Hubungan pola asuh orang tua dengan pril

11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori – teori yang berkaitan dengan pola asuh orang tua,
autismme, kerangka teori, kerangka konsep, dan hipotesis

1. Pola asuh orangtua

1.1 Definisi pola asuh orangtua

Pola asuh merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik,
membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak sehingga
memungkinkan anak untuk mencapai tugas-tugas perkembangannya
(Khon Mu’tadin, 2002). Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam
kehidupan sehari-hari dengan harapan menjadikan anak sukses menjalani
kehidupan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat ( Euis, 2004) . Pola asuh

orang tua merupakan sikap - sikap yang ditunjukan orang tua kepada anak
yang bertujuan untuk memberikan pengaruh terhadap pembentukan
kepribadian anak ( Baumrind, 2005).

12

Istilah pola asuh orangtua untuk menggambarkan interaksi orangtua dan
anak-anak yang didalamnya orangtua mengekspresikan sikapsikap atau
perilaku, nilai-nilai, minat dan harapan-harapanya dalam mengasuh dan
memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Maccoby, 2005). Pola asuh
merupakan prilaku yang ditampilkan orang tua saat berhubungan dengan
anak mereka Perilaku – perilaku tersebut antara lain seperti cara orang tua
menunjukan kekuasaannya dengan memberikan aturan dan hukuman, serta
cara – cara orang tua memberikan perhatian seperti menunjukan kasih
sayang, dukungan dan juga pujian untuk anak (Kohn, 2010). Pola asuh
orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua
mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan
perkembangan anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku
(Jannah, 2012).


Dari definisi –definisi yang telah disebutkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan cara orang tua
membentuk kepribadian dan mengkontrol prilaku anak yang ditunjukan
melalui sikap-sikap yang diberikan oleh anak.

1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua
Menurut Baumrind (Papila, Olds & Feldman, 2009) terdapat 3 jenis pola
asuh orang tua yaitu: otoritarian, permisif dan otoritatif.
a. Pola asuh otoritarian merupakan jenis pola asuh dimana orang tua
memberikan peraturan-peraturan yang harus dipenuhi tanpa adanya
negosiasi dengan anak. Orang tua yang melakukan pola asuh
otoritarian juga tidak akan segan memberikan hukuman yang keras
sebagai cara mendisiplinkan anak. Anak dengan pola asuh otoritarian
akan membentuk sikap hormat dan taat pada anak, namun sisi negatif

13

dari pola asuh otoritarian ini adalah anak akan membangun perasaan
takut, cemas, tidak bahagia, inisiatif tidak terbentuk dan juga kurang
dapat membangun komunikasi dengan baik.

b. Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh dimana orang tua
memberikan segala sesuatu yang diminta oleh anak. Orang tua juga
kurang memberikan batasan dan kendali yang jelas pada anak.Anak
dengan pola asuh permisif akan lebih kreatif dan percaya diri, namun
disamping itu anak dengan pola asuh ini cenderung kurang memiliki
kontrol diri yang baik, mendominasi, kurang dapat menghormati dan
tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan temannya.
c. Pola asuh otoritatif, memberikan batasan dan juga kontrol terhadap

anak, namun masih memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat
mandiri dan juga memiliki tanggung jawab pribadi. Orang tua dengan
pola asuh otoritatif sangat menghargai minat dan pendapat dari anak
dan juga anak merasakan kasih sayang yang diberikan orang tuanya
kepada mereka. Anak dengan pola asuh otoritatif lebih percaya diri,
memiliki pengendalian diri yang baik, mampu mengelola stress dan
dapat bekerja sama dengan teman sebaya maupun orang – orang yang
lebih tua (Siregar, 2011).

Cara mendidik anak menurut Syamsu Yusuf LN. terdapat tiga pola
asuh (gaya perlakuan) orang tua yaitu:

a. Authoritarian : (sikap “aceptance” , suka menghukum, memaksa,
kaku/keras dan bersikap menolak)
b. Authoritative : (sikap “aceptance” dan controlnya tinggi, responsif
terhadap

kebutuhan

anak,

mendorong

serta

memberikan

penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk)

14

c. Permisive : (sikap “aceptance” nya tinggi, kontrolnya rendah

memberi kebebasan anak untuk menyatakan dorongan atau
keinginannya.

Chabib Thoha mengemukakan ada tiga pola asuh orang tua yaitu:
demokratis, otoriter, dan permissive
a. Demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orangtua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak
selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi
dirinya anak didengar pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan
terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri.
Anak

diberi

internalnya

kesempatan


sehingga

untuk

sedikit

mengembangkan

demi

sedikit

berlatih

kontrol
untuk

bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
Pola asuh demokratis menyebabkan anak memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:
a. Bersikap bersahabat
b. Memiliki percaya diri
c. Mampu mengendalikan (self control)
d. Sikap sopan
e. Mau bekerjasama
f. Memiliki rasa ingin tahunya tinggi
g. Mempunyai tujuan atau arah yang jelas
h. Berorientasi terhadap prestasi
i. Berani berpendapat

15

b. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan
aturan aturan

yang ketat seringkali memaksa anak untuk

berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak

atas

nama

dirinya

sendiri

dibatasi. Anak

jarang

diajak

berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua
menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak
perlu dipertimbangkan dengan anak.
Ciri-ciri pola asuh otoriter sebagai berikut :
1. Sikap “Aceptance” rendah namun kontrolnya tinggi
2. Suka menghukum secara fisik

3. bersikap mengomando (mengharuskan anak untuk melakukan
sesuatu tanpa kompromi).
4. Bersikap kaku (keras)
5. Cenderung emosional dan bersikap menolak
6. Harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh
membantah
Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan cenderung memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mudah tersinggung
b. Penakut
c. Pemurung tidak bahagia
d. Mudah terpengaruh dan mudah stres
e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas
f. Tidak bersahabat
g. Gagap (stuttering) serta rendah diri (Hidayah, 2013)

16

c. Pola Asuh Permissive
Pola asuh permissive ditandai dengan orang tua mendidik anak

secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa (muda), ia
diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang
dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga
tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya,
semua yang telah dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu
mendapatkan

teguran,

arahan

(bimbingan).

Kekurangan-

kekurangan dalam pola asuh ini anak cenderung melakukan segala
sesuatunya sesuai kehendaknya, tidak atau kurang memperhatikan
akibat dari perbuatannya baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain dan orang tua hampir tidak pernah campur tangan baik dalam
memilih tempat sekolah mengatur waktu ibadah teman bergaul dan

sebagainya.
Kondisi permissive ini cenderung mengakibatkan anak memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Bersikap impulsif dan ogresif
b. Suka bersikap memberontak
c. Kurang memiliki rasa percaya diri
d. Suka mendominasi
e. Tidak jelas arahnya
f. Prestasinya rendah

Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa ada tiga bentuk pola
asuh yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permissive, dan pola asuh
otoritatif atau demokratis. Ternyata pola asuh otoritatif dinilai paling
baik untuk pendidikan anak dibandingkan dengan pola asuh yang lain.
Hal ini disebabkan pola asuh otoritatif dapat membentuk anak memiliki
hubungan sosial yang baik.

17

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Baumrind bahwa pola asuh
otoritatif merupakan pola asuh yang efektif karena memiliki
kesimbangan

2

dimensi

yang

tinggi,

artinya

pola

asuh

ini

memungkinkan orangtua bersikap hangat tapi tetap menjunjung tinggi
kemandirian dan menuntut sikap tanggungjawab anak, menghadapi
anak dengan sikap rasional dan terarah, menawarkan diskusi dengan
anak , menjelaskan masalah disiplin dan membantu anak mencari
penyelesaian masalah. Hal tersebut didukung oleh para peneliti saat ini
diantaranya seperti pendapat Kartner, Slicker dan Gunnoe dan mereka
mengembangkan ide awal tadi dalam fokus yang bervariasi (Rahayu
Fitri, Hernawaty, & Rakhmawati, 2008).

2. Autisme
2.1 Pengertian Anak autis
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan
kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri
daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di
“alamnya” sendiri. Autisme atau autisme infantil (Early Infantile
Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr . Leo Kanner, seorang
psikiatris Amerika padatahun 1943. Istilah autisme dipergunakan untuk
menunjukkan suatugejala psikosis pada anak-anak yang unik dan
menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol
pada sindrom Kannerantara lain ekspresi wajah yang kosong seolaholah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang
lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi (Puspaningrum, 2010).

18

2.2 Penyebab Autisme
Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang
kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya
secara pasti (Marijani,2003) Autisme disebabkan faktor bawaan
tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya
dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami
trauma dengan lingkungan sosialnya (Supraktiknya, 1995). Autisme
juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada
pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup
rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus, dan sklerosis.

Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus
dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile
spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis
(Lumbantobing, 2001)

Ada berbagai sudut pandang menegenai autisme berdasarkan
penelitian dan teori-teori yang ada.
1. Penelitian awal
Penelitian awal dilakukan oleh Kanner (dalam Happe, 1994)
terhadap 11 anak autistik dan ditemukan beberapa ciri umum, yaitu:
extreme

autistic

aloneness,

keinginan

yang

obsesif

untuk

mempertahankan kesamaan, kemampuan menghafal yang luar
biasa, dan terbatasnya jenis aktivitas yang dilakukan secara spontan
pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada tahun 1944, Hans
Asperger mempublikasikan hasil penelitiannya tentang ‘autistic
psychopathy’ di Wina. Ia melakukan studi kasus terhadap empat

19

anak yang menunjukkan kesulitan dalam interaksi sosial dan hanya
memperlihatkan

ekspresi

wajah

yang

terbatas.

Ternyata

deskripsinya ini mirip dengan yang dikemukakan oleh Kanner dan
keduanya juga menggunakan

istilah autistic untuk menekankan

pada masalah utama anak-anak tersebut, yaitu kecenderungan
menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif,
minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara
sosial (Ginanjar, 2007).
2. Autisme sebagai Gejala Psikologis
a. Teori Berpandangan Psikoanalitik
Teori awal yang menjelaskan autisme dari sudut pandang
psikologis adalah teori

Refrigerator Mother. Teori ini

dikembangkan oleh Bruno Bettelheim, yang berpendapat
bahwa autisme disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak
hangat, sehingga anak-anak autistik cenderung menarik diri dan
bersibuk diri dengan dunianya (Happe, 1994; Buten, 2004;
Stacey,2003). Tokoh

lain yang meneliti anak-anak autistik

adalah Margareth Mahler. Menurutnya, anak-anak autistik
mengalami kerusakan yang parah pada egonya karena sejak
lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau
orang-orang lain sebagai patner dalam melakukan eksplorasi
terhadap dunia luar dan dunia dalamnya. Mereka juga
mengalami regresi ke arah tahap kehidupan yang paling primitif
serta menutup diri dari kehidupan yang menuntut respon-respon
emosional dan sosial.
b. Teori Berpandangan Kognitif
Salah satu teori psikologi mengenai autisme yang paling
terkenal dan bertahan sampaiM saat ini adalah Theory of Mind
(ToM) yang dikembangkan oleh Simon Baron- Cohen, Alan

20

Leslie, dan Uta Frith (Jordan, 1999; Frith, 2003). Berdasarkan
pengamatan terhadap anak-anak autistik, mereka menetapkan
hipotesis bahwa tiga kelompok gangguan tingkah laku yang
tampak pada mereka (interaksi sosial, komunikasi, dan
imajinasi) disebabkan oleh kerusakan pada kemampuan dasar
manusia untuk “membaca pikiran”. Pada anak-anak normal,
sejak usia empat tahun umumnya mereka sudah mengerti
bahwa semua orang memiliki pikiran dan perasaan yang akan
mengarahkan tingkah laku. Sebaliknya, anak-anak autistik
memiliki kesulitan untuk mengetahui pikiran dan perasaan
orang lain yang berakibat mereka tidak mampu memprediksi
tingkah laku orang tersebut. Kondisi ini oleh Baron-Cohen
disebut “mindblindness”, sementara Frith menjelaskannya
dengan istilah “mentalizing” (Frith,2003).
c. Teori Berpandangan Neurologis
Adanya inkonsistensi hasil-hasil eksperimen untuk menguji
ToM pada anak-anak autistik memunculkan teori baru yang
lebih berorientasi pada masalah neurologis yaitu teori executive
functioning (EF). Menurut Ozonoff (dalam Jordan, 1999; Frith,
2003) masalah pada anak autistik mungkin disebabkan oleh
kegagalan dalam melaksanakan tugas atau masalah dalam
melakukan fungsi eksekutif, bukan defisit kompetensi. Fungsi
eksekutif antara lain adalah kemampuan untuk melakukan
sejumlah tugas secara bersamaan, berpindah-pindah fokus
perhatian,

membuatkeputusan

tingkat

tinggi,

membuat

perencanaan masa depan, dan menghambat respon yang tidak
tepat.

21

3. Autisme sebagai Gejala Neurologis
Pada tahun 1964 Bernard Rimland, menerbitkan buku tentang
gangguan susunan saraf pusat pada anak autistik yang mengubah
arah penelitian tentang penyebab autisme, yaitu dari penyebab
psikologis menjadi penyebab neurologis. Sejak saat itu mulai
dilakukan penelitian-penelitian pada otak individu autistik.
Berbagai penelitian neurologis yang terdahulu ternyata tidak
memberikan hasil yang konsisten. Penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh Hass dkk. (dalam Huebner & Lane, 2001) dan
Courchesne (dalam Nash, 2002) menemukan suatu kesamaan yaitu
adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum
dan vermis. Penelitian lanjutan oleh Courchesne dkk. (Courchesne,
Redcay, Morgan, & Kennedy, 2005) menghasilkan hipotesis baru.
Para peneliti berpendapat bahwa pada saat lahir bayi autistik
memiliki ukuran otak yang normal. Namun setelah mencapai usia
dua atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi
normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil, yang
disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang
berlebihan.

Sementara

sel

saraf

yang

ada

lebih

sedikit

dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah.
Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada
perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.
4. Autisme sebagai Sindrom
Penentuan kriteria diagnosis autisme pada DSM-III-R (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi revisi ketiga) dan
ICD-10 (International Classification of Disease, revisi kesepuluh)
merupakan sumbangan dari survei epidemiologis yang dilakukan
oleh Lorna Wing dan Judith Gould di daerah Camberwell, London

22

pada tahun 1970 (Happe, 1994). Tujuan survei ini adalah untuk
menemukan ciri-ciri autisme yang selalu hadir secara bersamaan,
dan

bukan

hanya

memperkenalkan

merupakan

istilah

kebetulan.

“spektrum

Hasilnya,

Wing

dengan

triad

autistik”

impairments, yaitu sosialisasi, komunikasi, dan imajinasi (Frith,
2003; Sacks, 1995). Wing juga menekankan pada adanya kontinum
autisme yang berkisar antara mereka yang berfungsi tinggi sampai
dengan yang terbelakang.
5. Autisme sebagai Gejala Sensorik
Banyak anak SA yang memiliki gangguan pengolahan sensorik
(sensory processing disorder) yang dapat muncul dalam tingkah
laku hiperaktif, bermasalah dalam melakukan gerakan, memiliki
tonus otot yang lemah, dan sulit berkonsentrasi. Gangguan ini
memunculkan sekumpulan simtom yang merupakan respon aversif
terhadap stimulus sensorik yang sebenarnya tidak berbahaya
(McMullen, 2001; Kranowitz, 2003; 2005). Masalah dalam
memproses input sensorik juga menyebabkan anak SA tidak
mampu menyaring input-input yang tidak relevan sehingga
seringkali gagal dalam mengolah informasi penting dan cenderung
mudah stres dan cemas. Berkaitan dengan gangguan pengolahan
sensorik, Jean Ayres mengembangkan teori Integrasi Sensorik (IS)
yang

mendasarkan

pada

pemahaman

bahwa

sensasi

dari

lingkungan dicatat dan diinterpretasikan di otak atau susunan saraf
pusat. Sensasi ini kemudian mempengaruhi gerakan atau respon
motorik yang selanjutnya merupakan umpan balik bagi otak
(Rydeen, 2001). Terdapat tiga sistem yang dianggap paling penting
dalam perkembangan ketrampilan yang kompleks, yaitu vestibular,
proprioseptif, dan taktil. Di samping itu terdapat pula sistem visual
(penglihatan), auditori (pendengaran), olfaktori (pembau), dan
gustatori (pengecap).

23

Pada tahun 2004, sekelompok ahli yang dipimpin oleh Miller
memodifikasi teori Integrasi Sensorik dan mengklasifikasikan
gangguan pengolahan sensorik menjadi tiga kategori utama:
1. Gangguan Modulasi Sensorik (Sensory Modulation Disorder)
2. Gangguan Diskriminasi Sensorik (Sensory Discrimination
Disorder)
3. Gangguan Motorik Berbasis Sensorik (Sensory Based Motor
Disorder)
Proses IS terjadi secara otomatis dan tidak disadari. Pada individu
dengan integrasi sensorik yang baik, otak memiliki kemampuan
untuk mengorganisasi dan memproses input sensorik serta
menggunakan input tersebut untuk berespon secara tepat pada
situasi khusus. Sebaliknya, pada individu dengan disfungsi sensorik,
terjadi gangguan pada pencatatan dan interpretasi sensorik sehingga
mengakibatkan masalah pada proses belajar, perkembangan, atau
tingkah laku (Kranowitz, 2005).

2.3 Tipe-Tipe Autisme
1. Berdasarkan perilaku
Tipe-tipe autisme berdasarkan perilakunya dibedakan menjadi:
a. Aloof adalah anak autis yang berusaha menarik diri dari kontak
sosial dengan orang lain dan lebihsuka menyendiri
b. Passive adalah anak autis yang hanya menerima kontak sosial
tapi tidak berudaha untuk menanggapinya
c. Active but odd adalah anak autis yang melakukan pendekatan
tapi hanya bersifat satu sisi saja dan bersifat aneh

24

2. Berdasarkan tingkat kecerdasan
Tipe-tipe autisme berdasarkan tingkat kecerdasannya dibedakan
menjadi :
1. Low functioning (IQ rendah)
Anak autis tipe low functioning tidak dapat mengenal huruf
dan

membaca.

Tuntutan

yang

paling

penting

adalah

kemandirian yang bersifat basic life skills, misalnya cara
menggunakan sabun, menggosok gigi dan sebagainya.
2. High functioning (IQ tinggi)
Anak autis tipe high functioning memiliki komunikasi yang
baik, pintar, sangat senang dan berminat pada satu bidang,
tetapi kurang berinteraksi sosial (tidak bisa bersosialisasi).
3. Berdasarkan munculnya gangguan
Tipe-tipe autisme berdasarkan munculnya gangguan dibedakan
menjadi:
a. Autisme klasik adalah autisme yang disebabkan kerusakan
saraf sejak lahir. Kerusakan saraf disebabkan oleh virus
rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat
(merkuri dan timbal).
b. Autisme regresif adalah autisme yang muncul saat anak
berusia

antara

12-24

bulan.

Perkembangan

anak

sebelumnya relatif normal, namun setelah usia dua tahun
kemampuan anak menjadi merosot.

25

2.4 Kriteria Diagnostik Autisme
APA (American Psychiatric Assosiation) telah menetapkan Kriteria
diagnostik gangguan autism dalam DSM-IV, Mulyadi ( 2011) sebagai
berikut:
A. Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2), dan (3):
1. Gangguan dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal
dua dari kriteria berikut:
a. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal seperti
kontak mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.
b. Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anakanak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.
c. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang
lain secara spontan.
d.

Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.

2. Gangguan dalam komunikasi seperti terwujud dalam mengenal
satu dari kriteria berikut:

a. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa
upaya untuk menggantinya dengan geraka non verbal.
b.

Pada mereka yang cukup mampu berbicara, hendaya yang
tampak jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik.
d.

Kurang bermain sesuai tahap perkembangannya.

26

3. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud
dalam minimal satu dari kriteria berikut ini:
a. Preokupasi yang tidak normal pada objek atau aktifitas
tertentu.
b.

Keterikatan yang kaku pada ritual tertentu

c.

Tingkah laku stereotip

d. Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari
suatu objek.

B. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu
dari bidang berikut, berawal sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial,
bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan
imajinatif.

C. Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan Rett atau
gangguan disintegratif dimasa kanak-kanak. Ciri-ciri gangguan
autisme masa kanak-kanak :
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti
kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan
gerak-geriknya kurang tertuju.
2. Tidak dapat bermain dengan teman sebaya.
3. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
4. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal-balik.
5. Bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak
ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain
selain bicara).
6. Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
7. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
8. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang
bisa meniru.

27

9. Mempertahankan satu permintaan atau lebih, dengan cara
yang khas dan berlebihan.
10. Terpaku pada satu kegiatan rutin yang tidak ada gunanya.
11. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
12. Seringkali sangat terpukau pada benda.
13. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial,
bicara dan berbahasa, dan cara bermain yang kurang variatif
sebelum umur tiga tahun.
14. Tidak

disebabkan

oleh

sindrom

Rett

atau

gangguan

disintegratif masa kanak-kanak. (Prasetyono, 2008)

2.5 Jenis-Jenis Terapi Autisme
Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik.
Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan
anak dapat terpenuhi secara bertahap. Terapi perlu diberikan sedini
mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat
otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya
pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para ahli
adalah sebagai berikut :
a. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan
penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem
yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan
memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini
bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang paling banyak
dipakai di Indonesia.

28

b. Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam
bicara

dan

berbahasa.

Kadang-kadang

bicaranya

cukup

berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai
bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.
c. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam
perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar,
mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar,
kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan
kemulutnya, dan lain sebagainya. Terapi okupasi ini sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halus anak
dengan benar. Pada terapi okupasi terapis menyediakan waktu dan
tempat secara khusus kepada anak untuk belajar bagaimana cara
yang benar memegang benda
d. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak
diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan
dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek
sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang
bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki
keseimbangan tubuhnya.
e. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah
dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini
membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2
arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain.
Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas

29

pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan
mengajari cara-caranya.
f. Terapi Integrasi Sensori
Anak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan mengolah,
mengartikan seluruh rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh
maupun lingkungan dan menghasilkan respon yang terarah. Terapi
integrasi sosial ini berfungsi meningkatkan kematangan susunana
saraf pusat. Aktivitas terapi ini merangsang koneksi sinaptik yang
lebih kompleks sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk
belajar.
g. Terapi Bermain
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi
terapi bermain yang berpusat di Amerika, mendefinisikan terapi
bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis
untuk memantapkan proses interpersonal. Terapi bermain ini
merupakan pemanfaatan pola permainan sebagai media yang
efektif melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain
merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan media
untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi,
perkembangan

emosi,

keterampilan

sosial,

keterampilan

pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif pada anakanak. Bermain pada anak-anak seperti berbicara pada orang
dewasa.
h. Terapi Perilaku
Terapi ini berupaya melakukan perubahan perilaku pada anak
autis, perilaku yang berlebihan dikurnagi dan perilaku yang
berkekurangan

(belum

ada)

ditambahkan.

Terapi

perilaku

memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif
tiap kali anak memberikan respon benar sesuai instruksi yang

30

diberikan. Tetapi bila anak memberikan respon negatif atau tidak
merespon sama sekali maka anak tersebut tidak mendapatkan
reinforcement postif yang disukai. Tujuan terapi ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan.
i. Terapi Perkembangan
Beberapa terapi perkembangan adalah Floortime, Son-rise dan
RDI (Relationship Developmental Intervention)
1. Floortime

dilakukan

oleh

orangtua

untuk

membantu

melakukan interaksi dan kemampuan bicara
2.

RDI mencoba membantu anak autis menjalin interaksi positif
dengan orang lain meskipun tanpa menggunakan bahasa.

3. Son-rise merupakan terapi untuk mempelajari minat anak,
kekuatannya

dan

ditingkatkan

tingkat

kemampuan

perkembangannya,
sosial,

kemudian

emosional

dan

Intelektualnya.
j. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambargambar,

misalnya

dengan

PECS

(Picture

Exchange

Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai
untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.
k. Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang
tergabung dalam DAN (Defeat Autism Now). Mereka menemukan
bahwa gejalagejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan
metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak.
Oleh karena itu anakanak ini diperiksa secara intensif,

31

pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal
yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari
gangguan. Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila
mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan
dari dalam tubuh sendiri (biomedis).
l. Terapi Musik
Terapi musik adalah terapi menggunakan musik untuk membantu
seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan
sosial yang mengalami hambatan maupun kecacatan.terapi musik
memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Memperbaiki self-awareness
2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih
mandiri dan peduli dengan orang lain
3. Mangakomodasi dan membangun gaya komunikasi
4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai
m. Terapi Medikamentosa
Terapi ini dilakukan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter
yang berwenang. Gejala yang sebaiknya dihilangkan dengan obat
adalah hiperaktivitas yang hebat, menyakiti diri sendiri, menyakiti
orang lain (agresif), merusak (destruktif) dan gangguan tidur.
Sampai saat ini, tidak ada obat yang dibuat khusus untuk
menyembuhkan

autisme.

Kebanyakan

obat

dipakai

untuk

menghilangkan gejala dan gangguan pada susunan saraf pusat.
Beberapa jenis obat memiliki efek yang sangat bagus untuk
menimbulkan respon anak terhadap dunia luar. Dengan pemakaian
obat, intervensi dini untuk mengobati anak autis akan lebih cepat
berhasil.

32

n. Terapi Melalui Makanan
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan pada anak-anak
dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini memberikan
solusi tepat bagi orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan
sesuai bagi anaknya sesuai dengan petunjuk ahli mengenai gizi
makanan. Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah
GFCF (Glutein Free Casein Free). Penderita autisme memang
tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula
tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar
dari mereka.
o. Terapi Air (Hydrotherapy)
Berenang adalah latihan yang terbaik untuk penyandang autisme
dan disfungsi integrasi sensori. Anak-anak pada umumnya
menyukai aktivitas yang dilakukan di dalam air dan dapat
meningkatkan hubungan sosial yang normal. Integrasi sensori
membuat penderita merasa tertantang untuk mempelajari aktivitas
yang pada mulanya di luar kemampuan mereka.
p. Terapi Kasih Sayang
Terapi kasih sayang merupakan terapi yang harus dilakukan oleh
setiap keluarga penderita autisme. Setiap orang tua harus
menyadari bahwa anak adalah anugerah terindah dari Tuhan, dan
orangtua manapun harus tetap memberikan kasih sayang pada
anak mereka bagaimanapun kondisinya. Puluhan jam yang
dihabiskan untuk berbagai macam terapi mungkin bisa membantu
penyembuhan, namun lebih dari semua itu kasih sayang dan cinta
yang besar dari orangtua adalah kunci utama dalam menangani
anak autis. Kasih sayang serta kesabaran ekstra merupakan
pendekatan yang harus selalu ada.

33

3. Kerangka teori

Faktor
penyebab

Kriteria
diagnostik

Otoriter
Autisme
Pola asuh
Orangtua

Permisive

Terapi
Otoritatif

Komunikasi anak
autis

Gambar 1. Kerangka teori

4. Kerangka konsep

Varaibel Independen
Pola asuh orangtua

Gambar 2. Kerangka Konsep

Variabel Dependen
Komunikasi anak autis
terhadap orang tua

34

5. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep tersebut, maka peneliti
menggunakan rumus hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian yaitu: Ada
hubungan tipe pola asuh orang tua dengan komunikasi anak autis di
Bandarlampung

35