

d.

Pidana Denda

Pidana Tambahan, terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


a.

Pencabutan Hak-Hak Tertentu

b.

Perampasan Barang-Barang Tertentu

c.

Penguman Putusan Hakim5

Adapun mengenai kualifikasi urutan-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut
adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah
yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai
tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya
dapat dijatuhkan ataupun tidak).
Didalam undang-undang khusus (lex spesialis) dalam hal ini Undang-Undang
No.4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana
diatur didalam Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165. Ketentuan pidana yang

terdapat didalam undang-undang ini banyak mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha
Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK).
Didalam Putusan No. 1561/Pid.B/2014/PN.Mdn perihal kegiatan pertambangan
tanah. Kasus di desa Marindal, Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara, terjadi usaha penambangan tanpa izin sehingga pelaku
dalam kasus ini diputus pidana penjara selama 1 (satu) tahun denda sebesar 1 (satu)
Miliar berdasarkan dakwaan Pasal 158 Undang Undang Republik Indonesia No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara.
5

R.Soesilo, Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP), Politea Bogor 1993, halaman 38.

Universitas Sumatera Utara

Didalam Pasal 158 tersebut dinyatakan bahwa “ setiap orang yang melakukan
usaha penambangan tanpa IUP, IPR,atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1). Pasal 74 ayat (!) atau ayat (5)
dipidana dengan Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Unsur- unsur yang terdapat didalam pasal 158 :
a.

Setiap Orang
Ada dua pengertian orang /person sebagai subyek hukum.
a)

Natuurlijk person adalah mens person, yang disebut orang atau manusia
pribadi dan,

b)

Rechtperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dibagi dalam :
1.

Publiek rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum
seperti Negara, daerah Tk. I, Tk. II Desa dan,

2.

Privaat rechtspersoon/badan hukum privat, yang mempunyai
sifat/adanya unsur kepentingan individual.6

b.

Melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK.
Didalam hal ini unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 158 harus dipenuhi

secara komulatif untuk menerapkan ketentuan pidana didalam undang undang ini.
Kronologis yang terjadi didesa marindal terjadinya penangkapan sampai memperoleh
6

R. Soeroso SH, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2006, halaman 228.

Universitas Sumatera Utara

putusan yang berkukatan hukum tetap oleh Pengadilan Negeri Medan memuat
kontroversi atas putusan tersebut. Desa marindal Kecamatan Patumbak termasuk
dalam teritorial kabupaten Deli Serdang. Dalam undang-undang pertambangan,
mineral dan batubara ditentukan bahwa sebelum kabupaten/kota menerbitkan izin
usaha pertambangan terlebih dahulu harus diterbitkan peraturan tentang wilayah
pertambangan di wilayah Kabupaten/Kota tersebut.
Sedangkan Kabupaten Deli Serdang belum menerbitkan peratutan tentang
wilayah Pertambangan di daerah tersebut. Persoalan pertanggungjawaban si pelaku
dalam hal ini menjadi sangat kabur karena unsur unsur yang terdapat didalam Pasal
158 Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara
tidak terpenuhi secara kumulatif.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka dalam rangka
mengetahui bagaimana implementasi hukum pidana pertambangan dalam menangani
kasus yang terdapat di kabupaten deli serdang yang dilakukan oleh orang atau person
dalam kegiatan pertambangan. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang akan dituangkan dalam bentuk Tesis dengan judul : “ANALISIS HUKUM
MENGENAI PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA
PERTAMBANGAN TANAH TANPA IZIN (IUP) DI KABUPATEN DELI
SERDANG”.

Universitas Sumatera Utara

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka

yang menjadi permasalahan pokok dalam pembahasan proposal tesis ini yaitu :
1.

Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang pertambangan tanah
terhadap pelaku yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin di
Kabupaten Deli Serdang?

2.

Bagaimana pertimbangan hakim (ratio decidendi) dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku yang melakukan pertambangan tanah tanpa izin di Kabupaten
Deli Serdang dalam putusan No. 1561/PID.B/2014/PN.MDN?

3.

Bagaimana kebijakan Pemda dalam penegakan hukum terhadap pelaku yang
melakukan kegiatan pertambangan tanah tanpa izin di kabupaten deli serdang
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya?

C.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalah yang telah diuraikan diatas maka tujuan penelitian ini

adalah :
1.

Untuk mengkaji dan mengetahui pengaturan hukum yang mengatur tentang
pertambangan tanah terhadap pelaku yang melakukan kegiatan penambangan
tanpa izin di Kabupaten Deli Serdang.

2.

Untuk mengkaji dan mengetahui pertimbangan hakim (ratio decidendi) dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku yang melakukan pertambangan tanah

Universitas Sumatera Utara

tanpa

izin

di

Kabupaten

Deli

Serdang

dalam

putusan

No.1561/PID.B/2014/PN.MDN.
3.

Untuk mengkaji dan mengetahui kebijakan Pemda dalam penegakan hukum
terhadap pelaku yang melakukan kegiatan pertambangan tanah tanpa izin di
kabupaten deli serdang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

D.

Kegunaan/Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara teoritis

maupun praktis yaitu:
1.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian
lebih lanjut terhadap asas-asas penggunaan hukum pidana kepada pelaku usaha
pertambangan tanpa izin (IUP) di Kabupaten Deli Serdang yang belum
memiliki Perda tentang Wilayah Pertambangan (WP). Dan juga penelitian ini
diharapkan membuka wawasan dan paradigm berfikir dalam memenuhi dan
mendalami permasalahan hukum dalam UU pertambangan, Mineral dan
Batubara. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perUndangUndangan yang mengatur tentang pelaku, yang secara khusus mengenai tindak
pidana Pertambangan, Mineral dan Batubara.

Universitas Sumatera Utara

2.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
aparat penegak hukum dari tingkat Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan
Advokat/Pengacara/Penasihat

Hukum,

serta

aparat

penegak

hukum

lainnyadalam system peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice
System) dalam menangani perkara tindak pidana, yang terkait untuk
menerapkan menerapkan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan kepada
pelaku khususnya badan hukum yang melakukan tindak pidana Pertambangan,
Mineral dan Batubara berdasarkan asas hukum pidana. Selain itu, penelitian ini
dapat digunakan sebagai referensi dalam mengatasi tindak pidana kejahatan
dibidang Pertambangan, Mineral dan Batubara.

E.

Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pemeriksaan

judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di Perpustakaan Pusat Universitas
Sumatera Utara dan

di Perpustakaan yang berada diluar kampus Universitas

Sumatera Utara serta di Institusi lain mengenai judul ANALISIS HUKUM
MENGENAI

PENJATUHAN

PIDANA

TERHADAP

PELAKU

USAHA

PERTAMBANGAN TANAH TANPA IZIN (IUP) DI KABUPATEN DELI
SERDANG, ternyata belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam topik
permasalahan yang sama. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa penelitian ini asli,

Universitas Sumatera Utara

murni, dan belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu sehingga peneliti dapat
mempertanggungjawabkan hasil penelitian ini di siding terbuka untuk umum.
F.

Kerangka Teori dan Konsepsi

1.

Kerangka Teori
Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk

mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan/atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep deduktif
ataupun induktif. Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang
diteliti dapat dianalisis secara kompreherensif dan objektif. Kerangka teori disusun
untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan
masalah yang telah disusun.7
Sunaryati Hartono berpendapat, “Bahwa hukum itu tidak hanya secara pasif
menerima dan mengalami pengaruh dari nilai-nilai social budaya di dalam
masyarakat, akan tetapi secara aktif harus mempengaruhi pula timbulnya nilai-nilai
sosial budaya baru.8 Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya hukum
dengan baik adalah budaya hukum masyarakat. Budaya hukum masyarakat sangat
berkaitan erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan hal ini
Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu

7

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, halaman 93.
8
CFG. Sunaryati Hartono, kapita, Selekta Hukum Ekonomi, bandung: Binacipta, 1976.,
halaman 5.

Universitas Sumatera Utara

pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum yaitu tidak dapat dilihat
secara langsung di dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi dapat disimpulkan ada
tidaknya pengalaman hidup sosial melalui suatu cara penafsiran yang tertentu.
Kelancaran proses pelaksaan penegakan hukum didalam masyarakat sangat
ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan berlaku didalam masyarakat yang
bersangkutan.
Penelitian ini lebih menekankan kepada pembahasan mengenai dasar
pertanggungjawaban bagi pelaku usaha pertambangan tanpa izin (IUP) di Kabupaten
Deli Serdang. Hal mana pada prinsipnya, teorihukum yang digunakan akan selalu
dipengaruhi oleh hukum positif yang menuntut agar setiap metodologi yang
dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai
sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam
prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya, rasionalistik yang ditandai oleh sifat
peraturan yang procedural. Dan dalam upaya mencari keadilan (searching for justice)
bisa gagal karena terbentur dengan pelanggaran prosedural sehingga upaya itu
dianggap lebih penting dari keadilan itu sendiri. Pemikiran di luar peraturan hukum
dianggap sebagai out of legal thougt (illegal). Dasar pemikiran diatas mencerminkan
Teori Hukum Modern dengan prosedural hukum yang berlaku melekat didalamnya
sehingga keadilan dianggap telah diberikan dengan membuat hukum positif itu
sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (Negatif wettelijk Stelsel)9,
adalah suatu teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem
pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan keseimbangan antara
kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Keseimbangan tersebut
menjelaskan

sistem

pembuktian

menurut

Undang-Undang

secara

negatif

“menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut
keyakinan dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif. Hasil
penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu
“sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Rumusannya berbunyi:
salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan
kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Perkembangan hukum pidana, sosok terdakwa bukan hanya Person saja, akan
tetapi badan hukum juga dapat diperlakukan hal yang sama, karena badan hukum
telah menjadi subjek hukum, dan hal lain juga karena badan hukum mendapat
keuntungan dari apa yang telah diperbuat/ dilakukan pengurusnya. Badan hukum
merupakan badan hukum yang beranggota, yang mempunyai hak dan kewajiban dari
anggotanya masing masing. Penempatan badan hukum sebagai subjek dalam hukum
pidana tidak lepas dari moderniasi social, dampak dari modernisasi social tersebut

9

M. Yahya Harahap, Prmbahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika,
2003, halaman 277.

Universitas Sumatera Utara

ialah bahwa semakin modern masyarakat maka akan semakin kompleks juga sistem
social, ekonomi dan politik yang terdapat didalamnya, oleh karena itu kebutuhan akan
sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar juga.10
Teori yang dipergunakan teori pemidaan, pada umumnya dapat dikelompokkan
dalam tiga golongan besar, yaitu:11
a.

Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini artinya untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Jadi
pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri.teori
pembalasan ini terbagi 2 (dua) yaitu teori pembalasan subjektif ialah
pembalasan terhadap kesalahan pelaku, pembalasan objektif ialah pembalasan
terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.12

b.

Teori relatif
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban
di dalam masyarakat tidak terganggu. Teori ini dibagi 2 (dua) yaitu prevensi
umum (generale preventive) bertujuan untuk menghindarkan supaya orang
pada umunya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan agar

10

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013, halaman 43.
11
Suwarto, individualisasi pemidanaan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2013) halaman 23.
12
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993) halaman 26.

Universitas Sumatera Utara

pembuat (dader) tidak melanggar.13 Prevensi umum menekankan bahwa tujuan
pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan
penjahat. Memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya
tidak akan melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus menekankan bahwa
tujuan

pidana

itu

dimaksudkan

agar

narapidana

jangan

mengulangi

perbuatannya lagi. Berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar
menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Dari uraian di atas dapat
dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:
a)

Tujuan pidana adalah pencegahan (Prevensi).

b)

Pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

c)

Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja. (missal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana.

d)

Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan
kejahatan.

e)

Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan,
tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.14

13

E.Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1958),
E. Utrecht, Op.cit, halaman 157.

halaman 157.

14

Universitas Sumatera Utara

c.

Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan
ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori diatas (teori absolute dan teori
relatif) sebagai dasar pemidaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori
memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:15
1.

Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu memprtimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus Negara yang melaksanakan.

2.

Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena
pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat, kepuasan
masyarakat dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit
dilaksanakan.

Perbedaan pendapat dikalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada
satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu
sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana agar meenjadi
manusia yang berguna di masyarakat.
2.

Kerangka Konsepsi

15

Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) halaman 11-12.

Universitas Sumatera Utara

Kerangka konsepsi pada hakikatnya adalah mengenai defenisi operasional
mulai dari judul sampai permasalahan yang diteliti.16 Pentingnya defenisi operasional
adalah untuk menghindari perbedaan pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah
yang dipakai. Adanya penegasan kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu
pandangan dalam menganalisis masalah yang akan diteliti baik dipandang dari aspek
yuridis maupun aspek sosiologis. Penelitian ini dirumuskan serangkaian kerangka
konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut :
a.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si
pembuatnya tidak dicela. pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak
dipidana.17 Pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang
dirugikan.18

b.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi

16

Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum, Monograf Metode Penelitian Hukum (Medan: PT. Soft
Media 2015) halaman 92.
17
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang pertanggungjawaban pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982, halaman 10.
18
Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta: Yayasan
LBH 1989, halaman 79.

Universitas Sumatera Utara

penyelidikan umum, eksploirasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang.19
c.

Berdasarkan kata perkata Pertambangan, Mineral dan Batubara memisahkan
antara jenis tambang mineral dengan batubara, sebagai berikut:
a)

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki
sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan Kristal teratur atau
gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam lepas atau padu.20

b)

Batubara adalah endapan senyawa organic karbon yang terbentuk secara
alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.21

d.

Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa
bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air dan
tanah.22

e.

Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di
dalam bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.23

f.

Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang
19

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
20
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
21
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
22
Pasal 1 angka (4) Undang-Undang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
23
Pasal 1 angka (5) Undang-Undang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Universitas Sumatera Utara

dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Selain itu
izin juga dapat diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari
suatu larangan.24
g.

Perizinan dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perizinan antara
lain: pendaftaran, rekomenadasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk
melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus memiliki atau diperoleh suatu
organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat
melaksanakan suatu kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, pengusaha
memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tindakan
tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum
yang mengharuskan adanya pengawasan.25

h.

Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan.26

i.

IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.27

24

http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-perizinan.html diakses pada pukul 23.00
Minggu 14 Februari 2016.
25
http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-perizinan.html diakses pada pukul 23.00
Minggu 14 Februari 2016.
26
Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
27
Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan, Mineral dan Batubara.

Universitas Sumatera Utara

j.

IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah

selesai

pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi
produksi.28
k.

Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK,
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan Kusus.29

l.

IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan
penelitian penyidikan umum, eksploirasi, dan studi kelayakan di wilayah izin
usaha pertambangan khusus.30

m.

IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai
pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk nelakukan tahapan kegiatan operasi
produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.31

n.

Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.32

o.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan
28

Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
29
Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
30
Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
31
Pasal 1 angka (13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Pertambangan, Mineral dan Batubara.
32
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup.

Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang

Universitas Sumatera Utara

tertentu.33 Agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam
arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi34 :

G.

1.

Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat.

2.

Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

3.

Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab.

4.

Tidak ada alas an pemaaf.

Metode Penelitian
Metodologi adalah paduan antara kata “methodos” (metode, cara, jalur) dan

“logos” (logika, nalar, jalan pikiran, pengetahuan), maka, metodologi berarti
pengetahuan tentang seluk beluk berbagai metode.35
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentudengan cara menganalisisnya.36
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembanagan ilmu pengetahuan
maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penilitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui

33

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, halaman 64.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke 2, Kecana, Jakarta, 2006, halaman 68.
35
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), halaman 120121.
36
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, halaman
6.
34

Universitas Sumatera Utara

proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah
dikumpulkan.37
1.

Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam tesis ini adalah dengan penelitian yuridis normatif, yaitu

penelitian yang mengkaji penerapan teori-teori pemidanaan dan pertanggungjawaban
hukum, dalam melihat latar belakang (yuridis historis) dan proses keluarnya suatu
putusan hakim dan produk hukum pertambangan, mineral dan batubara.
2.

Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang akan diterapkan dalam penelitian normative dengan

pendekatan kasus (case approach), yang bertujuan untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama
mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi focus penelitian. Jelas kasuskasus yang telah menjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian
normative, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap
dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktek hukum, serta
menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi
hukum.38

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Imdonesia Press,
2005) halaman 5-6.
38
Johnny Ibrahim, Op. Cit. halaman. 321

Universitas Sumatera Utara

Menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Pendekatan yuridis Normatif
adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bagunan sistem
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenal asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin
(ajaran).39
Namun H. Salim HS, berpendapat bahwa penelitian hukum yang dikemukakan
oleh Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad difokuskan pada objek kajiannya. Objek
kajian pendekatan yuridis normative adalah pada hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah. Norma yang menjadi objek kajiannya, meliputi undang-undang
peraturan pemerintah dan lain-lain.40
Menurut Haryono, suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu peneliti
harus melihat hukum sebagai system tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :41
a. Compherensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara yang satu dengan yang lain secara logis
b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menanmpung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada
kekurangan hukum.

39

Mukti Fajar ND, dan Yulianto Ahmad, Op. Cit. halaman. 34
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, PT. Gajagrafindo Persada, Jakarta, 2013 , halaman 13
41
Johnny Ibrahim, Op,Cit, halaman 303
40

Universitas Sumatera Utara

c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis
3.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah hukum Pengadilan Negeri medan

(Putusan No.1561/PID.B/2014/PN.MDN). Asumsi penulis, dalam hal ini yang
menjadi tempat penelitian sebenarnya adalah di kabupaten deli serdang, namun
putusan dijatuhkan di wilayah hukum pengadilan negeri medan.
4.

Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yang

mana pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventarisasi seluruh data dan
dokumen dengan topic pembahasan, selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data
tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan dan di analisis.
5.

Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah menggunakan data atau informasi yang

diproleh dari hasil penelaahan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tesis ini. Bahan
hukum atau data sekunder terbagi dalam beberapa jenis yaitu42:
a.

Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan negeri, dan dokumen resmi Negara lainnya.

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Kencana, 2008), halaman 155

Universitas Sumatera Utara

b.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
dan jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian, padangan ahli
hukum, kamus hukum, dan komentar atas putusan Hakim.43

c.

Bahan hukum tersier adalah bahan penelitian atas buku teks tentang
hukum pertambangan, jurnal hukum pertambangan.

d.

Bahan non hukum adalah bahan yang terdiri dari buku-buku
pertambangan, jurnal pertambanagan, dan media massa.

Tehnik pengumpulan data pada pengumpulan ini menggunakan tehnik
penelitian kepustakaan (library research).44 Penelitian kepustakaan secara manual
maupun electrical dengan mengunakan electronical data resources baik mengenai
sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan tersier. Data yang diperoleh dari
penelitian buku-buku, jurnal dokumen-dokumen serta sumber teoritis dilakukan guna
membuat deskripsi atau eksplorasi terhadap perumusan masalah yang telah ada,
kemudian keseluruhan dari data tersebut disistematisasikan sehingga menghasilkan
klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.
6.

Analisis data
Bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, dengan

memilih dan mengklasifikasikan dengan relevansi kepada objek permasalahan, serta
melengkapi penelitian ini dengan bahan hukum primer dan bahan hukum tersier serta
43

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), halaman 47.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010).
halaman 113.
44

Universitas Sumatera Utara

bahan non hukum dianalisis dan disajikan dalam bentuk uraian sistematis sehingga
penelitian ini dapat memberikan gambaran yang terang terhadap proses pemidanaan
yang berkaitan dengan izin usaha pertambangan.
Metode analisis yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif, selain itu
penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis historis berdasarkan ruang
lingkup dan identifikasi masalah yang ada.
Pemetodean penelitian yuridis normatif adalah metode atau cara yang
digunakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang ada. Salah satu
pendekatan dalam penelitian normatif adalah pendekatan Perundang-undangan
(statute approach).

Karena yang akan diteliti adalah bahan aturan hukum yang

menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Dan pendekatan yuridis
historis yang merupakan pendekatan yang meneliti suatu sejarah peristiwa hukum
yang telah terjadi dengan tujuan untuk memahami filosofi dari pembentukan suatu
perundang-undangan.45

45

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994),
halaman 93.

Universitas Sumatera Utara