TAFSIR TENTANG AYAT AYAT PUASA

TAFSIR TENTANG AYAT – AYAT PUASA

I.

PENDAHULUAN
Dalam salah satu rukun Islam telah disebutkan bahwa puasa adalah suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mencapai derajat muslim. Dalam hadits
Nabi pun disebutkan bahwa puasa adalah salah satu tiang penyangga Islam. Oleh
karenanya sebagai umat Islam kita tentu berkewajiban melaksanakannya. Namun
Islam bukanlah agama yang memberatkan, prinsip rahmatan lil alamin telah
diteladankan oleh Nabi Muhammad yang tidak lain semua itu bersumber dari
Allah. Misalnya bagi orang yang sakit atau musafir tidaklah dikenai kewajiban
puasa, karena mereka dalam keadaan yang payah. Dan masih banyak lagi bukti
rahmatan lil ‘alamin tersebut, diantaranya yang terkandung dalam QS.AlBaqarah:183-185.
Puasa merupakan suatu tindakan menghindari makan, minum, serta segala
hal lain yang dapat memuaskan hasrat-hasrat psikis maupun fisik yang dilakukan
pada masa tertentu. Makna dan tujuannya secara umum adalah untuk menahan
diri dari segala hawa nafsu, merenung, mawas diri, dan meningkatkan keimanan
terhadap Allah SWT. Salah satu hikmah puasa ialah melatih manusia untuk
meningkatkan kehidupan rohani. Nafsu jasmani yang terdapat dalam diri tiap
individu harus diredam, dikendalikan, dan diarahkan dengan sungguh-sungguh

untuk mencapai tujuan yang mulia. Setiap orang yang menjalankan puasa pada
hakekatnya sedang memenjarakan dirinya dari berbagai nafsu jasmani. Puasa juga
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf kehidupan, baik yang

1

duniawi maupun yang ukhrawi. Karena puasa telah dilakukan di setiap syariat
agama, bahkan Allah swt menyandarkan puasa kepada zat Nya. Pada sebuah
hadist qudsi dikatakan bahwasanya “Semua amal anak adam itu untuk dirinya
sendiri, kecuali puasa. Karena puasa itu dikerjakan untuk-Ku, maka Aku-lah yang
akan memberi balasannya”. Puasa merupakan salah satu bentuk ritus agama yang
dapat meningkatkan kualitas spiritual manusia dan sebagai wahana pensucian diri
guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.

II. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Puasa
A. Pengertian Puasa
Secara etimologi puasa berarti manahan, meninggalkan berpindah dari satu
perbuatan kepada perbuatan yang lain. Kata shoum bermakna “diam”, hal ini
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,


    
    
    
    
26.“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat
seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusiapun pada hari ini".1
Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas ra. berkata : ‫ صصوومما‬maknanya
adalah ‫ صصوممتا‬yaitu menahan diri dari berbicara.
Ahli syi’ir umru’ul qais pun menyebutkan dalam syairnya :

‫حتى اذا صام انهار واعتدل وشال للشمس لعاب فنزل‬

1 Q.S. Maryam : 26

2

lafadz shooma disini bermakna bahwa siang itu tidak beranjak pergi maka
seolah-olah dia berhenti.

Secara terminologi puasa berarti menahan dari makan dan minum disertai
dengan penetapan niat beribadah sejak terbit fajar hingga terbenamnya
matahari dan menyempurnakannya dengan menjauhi segala sesuatu yang
dilarang ataupun diharamkan.
Dalam bahasa arab puasa disebut shiyaam atau shaum berasal dari kata
shaama artinya menahan diri atau berhenti dari melakukan sesuatu, sedangkan
menurut syara’ adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh mulai
fajar hingga magrib, karena mengharapkan ridha Allah danmenyiapkan diri
untuk bertaqwa kepadanya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan
mendidik kehendak.2
B. Ayat – Ayat tentang puasa
1. Surah Al-Baqarah ayat 183-184




    





  

      
     
     
     
     


    
 
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
2 Asrori, Tafsir Al-Asraar jilid I, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Daarut Takdiid, 2012), hal. 6

3


Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
a. Makna Mufradat
‫يا ايها الذين‬

: wahai orang-orang, huruf ya’ disini merupakan huruf nida’

yang berarti seruan kepada orang banyak.
‫ امنوا‬: orang-orang yang beriman, lafadz ini sebagai na’at dari pada
lafadz ‫الذين‬, sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman
saja baik laki-laki atau perempuan.
‫ كتب‬: diwajibkan atau ditetapkan
‫ عليكم‬: atas kamu sekalian (umat Islam), dlomir kum disini kembali pada
lafadz ‫امنوا الذين‬. Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba.
‫ الصيام‬: puasa, menahan dari melakukan sesuatu

‫كما كتب على الذين من قبلكم‬
: seperti halnya diwajibkan kepada umat
sebelum kamu(umat Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu
mulai nabi Adam as. Huruf kaf merupakan tasybih atas hukum dan sifat
puasa yang wajib bukan pada bilangannya, namun ada pula yag
berpendapat penyerupaan ini pada bilangannya, pendapat yang kedua ini
pun menimbulkan kontroversi, ada yang berpendapat bahwa kalimat ini
dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan bahwa kalimat ini
tidak dihapus dan ayat ini adalah ayat muhkamat.
‫لعلكم تتقون‬
: puasa sebagai jalan menuju takwa
‫ أياما ا معدودات‬: hari yang ditentukan, lafadz ‫ أياما‬berkedudukan sebagai
dlorof sehingga dibaca nashob sedangkan amilnya yaitu shiyam, jika
diperlihatkan menjadi ‫كتب عليكم الصيام في هذه اليام‬. Hal ini pun ada 3
pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam setiap bulan, ada pula yang 3
hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan yang lebih shohih adalah
hari itu pada waktu bulan ramadlan.
‫ فمن كان منكم مريضا ا أو على سفر فعدة‬:kewajiban puasa diatas tidak belaku
bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan untuk
4


berbuka bagi mereka. Lafadz ‫ عدة‬menurut ar-raghib adalah sesuatu yang
berbilang. Menurut qurthubi adalah ‫ عدة‬adalah fiil dari ‫ عد‬yang berarti
ma’dud atau bilangan.
‫خرر‬
:hari-hari lain yang sama bilangannya dengan hari ketika
‫ميمنن أ ر يريامم أ أ ر‬
sakit atau safar. ‫خر‬
‫ أ أ ر‬adalah jama’ dari ukhra, ‫ أي أياما ا أخرى‬menurut alkisai
hal ini tercegah dari perubahan karena jika demikian menunjukkan pada
ma’na akhar sedangkan menurut sibawaih jika dijama’kan harus adanya
penambahan alif dan lam.
‫ وعلى الذين يطيقونه‬: dan bagi orang yang melakukan hal diatas, ‫يطيقونه‬
berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan
kesuliatan baginya.
‫مفندي رةة‬
: memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya
(makanan) kepada manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang
telah ditinggalkannya, hal ini serupa dengan kafarat.
‫طعاأم مسكين‬

: makanan kepada orang miskin, mengenai qira’ah untuk
kalimat ini dibawah akan kami jelaskan.
ً‫خينةر ل ي رأه ا‬
: menurut ibnu Abbas kalimat tersebut
‫خينارارفأهرو ر‬
‫ع ر‬
‫رفرمن ترط ر ي رو ر‬
berarti seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut
thowus yaitu orang yang rela memberi makan orang miskin dan menurut
mujahid adalah banyaknya orang miskin yang diberi maka memberi
tambahan kebaikan kepada si pemberi.
‫رورأن ترأصوأموا ن‬
: dan berpuasa bagi orang-orang yang mampu, dlomir disini
tidak kembali kepada orang-orang yang sakit, safar, hamil, menyusui dan
orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka itu lebih baik dari pada
berpuasa.
‫خينةر ل ي رك أنم‬
‫ ر‬: lebih baik dari pada membayar fidyah dan melaksanakan
kebajikan.
‫ إمنن أكن نتأنم ترنعل رأمورن‬: jika kamu mengetahui (keutamaan puasa dan segala

kebaikan yang menyertainya), yang termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul
ilmi yang mau memikirkan keutamaannya. Sedangkan jawab dari lafadz
ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz sebelumnya yaitu boleh
memilih antara puasa atau tidak.
b. Kandungan ayat
5

1) Pada zaman apa saja dan di kalangan umat apa saja, puasa merupakan
kebiasaan yang banyak di kerjakan walaupun seandainya tidak
diperintahkan oleh Allah swt. Sebagai contoh : puasa 3 hari tiap bulan
(Nabi Nuh), sehari puasa sehari tidak (Nabi Daud), puasa 40 hari (Nabi
Musa), puasa Nabi Isa maupun dalam ajaran agama lain: konsep
menjauhkan diri dari kemewahan (Budha), konsep nyepi (Hindu), dan
lain-lain. Pengakuan bahwa puasa telah biasa dilakukan atau
diwajibkan kepada umat terdahulu menunjukkan dua hal, pertama:
legitimasi teologis (tekstual) yaitu merupakan ajaran Allah swt untuk
peningkatan kualitas dari, kedua: legitimasi budaya (kontekstual) yaitu
merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat
sebelumk islam. Ada dua legitimasi tersebut menyebabkan puasa
berdampak pada wilayah social sekaligus spiritual.

2) Islam memperkenalkan arti puasa yang baru sama sekali. Sebelum
islam, puasa hanyalah dimaksudkan untuk mengurangi makan, minum
dan tidur pada waktu berkabung dan berduka cita, tetapi oleh islam
puasa dijadikan peraturan untuk meninggikan ahlak dan rohani
manusia. Hal ini diuraikan dengan jelas dalam akhir ayat yang
berbunyi “agar kamu bertaqwa”.
3) Tiga golongan yang dikecualikan boleh meninggalkan puasa yaitu
orang sakit, bepergian, dan yang terasa berat untuk berpuasa
(hamil/menyusui, pekerja berat).3
c. Asbabun Nuzul
Diterangkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari Mujahid, beliau
berkata, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib (yang
sudah

sangat

lanjut

usianya),


Dan

bagi

orang

yang

berat

menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang
miskin (Q.S. Al-Baqarah 184). Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan
seorang miskin setiap hari Ramadan yang tidak dipuasainya”.
3 Asrori, Tafsir Al-Asraar jilid I, hal. 7-8

6

Dari Ibnu Jarir dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah
SAW.datang ke Madinah pada hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa,
dan beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah
mewajibkan puasa Ramadlan, dengan menurunkan QS.Al-Baqarah 183184, maka saat itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa, ada yang
berbuka dan ada yang memilih untuk memberi makan orang miskin.
Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang yang sehat lagi muqim
( tidak bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang memberi makan
orang miskin yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk
berpuasa.
d. Penafsiran ayat
Dalam ayat ini Allah memanggil umat yang beriman untuk menyuruh
mereka berpuasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh
dengan niat yang tulus ikhlas kepada Allah sepanjang hari, karena
mengandung ajaran menyucikan diri dan membersihkan dari akhlak yang
rendah dan keji. Juga diterangkan bahwa kewajiban ini telah diwajibkan
kepada umat yang dahulu, karena itu hendaklah rajin-rajin melakukan
kewajiban ini, supaya kalian mencapai pengertian taqwa yang sesungguhnya,
sebab dalam puasa itu ada tuntunan untuk mempersempit pengaruh setan. 4
Sebagaimana sabda nabi saw.:

‫ب صمهن اوستصصطاصع همن وك ممم الصباصءصة صفل وي صتصصز وصووج صوصمون ل صوم ي صوستصهطوع صفصعل صي وهه‬
‫صياصموعصشصرال وصشصبا ه‬
‫هبال وصصووهم صفاهن وصمه ل صمه هوصجاءء‬
“Hai para pemuda, siapa di antaramu yang sanggup menanggung
kewajiban maka hendaklah kawin, dan siapa yang belum sanggup maka
hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menahan nafsu.” 5

4 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, cet. Ke-2,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 312
5 HR. Bukhari, Muslim

7

Dalam ayat ini pun tampak jelas tujuan dari puasa, yaitu bertaqwa kepada
Allah. Taqwa itulah yang membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau
menunaikan kewajiban ini, demi menaati Allah dan untuk mendapatkan ridhaNya.6
Kemudian dijelaskan kadar puasa yakni bukan setiap hari terus menerus,
tetapi beberapa hari yang dapat dihitung dengan jari, supaya tidak
memberatkan sehingga tidak sanggup mengerjakan, pada mulanya puasa
diwajibkan tiap bulan selama tiga hari, kemudian dimansukhkan dengan puasa
sebulan pada bulan ramadhan.
Diriwayatkan bahwa puasa itu pada mulanya diwajibkan sebagaimana
umat-umat yang dahulu pada tiap bulan selam tiga hari sejak zaman nabi Nuh
a.s. sehingga dimansukhkan oleh Allah dengan puasa bulan ramadhan.
Al-Hasan Al-Basri berkata, “sesungguhnya telah diwajibkan berpuasa
atas tiap umat sebelum kami sebagaimana diwajibkan atas kami sebulan
cukup dan beberapa hari.”
Abdullah bin Umar mengatakan bahwa rasulullah saw. Bersabda:

‫عصلى ا ول مهمصم صقبول صك موم‬
‫هصصيامم صرصمصضاصن ك صتصبصمه اللمه ص‬
“Berpuasa bulan ramadhan telah diwajibkan oleh Allah kepada umatumat sebelummu.” 7
Ibnu Abbas berkata, “orang sebelummu ialah ahlul kitab”
Kemudian diterangkan hukum puasa pada permulaannya, siapa yang
dalam keadaan sakit atau musafir, mereka tidak berpuasa, hanya saja harus
qadha menurut bilangan hari yang ia tidak puasa.8
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,

6 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, (Beirut: Darusy-Syuruq, 1992),
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk., Tafsir Fi Zhilalil Qua’an di Bawah Naungan Al-Qur’an
(Surah Al-Faatihah – Al-Baqarah) Jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 199
7 HR. Ibnu Abi Hatim
8 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 313

8

maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.”
Pada awalnya, tugas berpuasa itu sangat berat bagi kaum muslimin. Puasa
difardukan pada tahun kedua hijriyah, tidak lama sebelum difardukannya
jihad. Maka, member rukhshah kepada orang yang berpuasa berat dan inilah
petunjuk kata “yuthiiquunahu” yang berarti dapat melakukan dengan sangat
payah. Maka, Allah memberikan kemurahan ini, yaitu berbuka (yang tidak
puasa) tetapi wajib memberi makan seorang miskin (untuk setiap harinya).
Kemudian mereka dirangsang untuk melakukan kebajikan di dalam
memberi makan orang-orang miskin ini secara mutlak, mungkin dengan
memberi kabajikan yang selain fidyah. Mungkin dengan memberikan
tambahan dari batas fidyah, misalnya dengan memberi makan kepada dua
orang, tiga orang atau lebih untuk setiap hari puasa ramadhan yang ia
tinggalkan.9
Salamah bin al-Akwa r.a. berkata, “ketika turun ayat: wa alal ladziina
yuthii quunahu fidyatun thaamu miskin, siapa ingin tidak berpuasa boleh
asalkan memberi makan kepada seorang miskin, dan ketika turun ayat
lanjutannya:

faman syahida

minkumusy

syahra falyashumhu, maka

dimansukhkan dan diharuskan berpuasa bagi orang yang kuat, muda, dan
sehat.”
Ibnu Abbas berkata, “mansukh bagi pemuda yang sehat dan kuat dan
tetap bagi orang tua yang sudah tidak kuat puasa.”
Ibnu Umar juga menyatakan bahwa ayat 184 di mansukhkan oleh ayat
185. Ibnu Abi Laila berkata, “saya masuk ketempat Atha’ di bulan ramadhan
sedang ia makan, lalu Ibnu Abbas berkata, “ayat 185 memansukhkan ayat
184 kecuali bagi orang tua yang tidak sanggup berpuasa maka boleh
membayar fidyah untuk tiap hari member makan seorang miskin.”10

9 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 203
10 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 315316

9

“Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya.”
Artinya ketika mengqadha puasa itu, maka dilebihkannya jumlah puasa
qadhanya dari puasa yang tidak ditunaikannya. Menurut Ibnu Syihab, “selain
dari mengqadha itu, hendaklah dia memberi makan.” Menurut Mujahid,
“dilebihkannya makanan yang wajib dibayarnya itu, lebih dari satu mudd.”11
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Karena di dalam puasa terdapat sesuatu yang lebih baik dalam hal ini,
yang diantaranya tampak bagi kita unsur pendidikan terhadap iradah, 12 untuk
menguatkan ketabahan, dan lebih mementingkan ibadah kepada Allah
daripada beristirahat. Semua ini merupakan unsur-unsur yang dituntut di
dalam pendidikan islam. Tampak juga bagi kita bahwa didalam berpuasa
terdapat nilai tambah dalam aspek kesehatan bagi yang tidak sakit, meskipun
ia merasakan puasa itu berat.13
Adapun orang sehat dan kuat puasa maka untuknya boleh berpuasa atau
membayar fidyah jika tidak berpuasa untuk tiap harinya memberi makan
kepada seorang miskin, dan jika memberi makan lebih daripada seorang maka
itu lebih baik, dan bila ia berpuasa itu lebih utama.14
Kesimpulan ayat 184 tetap mansukh terhadap orang kuat, sehat, dan tidak
musafir, adapun terjadap orang tua yang tidak kuat puasa boleh membayar
fidyah memberi makan tiap hari pada seorang miskin. Sebab baginya tidak ada
harapan untuk biasa kuat kembali.
Anas r.a. ketika telah tua tidak berpuasa dan memberi makan untuk tiap
hari seorang miskin, bahkan ia membuat roti kuah dan mengundang 30 orang
miskin, untuk membayar fidyah bagian 30 hari.
Adapun terhadap wanita hamil dan menyusi tidak khawatir atas dirinya
atau anaknya, maka dalam hal ini para ulama berbeda. ada yang mengatakan
11 Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2006),
hal. 37
12 Kemauan
13 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 204
14 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 313

10

boleh tidak berpuasa tetapi harus qadha dan membayar fidyah. Ada pendapat
yang mengatakan harus membayar fidyah tanpa qadha. Ada pendapat yang
mengahruskan qadha tanpa fidyah.15
2. Surah Al-Baqarah ayat 185

    
   
    
     
     
     
     







   
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.

15 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 316

11

a. Makna Mufradat
‫شهر رمضان‬

: menurut akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena

menafsiri lafadz ‫ رمضان‬. ‫ أياما ا‬berasal dari kata ‫الررمض‬, yang berarti
panas. Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa.
‫الذي أأنُزل فيه القرآن‬
: yang mana al-qur’an diturunkan pada bulan
itu, mengenai hal ini ada 3 pendapat, menurut ibnu abbas yaitu ketika
alqur’an turun secara sekaligus dari baitul izzah menuju langit dunia itulah
yang dinamakan lailatul qadar. Menurut mujahid dan dhohak yaitu
turunnya alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan
menurut ibnu ishaq dan abu sulaiman ad-dimasyqi adalah yang dinamakan
awal diturunkannya al-qur’an ketika ia disampaikan kepada nabi
Muhammad SAW.
‫ر‬
‫س‬
‫ أ‬: memberi petunjuk dari kegelapan, dibaca nashob karena
‫ه ا‬
‫دىً للّننا س‬
menjadi hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya al-qur’an telah
memberi petunjuk manusia kepada kebenaran.
‫فرر ن‬
‫وال ر أ‬
‫قان‬
: kalimat ini disebutkan setelah ً‫دى‬
‫أ‬
‫ه ا‬
‫م ن‬
‫وبينات م‬
‫ن الهدىً ن‬
‫ر‬
‫س‬
‫ للّننا س‬, menunjukkan bahwa Allah menjelaskan beberapa petunjuk yang
Dia berikan melalui wahyu yang telah diberikan kepada utusannya,
melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah dijelaskan antara yang haq dan
bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Menurut jalalain huda yang kedua
menunjukkan hukum-hukum yang haq.
‫ن‬
‫من ن‬
‫م‬
: yaitu orang yang menyaksikan, hadir dan
‫هدن س‬
‫منك أ أ‬
‫ف ن‬
‫ش س‬
muqim pada bulan itu, tidak sedang musafir.
‫هنر ن‬
‫ال ن‬
‫ ال ن‬: dibaca nashob karena berkedudukan
‫ه‬
‫هر‬
‫ش ر‬
‫ش ر‬
‫م أ‬
‫ص ر‬
‫فلّ ري ن أ‬
‫( ن‬ha’nya) tidak berkedudukan sebagai
sebagai dhorof, sedangkan ‫ه‬
‫م أ‬
‫ص ر‬
‫فلّ ري ن أ‬
maf’ul bih tetapi sebagai dhorof.
‫يريد اللّه بكم اليسر‬
: Imam Ibnu `Abbas, Mujahid, Qotadah,
dan imam Dhohak berpendapat bahwa kemudahan itu dimaksudkan untuk
mereka yang berada diperjalanan karena sulitnya berpuasa dalam
perjalanan tersebut. Sedangkan menurut `Umar bun Abdul `Aziz
mengatakan bahwah hal tersebut lebih memudahkan untuk melakukan
puasa atau tidak.hal ini senada dengan tafsiran imam baidhowi yang
mengatakan

bahwa

“Allah

memberikan

kemudahan

dan

tidak
12

menyusahkan. Oleh karenanya boleh untuk tidak berpuasa bagi orang
yang ada berada d perjalanan artau bagi orang yang sakit.
‫ولتكملّوا العدة‬
: imam ibnu katsir, nafi` inbu `amir, hamzah dan
kisa`i membaca sukun kafnya untuk meringankan, sedangkan abu bakar
riwayat `ashim

dengan membaca tasydid huruf mimnya. Imam ibnu

Abbas menafsirkan perintah menyempurnakan pada bilangan puasa yang
telah ditinggalkannya. Begutu juga imam yang lain menegaskan bahwa
menyempurkan bilangan bukan berarti menambahkan atau memindah pada
waktu yang lain

yang telah diwajibkan. Sebagaimana yang telah

dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Dalam aisaru tafasir dijelaskan
bahwa mengqodho` berarti menyempurnakan bilangan ramadhan.
‫ ولتكبروا علّى ما هداكم‬: perintah mengagungkan Allah tersebut
dilakukan ketika telah ,menyempurnakan puasa dimulai dari terlihatnya
hilal hingga pulang selesai dari sholat `id. Takbir(mengagungkan Allah)
tersebut memang telah disyari`atkan yangmana didalamnya terkandung
pahala.
‫ولعلّكم تشكرون‬

: puasa yang diwajibkan serta sunnah untuk

mengagungkan tersebut diharapkan menjadikan kita semua sebagai orangorang yang bersyukur atas ni’mat-Nya, karena sesungguhnya bersyukur
adalah bagian dari sebuah keta`atan.
b. Penafsiran Ayat
Ayat inilah yang mewajibkan berpuasa dan menghapus keringanan
berbuka, dan membayar fidyah bagi orang yang sehat dan tidak sedang
bepergian, selain laki-laki dan perempuan yang tua renta, sebagaimana
dijelaskan diatas.16
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Yakni seorang muslim yang menetap tinggal dalam suatu negeri dan dalam
keadaan sehat, wajib mengerjakan puasa apabila bulan ramadhan telah datang,
baik dia bermaksud akan mengadakan perjalanan pada hari itu atau tidak.
16 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 204

13

Menurut jumhur ulama, kalau kebetulan dia mengadakan perjalanan pada hari
itu, tidaklah wajib dia meneruskan puasanya.17
Karena nash ini bersifat umum maka kembali dikecualikan darinya orang
yang sakit atau bepergian,
“Dan, barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu
pada hari-hari lain.”
Rangsangan ketiga untuk menunaikan kewajiban ini, dan dijelaskannya
kasih sayang Allah dalam member tugas dan rukhshah ini,18
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
Maksudnya ialah segala sesuatu yang diwajibkan oleh agama itu tidaklah
untuk memberikan kesukaran, melainkan kelapangan atau kemudahan.19 Nabi
Muhammad saw. Bersabda kepada Muaz ketika hendak mengutusnya ke
Yaman,

‫ي صهوسصراصول صتمصعهوسصراصوبصهوسصراصول صتمن صهوفصرا‬
“Berilah

kelapangan

dan

janganlah

kamu

persukarkan,

dan

gembirakanlah dan janganlah kamu carai-baraikan!”20
Ini merupakan kaidah paling besar di dalam tugas-tugsa yang dibebankan
akidah islamiah ini secara keseluruhan, yaitu “memberikan kemudahan dan
tidak mempersulit.” Hal ini memberikan kesan kepada hati yang
merasakannya tentang adanya kemudahan di dalam menjalankan kehidupan
ini secara keseluruhan, dan mencetak jiwa yang muslim dengan cetakan
khusus yang berupa kelapangan jiwa, tidak memberatkan diri, dan tidak
mempersukar. Suatu kelapangan yang menyertai setiap taklif, 21 setiap
kewajiban, dan setiap aktivitas kehidupan yang serius, seakan-akan
mengalirkan air yang mengalir dan menumbuhkan pohon ketinggian dengan
17 Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 38
18 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205
19 Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39
20 HR. Bukhari, Muslim
21 Tugas

14

tenang, penuh percaya diri, dan dengan rela hati. Dan seantiasa disertai
perasaan adanya rahmat atau kasih saying Allah dan kehendak-Nya terhadap
kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan tidak menghendaki
kesukaran.
Diwajibkannya berpuasa bagi musafir dan orang sakit (yang berbuka)
supaya mengqadhanya pada hari-hari lain, agar orang yang dalam kesulitan ini
nanti dapat menyempurnakan puasa bulan ramadhan yang ditinggalkannya itu,
sehingga ia tidak terluput dari pahalanya,22
“Dan, hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.”
Yaitu hitungan sebulan itu, baik dia 29 hari maupun 30 hari. Dan jika
ketinggalan

beberapa

hari

karena

sakit

atau

karena

musafir

itu,

sempurnakanlah hitungan hari yang ketinggalan itu pada hari yang lain.23
Puasa yang demikian ini merupakan nikmat yang patut diucapkan takbir
untuknya dan disyukuri,
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu,”
Artinya ialah supaya kamu mengucapkan takbir, yaitu lafaz, “Allahu
Akbar, Allahu Akbar” setelah mengerjakan puasa ramadhan. Menurut
keterangan sebagian ulama, waktu mengucapkan takbir itu mulai dari malam
berbuka, yaitu sejak melihat atau memandang bulan (hilal) sampai waktu
khotbah.24
Menurut Malik, “sejak imam keluar dari rumahnya samapi ke tempat
salat.” Abu Hanifah mengatakan, bahwa takbir itu hanya pada hari raya raya
adha, tidak pada hari raya fitri. Syafi’I berkata, “sejak malam hari raya
sampai imam mengerjakan salat, baik hari raya fitri maupun hari raya
adha.” Telah meriwayatkan Said bin Mansur dari Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu
Mas’ud, bahwa takbir itu dengan ucapan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, La
ilaha illallah wa lillahil hamd.”25
22 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205
23 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ II, cet. Ke-3, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1983), hal. 98
24 Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39
25 Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39

15

“supaya kamu bersyukur.” Semoga kamu dapat mensyukuri nikamat
Allah, menunaikan kewajibannya dan meninggalkan larangan-Nya.26
Inilah salah satu tujuan kewajiban puasa ini, yaitu menimbulkan perasaan
dan kesadaran orang-orang yang beriman terhadap petunjuk yang dimudahkan
Allah bagi mereka, yang lebih banyak mereka rasakan pada waktu berpuasa
dari pada waktu-waktu yang lain. Mereka mengandalikan hati memikirkan
maksiat dan menahan anggota tubuhnya agar tidak melakukannya. Mereka
merasakan sentuhan dan rabaan petunjuk itu. Karena itu hendaklah mereka
mengagungkan Allah atas pentunjuk-Nya yang telah diberikan kepada merka
dan supaya bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya ini. Dan supaya hati
mereka kembali kepada-Nya dengan ketaatan ini sebagaimana yang
difirmankannya pada awal tentang pembicaraan puasa ini, yaitu “supaya
kamu bertaqwa.”27
C. Rukun Puasa
Mayoritas ahli fiqh menetapkan dua macam yang menjadi rukun puasa,
yaitu:
1. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari.
2. Niat. Yang dimaksud dengan niat adalah kehendak atau berkeinginan
untuk mengerjakan puasa pada esok harinya, dengan sadar dan sengaja
yang dilakukan sebelum terbit fajar. Dalam ajaran islam kedudukan
niat didalam setiap perbuatan amatlah penting.
D. Syarat Puasa
Dalam syarat puasa ini terbagi menjadi dua syarat, yaitu syarat wajib dan
syarat sahnya, antara lain :
Syarat wajib puasa :
1. Islam
26 Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 320
27 Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205

16

2. Balig
3. Berakal
4. Mampu berpuasa
5. Mengetahui wajibnya puasa
6. Sehat
Syarat sahnya puasa :
1. Orang yang waras
2. Bersih dari haid dan nifas
3. Sesuai dengan waktu yang ditentukan berpuasa
4. niat28
E. Hal-hal yang membatalkan puasa
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan wjib meng-qadha nya
adalah:
1. Makan dan minum dengan sengaja.
2.

Muntah dengan sengaja.

3.

Haid dan nifas.

4. Keluar mani dengan sengaja (Karena bersentuhan dengan perempuan
dan lainnya).
5.

Gila.

Sedangkan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan
mewajibkan qadha dan kafarat menurut jumhur fukaha hanyalah melakukan
hubungan seksual disiang hari ramadhan. 29
F. Hikmah Puasa
Dalam islam tidak ada ibadah yang diperintahkan Allah SWT yang tidak
mengandung hikmah. Puasa sebagai ibadah menahan makan dan minum serta

28 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam
Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 216
29 Zainudin, FIQIH IBADAH, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 160-162

17

hubungan seksual dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
mengandung hikmah bagi yang melaksanakannya.
Ibadah puasa, menurut Zakiyah Daradjat, mengandung hikmah terhadap
rohani dan jasmani manusia. Hikmah terhadap rohani antara lain aialah
melatih rohani agar disiplin mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu agar
tidak semena-mena memunculkan keinginannya. Puasa mengekang hawa
nafsu dengan dengan mengharamkan memakan dan meminum harta miliknya
yang tersedia serta melarang menggauli istrinya yang sah disiang hari
meskipun nafsunya sudah bergelora untuk menikmatinya. Sebab, bila nafsu
dibebaskan tanpa kendali manusia akan menjadi budak hawa nafsu iti sendiri,
bila hal itu terjadi maka rohani manusia akan hancur.
Yang selanjutnya yaitu hikmah jasmani, ialah bahwa puasa dengan
menahan makan dan minum, disamping membangun kekuatan dan ketahanan
rohani juga mempertinggi kekuatan dan ketahan jasmani, karena umumnya
penyakit yang menghinggapi tubuh manusia itu bersumber dari perut yang
menampung semua apa yang dimakan dan diminum.30
Hikmah puasa yang lainya adalah sebagai berikut:
1. Tanda terima kasih kepada Allah, karena semua ibadah mengandung arti
terimakasih atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya
2. Didikan kepercayaan.
3. Didikan belas kasihan terhadap fakir miskin.31
4. Dengan puasa seseorang bisa mencegah keinginan hawa nafsunya.
5. Puasa mendidik manusia agar ikhlas dalam beramal atau menjalankan
perintah Allah.
6. Puasa dapat mendidik manusia supaya berlaku jujur dalam melaksanakan
amanah.
7. Puasa menjadikan manusia hidup seimbang dan adil antara kepentingan
duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani dan menjauhkan manusia dari
sifat rakus (tamak).
30 Zainudin, FIQIH IBADAH, hal. 153-153
31 Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 243

18

8. Puasa membiasakan seseorang untuk takut melanggar hukum-hukum
Allah baik dalam keadaan sunyi maupun ramai, sendirian maupun bersama
orang banyak.
9. Puasa dapat mengendalikan gejolak syahwat dan dapat menjadikan jiwa
seseorang tenang dalam menyikapi dan menghadapi berbagai persoalan
hidup.
10. Puasa dapat melatih diri orang beriman untuk memupuk rasa kasih sayang
kepada sesama manusia.
11. Puasa dapat menciptakan persamaan sosial (musawah ijtima’iyyah) di
dalam masyarakat, sehingga tidak ada perbedaan status antara orang kaya
dan miskin, pejabat dan rakyat, semua berkedudukan sama di depan Allah,
yang membedakannya adalah nilai taqwa.
12. Puasa mendidik kedisiplinan dalam melaksanakan syari’at atau hukum
Allah.
13. Puasa dapat membuat manusia sehat jiwa dan raga serta menormalkan
fungsi anatomi dan metabolisme tubuh.
14. Puasa dapat mendidik manusia menjadi hamba Allah yang sabar, karena
puasa adalah separuh kesabaran

III.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, yaitu :
1. Dalam surah al-baqarah ayat 183 berisi tentang kewajiban menjalankan
puasa sebagaimana umat sebelumnya dengan tujuan untuk menjadi
manusia yang bertaqwa.
2. Surah al-baqarah ayat 184 berisi tentang di bolehkannya meninggalkan
puasa bagi orang sakit atau dalam perjalanan, dan diganti dengan
membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.
3. Surah al-baqarah ayat 185 berisi tentang kewajiban menjalankan puasa
ramadhan. Serta mengganti puasa yang di tinggalkan bagi orang yang
tidak sakit dan tidak dalam bepergian yang tidak berpuasa.

19

DAFTAR PUSTAKA
Asrori, 2012. Tafsir Al-Asraar jilid I, cet. Ke-1, Yogyakarta: Daarut Takdiid.
Bahreisy, Halim dan Said Bahreisy, 1987, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier,
cet. Ke-2, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hamka. 1983, Tafsir Al-Azhar Juzu’ II, cet. Ke-3, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hasan , Abdul Halim. 2006, Tafsir Al- Ahkam, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana.
Quthb, Syahid Sayyid, 1992, Fi Zhilalil-Qur’an, Beirut: Darusy-Syuruq.
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk. 2000, Tafsir Fi Zhilalil Qua’an di
Bawah Naungan Al-Qur’an (Surah Al-Faatihah – Al-Baqarah) Jilid I,
Jakarta: Gema Insani Press.
Rasyid, Sulaiman. 1994, FIQIH ISLAM, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia, 2003. Menyelami Seluk Beluk Ibadah
Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media.
Zainudin, 1997, FIQIH IBADAH, Jakarta: Gaya Media Pratama.

20