Kajian Organologis Gondang Boru Buatan Bapak Ridwan Aman Nasution

(1)

17

Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau.

BAB II

BIOGRAFI RIDWAN AMAN NASUTION DALAM KONTEKS BUDAYA MANDAILING

DI MEDAN DAN SEKITARNYA

2.1 Pengertian Biografi

Dalam disiplin ilmu sejarah, biografi dapat didefenisikan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang.Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku.Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat.Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi-informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas.Sebuah biografi biasanya menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya.

Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Suatu


(2)

18

karya biografi biasanya bercerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang-orang atau tokoh-tokoh terkenal saja. Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup.Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut.

Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu; (d) Pikirkan hal apa lagi yang perlu anda ketahui mengenai orang tersebut, bagian mana dari cerita tentang beliau yang ingin lebih banyak anda utarakan dan tuliskan.

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang


(3)

19

tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko, atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian.

Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs: (www.infoplease.com/homework/wsbiography.html)

2.2Alasan DipilihnyaRidwan Aman Nasution

Dalam tulisan ini, penulis memilih Ridwan Aman Nasution sebagai objek penelitian, dikarenakan beberapa aspek pertimbangan diantaranya adalah:

1. Beliau dapat memainkan alat musik tradisional Mandailing dengan sangat baik(Anggota tim Kesenian Tradisional Gunung Kulabu).


(4)

20

2. Pengalaman beliau yang merupakan anak dari pembuat dan pemusik tradisional Mandaling yang membuat Bapak Ridwan Aman Nasution menjadi orang yang lebih memahami alat musik tradisional Mandailing. 3. Alat musik tradisional Mandailing buatan beliau juga dikirim ke luar

daerah bahkan sampai ke luar negeri.

Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Bapak Ridwan dan juga dari sudara-saudara, dan rekan-rekan.Peranan dan pengalaman beliau yang banyak ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan lebih dikhususkan kepada instrumen musik gondang boru buatan beliau.

2.3 Biografi Bapak Ridwan Aman Nasution

Biografi Ridwan Aman Nasution dalam tulisan ini akan dideskripsikan yang mencakup aspek-aspek meliputi: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, dan kehidupan sebagai pembuat alat musik, khususnya mengenai gondang buatan beliau tersebut.


(5)

21

Gambar 1: Bapak Ridwan Bersama Istri

Gambar 2: Bapak Ridwan Bersama Penulis


(6)

22

Ridwan Aman Nasution lahir di Desa Pakantan Dolok pada tanggal 13 Januari 1960, anak ke empat dari sepuluh bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Burhanudin Nasution (Almarhum) dan Ibu Fatimah Lubis (Almarhum).Bapak Ridwan lahir dari keluarga yang berkecimpung didunia kesenian Mandailing. Ayah beliau merupakan pemain sekaligus pembuat alat musik tradisional Mandailing sewaktu masih hidup. Nenek (Ibu dari Ibu beliau) juga merupakan seorang penyanyi vokal jeir tradisional Mandailing dari Pakantan.

Latar belakang keluarga yang akrab dengan musik yang membuat Bapak Ridwan akrab dengan musik tradisional Mandailing.Sejak dari masih kecil beliau sudah diajak dalam beberapa pementasan-pementasan maupun acara adat.Karena keadaan ekonomi keluarga beliau tidak baik, beliau memutuskan untuk bekerja untuk membantu sedikit perekonomian orang tuanya. Profesi keseharian ayah beliau yang adalah pemain sekaligus pembuat instrumen musik tradisional Mandailing, membuat Bapak Ridwan sering terlibat membantu ayahnya dalam membuat alat musik juga dalam bermain musik, hal tersebutlah yang membuat Bapak Ridwan menjadi sangat akrab dengan musik tradisional Mandailing sejak kecil dan membuat Bapak Ridwan merasa tertarik untuk mencoba membuat alat musik sendiri dan menguasai banyak permainan instrumen musik tradisional Mandailing juga proses pembuatannya.

2.3.2 Latar Belakang Pendidikan

Bapak Ridwan menginjakkan pendidikannya di SD Pakantan Dolok pada tahun 1967, beliau hanya menjalani bangku Sekolah Dasar sampai kelas 6


(7)

23

saja.Hal ini disebabkan keterbatasan biaya dan kurangnya motivasi untuk sekolah dilingkungan tempat tinggalnya pada masa itu.Setelah tamat dari Sekolah Dasar Bapak Ridwan tidak melanjutkan pendidikannya lagi, beliau memilih membantu orang tuanya.

2.3.3 Berumah Tangga

Bapak Ridwan Aman Nasution menikah pada tanggal 25 Juni 1987 di Desa Pakantan Dolok dengan istrinya Rosniati Lubis, dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang anak, 1 putra dan 2 putri, yaitu:

1. Hardiansyah Nasution (anak sulung, laki-laki 25 tahun) 2. Umi Arpha Nasution (perempuan 19 tahun)

3. Dina Rahmadani Nasution (perempuan 16 tahun)

Setelah menikah beliau memilih merantau dan menetap di kota Medan sambil mencari pekerjaan yang lebih baik. Sebelum menikah, beliau masih tinggal di Desa Pakantan Dolok, beliau juga pernah beberapa kali merantau ke kota Medan namun kembali lagi ke kampung halamannya. Saat ini beliau berprofesi sebagai tukang bangunan dan sekaligus sebagai pemusik dan pembuat alat musik tradisional Mandailing, khususnya gondang boru di rumah beliau yang beralamat di Jalan Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.Berawal dari pengalaman hidup pada masa anak-anak tersebutlah yang terus dikembangkan dan menjadi bekal bagi beliau untuk memulai karir beliau sebagai pembuat instrumen musik tradisional pada masyarakat Mandailing. Beliau membuat instrumen musik tradisional tersebut seperti apa yang pernah dialami


(8)

24

dan dipelajari beliau ketika bersama dengan ayahnya. Sarune, suling, dan gondang boru adalah jenis instrumen musik tradisional yang sering dibuat oleh Bapak Ridwan, karena instrumen tersebutlah yang kerap digunakan oleh Bapak Ridwan dalam setiap penampilannya.

2.3.4 Bapak Ridwan Sebagai Pembuat Alat Musik

Berdasarkan latar belakang keluarga Bapak Ridwan Aman Nasution yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa latar belakang keluarga banyak mempengaruhi dan membuat Bapak Ridwan seorang yang piawai dalam bermain musik tradisional Mandailing. Demikian juga halnya sebagai pembuat instrumen musik Mandailing.Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisionalmasyarakat Mandailing diperoleh Bapak Ridwan semenjak dia masih anak-anak, beliau sering melihat dan membantu ayahnya yang mahir dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Mandailing.

Dari seringnya beliau melihat dan membantu membuat alat musik tradisional Mandailing, maka timbul rasa ingin mencoba membuatnya sendiri.Dari setiap pertunjukan yang mereka adakan maupun yang mengundang mereka untuk bermain musik tradisional, membuat beliau juga mahir dan terbiasa dalam memainkan alat musik tradisional Mandailing tersebut.Beliau masih menggunankan alat-alat sederhana dalam proses pembuatan alat musik gondang boru. Tak hanya pesanan dari dalam kota saja yang beliau terima, namun pesanan dari luar negeri juga beliau terima, ini dimaksudkan agar orang luar negeri juga dapat mengenal alat musik tradisional Mandailing ini. Dan hingga kini, Bapak


(9)

25

Ridwan masih tetap membuat alat musik tradisional Mandailing khususnya gondang boru.

2.3.5Bapak Ridwan Sebagai Pemusik Tradisional

Kemampuan bermusik khususnya musik tradisional Mandailing sudah dimiliki oleh Bapak Ridwan sejak masa kanak-kanaknya, dikarenakan latar belakang ayah beliau yang merupakan seorang praktisi musik tradisional Mandailing di Pakantan. Ayah beliau adalah seorang pemusik tradisional Mandaling. Nenek beliau (Ibu dari ibu bapak Ridwan) juga penyanyi vokal jeir dari Mandailing di Pakantan.Sejak kecil beliau memutuskan untuk terjun ke dunia kesenian Mandailing. Dimulai dari rasa penasarannya hingga ajakan dari sang ayahlah yang membuat Bapak Ridwan semakin menggeluti bidang ini. Pada semasa masih lajang, Bapak Ridwan pernah membentuk Grup Gambus bersama teman-temannya.Dalam penampilannya, beliau juga sudah pernah diundang ke Amerika Serikat untuk tampil pada acara Pameran Kebudayaan Indonesia pada tahun 1991.Pada tahun 1989 beliau juga tampil dalam acara Pekan Raya di Malaysia bersama Batang Garis Grup pada masa itu.Beliau juga sudah sering tampil dalam di TVRI Medan. Selain itu bapak Ridwan juga sudah pernah ke berbagai kota di Indonesia dalam mempertunjukan kesenian Mandailing. Dan masih banyak lagi.


(10)

26

Gambar 3: Piagam Penghargaan Bapak Ridwan

2.3.6 Peran Bapak Ridwan Aman Nasution dalam KebudayaanMandailing Selain sebagai seniman Mandailing, Bapak Ridwan juga merupakan MC atau paralok-alokpada upacara adat perkawinan Mandaililing di Medan dan sekitarnya.Pada awalnya beliau hanya memainkan alat musik tradisional Mandailing saja, lalu dengan niat belajar dari pemuka adat dan dikarenakan seringnya melihat dan mengamatipara MC atau paralok-alokberbicara pada acara adat akhirnya beliau belajar dengan seiring berjalannya waktu beliau sudah terbiasa dan mampu menjadi pembawa acara atau paralok-alok adat Mandailing.


(11)

27

Bapak Ridwan sudah 25 tahun lebih tergabung dalam grup Gunung Kulabu. Grup kesenian Mandailing ini merupakan grup pertama yang ada di kota Medan. Namun sebelum tergabung dalam grup ini, beliau tergabung dalam grup Mandailing yang lain. Menurut wawancara penulis dengan narasumber, grup kesenian Mandailing yang terdapat di kota Medan yang masih aktif hanya tinggal 4 saja, termasuk Gunung Kulabu.

Gambar 4: Bapak Ridwan sebagai Paralok-alok di upacara adat Siriaon (Dokumentasi Aprillia Gultom)

2.4 Penggunaan Gondang Boru Dalam Upacara Adat Siriaon PadaMasyarakat Mandailing

Pada upacara Siriaon (perkawinan)adat Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu, seperti mora, kahanggi, dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik.Setiap anggota berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka


(12)

28

pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari kampung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidang (raja panusunan bulang).

Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat.Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan pada acara ini. Tujuannya adalah untuk memulihkan atau menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan nasi, telur dan ayam kampung dan garam.

Pada upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing seni pertunjukan gordang sambilan dan gondang boru identik dengan "kemapanan" seseorang melaksanakan upacara adat perkawinan tersebut. Sebab suatu keluarga yang mengadakan upacara adat dengan menggunakan ensambel gordang sambilan termasuk keluarga yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam mengadakan "gordang sambilan" menggunakan anggaran yang besar mulai dari mengadakan peralatan adat ("paragek" atau "pago-pago") di halaman rumah seperti bendera adat, payung adat yang siberi rumbal, pedang. "langit-langit", rompayan" dan 6 pelaminan hingga upacara adat perkawinan yang berlangsung selama "tiga hari tiga malam", sehingga keluarga yang mengadakannya boleh dikatakan orang yang terpandang.


(13)

29

Fungsi gondang boru pada upacara adat "orja siriaon" (perkawinan) adalah suatu bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan. Selain itu, juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka masyarakat atau tokoh adat Mandailing, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pemberian gelar ataupun penerapan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat bahwa upacara acara adat perkawinan sedang berlangsung. Pada upacara perkawinan, gondang boru juga dimainkan untuk mengiringi tarian adat tortor, menjemput pengantin perempuan yang dimainkan repertoar gondang Alo-alo secara beriring-iringan, lalu mengiringi jeir (nyanyian vokal) khas Mandailing dan juga onang-onang yang di lengkapi dengan alat musik lainnya yaitu gondang boru, gong, suling sarune, dan momgmomgan.

Permainan gondang boru cenderung berbeda di setiap daerah (hutaatau banua). Hadirnya seni pertunjukan "gondang boru" dalam setiap pelaksanaan upacara adat perkawinan Mandailing harus terlebih dahulu meminta izin kepada "raja pansunan bulung" melalui acara adat "markobar" (musyawarah) dengan menyembelih minimal seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur sebagai "longit".

2.5Budaya Musik dan Tortor Mandailing

Dalam budaya musik Mandailing terdapat uning-uningan atau bunyi-bunyian. Masyarakat Mandailing menyebut kesenian tradisional mereka dengan "uning-uningan ni ompunta na jumolo sunduti" yang artinya seni musik dari para


(14)

30

leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Kesenian tradisional tersebut yaitu Musik atau yang disebut dengan gondang yaitu gondang boru dan gordang sambilan.Ensambel gondang boru terdiri dari gondang boru (pangayak dan siayakon), ogung (ogung jantan dan ogung betina), mongmongan, doal, tali sasayak, sarune dan ada satu orang yang menyanyi (penjeir).Penjeir ialah penyanyi atau orang yang menyanyikan pantun dan lagu.Ensambel Gordang sambilan terdiri dari gordang sambilan (sembilan buah gendang) , sarune, ogung (ogung jantan dan betina), mongmongan, talempong (gong kecil), dan tali sasayak.

Sedangkan musik vokal atau ende diantaranya adalah: Ungut-ungut, Jengjeng, Andung, Jeir dan Marbue-bue.

1. Ungut-ungut ialah nyanyian yang mengisahkan tentang ungkapan

kesedihan, kerinduan, atau kepergian. Ungut-ungut umumnya dilakukan oleh kaum baik berusia muda ataupun tua. Namun beberapa dari kaum wanita terkadang juga melakukannya. Nyanyian ungut-ungut umumnya diiringi oleh seorang pemain suling dengan tempo lambat.

2. Jeng-jeng ialah nyanyian yang hampir sama dengan ungut-ungut yaitu nyanyian yang mengisahkan tentang ungkapan kesedihan, kerinduan atau kepergian.

3. Andung ialah nyanyian tentangungkapansuatu kejadian yang telah terjadi misalnya: tentang kematian, kehilangan sesuatu dan sebagainya. Andung umumnya tanpa diiringan instrumen apapun, dan terkadang juga diiringi oleh alat tiup uyup-uyup atau tulila.


(15)

31

4. Jeir ialah nyanyian yang mengisahkan tentang riwayat suatu marga, atau nasihat tentang kehidupan perkawinan, atau tentang kekerabatan yang sangat dekat yang disebut kaum na solkot(kaum na solkot terdiri dari Raja Pamusuman Bulung, mora, kahanggi, anak boru, atau tetangga dekat). Jeir biasanya dinyanyikan dengan iringan tortor dan diiringilengkap dengan ensambel musik gondang boru dan alat musik tiup bernama sarune. Umumnya dijumpai di berbagai ritual maupun upacara perkawinan adat Mandailing

5. Mabue-bue ialah nyanyian menidurkan anak, biasanya dilakukan oleh para ibu untuk menidurkan anaknya. Isi nyanyian biasanya berupa pengharapan-pengharapan terhadap kehidupan yang baik kelak jika anaknya telah besar nanti. Selain itu di daerah Padang Bolak terdapat juga Onang-onang.

Onang-onang adalah suatu jenis musik Mandailing yang terdapat di daerah Padang Bolak yang dipakai dalam pelaksanaan upacara adat nagodang (upacara besar) yang terdiri dari alat musik yaitu gondang boru, ogung (ogung jantan dan ogung betina) doal, suling, dan tali sasayak.Onang-onang hanya dapat dipakai dalam konteks upacara adat sehingga disebut juga dengan gondang maradat.Dapat dikatakan bahwa gondang ini hanya boleh ditampilkan sejalan dengan dalihan natolu (Mora, Kahanganggi, dan Anak boru), yang artinya adalah landasan adat itu sendiri.Keunikan dari gondang dilihat dari pemakaiannya, keunikan yang dimaksud ialah bahwa upacara adat tidak dapat dilangsungkan tanpa disertai gondang, dan gondang sendiri tidak dapat ditampilkan dalam artian yang


(16)

32

sempurna jika tanpa disertai dan di dalam upacara adat (tidak dapat dirasakan hikmahnya).Asal kata onang adalah inang yang artinya ibu. Kisah terjadinya onang-onang adalah pada suatu ketika ada seseorang yang sedang merantau dan sedang mendapatkan suatu kesusahan. Ia ingin pulang tetapi biaya tidak ada, sedangkan kerinduan hatinya tidak tertahan lagi. Pada saat kerinduan itu muncul yang diingatnya adalah orang yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya. Untuk melepaskan kerinduannya itu ia cetuskan lewat suatu nyanyian dengan kata onang onang. Dengan demikian pada mulanya onang-onang adalah suatu pencetusan perasaan kerinduan hati terhadap yang dikasihinya yaitu ibu dan kekasihnya. Namun lama-kelamaan onang-onang berkembang pengertiannya, yaitu tidak hanya pencetusan kerinduan terhadap ibu dan kekasihnya saja, akan tetapi dipergunakan juga dalam suasana gembira, misalnya upacra perkawinan, memasuki rumah, dan anak lahir. Jika dahulu onang-onang dinyanyikan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, namun saat sekarang pada umumnya onang-onang dinyanyikan untuk orang banyak.Orang yang menyanyikan onang-onang-onang-onang dalam upacara adat disebut dengan paronang-onang.

Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan upacara tersebut. Selain itu ia juga harus tahu kepada siapa nyanyian itu ditujukan, agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang dinyanyikannya. Syair paronang-onang tidak mempunyai syair yang pasti, melainkan diciptakan oleh paronang-onang secara spontan.Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan versi pantun. Onang-onang terdiri dari yaitu: pembukaan, penjelasan maksud upacara, cerita, latar belakang panortor, pujian,


(17)

33

nasihat, dan doa. Namun di daerah Mandailing Angkola terdapat perbedaan onang-onang di daerah mandailing Padang Bolak yaitu daricara menarik vokalnya, bahasa dan suara yang lebih kuat di Padang Bolak.

Budaya tortor Mandailing berbeda dengan budaya tortor etnis Batak lainnya.Karena tortor Mandailing dilakukan hanya pada upacara adat misalnya perkawinan, dan di Mandailing gerakan tarian tortor itu lebih lambat dan tidak ada hentakannya, berbeda dengan di wilayah etnis Batak Toba.Budaya Mandailing memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem religi kuno orang Mandailing., yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan denganadanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mula ni tortor, yang secara harafiah artinya "asal mula tortor adalah sembah". Dalam hal ini somba (sembah) atau persembahan ditunjukkan kepada roh-roh leluhur (begu) yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka.Namun sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi yang diketahui oleh orang Mandailing karena sudah sejak lama menganut agama Islam dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mereka.

Dalam upacara-upacara adat di Mandailing, dimana uning-uningan dibunyikan (margondang), selalu dilengkapi dengan acara manortor.Dalam pelaksanaannya pelaku tortor terdiri dari dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan depan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat dibelakang kelompok pertama. Kelompok yang pertama disebut"na iayapi" atau "na isembar", dan kelompok yang kedua


(18)

34

disebut "pangayapi" atau "panyembar".Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua) seperti Mora dan Raja-raja Adat.

Pelaksanaan Tor-tor berdasarkan taraf atau kedudukan/kelompok seseorang yang Manortor dibedakan menjadi atas:

1. Tortor Suhut, kahanggi suhut, mora, dan anak boru

2. Tortor Raja-Raja

3. TortorRaja-raja Panusunan

4. Tortor Naposo bulung

Ada tiga pakem yang dilakukan dalam gerakan, yaitu gerakan sembah (hormat) kepada yang tua, kepada Tuhan dan gerakan hormat kembali kepada orang tua.Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon(upacara adat perkawinan) menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai "pembuka" kegiatan manortor, dan gondang tor-toryang bertempo lambat (erer) yang digunakan untuk mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan, galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati parapanortor dengan membawa sehelai "kain adat" (Abit Sendet atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah tangannya.Setelah berada di dekat panortor barulah "kain adat" tersebut diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini dilakukannya kepada semua yang akan manortor. Setelah selesai, barulah gondang


(19)

35

tortor dimainkan dan tidak lama kemudian kegiatan manortorpun dimulai. Sewaktu manortor ini berlangsung seorang yang bertindak sebagai penjeir menyanyikan sebuah lagu khusus untuk kegiatan manortor, para panortor selalu akan meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul disitu dengan teriakan yang sama.

Ada yang mengatakan bahwa istilah "tortor" pada masyarakat Mandailing yang digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari kata "tor tu tor", artinya "dari satu bukit ke bukit ke bukit-bukit yang lainnya, yang kemudian berubah (disingkat) menjadi "tortor". Dalam hal ini, mungkin dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di dataran tinggi Mandailing Julu, terdapat banyak tordan masing-masing memiliki nama sendiri. Kalau diperhatikan istilah "tor tu tor" tersebut, juga dapat mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, dimana dari bukit yang satu ke bukit-bukit lainnya kelihatan tampak seperti "garis" yang turun-naik, berbentuk sejumlah "segi-tiga" yang berjejer, yang pada dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari sedang manortor(menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti naik-turun, dengan cara menekukkan kaki untuk mengikuti irama gondang dan seirama pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang sedang marsomba (menyembah)

Adapun perkataan lain dalm bahasa Mandailing yang terkait dengan kata "tor", adalah "mangantor". Artinya, suatu keadaan di mana tangan atau kaki


(20)

36

seseorang mengalami "getaran tertentu" karena terhantuk pada benda lain, misalnya kayu, tetapi agak keras sedikit sehingga ia merasakan kesakitan. Jadi, dengan mengacu pada pengertian kata "mangantor" dan "tortor" yang kalau dikaitkan dengan gerakan tari dalam manortor maka istilah tortor dapat diartikan sebagai "gerakan tangan" dari panortor (penari) yang bergetar atau degerak-gerakkan. Hal ini tampak jelas ketika panortor (yang berada di barisan depan) sedang manortor, dimana kedua belah tangan dari masing-masing panortor selalu mereka gerak-gerakkan mengikuti irama musik pengiring yaitu Gondang Boru. Tepatnya gerakan tangan mereka tersebut selalu seirama (bersamaan) dengan bunyi ogung betina pada ketukan pertama dan ogung jantan (gong jantan) pada ketukan ketiga, ketika mereka sedang manortor.

Gerakan kaki antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok yang pertama (na iayapi) tampak sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan) bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakakan ujung jari-jari kaki yang disebut manyerser, sedangkankelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan cara melangkah yang disebut dengan mangalangka.


(21)

37 BAB III

KONSTRUKSI DAN TEKNIKPEMBUATAN GONDANG BORU

3.1 Perspektif SejarahGondang Boru

Asal-usul gondang boru pada kebudayaan musikal Mandailing menurut wawancara dengan bapak Ridwan masih belum dapat dipastikan, namun pada zaman dahulu gondang boru hanya dimiliki oleh para raja-raja pada masa kerajaan Mandailing. Sebelum agama islam masuk ke wilayah Mandailing, masyarakat Mandailing masih menganut suatu religi tradisional yang didasarkan kepada kepercayaan adanya beguyang dapat membuat manusia senang dan susah.


(1)

32

sempurna jika tanpa disertai dan di dalam upacara adat (tidak dapat dirasakan hikmahnya).Asal kata onang adalah inang yang artinya ibu. Kisah terjadinya onang-onang adalah pada suatu ketika ada seseorang yang sedang merantau dan sedang mendapatkan suatu kesusahan. Ia ingin pulang tetapi biaya tidak ada, sedangkan kerinduan hatinya tidak tertahan lagi. Pada saat kerinduan itu muncul yang diingatnya adalah orang yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya. Untuk melepaskan kerinduannya itu ia cetuskan lewat suatu nyanyian dengan kata onang onang. Dengan demikian pada mulanya onang-onang adalah suatu pencetusan perasaan kerinduan hati terhadap yang dikasihinya yaitu ibu dan kekasihnya. Namun lama-kelamaan onang-onang berkembang pengertiannya, yaitu tidak hanya pencetusan kerinduan terhadap ibu dan kekasihnya saja, akan tetapi dipergunakan juga dalam suasana gembira, misalnya upacra perkawinan, memasuki rumah, dan anak lahir. Jika dahulu onang-onang dinyanyikan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, namun saat sekarang pada umumnya onang-onang dinyanyikan untuk orang banyak.Orang yang menyanyikan onang-onang-onang-onang dalam upacara adat disebut dengan paronang-onang.

Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan upacara tersebut. Selain itu ia juga harus tahu kepada siapa nyanyian itu ditujukan, agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang dinyanyikannya. Syair paronang-onang tidak mempunyai syair yang pasti, melainkan diciptakan oleh paronang-onang secara spontan.Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan versi pantun. Onang-onang terdiri dari yaitu: pembukaan, penjelasan maksud upacara, cerita, latar belakang panortor, pujian,


(2)

33

nasihat, dan doa. Namun di daerah Mandailing Angkola terdapat perbedaan onang-onang di daerah mandailing Padang Bolak yaitu daricara menarik vokalnya, bahasa dan suara yang lebih kuat di Padang Bolak.

Budaya tortor Mandailing berbeda dengan budaya tortor etnis Batak lainnya.Karena tortor Mandailing dilakukan hanya pada upacara adat misalnya perkawinan, dan di Mandailing gerakan tarian tortor itu lebih lambat dan tidak ada hentakannya, berbeda dengan di wilayah etnis Batak Toba.Budaya Mandailing memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem religi kuno orang Mandailing., yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan denganadanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mula ni tortor, yang secara harafiah artinya "asal mula tortor adalah sembah". Dalam hal ini somba (sembah) atau persembahan ditunjukkan kepada roh-roh leluhur (begu) yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka.Namun sistem religi Si Pelebegu ini sekarang tidak banyak lagi yang diketahui oleh orang Mandailing karena sudah sejak lama menganut agama Islam dan membuang kepercayaan lama tersebut karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mereka.

Dalam upacara-upacara adat di Mandailing, dimana uning-uningan dibunyikan (margondang), selalu dilengkapi dengan acara manortor.Dalam pelaksanaannya pelaku tortor terdiri dari dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan depan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat dibelakang kelompok pertama. Kelompok yang pertama disebut"na iayapi" atau "na isembar", dan kelompok yang kedua


(3)

34

disebut "pangayapi" atau "panyembar".Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua) seperti Mora dan Raja-raja Adat.

Pelaksanaan Tor-tor berdasarkan taraf atau kedudukan/kelompok seseorang yang Manortor dibedakan menjadi atas:

1. Tortor Suhut, kahanggi suhut, mora, dan anak boru 2. Tortor Raja-Raja

3. TortorRaja-raja Panusunan 4. Tortor Naposo bulung

Ada tiga pakem yang dilakukan dalam gerakan, yaitu gerakan sembah (hormat) kepada yang tua, kepada Tuhan dan gerakan hormat kembali kepada orang tua.Kegiatan manortor dalam Orja Siriaon(upacara adat perkawinan) menggunakan dua jenis gondang (repertoar musik) yang berbeda, yaitu gondang sabe-sabe yang bertempo cepat (isar) digunakan sebagai "pembuka" kegiatan manortor, dan gondang tor-toryang bertempo lambat (erer) yang digunakan untuk mengiringi kegiatan manortor selanjutnya. Ketika gondang sabe-sabe dimainkan, galanggang panortoran (tempat khusus untuk manortor) hadir seorang laki-laki dengan gerakan sarama (manyarama) mendekati parapanortor dengan membawa sehelai "kain adat" (Abit Sendet atau Patani) yang direntangkan pada kedua belah tangannya.Setelah berada di dekat panortor barulah "kain adat" tersebut diletakkannya pada bagian pundak dari salah seorang panortor. Hal ini dilakukannya kepada semua yang akan manortor. Setelah selesai, barulah gondang


(4)

35

tortor dimainkan dan tidak lama kemudian kegiatan manortorpun dimulai. Sewaktu manortor ini berlangsung seorang yang bertindak sebagai penjeir menyanyikan sebuah lagu khusus untuk kegiatan manortor, para panortor selalu akan meneriakkan kata Horas, yang kemudian disambut pula oleh orang-orang yang hadir berkumpul disitu dengan teriakan yang sama.

Ada yang mengatakan bahwa istilah "tortor" pada masyarakat Mandailing yang digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari kata "tor tu tor", artinya "dari satu bukit ke bukit ke bukit-bukit yang lainnya, yang kemudian berubah (disingkat) menjadi "tortor". Dalam hal ini, mungkin dapat ditafsirkan dari sudut pandang lain, bukan berdasarkan arti harafiahnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa di dataran tinggi Mandailing, terutama di dataran tinggi Mandailing Julu, terdapat banyak tordan masing-masing memiliki nama sendiri. Kalau diperhatikan istilah "tor tu tor" tersebut, juga dapat mengandung pengertian yang melukiskan suatu keadaan atau hal-hal tertentu, dimana dari bukit yang satu ke bukit-bukit lainnya kelihatan tampak seperti "garis" yang turun-naik, berbentuk sejumlah "segi-tiga" yang berjejer, yang pada dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor. Sewaktu para penari sedang manortor(menarikan tortor), tubuh mereka tampak seperti naik-turun, dengan cara menekukkan kaki untuk mengikuti irama gondang dan seirama pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang sedang marsomba (menyembah)

Adapun perkataan lain dalm bahasa Mandailing yang terkait dengan kata "tor", adalah "mangantor". Artinya, suatu keadaan di mana tangan atau kaki


(5)

36

seseorang mengalami "getaran tertentu" karena terhantuk pada benda lain, misalnya kayu, tetapi agak keras sedikit sehingga ia merasakan kesakitan. Jadi, dengan mengacu pada pengertian kata "mangantor" dan "tortor" yang kalau dikaitkan dengan gerakan tari dalam manortor maka istilah tortor dapat diartikan sebagai "gerakan tangan" dari panortor (penari) yang bergetar atau degerak-gerakkan. Hal ini tampak jelas ketika panortor (yang berada di barisan depan) sedang manortor, dimana kedua belah tangan dari masing-masing panortor selalu mereka gerak-gerakkan mengikuti irama musik pengiring yaitu Gondang Boru. Tepatnya gerakan tangan mereka tersebut selalu seirama (bersamaan) dengan bunyi ogung betina pada ketukan pertama dan ogung jantan (gong jantan) pada ketukan ketiga, ketika mereka sedang manortor.

Gerakan kaki antara kelompok kedua (pangayapi) dan kelompok yang pertama (na iayapi) tampak sangat jelas berbeda ketika manortor. Kelompok pertama (barisan terdepan) bergerak ke arah kanan atau kiri dengan menggerakakan ujung jari-jari kaki yang disebut manyerser, sedangkankelompok kedua (barisan belakang) bergerak dengan cara melangkah yang disebut dengan mangalangka.


(6)

37 BAB III

KONSTRUKSI DAN TEKNIKPEMBUATAN GONDANG BORU

3.1 Perspektif SejarahGondang Boru

Asal-usul gondang boru pada kebudayaan musikal Mandailing menurut wawancara dengan bapak Ridwan masih belum dapat dipastikan, namun pada zaman dahulu gondang boru hanya dimiliki oleh para raja-raja pada masa kerajaan Mandailing. Sebelum agama islam masuk ke wilayah Mandailing, masyarakat Mandailing masih menganut suatu religi tradisional yang didasarkan kepada kepercayaan adanya beguyang dapat membuat manusia senang dan susah.