KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE MANDAILING BUATAN BAPAK RIDWAN AMAN NASUTION

KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE MANDAILING BUATAN BAPAK RIDWAN AMAN NASUTION SKRIPSI SARJANA OL

NAMA : ARDY WIDANTO MANURUNG NIM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015

LEMBAR PENGESAHAN KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE MANDAILING BUATAN BAPAK RIDWAN AMAN NASUTION

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh

NAMA : ARDY WIDANTO MANURUNG NIM

: 110707035

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Fadlin, M.A. NIP 196512211991031001 NIP 1961022019891003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015

Daftar Informan……………………………………………………………… 65 Lampiran……………………………………………………………………… 66

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia, di mana pun berada, termasuk di Indonesia. Indonesia merupakan negeri yang kaya akan kebudayaan. Kekayaaan Indonesia ini didukung oleh banyaknya etnis atau suku yang mendiami seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing etnis memiliki ciri khas yang menjadi identitas etnis tersebut. Salah satu etnis yang turut mendukung keberadaan kebudayaan Indonesia adalah etnis Mandailing.

Etnis 1 Mandailing memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara turun-temurun. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kesenian. Etnis

Mandailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan Mandailing yang bernama Gordang sambilan. Gordang sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing. Alat musik ini adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang berukuran besar. Dikatakan sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh

1 Yang dimaksud dengan etnis dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat Naroll (1965:32). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang:

(1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat di bedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32). Dalam konteks Sumatera Utara, etnis (etnik atau kelompok etnik, istilah yang lazim dipakai dalam antropologi), sering disebut dengan suku. Yang dimaksud suku adalah sekelompok manusia yang dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya. Kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah orang Pesisir, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group).

nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.

Gordang sambilan dimainkan secara ensambel. Terdapat beberapa alat musik yang termasuk ensambel tersebut yaitu, sarune, gordang yang jumlahnya sembilan (2 jangat, 2 hudong kudong, 2 padua, 2patolu, 1 enek- enek), ogung (dada boru dan jantan), mongmongan, gong, dan tali sasayak. Dalam tulisan ini si penulis berfokus pada alat musik sarune. Alat musik sarune Mandailing ini biasa dimainkan untuk upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru dan juga upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara kematian. Alat musik ini secara fungsional musik adalah sebagai pembawa melodi.

Sarune adalah alat musik yang tergolong dalam klasifikasi aerophone (salah satu klasifikasi alat musik yang penggetar utama bunyinya adalah udara). Secara lebih spesifik, alat musik ini termasuk pula kedalam kelompok single reed aerophone (aerophone berlidah tunggal) karena alat musik ini memiliki reed tunggal yang dimainkan dengan cara dihembus oleh pemainnya. Alat musik ini terbuat dari bambu kemudian ujung bambu terbuat dari ujung tanduk kerbau, sementara batok kelapa (artocarpus integra sp) yang berukuran relatif kecil diletakan dekat dari pangkal serune. Batok kelapa yang diletakan di serune berfungsi sebagai batas bibir dengan sarune dan memiliki 4 lobang nada.

Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana konteksnya dalam peradaban masyarakat Mandailing. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana konteksnya dalam peradaban masyarakat Mandailing. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja

Masyarakat Mandailing mengatakan bahwa sarune ini adalah alat musik tradisional yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Sekarang, sejauh pengamatan penulis sarune di kota Medan mulai menghilang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena sudah berkurangnya pengrajin alat musik tersebut, dan juga oleh semakin berkurangnya pemain sarune di daerah ini.

Pada 1 Februari 2015, di Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, penulis bertemu dan berbincang dengan seorang pembuat sarune Mandailing yang bernama Bapak Ridwan Aman Nasution tepatnya di rumah kediaman beliau. Di daerah ini beliau merupakan satu- satunya pemain sekaligus pembuat alat musik Mandailing. Ketika penulis mengemukakan maksud akan mengkaji organologis sarune buatan beliau, ia sangat menyambut niat baik penulis.

Beliau mengatakan bahwa pembuat sarune di kota Medan sangat sedikit, harus ada generasi penerus agar sarune Mandailing ini tidak hilang. Beliau berusia kurang lebih 55 tahun dan berpengalaman dalam membuat alat-alat musik Mandailing seperti: sarune, gordang sambilan, ogung, mongmongan, gong, tali sasayak , dan lain sebagainya. Pengalaman ini diperoleh dari orang tuanya sendiri pada saat ia berumur 10 tahun. Pada usia 8 tahun, beliau pertama kali mencoba membuat sarune dari batang padi. Menurut beliau, sudah banyak orang yang menempah / membuat alat musik Mandailing dari beliau, baik dari daerah Medan, Pematangsiantar, hingga Binjai, terakhir ia pernah membuat lima belas set alat musik Mandailing untuk seorang dosen seni musik. Bapak Ridwan Aman Nasution adalah salah satu pembuat sarune di Medan, selain Beliau mengatakan bahwa pembuat sarune di kota Medan sangat sedikit, harus ada generasi penerus agar sarune Mandailing ini tidak hilang. Beliau berusia kurang lebih 55 tahun dan berpengalaman dalam membuat alat-alat musik Mandailing seperti: sarune, gordang sambilan, ogung, mongmongan, gong, tali sasayak , dan lain sebagainya. Pengalaman ini diperoleh dari orang tuanya sendiri pada saat ia berumur 10 tahun. Pada usia 8 tahun, beliau pertama kali mencoba membuat sarune dari batang padi. Menurut beliau, sudah banyak orang yang menempah / membuat alat musik Mandailing dari beliau, baik dari daerah Medan, Pematangsiantar, hingga Binjai, terakhir ia pernah membuat lima belas set alat musik Mandailing untuk seorang dosen seni musik. Bapak Ridwan Aman Nasution adalah salah satu pembuat sarune di Medan, selain

Dalam proses pembuatannya, beliau masih tetap menggunakan alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa pisau/belati, parang, gergaji, dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu, tali, kertas pasir, dan pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin. Bahan utama untuk membuat alat musik sarune ini adalah bambu. Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999:78). Bambu dalam bahasa Mandailing adalah bulu. Ada dua jenis bulu yang digunakan beliau untuk membuat sarune, yaitu: bulu sorik nasi dan bulu sorik batu. Perbedaan keduanya yaitu bulu sorik nasi lebih tipis dan digunakan sebagai lidah (reed) untuk sarune sedangkan bulu sorik batu lebih tebal dan digunakan untuk badan sarune dan sebagai tempat lobang nada. Bambu yang baik untuk pembuatan reed ini tumbuh di gunung, bambu tersebut seratnya berbintik, tua, dan kering.

Beliau mengatakan pada zaman dahulu sarune adalah alat musik yang digunakan masyarakat Mandailing untuk menghibur diri sendiri pada saat sedang menjaga sawah. Beliau mengatakan sarune bisa dimainakan tanpa diiringi gordang sambilan. Orang yang memainkan sarune disebut parsarune, kata par menjadi awalan dari kata sarune yang berarti orang yang memainkan. Menurut beliau ada beberapa pemain sarune yang bisa membuat sarune di Medan.

Menurut bapak Ridwan Aman Nasution, kesulitan dalam pembuatan sarune hanyalah pada proses pembuatan lidah (reed). Beliau mengatakan, “sepuluh buah lidah (reed) kita buat, belum tentu semuanya bagus, harus dicoba terus sampai dapat lidah (reed) yang bagus. Bila kita tiup, suara yang dihasilkan tidak akan putus-putus, itulah yang bagus.” Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, baik sebagai mahahasiswa disiplin etnomusikologi, maupun pemain gordang Mandailing, sarune buatan beliau berbeda dengan sarune pada umumnya. Perbedaannya terletak pada lidah (reed) yang dibuat beliau lebih kecil sehingga menghasilkan suara yang lebih nyaring. Hal ini diakui pula oleh para pemusik tradisional Mandailing seperti Sefar Lubis, Ucok Lubis, dan lain-lainnya. Dengan demikian keberadaan sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution ini sangat relavan dikaji dari aspek disiplin etnomusikologi, yang penulis pelajari selama beberapa tahun belakangan ini.

Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan humaniora dan sosial yang mempelajari musik dalam konteks kebudayaan. Secara jelas dan tegas apa itu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as

a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon

"schools" of

ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical

analysis of music sound (Merriam 1964:3-4). 2

Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana

etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh

2 Dalam konteks pembelajaran disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi

“bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang dimaksud diterbitkan pada tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis. Buku ini adalah karya Alan P. Merriam seorang etnomusikolog ternama. Tajuk bukunya ini adalah The Anthropology of Music.

para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing- masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Lebih khusus lagi, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara

(USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang tertuang di dalam buku yang berjudul Etnomusikologi, tahun 1995. Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler

tahun 1976. 3 Dari semua penjelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah

ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan nhasil fusi dari antropologi (etnologi) dan musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya (lulusan sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral) disebut sebagai etnomusikolog.

Lebih khusus lagi, di dalam disiplin etnomusikologi terdapat berbagai jenis dan ruang lingkup kajian, seperti: guna dan fungsi musik, pemusik dalam

3 Buku ini disunting (diedit) oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi . Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

konteks sosial, studi teks nyanyian, kajian pengkategorian musik, musik dan kreativitas budaya, musik dalam konteks kopntinuitas dan perubahan, juga organologi (alat-alat musik). Dalam hal ini sarune Mandailing dapat didekati dari sisi organologi, yang mencakup aspek struktural dan fungsionalnya termasuk juga fungsi dalam masyarakat Mandailing.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi tentang sarune Mandailing buatan bapak Ridwan Amanah Nasution. Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Organologis Sarune Mandailing Buata Bapak Ridwan Aman Nasution”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan didalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana struktur organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution?

2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution?

3. Bagaimana teknik dasar memainkan dan fungsi musikal produksi suara yang dihasilkan sarune Mandailing?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian alat musik sarune adalah:

1. Untuk mengetahui dengan cara meneliti langsung di lapangan dan mendeskripsikan bagaimana struktur organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution

2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution

3. Untuk mengetahui teknik dasar permainan dan fungsi musikal produksi suara sarune Mandailing

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai sarune Mandailing di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan sarune Mandailing.

3. Memberikan informasi tentang alat musik sarune Mandailing kepada masyarakat umum khususnya masyarakat Mandailing di Kota Medan.

4. Untuk memenuhi syarat menyelesasikan program studi S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431).

Studi disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kajian merupakan kata jadian dari kata”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami.

Organologi adalah bidang kajian dalam etnomusikologi yang memfokuskan perhatian kepada struktur dan fungsi alat musik. Ketika berbicara tentang kajian organologi, aspek yang dibahas adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskipsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain: teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif, dan variasi sosial budaya.

Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari alat musik tersebut.

Selanjutnya istilah aeropone adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari udara yang bergetar (klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, 1961). Sarune merupakan Instrumen aeropone yang bisa dimainkan secara tunggal maupun ensambel, dan berfungsi untuk mengibur diri sendiri dan juga sebagai pembawa melodi dalam ensambel.

1.4.2 Teori

Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983 : 22-25) .

Dalam tulisan ini, penulis berpedoman pada teori yang di utarakan oleh Susumu Kashima 1978:174) terjemahan Rizaldi Siagian dalam laporan ATPA (Asia Performing Traditional Art), bahwa studi musik dapat dibagi kedalam dua sudut pandang yakni Studi Struktural dan Studi Fungsional. Studi Struktural adalah Studi yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran, perekaman, atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil, konstruksi serta bahan bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik tersebut. Sedangkan Studi Fungsional memperhatikan fungsi dari alat dan komponen yang menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada,warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut.

Penulis juga menggunakan beberapa teori-teori lain seperti untuk mengetahui teknik permainan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) yaitu: ”Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa Penulis juga menggunakan beberapa teori-teori lain seperti untuk mengetahui teknik permainan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) yaitu: ”Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa

mendeskripsikan apa yang kita lihat.” 4

Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik sarune dalam penulisan ini penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,

2. Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,

3. Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit,

4. Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. Mengacu pada teori tersebut, maka sarune Mandailing adalah instrumen musik aerofon dimana penggetar utama bunyinya adalah udara. Kajian organologi atau kebudayaan material musik dalam etnomusikologi telah dikemukakan oleh Merriam (1964) sebagai berikut. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoritis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi.

4 Terjemahan Marc Perlman, 1990.

Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatannya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakat secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menentukan perpindahan penduduk melalui studi alat musik.

Sesuai pendapat Merriam tersebut, sarune Mandailing, termasuk kajian budaya material musik. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi aerofon. Selanjutnya adalah sarune ini memiliki lidah tunggal dari bambu yang dicungkil sebagian badannya untuk dijadikan alat penggetar bunyi. Teknik bermain sarune ini adalah dengan menggunakan istilah manguntong hosa

(circular breathing), yang artinya, seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup sarune. Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis Batak. Alat musik ini akan penulis ukur, difoto, baik bagian eksternal maupun internalnya. Seterusnya penulis akan memperhatikan dekorasi, pengecatan, warna, dan seterusnya. Selain itu, penulis akan bertanya bagaimana persepsi pemain musik, seniman musik Mandailing, dan masyarakat Mandailing mengenai sarune ini. Apakah ia memiliki lambang? Semua yang dipertanyakan Merriam mengenai alat musik akan penulis teliti dalam penelitian ini. Aspek kedua adalah mengenai sisi ekonomi dalam alat musik, dalam hal ini sarune Mandailing. Penelitian tentang hal ini berkaitan dengan distibusi dan penjualannya, terutama di Medan dan sekitarnya. Apakah bapak Ridwan Amanah Nasution mengutamakan sisi ekonomi atau mengutamakan sisi budaya, atau gabungan keduanya dalam konteks pembuatan sarune Mandailing ini.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, 1990 : 3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, 1990 : 3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat

Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field word) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Merriam (1964) juga mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat studi akhir.

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan daftar pertanyaan

(questionnaires), Menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari bukubuku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet, dan catatan- catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian mencari teori-teori yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi pustaka ini Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari bukubuku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet, dan catatan- catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian mencari teori-teori yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi pustaka ini

1.5.2 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan (field work), penulis melakukan kerja lapangan dangan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu rumah Rumah Bapak Aman Nasution dan mencari narasumber dari tokoh masyarakat Mandailing yang ada di Kota Medan sebagai narasumber lainya.

1.5.3 Wawancara

Adapun Teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat untuk melakukan wawancara (1985:139) yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview,) dan wawancara sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permasalahan, sementara wawancara bebas adalah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahn yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah atau melengkapi data yang lain.

Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan pada saat wawancara secara bebas ataupun tertuju dari satu topik ke topik lain dan materinya tetap berkaitan dengan topik penelitian. Penulis melakukan wawancara langsung terhadap informan dalam hal ini

Bapak Ridwan Aman Nasution selaku informan kunci, dan beberapa informan- informan lainnya.

Menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handphone sebagai alat rekam sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital, di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan informan.

1.5.4 Observasi

Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian yang langsung (Bimo Walgito, 1987:54). Observasi atau pengamatan dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Meriam, 1995:85).

1.5.6 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Ridwan Aman Nasution di Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau.

Selain melihat lokasi penelitian tempat pembuatan sarune Mandailing ini, penulis perlu juga melihat lokasi penelitian, di mana-mana saja sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution ini. Dalam kenyataannya sarune buatan beliau digunakan oleh para pemusik tradisi Mandailing yang ada di kawasan Deli Serdang, Serdang Bedagai, Medan, dan sekitarnya. Jadi penulis melihat pula lokasi penelitian dalam konteks sebaran wilayah tempat dimainkan sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution.

BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN DAN BIOGRAFI RINGKAS RIDWAN AMAN NASUTION

2.1 Masyarakat Mandailing

2.1.1 Asal Usul Orang Mandailing

Masyarakat Mandailing yang mendiami Kota Medan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing. Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta-fakta tertulis, seperti prasasti-prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M). dimana salah satu syairnya disebut nama Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu, “Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat/” (Pane, 2014)

Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke Malayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya. Minangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (Mhd. Arbain Lubis Ha 11-24) Menurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU Medan dalam bukunya “Kisah Asal Usul Mandailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya bahwa didalam tonggo -tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah Mandailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu. Dada Meuraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang Hilang . Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti “Munda yang Mengungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda yang berada di

India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet Mulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut : sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM.

Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera. Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi. Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah kerjaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan Kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat candicandi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak/Dairi. Yang Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera. Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi. Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah kerjaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan Kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat candicandi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak/Dairi. Yang

2.1.2 Sistem Religi dan Agama

Pada masa sekarang ini Masyarakat Mandailing umumnya masih menganut Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek Moyang mereka sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek Moyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10) Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek Moyang mempercayai Pada masa sekarang ini Masyarakat Mandailing umumnya masih menganut Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek Moyang mereka sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek Moyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10) Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek Moyang mempercayai

Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras. Mereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat Mandailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke Agama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak kepada Kaum Padri. Lama kelamaan Masyarakat Mandailing menerima agama islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing. Setalah Masyarakat Mandailing memeluk Agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena Agama Islam melarang setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Sekitar tahun 1839 Agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing yang dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. Masyarakat Mandailing tidak banyak yang menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang menganut Agama Kristen adalah orang – orang pendatang dari luar daerah Mandailing yang menetap di Mandailing.

2.1.3 Bahasa

Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan

Pertuturan Bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau Perkumpulan Keluarga lainnya.

2.1.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau orang yang tidak perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek Moyang. Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di Mandailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon.

 Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.

 Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.  Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkattingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada hukuman mati.

 Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan kepada Masyarakat maupun Keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga didalam pertuturon. Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga